• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan Remaja di SMA Negeri 15 Medan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

1.4 Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Perkembangan Sosialisasi Remaja Frekuensi Persentase (%)

Baik 79 87,78

Buruk 11 12,22

1.4Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 90 responden, tipe pola asuh orang tua terbanyak yang digunakan yaitu tipe pola asuh demokratis sebanyak 74 responden (82,22%), dengan sosialisasi baik 65 orang (87,83%) dan sosialiasi

buruk 9 orang (12,16%). Sedangkan orang tua responden yang menggunakan pola asuh otoriter sebanyak 10 responden (11,11%), dengan sosialisasi baik 9 orang (90%) dan sosialiasi buruk 1 orang (10%). Orang tua responden yang menggunakan pola asuh permisif sebanyak 6 responden (6,66%), dengan sosialisasi baik 5 orang (83,33%) dan sosialiasi buruk 1 orang (6,67%).

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja Di SMA Negeri 15 Medan

Tipe Pola Asuh Sosialisasi Frekuensi

Baik Persentase Buruk Persentase

Otoriter 9 90,00% 1 10,00% 10

Demokratis 65 87,83% 9 12,16% 74

Permisif 5 83,33% 1 16,67% 6

Analisa statistik diperoleh nilai significance (p value) sebesar 0,032. nilai (p value) lebih kecil dari level of significance (α) yang ditetapkan peneliti yaitu

sebesar 0,05. Tabel 5.5 hasil penelitian menunjukan bahwa tipe pola asuh orang tua yang otoriter memiliki hubungan yang signifikan terhadap perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan dengan nilai chi square (ρ) sebesar

0,032. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan remaja di SMA Negeri 15 Medan

Tabel 5.5 Hubungan Tipe Pola Asuh Otoriter dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja Di SMA Negeri 15 Medan

Variabel 1 Variabel 2 Ρ P value Keterangan Tipe Pola Asuh

Otoriter

Perkembangan

Sosialisasi Remaja 0,05 0,032

Hubungan positif dengan hubungan tinggi

Analisa statistik diperoleh nilai significance (ρ value) untuk hubungan

pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan sebesar 0,00. Nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar

0,05. Dari tabel 5.6 hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe pola asuh orang tua yang demokratis memiliki hubungan yang signifikan terhadap perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan dengan nilai chi square (ρ) sebesar

0,000. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tipe pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

Tabel 5.6 Hubungan Tipe Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja Di SMA Negeri 15 Medan

Variabel 1 Variabel 2 Ρ P value Keterangan

Tipe Pola Asuh Demokratis

Perkembangan

Sosialisasi Remaja 0,05 0,00

Hubungan positif dengan hubungan tinggi

Dari analisa statistik diperoleh nilai significance (ρ value) sebesar 0,242.

Nilai ini lebih besar dari level of significance (α) sebesar 0,05. Dari tabel 5.7 hasil penelitian menunjukan bahwa tipe pola asuh orang tua yang permisif tidak memiliki hubungan terhadap perkembangan sosialisasi remja di SMA Negeri 15 Medan dengan nilai chi square (ρ) sebesar 0,242. Ini berarti tidak terdapat

hubungan antara tipe pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja. Tabel 5.7 Hubungan Tipe Pola Asuh Permisif dengan Perkembangan Sosialisasi

Remaja Di SMA Negeri 15 Medan

Variabel 1 Variabel 2 Ρ P value Keterangan

Tipe Pola Asuh Permisif

Perkembangan

Sosialisasi Remaja 0,05 0,242

Hubungan positif dengan hubungan sangat rendah

2. Pembahasan

Pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang hubungan tipe pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

2.1Tipe Pola Asuh Orang Tua

Setiap orang tua pasti menerapkan pola asuh tertentu dalam mendidik anaknya. Orang tua sering menggunakan kombinasi dari semua pola asuh yang ada, akan tetapi satu jenis pola asuh akan terlihat lebih dominan daripada pola asuh lainnya. Pola asuh dilakukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh sangat erat kaitannya dengan hubungan antara orang tua dengan anaknya karena merupakan suatu pola yang digunakan orang tua dalam berhubungan dengan anak-anaknya. Adanya perbedaan dalam mengasuh anak dikarenakan orang tua memiliki sikap-sikap tertentu dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Perbedaan sikap dalam pengasuhan inilah yang menjadikan pola asuh terdiri dari beberapa tipe pengasuhan, seperti pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif.

