• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

SKRIPSI

Dewi Sartika Panjaitan 081101030

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat

dan penyertaanNya sehingga penulis dapat penelitian dan penulisan skripsi yang

berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi

Remaja di SMA Negeri 15 Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes

selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku

Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Darwin Siregar,

M.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan yang telah memberikan izin

penelitian dan guru kelas yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep,

Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi

yang telah memotivasi dan menuntun penulis dalam menjalani masa kuliah dan

menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Cholina

Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I, Ibu Siti Saidah

Nasution, SKp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji II, dan Ibu Siti Zahara

Nasution , S.Kp, MNS selaku dosen uji validitas.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak

(4)

tercinta, Papa (Kapten. Inf. G. Panjaitan) dan Mama (B. Simanjuntak, S.Pd) yang

senantiasa dengan penuh cinta mendukung dan memberikan segala hal yang

terbaik untuk saya. Terima kasih kepada Kakak Roselyna R. D. Panjaitan, S.Pd

dan adik Frans Heryanto Panjaitan untuk setiap dukungan, perhatian, dan

motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih kepada teman seperjuangan stambuk 2008, terkhusus

kelompok B buat kebersamaannya selama ini. Terimakasih kepada sahabatku

Yemima Dayfiventy, Christine Handayani Siburian, Martia Lindawaty Tondang,

dan Juliana Pardede untuk dukungan dan perhatiannya selama ini yang

mengajarkanku banyak hal dalam menghadapi dunia perkuliahan. Terima kasih

kepada Ririn Sartika Dewi untuk kehadirannya yang selalu memberi semangat

dalam menyelesaikan skripsi ini, dan terima kasih kepada Sophie Devita Sihotang

selaku teman seperjuangan dalam melakukan penelitian di SMA Negeri 15

Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak Tiomsi Hernawati

Hutagalung, SH dan kakak Nita Riany Sitio, SE untuk dukungan doanya selama

ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di Komisi

Pemuda GKI Sumut Medan untuk kebersamaaan dan dukungannnya dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh kasih

melimpahkan berkat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Kata Pengantar………. iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... viii

Daftar Tabel ... ix

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh ... 8

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 39

2. Defenisi Operasional ... 40

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 43

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 43

2.1. Populasi ... 43

2.2 Sampel ... 44

2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

(6)

5. Instrumen Penelitian ... 46

5.1. Data Demografi ... 46

5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 46

5.3. Kuesioner Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 47

5.4. Uji Validitas Instrumen ... 48

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 54

1.1 Karakteristik Responden ... 54

1.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 57

1.3 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 57

1.4 Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57

2. Pembahasan ... 60

2.1 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 60

2.2 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 67

2.3 HubunganTipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 78

2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Responden (Inform Consent) 2. Instrumen Penelitian

3. Jadwal Penelitian 4. Taksasi Dana Penelitian 5. Lembar Bukti Bimbingan 6. Daftar Riwayat Hidup

7. Uji Reliabilitas Instrumen Pola Asuh Orang Tua

(7)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Independen ... 40

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Dependen ... 42

Tabel 3. Jumlah Populasi ... 43

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Berdasarkan Karakteristik

Responden ……... 56

Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Tipe Pola Asuh Orang Tua

di SMA Negeri 15 Medan ... 57

Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perkembangan Sosialisasi

Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57

Tabel 7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Orang Tua dengan

Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan …… 58

Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Otoriter dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 58

Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan

Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 59

Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Permisif dengan Perkembangan

(9)

Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan

NIM : 081101030

Jurusan : Keperawatan

Tahun : 2012

Abstrak

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.

(10)

Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan

Name : Dewi Sartika Panjaitan

NIM : 081101030

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep)

Year : 2012

Abstract

Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.

(11)

Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan

NIM : 081101030

Jurusan : Keperawatan

Tahun : 2012

Abstrak

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.

(12)

Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan

Name : Dewi Sartika Panjaitan

NIM : 081101030

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep)

Year : 2012

Abstract

Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh

hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu

berinteraksi satu sama lain (Mubarak, 2009). Keluarga merupakan lembaga

pertama dalam kehidupan seorang anak, tempat belajar segala sesuatu dan

menyatakan diri sebagai mahluk sosial (Kartono, 1992 dalam Yusniah, 2008).

Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian seseorang.

Dalam keluarga umumnya anak dan orang tua memiliki hubungan interaksi yang

intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan

pendidikan anak. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang dapat menjalankan

peran dan fungsi dari keluarga tersebut dengan baik sehingga akan terwujud

hidup yang sejahtera. Untuk dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera, faktor

dalam keluarga yang mempunyai peranan penting adalah penerapan pola asuh

orang tua (Hisyam, 1994 dalam Sipahutar, 2009).