Hasil penelitian tentang pola asuh orang tua yang dapat dilihat pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 90 responden sebanyak 74 (82,22%) memiliki tipe pola asuh orang tua yang demokratis, sebanyak 10 responden (11,11%) memiliki tipe pola asuh orang tua yang otoriter, dan sebanyak 6 responden (6,67%) memiliki tipe pola asuh permisif.

Tabel 5.2 menunjukan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki orang tua dengan pola asuh demokratis. Pola asuh demokratis memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua, dan orang tua selalu memberikan arahan atau bimbingan dengan penuh

pengertian dan kasih sayang. Pola asuh ini mengajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukannya (Santrock, 2005).

Ciri khas dari pola asuh demokratis adalah adanya komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, dimana orang tua melibatkan diri dan berdiskusi tentang masalah yang dialami anak. Selain itu, orang tua biasa memberikan pujian apabila anak melakukan hal yang baik Orang tua dengan pola asuh demokratis mengajarkan anak agar melakukan segala sesuatu secara mandiri dengan rasa tanggung jawab dan mencerminkan rasa kasih sayang (Santrock, 2005). Hal ini yang membuat peneliti berasumsi bahwa kemungkinan alasan inilah yang menjadi acuan mayoritas orang tua responden memilih pola asuh demokratis.

Tabel 5.2 menunjukan bahwa 10 responden (11,11%) memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter didominasi oleh pemaksaan-pemaksaan orang tua kepada anak. Orang tua cenderung menggunakan ancaman-ancaman kepada anak apabila anak melakukan kesalahan ataupun tidak melakukan hal yang diinginkan orang tua, seperti melarang bergaul dengan orang-orang yang tidak disukai orang-orang tua, menghukum anak dengan melarang hal-hal yang disukai anak, menggunakan kata-kata yang ketus apabila anak tidak memperhatikan apa yang diucapkan orang tua, mengancam tidak boleh keluar rumah apabila anak mengecewakan orang tua, mengancam tidak akan memberikan uang saku apabila nilai rapot anak turun, dan mengharuskan anak menghentikan apa yang dilakukan apabila hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak orang tua. Pola asuh otoriter sering membuat anak merasa bahwa orang tua menghukumnya terlalu keras (Santrock, 2005).

Ciri khas dari pola asuh otoriter adalah anak diharuskan mengulang pekerjaan yang dianggap orang tua salah, orang tua mengancam akan memberikan hukuman apabila anak tidak mematuhi perintahnya, dan orang tua menggunakan suara yang keras ketika menyuruh anak untuk melakukan suatu pekerjaan. Pola asuh otoriter menjadikan anak merasa terkekang, kurang bebas, dan terkadang kurang percaya diri, tetapi pola asuh ini akan membentuk anak yang patuh, sopan,dan rajin mengerjakan pekerjaan (Santrock, 2005). Peneliti berasumsi bahwa kemungkinan alasan inilah yang menjadi acuan beberapa orang tua memilih untuk menerapkan pola asuh otoriter dalam mendidik anaknya.

Tabel 5.2 menunjukan bahwa 6 responden (6,67%) memiliki orang tua dengan pola asuh permisif. Pola asuh permisif didominasi oleh ketidakterlibatan dan ketidakpedulian orang tua dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukani anak. Orang tua dengan pola asuh permisif tidak mengacuhkan anak jika anak telah menyinggung perasaan orang tua, orang tua sering mengalihkan topik pembicaraan pada masalah yang lain jika menurutnya anak terlalu ingin tahu dengan urusan pribadi orang tua, orang tua tidak tahu apa saja yang diperbuat anak jika anak sedang berada di luar rumah bersama teman-temannya, orang tua pergi meninggalkan anak tanpa berkata sepatah katapun apabila anak melakukan kesalahan, orang tua akan menyuruh kakak/adik untuk menasehati anak apabila anak melakukan kesalahan, orangtua jarang sekali memperhatikan nilai rapot anak di sekolah, dan orang tua tidak peduli apakah anak ada atau tidak ada di rumah (Santrock, 2005).

Ciri khas dari pola asuh permisif adalah orang tua tidak memperdulikan apa saja yang dilakukan anak, orang tua jarang sekali mengajak berbicara apalagi berdiskusi tentang masalah anak, serta orang tua selalu memberikan apa saja yang diinginkan anak tanpa banyak bertanya. Pola asuh permisif menjadikan anak berperilaku sesuai dengan keinginannya karena orang tua tidak pernah memberikan aturan ataupun arahan kepada anak. Pengasuhan ini menjadikan anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena sangat minimnya pengarahan dan aturan dari orang tua (Santrock, 2005). Hal ini yang mungkin menjadi alasan sangat sedikit orang tua yang menerapkan pola asuh permisif dalam mengasuh anaknya.

Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki 1-3 saudara kandung, yaitu sebanyak 64 responden (71,11%) dan merupakan anak pertama, yakni sebanyak 38 responden (42,22%). Jumlah anak yang dimiliki juga dapat mempengaruhi dipergunakannya pola asuh tertentu. Orang tua yang memiliki anak hanya satu sampai tiga cenderung mempergunakan pola asuh demokratis karena orang tua memiliki cukup banyak waktu untuk berkomunikasi ataupun berdiskusi dengan anak. Sedangkan orang tua yang memiliki anak enam atau lebih, cenderung memiliki pola asuh otoriter karena dengan pola pengasuhan ini orang tua menganggap dapat tercipta ketertiban dalam rumah dan orang tua dapat mengontrol setiap perilaku anak (Triwardani, 2001 dalam Sujata, 2008).

Data demografi menunjukkan bahwa terdapat lima responden yang merupakan anak tunggal dengan karakteristik 3 responden diterapkan pola asuh demokratis dan 2 diantaranya memiliki perkembangan sosialisasi yang buruk, satu

responden diterapkan pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi baik, dan satu responden diterapkan pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi buruk. Mayoritas orang tua responden yang memiliki anak tunggal bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan RP. 1.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00. Adanya perbedaan penerpan pola asuh orang tua pada anak tunggal membuat peneliti berasumsi bahwa setiap orang tua pasti memiliki alasan tersendiri dalam menerapkan pola asuh kepada anak remajanya.

Data demografi menunjukan mayoritas tingkat pendidikan orang tua responden adalah pendidikan menengah sebanyak 47 responden (52,22%), dan pendidikan tinggi sebanyak 40 responden (44,44%). Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia, kemampuan jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah, dan masyarakat agar dengan kemampuanya dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup serta kelangsungan hidup di masyarakat. Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki pengetahuan dan pengertian yang luas terhadap perkembangan anak, sedangkan orang tua dengan latar belakang pendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai perkembangan dan kebutuhan anak (Triwardani, 2001 dalam Sujata, 2008). Tipe pola asuh demokratis dapat membantu anak dalam pengembangan kognitif dan memperlihatkan emosional positif karena dalam pola asuh ini tercipta komunikasi yang baik dan adanya dukungan emosional antara anak dengan orang tua. Hal inilah yang membuat peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua maka pengetahuan tentang mendidik anak

semakin baik sehingga tipe pola asuh yang digunakan lebih mengarah pada tipe pola asuh demokratis dimana orang tua mengetahui cara mendidik sesuai dengan tahap perkembangan anaknya.

Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa mayoritas pekerjaan orangtua responden adalah wiraswasta, yaitu sebanyak 41 reponden (45,55%). Peneliti berasumsi apapun pekerjaan orang tua jikalau orang tua memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak dan mengajarkan banyak hal, maka anak cenderung akan memiliki sosialisasi yang baik. Waktu yang ada dapat digunakan orang tua untuk saling bertukar pikiran, bertukar cerita, maupun untuk melakukan hal-hal yang kemungkinan dapat dilakukan bersama dengan anak mereka. Hal inilah yang membuat pola asuh yang cenderung digunakan dalam penelitian ini adalah pola asuh demokratis, dimana adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga tercipta pertautan perasaan.

Tabel 5.1 dapat menunjukkan bahwa mayoritas responden masuk kedalam kategori ekonomi menengah. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penghasilan orang tua responden yaitu Rp. 1.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 sebanyak 44 orang (48,89%). Orang tua yang berasal dari kelas ekonomi menengah lebih bersikap hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah atau bawah. Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah lebih menaruh penekanan pada perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, kemampuan untuk menunda keinginan, bekerja untuk waktu jangka panjang, dan kepekaan anak dalam berhubungan dengan orang lain. Orang tua dari golongan ini lebih

bersikap terbuka terhadap hal – hal baru, termaksud hal yang berhubungan dengan pengasuhan dan tahap perkembangan anak (Adiana, 1988 dalam Sujata, 2008). Peneliti berasumsi bahwa kemungkinan alasan inilah yang menjadi acuan bagi orang tua untuk menerapkan pola asuh demokratis dalam mendidik anaknya.