Pola asuh merupakan suatu proses mendidik, membimbing, dan

mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan

norma dalam masyarakat. Baumrind (1978 dalam Santrock, 2007)

mengklasifikasikan gaya-gaya pola asuh ke dalam gaya yang bersifat otoriter,

demokratis, dan permisif. Gaya orang tua yang permisif dicirikan oleh sifat

menerima dan tidak menghukum dalam menghadapi perilaku anak-anak. Gaya

(14)

orang tua. Gaya demokratis menekankan suatu cara yang rasional, berorientasi

kepada isu “memberi dan menerima.”

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan

sosial semua usia tumbuh kembang, termaksud pada remaja. Anwar dan Kasmih

Astuti (2004 dalam Sujoko, 2011) dalam penelitiannya tentang pola asuh, tipe

kepribadian dan disiplin remaja menunjukkan bahwa pola asuh yang diberikan

oleh orang tua kepada anaknya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku disiplin

dan kepribadian anak. Selain itu, Lestari (2006) dalam penelitiannya tentang

hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan moral remaja menunjukkan

bahwa pola asuh mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral

remaja. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola asuh

demokratis dengan perkembangan moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai

signifikansi sebesar 0,007 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,226. Pola asuh

otoriter juga mempunyai hubungan dengan perkembangan mora remaja, yakni

dengan diperolehnya nilai signifikansi 0,024 dan nilai korelasi Spearman sebesar

0,188. Selain itu, ada hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan

moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai signifikansi sebesar 0,003 dan nilai

korelasi Spearman sebesar 0,243.

Orang tua dalam menerapkan pola asuh kepada anak tujuan sebenarnya

adalah bukan memberikan hukuman terhadap tindakan-tindakan yang salah,

melainkan membantu anak-anak khususnya remaja untuk mengontrol perilaku

mereka sendiri, mengembangkan disiplin diri, menerima tanggung jawab atas

(15)

perasaan dari orang lain. Pola asuh dapat bekerja sangat baik ketika pola ini

diterapkan pada anak secara individu dan dalam situasi yang spesifik sehingga

dapat terbina hubungan yang baik antar remaja dan orang tua (Soetjiningsih, 2004

dalam Sipahutar, 2009).

Hubungan yang baik antara orang tua dan remaja akan membantu pembinaan

diri remaja dalam upaya menyelesaikan setiap tugas perkembangan remaja. Tugas

perkembangan yang paling penting pada saat remaja adalah perkembangan

sosialisasi, yakni kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam

perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai baru dalam memilih teman, nilai

baru dalam penerimaan sosial, dan nilai baru dalam memilih pemimpin (Hurlock,

1999). Perkembangan sosialisasi remaja yang buruk dapat menimbulkan masalah

pada masa remaja, seperti pergi keluar rumah untuk mencari penyaluran dari

kecemasan dan kegoncangan jiwanya kepada teman-teman yang senasib atau para

remaja yang memahaminya. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan remaja

mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif akibat dari perkembangan sosialisasi

yang tidak baik (Panuju, 1999 dalam Sipahutar, 2009).

Masa remaja menjadi masa yang penting karena merupakan masa transisi

dimana terjadi peralihan dari masa kanak-kanak kemasa remaja dan masa transisi

inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil (storm and stress). Masa

transisi memungkinkan timbulnya masa krisis yang biasanya ditandai dengan

kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang (Hurlock, 1999).

Salah satu bukti perilaku menyimpang yang dilakukan remaja adalah seperti

(16)

bahwa kenakalan remaja saat ini cukup untuk mendapat perhatian serius, selain

tawuran pelajar, narkoba, pergaulan bebas, juga masalah geng motor yang

menjadi perhatian serius dari berbagai pihak (Eldin, 2011). Hal ini terbukti

dengan sering terjadinya tawuran antar pelajar, seperti tawuran pelajar antara

pelajar SMUN 1 Medan dengan pelajar SMU Swasta Methodis di Jalan Cik Ditiro

yang terjadi pada Senin, 24 Januari 2011 (Kito, 2011). Selain itu, tawuran antar

pelajar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama pun terjadi, yaitu

antar pelajar SMPN 13 Medan dan SMAN 8 Medan dengan SMP dan SMA

Letjen S Parman yang terjadi di Jalan Wahidin Medan pada tanggal 18 November

2011. Tawuran antar pelajar ini terjadi akibat adanya tindakan saling mengejek

antar pelajar yang berbeda sekolah yang memicu kemarahan pelajar (Banjarnahor,

2011). Tingkat kenakalan remaja terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini

terbukti dari seringnya kita melihat tawuran antar remaja yang terus disiarkan di

telivisi baik di Medan maupun di daerah lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan data diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan

perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Peneliti memilih

SMA karena siswa SMA merupakan remaja yang sesuai dengan tujuan penelitian,

dan SMA Negeri 15 Medan adalah salah satu sekolah menengah atas yang

siswanya berasal dari lingkup dan lingkungan yang berbeda sehingga

memungkinkan orang tua siswa menerapkan pola asuh yang berbeda. Hal ini juga

akan menjadikan setiap remaja memiliki perkembangan sosialisasi yang berbeda

(17)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik

untuk memilih judul penelitian yakni “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan

Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan”.

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah yang ada, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

1. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

2. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

3. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang diharapkan pada penelitian ini adalah

1. Ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan sosialisasi

remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

2. Ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?

3. Ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan sosialisasi

(18)

5. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

5.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi

remaja di SMA Negeri 15 Medan.

5.2. Tujuan Khusus

5.2.1. Mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua pada remaja yang

terdiri dari pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif di SMA Negeri 15

Medan.

5.2.2. Mengidentifikasi perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15

Medan.

5.2.3. Mengidentifikasi hubungan pola asuh yang diterapkan orang tua yang

terdiri dari pola asuh pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif pada

remaja dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

6. Manfaat Penelitian

6.1. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk

persiapan materi penyuluhan yang berguna untuk meningkatkan kualitas

pendidikan keperawatan anak dan keluarga.

6.2. Pelayanan Keperawatan

Mengetahui lebih dalam mengenai perkembangan psikososial remaja

(19)

pemberian pelayanan yang tepat apabila berhadapan dengan pengguna jasa

pelayanan keperawatan, khususnya remaja.

6.3 Penelitian Berikutnya

Dapat memberikan informasi bagi peneliti berikutnya mengenai pengaruh

pola asuh orang tua terhadap perkembangan sosialisasi remaja dan tipe pola asuh

yang diterapkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya di dalam keluarga.

6.4. Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi

keluarga, khususnya orang tua agar dapat menentukan pola asuh yang tepat untuk

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pola Asuh

1.1.Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu

bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing

anak kecil. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi

kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan

sehari-hari.

Pengertian pengasuhan menurut Porwadarminto (dalam Amal, 2005) adalah

orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola.

Sedangkan pengertian mengasuh anak menurut Darajat (dalam Amal, 2005)

adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya,

pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa.

Pengasuhan adalah kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak

berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

1.2. Tipe Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind (1971, dalam Santrock, 2005), ada empat gaya

pengasuhan, yaitu :

1. Pengasuhan Otoriter

Pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menguhukum,

(21)

menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter

menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir

perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul

anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan

menunjukan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali

tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang

lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi

yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif.

2. Pengasuhan Demokrasi

Pengasuhan demokrasi mendorong anak untuk mandiri namun masih

menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal

memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan

penyanyang terhadap anak. Orang tua yang demokrasi mungkin merangkul

anak dengan mesra. Orang tua yang demokrasi mungkin menunjukkan

kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku anak yang

dewasa, mandiri, dan ceria, bisa mengendalikan diri dan berorientasi, dan

berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan

hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang

dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.

3. Pengasuhan yang Mengabaikan/Permisif

Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat

tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang

(22)

daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan

sosial dan banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan

tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak

dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka

mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.

4. Pengasuhan yang Menuruti/Neglectful

Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua

sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol

mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia

inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri

dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja

membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa

kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan

menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki

orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan

mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin

mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam

berhubungan dengan teman sebaya.

Menurut Elizabet B. Hurlock (1999) ada beberapa sikap orang tua yang khas

dalam mengasuh anaknya, antara lain :

1. Melindungi secara berlebihan.

Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan

(23)

2. Permisivitas

Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka

hati dengan sedikit pengendalian.

3. Memanjakan

Permisivitas yang berlebih, memanjakan membuat anak egois dan menuntut

4. Penolakan

Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau

dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang

terbuka.

5. Penerimaan

Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada

anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan

anak dan memperhitungkan minat anak.

6. Dominasi

Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur,

sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi

orang lain, mengalah dan sangat sensitif.

7. Tunduk pada anak

Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka

(24)

8. Favoritisme

Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama

rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih

menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga.

9. Ambisi orang tua

Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali

sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh

ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka

naik di tangga status sosial

Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes (1986 dalam Yusniah, 2008)

mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga,

yaitu :

a. Otoriter

Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan

kebebasan anak sangat di batasi.

b. Demokratis

Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.

c. Permisif

Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku

sesuai dengan keinginannya sendiri.

Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya

(25)

permisif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih

terfokus dan jelas.

1. Otoriter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), otoriter berarti berkuasa

sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003 dalam

Yusniah, 2008), pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut

anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh

orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya

sendiri.

Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua

dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus

ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak, serta

orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak

hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau

membantah, maka orang tua tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam

hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi karena apa saja yang dilakukan anak

harus sesuai dengan keinginan orang tua. (Yusniah, 2008)

Menurut Parsono (1994 dalam Yusniah, 2008), pada pola asuhan ini akan

terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan

menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan

anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua karena

menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan

(26)

karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi

kehidupannya kelak.

Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat

mempengaruhi proses pendidikan anak, terutama dalam pembentukan

kepribadiannya karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak),

belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992

dalam Yusniah, 2008) mengemukakan bahwa sikap orang tua yang otoriter paling

tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak

menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas

dan kurang percaya diri.

Menurut Abu Ahmadi (1991 dalam Yusniah, 2008) perkembangan anak itu

semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter

biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di

dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah

yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan

orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala

tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan.

Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang

sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan tidak akan

mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat

kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan

pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala

(27)

mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena kepercayaan terhadap diri

sendiri tidak ada. Setelah dewasapun anak akan terus mencari bantuan,

perlindungan dan pengamanan (Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri

dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut :

1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh

membantah.

2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian

menghukumnya.

3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak.

4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak

dianggap pembangkang.

5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin.

6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya

sebagai pelaksana.

7) Tidak ada komunikasi dua arah antara orang tua dan anak

2. Demokratis

Menurut Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008), pola asuh

demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan

peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh

demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai

(28)

penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh

demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan

pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas

atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua (Yusniah, 2008)

Orang tua selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh

pengertian terhadap anak. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan

pertimbangan terhadap aktivitas anak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan

lemah lembut dan penuh kasih sayang. Pola asuh ini ditandai dengan adanya sikap

terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui

bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan

keinginanya, serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Jadi,

dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak

(Yusniah, 2008)

Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh

ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Dengan pola

asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya

sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong

anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri

sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang

anaknya untuk mampu berinisiatif (Yatim, 1991 dalam Yusniah, 2008)

Rumah tangga yang hangat dan demokratis berarti bahwa orang tua

merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar

(29)

kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak.

Sasaran orang tua ialah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat

menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang

patuh tanpa pertanyaan (Beck, 1992 dalam Yusniah, 2008)

Pendapat Fromm (dalam Yusniah, 2008) bahwa anak yang dibesarkan dalam

keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat

menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam

suasana otoriter, memandang kekuasan sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Ini

mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau

justru sikap menentang kekuasaan.

Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993), dan Nur

Hidayah dkk (1995) ( dalam Yusniah, 2008) adalah bahwa dalam pola asuh dan

sikap orang tua yang demokratis terjadinya komunikasi yang dialogis antara anak

dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima

oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang

merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka untuk memahami,

menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk

diapresiasikan berdasarkan kata hati.

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri

pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :

1)Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti

(30)

2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan

yang tidak baik agar di tinggalkan.

3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.

4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.

5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta

sesama keluarga.

Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis

mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh

otoriter maupun permisif. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang

yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain,

mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap

kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam

pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan

berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu

macam pola (Yusniah, 2008).

3. Permisif

Menurut Poebakawatja (1976 dalam Yusniah, 2008), permisif adalah suatu

sistem di mana pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut

campur). Pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak

untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah

memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan

kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya

(31)

menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya

sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas.

Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya.

Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang

diinginkannya karena kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua

seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola

asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah,

ketergantungan dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional (Yusniah, 2008).

Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia

diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah

ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut

mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku

mereka dan ketika mereka kecewa, mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan

bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan dan

hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam

antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata (Hauck, 1993

dalam Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri

pola asuh permisif adalah sebagai berikut :

1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.

2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.

(32)

4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan

untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma

yang digariskan orang tua).

5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga

Menurut Mohammad Shochib (1998 dalam Yusniah, 2008), setiap tipe

pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang

memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung

jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin

memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah

kenakalan remaja. Akan tetapi, anak tersebut cenderung tumbuh menjadi pribadi

yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul

dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki

depresi yang lebih tinggi.

Sementara pola asuh permisif membuat anak merasa boleh berbuat

sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar,

kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah, tetapi juga akan lebih

mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di

sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.

Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam

menciptakan karyanya. Oleh karena itu, pola asuh yang dianggap lebih cocok

untuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya adalah demokratis. Dalam

pola asuh ini, orang tua memberi kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas

(33)

dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga

dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang

tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa

berusaha mendiktenya (Shochib, 1998 dalam Yusniah, 2008).

2. Remaja

2.1. Pengertian Remaja

John W. Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan

perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja

dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga

22 tahun. Sedangkan menurut PBB, remaja adalah individu yang berada dalam

rentang usia 15-24 tahun.

2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting

selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang

membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut

adalah :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Dianggap periode yang penting karena akibatnya yang langsung terhadap

sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Awal masa

remaja ditandai dengan perkembangan fungsi fisik dan perkembangan mental

yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan

(34)

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi

sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan

berikutnya. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja

mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya

penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :

1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan

fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial

menimbulkan masalah baru.

3) Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilai-nilai.

4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.

Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi takut bertanggung

jawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah

namun merasa dirinya mandiri untuk mengatasi masalahnya sendiri sehingga

menolak bantuan orang lain. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalahnya

sendiri mengakibatkan penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan yang

(35)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.

Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya,

apa perannya didalam masyarakat, apakah ia seorang anak-anak atau orang

dewasa. Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan

kelompok masih tetap penting namun lambat laun mulai mendambakan

identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam

segala hal.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu

adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil,

pakaian, dan barang-barang mewah lain, sementara pada saat yang sama ia

mempertahankan identitas dirinya didalam kelompok dengan mengikuti apa

yang dilakukan kelompok seperti merokok dan minum minuman keras.

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.

Stereotip yang berlaku dalam masyarakat berfungsi sebagai cermin yang

ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja

sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja

membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip

tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan

yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

(36)

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri

pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok,

minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam

perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan

memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3 Tugas Perkembangan Remaja

Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas

perkembangan merupakan pengharapan atas apa yang akan dilakukan oleh

individu pada masa perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan bersifat

normatif, tepat waktu, dan diharapkan, serta diantisipasi oleh individu.

Tugas-tugas perkembangan harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke

tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam

memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas

perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya atau individu tersebut akan

mengalami kesulitan untuk meyelesaikannnya di waktu yang lain atau

melaksanakan tugas perkembangan pada tahap yang lebih lanjut (Hurlock, 1999).

Adapun tugas perkembangan remaja menurut Marheni (2004 dalam

Soetjiningsih, 2004), yaitu :

1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa

dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin.

2. Memperoleh peran sosial.

(37)

4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua.

5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.

6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.

7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

8. Mengembangkan dan membentuk kemampuan konsep-konsep moral.

Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu :

1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria

maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya.

6. Mempersiapkan karier ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

berperilaku dan mengembangkan ideologi.

3. Perkembangan Sosialisasi 3.1. Pengertian Sosialisasi Remaja

Menurut Hurlock (1999), pengertian sosialisasi adalah perolehan kemampuan

berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Nur’aeni (1997 dalam Junita,

2006), sosialisasi adalah suatu proses seseorang belajar berperilaku sesuai dengan

(38)

Soelaeman (2001 dalam Junita, 2006), sosialisasi diartikan sebagai proses

yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri bagaimana cara

hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan

berfungsi dalam. Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak

ditentukan melalui interaksi sosial (Khairudin, 1997 dalam Junita, 2006).

Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus

individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif

masyarakat dan lingkungan. (Munandar, 1985 dalam Junita, 2006).

3.2. Perubahan Sosial Remaja

Bertrand (1980 dalam Hurlock, 1999) proses sosialisasi membuat seseorang

menjadi tahu bagaimana ia harus bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat

dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi seorang anak akan menjadi

masyarakat yang beradab (Hurlock, 1999).

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang

berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan

lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus

menyesuiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah

(Hurlock, 1999).

Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat

banyak penyesuaian baru. Perubahan sosial yang terjadi remaja menurut Hurlock

(39)

1. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan

teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa

pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan,

dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar

remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama

dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan untuk

diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota

kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka

remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka

sendiri sebagai akibatnya.

Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan pengaruh

teman sebaya pada masa remaja sebagai berikut :

Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan

panggung di mana remaja dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam

kelompok sebaya, remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya.

Disinilah remaja dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang

tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia orang dewasa yang justru ingin

dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda

dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku

bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman

seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh

(40)

menemukan dunia yang memungkinkannnya bertindak sebagai pemimpin

apabila mampu melakukannya. Selain itu, kelompok kelompok sebaya

merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Kelompok sebaya

terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat

menerimanya dan yang kepadanya remaja bergantung.

Keremajaan memiliki sifat yang selalu maju, maka kelompok sebaya

pun mulai akan berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian

besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin

dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri

yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja.

Faktor kedua timbul dari akibat pemilihan sahabat. Remaja tidak lagi berminat

dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu berada pada masa

kanak-kanak. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman

meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok

sosial yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial

kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat,

maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol

dibandingkan pengaruh teman-teman.

2. Perubahan dalam perilaku sosial

Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang

paling menonjol terjadi di bidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang

singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai

(41)

daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama

jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun

tingkat sekolah menengah atas.

Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai

kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang

lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik

sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan

pertengkaran menjadi berkurang.

Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial

remaja, semakin terlihat dalam kemampuan berdansa, dalam mengadakan

pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan

berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, remaja

memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan

seimbang dalam situasi sosial.

Bertambah dan berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa

remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja berada dan oleh

sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-teman baiknya. Remaja, sebagai

kelompok, cenderung lebih “pemilih-milih” dalam memilih rekan dan

teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja

yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap

kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang

(42)

cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan

superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar.

3. Pengelompokan sosial baru

Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber

dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain

yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan

kurang melelahkan sehingga terjadi pengelompokan sosial baru.

Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau

akrab dibandingkan dengan pengelompokan anak perempuan yang kecil dan

terumus lebih pasti. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi selama

masa remaja, yaitu:

a. Teman dekat

Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat atau

sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis kelamin yang mempunyai minat

dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama

lain meskipun kadang-kadang juga bertengkar.

b. Kelompok kecil

Kelompok biasa ini terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada

mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis

seks.

c. Kelompok besar

Kelompok besar, yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan

(43)

pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat

berkurang dia antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial

yang lebih besar di antara mereka.

d. Kelompok yang terorganisasi

Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh

sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para

remaja yang tidak mempuyai kelompok besar. Banyak remaja yang

mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya

ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun.

e. Kelompok Geng

Remaja yang tidak termaksud kelompok besar dan yang merasa tidak

puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok

geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat

utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui

perilaku antisosial dengan berlangsungnya masa remaja, terdapat

perubahan pada beberapa pengelompokkan sosial ini. Minat terhadap

kelompok yang terorganisasi yang kegiatannya direncanakan dan diawasi

oleh orang dewasa dengan cepat menurun karena remaja yang dewasa dan

merdeka tidak mau diperintah. Hanya kalau pengendalian kegiatan

diserahkan kepada remaja dengan sedikit orang campur tangan dan nasihat

orang dewasa, minat ini dapat terus berlangsung.

Kelompok yang terlalu banyak anggota cenderung bubar pada akhir

(44)

hubungannya tidak terlampau akrab. Hal ini terutama terdapat pada remaja

yang bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Di tempat

kerja kelompok berhubungan dengan orang-orang dari segala usia yang

sebagian besar mempunyai teman dan keluarga sendiri di luar pekerjaan,

kecuali jikalau remaja mempunyai bekas teman-teman sekolah yang tinggal

atau bekerja di dekat tempat kerjanya sehingga masih dapat berhubungan.

Teman-temannya akan terbatas pada beberapa teman sekerja saja dan

kehilangan hubungan dengan kelompok yang cukup besar.

Pengaruh dari geng cenderung meningkat selama masa remaja. Perilaku

ini sering diungkapkan dengan perilaku pelanggaran yang dilakukan

anggota-anggota geng. Seperti yang diterangkan oleh Friedman, dkk, yaitu

bahwa kekuasaan yang mempengaruhi anggota-anggota geng jalanan

hampir menuntut pengawasan mutlak dari kelompok terhadap perilaku

seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap

anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan geng, atau

kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah.

4. Nilai baru dalam memilih teman

Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya,

baik di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa

kanak-kanak, dan kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi

merupakan faktor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan

teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti

(45)

masalah-masalah dan membahasa hal-hal yang tidak dibicarakan orang tua

ataupun guru.

Dalam suatu penelitian mengenai apa yang diinginkan remaja sebagai

teman, Joseph menunjukan bahwa sebagian besar remaja mengatakan mereka

ingin “seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak berbicara,

seseorang yang dapat diandalakan”. Karena adanya perubahan nilai, maka

teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman di masa remaja.

Para remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman

sejenis. Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan

demikian, pada akhir remaja sering kali para remaja lebih menyukai lawan

jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan

beberapa teman sejenis.

Bagi sebagian besar kawula muda, popularitas berarti mempunyai teman

banyak. Semakin remaja bertambah tua, maka jenis teman menjadi lebih

penting daripada jumlah. Namun terlepas dari jenis teman yang “benar”,

nilai remaja cenderung berubah dari tahun ke tahun, bergantung pada

nilai-nilai yang dianut kelompok dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri saat

itu.

Remaja mengerti apa yang diharapkan dari teman-temannya, sehingga

remaja berkeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan

orang dewasa. Seringkali hal ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu

stabilitas persahabatan remaja. Pertama, karena kurangnya pengalaman

(46)

sesuai, tidak seperti yang diharapkan sehingga pertengkaran sering terjadi dan

kemudian persahabatan mereka bubar.

Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja

cenderung tidak realistis dengan standar yang ia tetapkan untuk

teman-temannya. Remaja menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standar

dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga

menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja

menjadi lebih realistis terhadap orang-orang lain dan diri sendiri. Dengan

demikian, remaja tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima

teman-temannya.

5. Nilai baru dalam penerimaaan sosial

Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga

mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota

berbagai kelompok sebaya seperti kelompok besar atau geng. Nilai ini

terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk

menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai

dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.

Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin

penerimaan sosial selama masa remaja. Penerimaan bergantung pada

sekumpulan sifat dan pola perilaku, yaitu sindroma penerimaan yang

disenangi remaja dan dapat menambah gengsi kelompok besar yang

(47)

Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan

remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat

sindroma aliensi yang membuat orang lain tidak menyukainya atau

menolaknya. Beberapa unsur yang umum dari sindroma penerimaan dan

sindroma aliensi dalam masa remaja, yaitu :

a. Sindroma Peneriman

- Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang

menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira.

- Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.

- Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebayanya.

- Perilaku sosial yang ditandai oleh kerja sama, tanggung jawab, panjang

akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan.

- Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk

mengikuti peraturan-peraturan.

- Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti

jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri.

- Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain

dalam kelompok dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota

keluarga.

- Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah

(48)

b. Sistem Aliensi

- Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang

menarik atau sikap menjauhkan diri, dan yang mementingkan diri sendiri.

- Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif.

- Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok, dalam hal daya

tarik fisik atau tentang kerapihan.

- Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri,

mengganggu, dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat

bekerja sama, dan kurang bijaksana.

- Kurang kematangan, terutama terlihat dalam hal pengendalian emosi,

ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan.

- Sifat-sifat kepribadian yang menggangu orang lain seperti mementingkan

diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.

- Status sosial ekonomi berada di bawah status sosial ekonomi kelompok

dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota kelompok keluarga.

- Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk

berpartisispasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga

atau karena kerja sambilan.

6. Nilai baru dalam memilih pemimpin

Karena remaja merasa bahwa pemimpin kelompok sebaya mewakili

mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan pemimpin yang

berkepemimpinan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang

(49)

macam kelompok pada masa remaja, seperti kelompok atletik, sosial,

intelektual, agama, kelas atau masyarakat, dan pemimpin satu kelompok tidak

perlu mempunyai kemampuan untuk memimpin kelompok lain.

Kepemimpinan sekarang merupakan fungsi dari situasi seperti halnya dalam

kehidupan orang dewasa.

Remaja mengharapakan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat tertentu,

karena jikalau hanya fisik yang baik pada dirinya tidak membuat seorang

menjadi pemimpin. Hal ini memberikan prestise dan memberikan konsep diri

yang baik. Pemimpin remaja harus mempunyai kesehatan yang baik sehingga

bersemangat dan bergairah untuk melakukan sesuatu, dimana hal ini akan

menentukan mutu inisiatif.

Remaja yang sangat memperhatikan pakaian mengharapkan seorang

pemimpin yang menarik dan rapih. Ciri lain dari pemimpin adalah tingkat

intelegensi sedikit di atas rata-rata, prestasi akademik yang baik dan tingkat

kematangan di atas rata-rata.

Pada umumnya, para pemimpin dalam berbagai kegiatan sosial remaja

berasal dari keluarga yang status sosioekonominya lebih tinggi dari status

sosioekonomi keluarga remaja yang buka pemimpin. Keadaan ini tidak hanya

memberikan prestise dalam pandangan teman-teman sebaya, tetapi juga

memungkinkan mereka berpakaian lebih baik dan lebih rapih, memiliki

pengertian tentang berbagai masalah sosial, memiliki kesempatan untuk

(50)

Pemimpin biasanya berperan lebih aktif dan berpartisipasi dalam

kelompok sosial dibandingkan dengan remaja bukan pemimpin, sehingga

pemimpin mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri yang lebih

mendalam. Pemimpin juga dapat menilai diri sendiri secara realistik dan dapat

memperhitungkan minat serta kehendak anggota-anggota kelompok yang

dipimpinnya. Pemimpin tidaklah “terikat pada diri sendiri” dalam artian

sangat memikirkan minat dan masalah pribadi sehingga tidak sempat

memperhatikan minat dan masalah anggota kelompok yang lain.

Faktor utama yang terpenting dalam kepemimpinan adalah kepribadian.

Pemimpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat,

lebih banyak akal, dan lebih mengambil inisiatif dibandingkan yang bukan

pemimpin. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia,

(51)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual Penelitian

Skema 1 : Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan

sosialisasi remaja.

Pola Asuh Orang Tua Perkemban ck,gan Sosialisasi Remaja

(Hurlo 1999)

- kuatnya pengaruh kelompok

teman sebaya

- perubahan dalam perilaku sosial

- pengelompokan sosial baru

- nilai baru dalam memilih teman

- nilai baru dalam penerimaan

sosial

- nilai baru dalam memilih

pemimpin. 1. Otoriter

2. Demokratis

(52)

2.Definisi Operasional 2.1. Variabel Independen

Variabel independen dari penelitian ini adalah tipe pola asuh orang tua,

meliputi pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.

Tabel 3.1

Definisi Operasional Variabel Independen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

a. Otoriter

b. Demokratis

a. Pola asuh otoriter

adalah pola asuh yang

diterapkan oleh orang

a. Pola asuh demokratis

(53)

c. Permisif

orang tua remaja di

SMA Negeri 15

b. Pola asuh permisif

adalah pola asuh

yang diterapkan oleh

orang tua remaja di

(54)

2.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dari penelitian ini adalah perkembangan sosialisasi

remaja.

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel Dependen

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil

Ukur

Skala

Perkembangan

Sosialisasi

Perkembangan Sosialisasi adalah

proses perubahan yang terjadi

pada remaja di SMA Negeri 15

Medan sebagai hasil dari interaksi

sosial dan pembelajaran dari

aturan-aturan sosial.

Sosialisasi remaja berkaitan

dengan kuatnya pengaruh

kelompok teman sebaya,

perubahan dalam perilaku sosial,

pengelompokan sosial baru, nilai

baru dalam memilih teman, nilai

baru dalam penerimaan sosial, dan

nilai baru dalam memilih

pemimpin yang akan diteliti pada

remaja di SMA Negeri 15 Medan.

(55)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode deskriptif

komparatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan

orang tua pada remaja di SMA Negeri 15 Medan, perkembangan sosialisasi

remaja di SMA Negeri 15 Medan, serta mengidentifikasi hubungan antara tipe

pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja dengan perkembangan

sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Adapun

yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 15

Medan sebanyak 357 orang, dengan rincian sebagai berikut

Tabel 4.1

Gambar

Tabel Cross Tab Pola Asuh Otoriter dengan Sosialisasi
Tabel 3.1
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Dependen
Tabel 4.1 Jumlah Populasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh efektivitas iklan terhadap sikap konsumen, efektivitas iklan terhadap keyakinan

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara koreografi Nong Anggrek termasuk dalam tari kreasi kelompok dan kreatifitas terlihat pada pribadi Sherly Fatmarita serta

[r]

1) Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak memiliki sifat

• Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4%

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk membuat website KODAM JAYA yang dapat digunakan sebagai informasi tentang organisasi ini. Dalam penulisan ilmiah ini akan dibahas bagaimana

Program PAUD menyampaikan laporan hasil penilaian kepada orangtua peserta didik dengan frekuensi pelaporan:. Setiap minggu Ya

[r]