Keluarga dengan golongan kelas sosial ekonomi rendah atau bawah, jarang sekali memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan diri. Mereka lebih sering memberikan batasan yang ketat dan memberikan penekanan pada rasa hormat dan patuh terhadap tokoh otoritas, terhadap nilai – nilai yang dimiliki oleh orang tua, dan cara pemenuhan kebutuhan anak secepat mungkin. Hal ini dapat dimengerti, mengingat orang tua dari golongan sosial ekonomi menengah bawah dalam kehidupan sehari – harinya bergelut dengan pemikiran untuk dapat menghidupi anak – anaknya sehingga terkadang sangat minim waktu yang tersedia untuk berinteraksi dan berdiskusi memcahkan masalah yang sedang dihadapi anak (Adiana, 1988 dalam Sujata, 2008).

Data demografi menunjukkan bahwa terdapat seorang responden yang penghasilan orang tuanya kurang dari RP. 500.000,00. Orang tua responden bekerja sebagai petani dan memiliki delapan anak. Walaupun responden tersebut termaksud dalam kelas ekonomi rendah, tetapi pola asuh yang diterapkan oleh orang tua adalah demokratis dan responden memiliki perkembangan sosialisasi yang baik. Peneliti berasumsi bahwa kemungkinan terdapat faktor lain yang mempengaruhi penerapan pola asuh orang tua, seperti faktor kepribadian orang tua. Kepribadian orang tua dapat mempengaruhi penggunaan pola asuh. Orang tua yang berkepribadian tertutup cenderung akan memperlakukan anaknya dengan

ketat dan otoriter. Selain itu, kepribadian anak juga berperan terhadap digunakannya pola asuh tertentu. Apabila anak memiliki sikap yang terbuka terhadap rangsangan yang datang padanya, maka hal ini akan mempengaruhi pemilihan pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya (Hurlock, 1999). 2.2Perkembangan Sosialisasi Remaja

Perkembangan sosialisasi remaja merupakan perolehan kemampuan berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1999). Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak ditentukan melalui interaksi sosial. Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif masyarakat dan lingkungan., sehingga dapat dikatakan bahwa sosialisasi merupakan proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 90 responden sebanyak 79 responden (87,78%) memiliki perkembangan sosialisasi yang baik dan 11 responden (12,22%) memiliki perkembangan sosialisasi yang buruk. Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas remaja di SMA Negeri 15 Medan sudah dapat melakukan tugas perkembangan sosialisasi pada masa remaja dengan baik. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan untuk mengukur perkembangan sosialisasi remaja adalah kuesioner yang mengacu pada teori Hurlock (1999) tentang tugas perkembangan sosialisasi yang dilakukan pada masa remaja.

Data demografi pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebanyak 64 responden (71,1%) memiliki usia yang sama, yaitu 16 tahun. Hal ini dapat berdampak pada

perkembangan sosialisasi remaja karena salah satu aspek penting dalam perkembangan sosialisasi adalah kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya dalam sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku. Pengaruh kelompok teman sebaya pada remaja lebih besar dibandingkan dengan pengaruh keluarga (Hurlock, 1999). Pengaruh teman sebaya pada kelompok remaja di SMA Negeri 15 Medan memiliki dampak yang baik. Hal ini dapat terlihat dari perkembangan sosialisasi yang baik dengan tingkat sosialisasi buruk yang sangat rendah, yaitu hanya 12,22%.

Tabel 5.1 data demografi, menunjukkan bahwa persentase antara responden laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu responden perempuan sebanyak 47 orang (52,22%) dan responden laki-laki sebanyak 43 orang (47,78%). Walaupun hal ini dampaknya tidak dapat dilihat langsung berpengaruh pada perkembangan sosialisasi remaja, tetapi salah satu aspek penting bagi perkembangan sosialisasi remaja adalah adanya perubahan dalam perilaku sosial yaitu terjadinya perubahan dibidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik, sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang

(Hurlock, 1999). Peneliti berasumsi bahwa inilah yang menjadi faktor penguat terciptanya perkembangan sosialisasi yang baik di kalangan remaja SMA Negeri 15 Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden beragama Islam yaitu 68 orang (75,56%), agama Kristen Protestan sebanyak 20 orang (22,2%), dan agama Katholik sebanyak 2 orang (2,22%). Setiap agama pasti memiliki aturan-aturan yang mengatur kehidupan manusia agar tetap seimbang, mengajarkan hal yang baik dan anjuran menghindari hal-hal yang dianggap buruk, termaksud mengajarkan hal-hal yang harus dilakukan dalam berperilaku. Keluarga juga memiliki fungsi agama, yaitu menanamkan nilai-nilai agama kepada anak agar memiliki pedoman hidup yang benar (Marseliana, 2011). Peneliti berasumsi bahwa adanya agama menjadi salah satu hal yang akan mempengaruhi remaja dalam berperilaku, termaksud dalam bersosialisasi dengan sesamanya dalam menjalani masa remaja. Kemungkinan hal inilah yang menjadi salah satu faktor penguat terciptanya sosialisasi yang baik di kalangan remaja di SMA Negeri 15 Medan.

Data hasil penelitian mengenai jumlah saudara kandung menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki 3 saudara kandung yaitu sebanyak 36 responden (40%) dan 2 saudara kandung sebanyak 21 responden (23,33%). Saudara kandung bisa lebih berpengaruh pada remaja dalam bersosialisasi dibandingkan dengan orang tua, terutama ketika remaja berhadapan dengan teman sebaya, menghadapi guru yang sulit, dan mendiskusikan masalahnya. Hubungan saudara sekandung remaja meliputi menolong, berbagi, mengajar, dan bermain.

Saudara sekandung remaja bisa bertindak sebagai pendukung emosi, lawan, dan teman berkomunikasi (Vandell, 1987 dalam Marseliana, 2011). Adanya saudara kandung dikalangan responden menjadi salah satu faktor yang mendukung terciptanya sosialisasi yang baik dikalangan remaja SMA Negeri 15 Medan karena remaja mempunyai tempat penyaluran emosi yang tepat ketika mereka sedang mengalami masalah.

Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan terakhir orang tua menunjukkan bahwa mayoritas orang tua responden adalah berpendidikan menengah yaitu sebanyak 47 responden (52,22%). Jika dihubungkan antara tingkat pendidikan orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja, peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua maka akan semakin baik perkembangan sosialisasinya karena salah satu fungsi dari pendidikan adalah untuk membina kepribadian seseorang. Walaupun tingkat pendidikan orang tua memiliki pengaruh terhadap perkembangan sosialisasi remaja, tetapi tingkat pendidikan orang tua tidak menjadi hal utama dalam perkembangan sosialisasi remaja karena orang tua dapat menjadi pendidik yang baik bagi keluarga tanpa harus berpendidikan tinggi. Hal ini tergantung dari seberapa jauh keterbukaan orang tua dan anaknya dalam membicarakan masalah perkembangan sosialnya dan berdiskusi untuk memecahkan masalah yang sedang dialami anak remajanya (Tukan, 1994 dalam Marseliana, 2011). Hal ini lah yang membuat peneliti berasumsi bahwa walaupun tingkat pendidikan orang tua responden tergolong dalam kategori berpendidikan menengah, tetapi orang tua memiliki waktu untuk

berdiskusi dengan anaknya sehingga mendukung terwujudnya perkembangan sosialisasi remaja yang baik.

Tabel 5.1 dapat dilihat mayoritas orang tua responden memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 41 orang (45,56%) dan pegawai negeri sebanyak 29 orang (32,22%). Pendapatan orang tua responden setiap bulannya termaksud dalam kategori ekonomi menengah, yaitu berkisar Rp1.000.000,00 – Rp.3.000.000,00 sebanyak 44 orang (48,89%). Latar belakang suku responden adalah suku Batak sebanyak 43 orang (47,20%) dan suku Jawa sebanyak 30 orang (33,53%). Latar belakang ekonomi menjadi salah satu hal yang dinilai remaja dalam pemilihan teman. Remaja, sebagai kelompok, cenderung lebih “pemilih-milih” dalam memilih rekan dan teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, remaja cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar. Selain itu, status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam kelompok merupakan hal yang sangat penting dalam nilai baru penerimaan sosial masa remaja (Hurlock, 1999). Hal inilah yang membuat peneliti berasumsi bahwa remaja di SMA Negeri 15 Medan memiliki perkembangan sosialisasi yang baik karena mereka memiliki latar belakang ekonomi yang relatif sama yang merupakan salah satu faktor dalam penerimaan pada masa remaja.

2.3Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi