Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan
Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan
SKRIPSI
Dewi Sartika Panjaitan 081101030
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan penyertaanNya sehingga penulis dapat penelitian dan penulisan skripsi yang
berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi
Remaja di SMA Negeri 15 Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes
selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku
Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan USU.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Darwin Siregar,
M.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan yang telah memberikan izin
penelitian dan guru kelas yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep,
Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi
yang telah memotivasi dan menuntun penulis dalam menjalani masa kuliah dan
menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Cholina
Trisa Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I, Ibu Siti Saidah
Nasution, SKp, M.Kep, Sp.Mat selaku dosen penguji II, dan Ibu Siti Zahara
Nasution , S.Kp, MNS selaku dosen uji validitas.
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak
tercinta, Papa (Kapten. Inf. G. Panjaitan) dan Mama (B. Simanjuntak, S.Pd) yang
senantiasa dengan penuh cinta mendukung dan memberikan segala hal yang
terbaik untuk saya. Terima kasih kepada Kakak Roselyna R. D. Panjaitan, S.Pd
dan adik Frans Heryanto Panjaitan untuk setiap dukungan, perhatian, dan
motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih kepada teman seperjuangan stambuk 2008, terkhusus
kelompok B buat kebersamaannya selama ini. Terimakasih kepada sahabatku
Yemima Dayfiventy, Christine Handayani Siburian, Martia Lindawaty Tondang,
dan Juliana Pardede untuk dukungan dan perhatiannya selama ini yang
mengajarkanku banyak hal dalam menghadapi dunia perkuliahan. Terima kasih
kepada Ririn Sartika Dewi untuk kehadirannya yang selalu memberi semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini, dan terima kasih kepada Sophie Devita Sihotang
selaku teman seperjuangan dalam melakukan penelitian di SMA Negeri 15
Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak Tiomsi Hernawati
Hutagalung, SH dan kakak Nita Riany Sitio, SE untuk dukungan doanya selama
ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di Komisi
Pemuda GKI Sumut Medan untuk kebersamaaan dan dukungannnya dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh kasih
melimpahkan berkat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan ... ii
Kata Pengantar………. iii
Daftar Isi ... v
Daftar Skema ... viii
Daftar Tabel ... ix
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh ... 8
BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 39
2. Defenisi Operasional ... 40
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 43
2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 43
2.1. Populasi ... 43
2.2 Sampel ... 44
2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
5. Instrumen Penelitian ... 46
5.1. Data Demografi ... 46
5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 46
5.3. Kuesioner Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 47
5.4. Uji Validitas Instrumen ... 48
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 54
1.1 Karakteristik Responden ... 54
1.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 57
1.3 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 57
1.4 Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57
2. Pembahasan ... 60
2.1 Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 60
2.2 Perkembangan Sosialisasi Remaja ... 67
2.3 HubunganTipe Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 78
2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lembar Persetujuan Responden (Inform Consent) 2. Instrumen Penelitian
3. Jadwal Penelitian 4. Taksasi Dana Penelitian 5. Lembar Bukti Bimbingan 6. Daftar Riwayat Hidup
7. Uji Reliabilitas Instrumen Pola Asuh Orang Tua
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Independen ... 40
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Dependen ... 42
Tabel 3. Jumlah Populasi ... 43
Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Berdasarkan Karakteristik
Responden ……... 56
Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Tipe Pola Asuh Orang Tua
di SMA Negeri 15 Medan ... 57
Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perkembangan Sosialisasi
Remaja di SMA Negeri 15 Medan ... 57
Tabel 7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Orang Tua dengan
Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan …… 58
Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Otoriter dengan Perkembangan
Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 58
Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan
Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan ………. 59
Tabel 8. Hubungan Tipe Pola Asuh Permisif dengan Perkembangan
Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan
Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan
NIM : 081101030
Jurusan : Keperawatan
Tahun : 2012
Abstrak
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.
Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan
Name : Dewi Sartika Panjaitan
NIM : 081101030
Department : Bachelor of Nursing (S.Kep)
Year : 2012
Abstract
Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.
Judul : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan
Peneliti : Dewi Sartika Panjaitan
NIM : 081101030
Jurusan : Keperawatan
Tahun : 2012
Abstrak
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian dan sosialisasi semua usia, termasuk remaja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian deskriptif komparatif ini menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 90 orang. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang mencangkup data demografi, pola asuh orang tua, dan perkembangan sosialisasi remaja. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012. Hasil analisa menunjukkan bahwa 74 responden (82,22%) memiliki tipe pola asuh demokratis, dan 79 responden memiliki pola asuh yang baik (87,78%). Analisa statistik bivariat diperoleh bahwa terdapat hubungan yabg signifikan antara dua pola asuh, yaitu tipe pola asuh otoriter dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,032) dan pola asuh demokratis dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,000). Sedangkan untuk pola asuh permisif, didapat bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan sosialisasi remaja (p value = 0,242). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang terkait dengan hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi remaja. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, peneliti berikutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan sosialisasi remaja.
Title : Relationship between parenting parent with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan
Name : Dewi Sartika Panjaitan
NIM : 081101030
Department : Bachelor of Nursing (S.Kep)
Year : 2012
Abstract
Parenting parents have an influence on personality and socialization all of ages, including adolescents. The study aims to determine the relationship between parenting parents with adolescent socialization in SMA Negeri 15 Medan. This comparative descriptive study used simple random sampling technique with a large sample of 90 people. The research instruments used in the form of a questionnaire that included demographics data, type of parenting parent, and adolescent socialization . The data was collected on May 8, 2012. Results of analysis showed that 74 respondents (82.22%) having democratic parenting, and 79 respondent (87,78%) having good adolescent socialization. Bivariate statistical analysis showed that there was a significant relationship between authoritarian parenting with adolescent socialization, obtained p value = 0.032. From statistical analysis found that there is a relationship between democratic parenting teens with socialization with p value = 0.000. Based on statistical analysis found that there is no relationship between permissive parenting to the development of adolescent socialization, with p value = 0.24. The results of this study is expected to be a source of data for the next researchers who wanted to conduct research related to parenting parents relationship with the adolescent socialization. As a recommendation for further research, the next researcher to examine the factors influence adolescent socialization.
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh
hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu
berinteraksi satu sama lain (Mubarak, 2009). Keluarga merupakan lembaga
pertama dalam kehidupan seorang anak, tempat belajar segala sesuatu dan
menyatakan diri sebagai mahluk sosial (Kartono, 1992 dalam Yusniah, 2008).
Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Dalam keluarga umumnya anak dan orang tua memiliki hubungan interaksi yang
intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan anak. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang dapat menjalankan
peran dan fungsi dari keluarga tersebut dengan baik sehingga akan terwujud
hidup yang sejahtera. Untuk dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera, faktor
dalam keluarga yang mempunyai peranan penting adalah penerapan pola asuh
orang tua (Hisyam, 1994 dalam Sipahutar, 2009).
Pola asuh merupakan suatu proses mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma dalam masyarakat. Baumrind (1978 dalam Santrock, 2007)
mengklasifikasikan gaya-gaya pola asuh ke dalam gaya yang bersifat otoriter,
demokratis, dan permisif. Gaya orang tua yang permisif dicirikan oleh sifat
menerima dan tidak menghukum dalam menghadapi perilaku anak-anak. Gaya
orang tua. Gaya demokratis menekankan suatu cara yang rasional, berorientasi
kepada isu “memberi dan menerima.”
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan
sosial semua usia tumbuh kembang, termaksud pada remaja. Anwar dan Kasmih
Astuti (2004 dalam Sujoko, 2011) dalam penelitiannya tentang pola asuh, tipe
kepribadian dan disiplin remaja menunjukkan bahwa pola asuh yang diberikan
oleh orang tua kepada anaknya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku disiplin
dan kepribadian anak. Selain itu, Lestari (2006) dalam penelitiannya tentang
hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan moral remaja menunjukkan
bahwa pola asuh mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral
remaja. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola asuh
demokratis dengan perkembangan moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai
signifikansi sebesar 0,007 dan nilai korelasi Spearman sebesar 0,226. Pola asuh
otoriter juga mempunyai hubungan dengan perkembangan mora remaja, yakni
dengan diperolehnya nilai signifikansi 0,024 dan nilai korelasi Spearman sebesar
0,188. Selain itu, ada hubungan antara pola asuh permisif dengan perkembangan
moral remaja, yaitu dengan diperolehnya nilai signifikansi sebesar 0,003 dan nilai
korelasi Spearman sebesar 0,243.
Orang tua dalam menerapkan pola asuh kepada anak tujuan sebenarnya
adalah bukan memberikan hukuman terhadap tindakan-tindakan yang salah,
melainkan membantu anak-anak khususnya remaja untuk mengontrol perilaku
mereka sendiri, mengembangkan disiplin diri, menerima tanggung jawab atas
perasaan dari orang lain. Pola asuh dapat bekerja sangat baik ketika pola ini
diterapkan pada anak secara individu dan dalam situasi yang spesifik sehingga
dapat terbina hubungan yang baik antar remaja dan orang tua (Soetjiningsih, 2004
dalam Sipahutar, 2009).
Hubungan yang baik antara orang tua dan remaja akan membantu pembinaan
diri remaja dalam upaya menyelesaikan setiap tugas perkembangan remaja. Tugas
perkembangan yang paling penting pada saat remaja adalah perkembangan
sosialisasi, yakni kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam
perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai baru dalam memilih teman, nilai
baru dalam penerimaan sosial, dan nilai baru dalam memilih pemimpin (Hurlock,
1999). Perkembangan sosialisasi remaja yang buruk dapat menimbulkan masalah
pada masa remaja, seperti pergi keluar rumah untuk mencari penyaluran dari
kecemasan dan kegoncangan jiwanya kepada teman-teman yang senasib atau para
remaja yang memahaminya. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan remaja
mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif akibat dari perkembangan sosialisasi
yang tidak baik (Panuju, 1999 dalam Sipahutar, 2009).
Masa remaja menjadi masa yang penting karena merupakan masa transisi
dimana terjadi peralihan dari masa kanak-kanak kemasa remaja dan masa transisi
inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil (storm and stress). Masa
transisi memungkinkan timbulnya masa krisis yang biasanya ditandai dengan
kecenderungan munculnya perilaku-perilaku menyimpang (Hurlock, 1999).
Salah satu bukti perilaku menyimpang yang dilakukan remaja adalah seperti
bahwa kenakalan remaja saat ini cukup untuk mendapat perhatian serius, selain
tawuran pelajar, narkoba, pergaulan bebas, juga masalah geng motor yang
menjadi perhatian serius dari berbagai pihak (Eldin, 2011). Hal ini terbukti
dengan sering terjadinya tawuran antar pelajar, seperti tawuran pelajar antara
pelajar SMUN 1 Medan dengan pelajar SMU Swasta Methodis di Jalan Cik Ditiro
yang terjadi pada Senin, 24 Januari 2011 (Kito, 2011). Selain itu, tawuran antar
pelajar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama pun terjadi, yaitu
antar pelajar SMPN 13 Medan dan SMAN 8 Medan dengan SMP dan SMA
Letjen S Parman yang terjadi di Jalan Wahidin Medan pada tanggal 18 November
2011. Tawuran antar pelajar ini terjadi akibat adanya tindakan saling mengejek
antar pelajar yang berbeda sekolah yang memicu kemarahan pelajar (Banjarnahor,
2011). Tingkat kenakalan remaja terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini
terbukti dari seringnya kita melihat tawuran antar remaja yang terus disiarkan di
telivisi baik di Medan maupun di daerah lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan data diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh orang tua dengan
perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan. Peneliti memilih
SMA karena siswa SMA merupakan remaja yang sesuai dengan tujuan penelitian,
dan SMA Negeri 15 Medan adalah salah satu sekolah menengah atas yang
siswanya berasal dari lingkup dan lingkungan yang berbeda sehingga
memungkinkan orang tua siswa menerapkan pola asuh yang berbeda. Hal ini juga
akan menjadikan setiap remaja memiliki perkembangan sosialisasi yang berbeda
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik
untuk memilih judul penelitian yakni “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan
Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan”.
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah yang ada, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
1. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan
sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?
2. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan
sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?
3. Apakah ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan
sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?
4. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian yang diharapkan pada penelitian ini adalah
1. Ada hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perkembangan sosialisasi
remaja di SMA Negeri 15 Medan ?
2. Ada hubungan pola asuh orang tua demokratis dengan perkembangan
sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan ?
3. Ada hubungan pola asuh orang tua permisif dengan perkembangan sosialisasi
5. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
5.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan sosialisasi
remaja di SMA Negeri 15 Medan.
5.2. Tujuan Khusus
5.2.1. Mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan orang tua pada remaja yang
terdiri dari pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif di SMA Negeri 15
Medan.
5.2.2. Mengidentifikasi perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15
Medan.
5.2.3. Mengidentifikasi hubungan pola asuh yang diterapkan orang tua yang
terdiri dari pola asuh pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif pada
remaja dengan perkembangan sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.
6. Manfaat Penelitian
6.1. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk
persiapan materi penyuluhan yang berguna untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan anak dan keluarga.
6.2. Pelayanan Keperawatan
Mengetahui lebih dalam mengenai perkembangan psikososial remaja
pemberian pelayanan yang tepat apabila berhadapan dengan pengguna jasa
pelayanan keperawatan, khususnya remaja.
6.3 Penelitian Berikutnya
Dapat memberikan informasi bagi peneliti berikutnya mengenai pengaruh
pola asuh orang tua terhadap perkembangan sosialisasi remaja dan tipe pola asuh
yang diterapkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya di dalam keluarga.
6.4. Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi
keluarga, khususnya orang tua agar dapat menentukan pola asuh yang tepat untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pola Asuh
1.1.Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu
bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing
anak kecil. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan
sehari-hari.
Pengertian pengasuhan menurut Porwadarminto (dalam Amal, 2005) adalah
orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola.
Sedangkan pengertian mengasuh anak menurut Darajat (dalam Amal, 2005)
adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya,
pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa.
Pengasuhan adalah kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak
berkaitan dengan kepentingan hidupnya.
1.2. Tipe Pola Asuh Orang Tua
Menurut Diana Baumrind (1971, dalam Santrock, 2005), ada empat gaya
pengasuhan, yaitu :
1. Pengasuhan Otoriter
Pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menguhukum,
menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter
menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir
perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul
anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan
menunjukan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali
tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang
lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi
yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif.
2. Pengasuhan Demokrasi
Pengasuhan demokrasi mendorong anak untuk mandiri namun masih
menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal
memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan
penyanyang terhadap anak. Orang tua yang demokrasi mungkin merangkul
anak dengan mesra. Orang tua yang demokrasi mungkin menunjukkan
kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku anak yang
dewasa, mandiri, dan ceria, bisa mengendalikan diri dan berorientasi, dan
berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan
hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang
dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.
3. Pengasuhan yang Mengabaikan/Permisif
Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang
daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan
sosial dan banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan
tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak
dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka
mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.
4. Pengasuhan yang Menuruti/Neglectful
Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua
sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol
mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia
inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri
dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja
membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa
kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan
menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki
orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin
mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam
berhubungan dengan teman sebaya.
Menurut Elizabet B. Hurlock (1999) ada beberapa sikap orang tua yang khas
dalam mengasuh anaknya, antara lain :
1. Melindungi secara berlebihan.
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan
2. Permisivitas
Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka
hati dengan sedikit pengendalian.
3. Memanjakan
Permisivitas yang berlebih, memanjakan membuat anak egois dan menuntut
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau
dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang
terbuka.
5. Penerimaan
Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada
anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan
anak dan memperhitungkan minat anak.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur,
sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi
orang lain, mengalah dan sangat sensitif.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama
rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih
menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga.
9. Ambisi orang tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali
sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh
ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka
naik di tangga status sosial
Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes (1986 dalam Yusniah, 2008)
mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga,
yaitu :
a. Otoriter
Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan
kebebasan anak sangat di batasi.
b. Demokratis
Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
c. Permisif
Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku
sesuai dengan keinginannya sendiri.
Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya
permisif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih
terfokus dan jelas.
1. Otoriter
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), otoriter berarti berkuasa
sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003 dalam
Yusniah, 2008), pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut
anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh
orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya
sendiri.
Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua
dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus
ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak, serta
orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak
hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau
membantah, maka orang tua tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam
hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi karena apa saja yang dilakukan anak
harus sesuai dengan keinginan orang tua. (Yusniah, 2008)
Menurut Parsono (1994 dalam Yusniah, 2008), pada pola asuhan ini akan
terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan
menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan
anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua karena
menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan
karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi
kehidupannya kelak.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat
mempengaruhi proses pendidikan anak, terutama dalam pembentukan
kepribadiannya karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak),
belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992
dalam Yusniah, 2008) mengemukakan bahwa sikap orang tua yang otoriter paling
tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak
menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas
dan kurang percaya diri.
Menurut Abu Ahmadi (1991 dalam Yusniah, 2008) perkembangan anak itu
semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter
biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di
dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah
yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan
orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala
tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan.
Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang
sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan tidak akan
mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat
kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan
pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala
mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena kepercayaan terhadap diri
sendiri tidak ada. Setelah dewasapun anak akan terus mencari bantuan,
perlindungan dan pengamanan (Yusniah, 2008).
Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri
dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut :
1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh
membantah.
2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian
menghukumnya.
3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak.
4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak
dianggap pembangkang.
5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya
sebagai pelaksana.
7) Tidak ada komunikasi dua arah antara orang tua dan anak
2. Demokratis
Menurut Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008), pola asuh
demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan
peraturan-peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh
demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai
penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh
demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan
pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas
atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua (Yusniah, 2008)
Orang tua selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh
pengertian terhadap anak. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan
pertimbangan terhadap aktivitas anak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan
lemah lembut dan penuh kasih sayang. Pola asuh ini ditandai dengan adanya sikap
terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui
bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan
keinginanya, serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Jadi,
dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak
(Yusniah, 2008)
Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh
ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Dengan pola
asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya
sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong
anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri
sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang
anaknya untuk mampu berinisiatif (Yatim, 1991 dalam Yusniah, 2008)
Rumah tangga yang hangat dan demokratis berarti bahwa orang tua
merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar
kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak.
Sasaran orang tua ialah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat
menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang
patuh tanpa pertanyaan (Beck, 1992 dalam Yusniah, 2008)
Pendapat Fromm (dalam Yusniah, 2008) bahwa anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat
menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam
suasana otoriter, memandang kekuasan sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Ini
mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau
justru sikap menentang kekuasaan.
Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993), dan Nur
Hidayah dkk (1995) ( dalam Yusniah, 2008) adalah bahwa dalam pola asuh dan
sikap orang tua yang demokratis terjadinya komunikasi yang dialogis antara anak
dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima
oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang
merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka untuk memahami,
menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk
diapresiasikan berdasarkan kata hati.
Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri
pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
1)Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti
2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan
yang tidak baik agar di tinggalkan.
3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.
4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.
5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta
sesama keluarga.
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis
mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh
otoriter maupun permisif. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang
yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain,
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap
kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam
pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan
berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu
macam pola (Yusniah, 2008).
3. Permisif
Menurut Poebakawatja (1976 dalam Yusniah, 2008), permisif adalah suatu
sistem di mana pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut
campur). Pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak
untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah
memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan
kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya
menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya
sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.
Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas.
Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya.
Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang
diinginkannya karena kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua
seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola
asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah,
ketergantungan dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional (Yusniah, 2008).
Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia
diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah
ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut
mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku
mereka dan ketika mereka kecewa, mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan
bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan dan
hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam
antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata (Hauck, 1993
dalam Yusniah, 2008).
Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri
pola asuh permisif adalah sebagai berikut :
1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan
untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma
yang digariskan orang tua).
5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga
Menurut Mohammad Shochib (1998 dalam Yusniah, 2008), setiap tipe
pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang
memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung
jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin
memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah
kenakalan remaja. Akan tetapi, anak tersebut cenderung tumbuh menjadi pribadi
yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul
dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki
depresi yang lebih tinggi.
Sementara pola asuh permisif membuat anak merasa boleh berbuat
sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar,
kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah, tetapi juga akan lebih
mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di
sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.
Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam
menciptakan karyanya. Oleh karena itu, pola asuh yang dianggap lebih cocok
untuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya adalah demokratis. Dalam
pola asuh ini, orang tua memberi kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas
dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga
dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang
tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa
berusaha mendiktenya (Shochib, 1998 dalam Yusniah, 2008).
2. Remaja
2.1. Pengertian Remaja
John W. Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja
dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga
22 tahun. Sedangkan menurut PBB, remaja adalah individu yang berada dalam
rentang usia 15-24 tahun.
2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting
selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut
adalah :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting.
Dianggap periode yang penting karena akibatnya yang langsung terhadap
sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Awal masa
remaja ditandai dengan perkembangan fungsi fisik dan perkembangan mental
yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan
b. Masa remaja sebagai periode peralihan.
Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan
berikutnya. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja
mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya
penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan.
Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :
1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi.
2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
menimbulkan masalah baru.
3) Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilai-nilai.
4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi takut bertanggung
jawab.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah
namun merasa dirinya mandiri untuk mengatasi masalahnya sendiri sehingga
menolak bantuan orang lain. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalahnya
sendiri mengakibatkan penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan yang
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.
Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa perannya didalam masyarakat, apakah ia seorang anak-anak atau orang
dewasa. Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan
kelompok masih tetap penting namun lambat laun mulai mendambakan
identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam
segala hal.
Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu
adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil,
pakaian, dan barang-barang mewah lain, sementara pada saat yang sama ia
mempertahankan identitas dirinya didalam kelompok dengan mengikuti apa
yang dilakukan kelompok seperti merokok dan minum minuman keras.
f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.
Stereotip yang berlaku dalam masyarakat berfungsi sebagai cermin yang
ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja
sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja
membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip
tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan
yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri
pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok,
minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam
perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan
memberikan citra yang mereka inginkan.
2.3 Tugas Perkembangan Remaja
Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas
perkembangan merupakan pengharapan atas apa yang akan dilakukan oleh
individu pada masa perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan bersifat
normatif, tepat waktu, dan diharapkan, serta diantisipasi oleh individu.
Tugas-tugas perkembangan harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke
tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam
memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas
perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya atau individu tersebut akan
mengalami kesulitan untuk meyelesaikannnya di waktu yang lain atau
melaksanakan tugas perkembangan pada tahap yang lebih lanjut (Hurlock, 1999).
Adapun tugas perkembangan remaja menurut Marheni (2004 dalam
Soetjiningsih, 2004), yaitu :
1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa
dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin.
2. Memperoleh peran sosial.
4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua.
5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.
6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
8. Mengembangkan dan membentuk kemampuan konsep-konsep moral.
Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu :
1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita.
2. Mencapai peran sosial pria dan wanita
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
6. Mempersiapkan karier ekonomi.
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku dan mengembangkan ideologi.
3. Perkembangan Sosialisasi 3.1. Pengertian Sosialisasi Remaja
Menurut Hurlock (1999), pengertian sosialisasi adalah perolehan kemampuan
berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Nur’aeni (1997 dalam Junita,
2006), sosialisasi adalah suatu proses seseorang belajar berperilaku sesuai dengan
Soelaeman (2001 dalam Junita, 2006), sosialisasi diartikan sebagai proses
yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri bagaimana cara
hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan
berfungsi dalam. Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak
ditentukan melalui interaksi sosial (Khairudin, 1997 dalam Junita, 2006).
Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus
individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif
masyarakat dan lingkungan. (Munandar, 1985 dalam Junita, 2006).
3.2. Perubahan Sosial Remaja
Bertrand (1980 dalam Hurlock, 1999) proses sosialisasi membuat seseorang
menjadi tahu bagaimana ia harus bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat
dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi seorang anak akan menjadi
masyarakat yang beradab (Hurlock, 1999).
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah
(Hurlock, 1999).
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
banyak penyesuaian baru. Perubahan sosial yang terjadi remaja menurut Hurlock
1. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan
teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa
pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan,
dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar
remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama
dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan untuk
diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota
kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka
remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka
sendiri sebagai akibatnya.
Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan pengaruh
teman sebaya pada masa remaja sebagai berikut :
Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan
panggung di mana remaja dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam
kelompok sebaya, remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya.
Disinilah remaja dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang
tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia orang dewasa yang justru ingin
dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda
dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku
bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman
seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh
menemukan dunia yang memungkinkannnya bertindak sebagai pemimpin
apabila mampu melakukannya. Selain itu, kelompok kelompok sebaya
merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Kelompok sebaya
terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat
menerimanya dan yang kepadanya remaja bergantung.
Keremajaan memiliki sifat yang selalu maju, maka kelompok sebaya
pun mulai akan berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian
besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin
dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri
yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja.
Faktor kedua timbul dari akibat pemilihan sahabat. Remaja tidak lagi berminat
dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu berada pada masa
kanak-kanak. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman
meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok
sosial yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial
kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat,
maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol
dibandingkan pengaruh teman-teman.
2. Perubahan dalam perilaku sosial
Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang
paling menonjol terjadi di bidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang
singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai
daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama
jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun
tingkat sekolah menengah atas.
Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai
kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang
lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik
sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan
pertengkaran menjadi berkurang.
Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial
remaja, semakin terlihat dalam kemampuan berdansa, dalam mengadakan
pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan
berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, remaja
memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan
seimbang dalam situasi sosial.
Bertambah dan berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa
remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja berada dan oleh
sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-teman baiknya. Remaja, sebagai
kelompok, cenderung lebih “pemilih-milih” dalam memilih rekan dan
teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja
yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap
kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang
cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan
superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar.
3. Pengelompokan sosial baru
Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber
dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain
yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan
kurang melelahkan sehingga terjadi pengelompokan sosial baru.
Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau
akrab dibandingkan dengan pengelompokan anak perempuan yang kecil dan
terumus lebih pasti. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi selama
masa remaja, yaitu:
a. Teman dekat
Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat atau
sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis kelamin yang mempunyai minat
dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama
lain meskipun kadang-kadang juga bertengkar.
b. Kelompok kecil
Kelompok biasa ini terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada
mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis
seks.
c. Kelompok besar
Kelompok besar, yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan
pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat
berkurang dia antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial
yang lebih besar di antara mereka.
d. Kelompok yang terorganisasi
Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh
sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para
remaja yang tidak mempuyai kelompok besar. Banyak remaja yang
mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya
ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun.
e. Kelompok Geng
Remaja yang tidak termaksud kelompok besar dan yang merasa tidak
puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok
geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat
utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui
perilaku antisosial dengan berlangsungnya masa remaja, terdapat
perubahan pada beberapa pengelompokkan sosial ini. Minat terhadap
kelompok yang terorganisasi yang kegiatannya direncanakan dan diawasi
oleh orang dewasa dengan cepat menurun karena remaja yang dewasa dan
merdeka tidak mau diperintah. Hanya kalau pengendalian kegiatan
diserahkan kepada remaja dengan sedikit orang campur tangan dan nasihat
orang dewasa, minat ini dapat terus berlangsung.
Kelompok yang terlalu banyak anggota cenderung bubar pada akhir
hubungannya tidak terlampau akrab. Hal ini terutama terdapat pada remaja
yang bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Di tempat
kerja kelompok berhubungan dengan orang-orang dari segala usia yang
sebagian besar mempunyai teman dan keluarga sendiri di luar pekerjaan,
kecuali jikalau remaja mempunyai bekas teman-teman sekolah yang tinggal
atau bekerja di dekat tempat kerjanya sehingga masih dapat berhubungan.
Teman-temannya akan terbatas pada beberapa teman sekerja saja dan
kehilangan hubungan dengan kelompok yang cukup besar.
Pengaruh dari geng cenderung meningkat selama masa remaja. Perilaku
ini sering diungkapkan dengan perilaku pelanggaran yang dilakukan
anggota-anggota geng. Seperti yang diterangkan oleh Friedman, dkk, yaitu
bahwa kekuasaan yang mempengaruhi anggota-anggota geng jalanan
hampir menuntut pengawasan mutlak dari kelompok terhadap perilaku
seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap
anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan geng, atau
kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah.
4. Nilai baru dalam memilih teman
Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya,
baik di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa
kanak-kanak, dan kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi
merupakan faktor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan
teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti
masalah-masalah dan membahasa hal-hal yang tidak dibicarakan orang tua
ataupun guru.
Dalam suatu penelitian mengenai apa yang diinginkan remaja sebagai
teman, Joseph menunjukan bahwa sebagian besar remaja mengatakan mereka
ingin “seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak berbicara,
seseorang yang dapat diandalakan”. Karena adanya perubahan nilai, maka
teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman di masa remaja.
Para remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman
sejenis. Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan
demikian, pada akhir remaja sering kali para remaja lebih menyukai lawan
jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan
beberapa teman sejenis.
Bagi sebagian besar kawula muda, popularitas berarti mempunyai teman
banyak. Semakin remaja bertambah tua, maka jenis teman menjadi lebih
penting daripada jumlah. Namun terlepas dari jenis teman yang “benar”,
nilai remaja cenderung berubah dari tahun ke tahun, bergantung pada
nilai-nilai yang dianut kelompok dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri saat
itu.
Remaja mengerti apa yang diharapkan dari teman-temannya, sehingga
remaja berkeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan
orang dewasa. Seringkali hal ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu
stabilitas persahabatan remaja. Pertama, karena kurangnya pengalaman
sesuai, tidak seperti yang diharapkan sehingga pertengkaran sering terjadi dan
kemudian persahabatan mereka bubar.
Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja
cenderung tidak realistis dengan standar yang ia tetapkan untuk
teman-temannya. Remaja menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standar
dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga
menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja
menjadi lebih realistis terhadap orang-orang lain dan diri sendiri. Dengan
demikian, remaja tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima
teman-temannya.
5. Nilai baru dalam penerimaaan sosial
Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga
mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota
berbagai kelompok sebaya seperti kelompok besar atau geng. Nilai ini
terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk
menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai
dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.
Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin
penerimaan sosial selama masa remaja. Penerimaan bergantung pada
sekumpulan sifat dan pola perilaku, yaitu sindroma penerimaan yang
disenangi remaja dan dapat menambah gengsi kelompok besar yang
Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan
remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat
sindroma aliensi yang membuat orang lain tidak menyukainya atau
menolaknya. Beberapa unsur yang umum dari sindroma penerimaan dan
sindroma aliensi dalam masa remaja, yaitu :
a. Sindroma Peneriman
- Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang
menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira.
- Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.
- Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebayanya.
- Perilaku sosial yang ditandai oleh kerja sama, tanggung jawab, panjang
akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan.
- Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk
mengikuti peraturan-peraturan.
- Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti
jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri.
- Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain
dalam kelompok dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota
keluarga.
- Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah
b. Sistem Aliensi
- Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang
menarik atau sikap menjauhkan diri, dan yang mementingkan diri sendiri.
- Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif.
- Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok, dalam hal daya
tarik fisik atau tentang kerapihan.
- Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri,
mengganggu, dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat
bekerja sama, dan kurang bijaksana.
- Kurang kematangan, terutama terlihat dalam hal pengendalian emosi,
ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan.
- Sifat-sifat kepribadian yang menggangu orang lain seperti mementingkan
diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.
- Status sosial ekonomi berada di bawah status sosial ekonomi kelompok
dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota kelompok keluarga.
- Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk
berpartisispasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga
atau karena kerja sambilan.
6. Nilai baru dalam memilih pemimpin
Karena remaja merasa bahwa pemimpin kelompok sebaya mewakili
mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan pemimpin yang
berkepemimpinan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang
macam kelompok pada masa remaja, seperti kelompok atletik, sosial,
intelektual, agama, kelas atau masyarakat, dan pemimpin satu kelompok tidak
perlu mempunyai kemampuan untuk memimpin kelompok lain.
Kepemimpinan sekarang merupakan fungsi dari situasi seperti halnya dalam
kehidupan orang dewasa.
Remaja mengharapakan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat tertentu,
karena jikalau hanya fisik yang baik pada dirinya tidak membuat seorang
menjadi pemimpin. Hal ini memberikan prestise dan memberikan konsep diri
yang baik. Pemimpin remaja harus mempunyai kesehatan yang baik sehingga
bersemangat dan bergairah untuk melakukan sesuatu, dimana hal ini akan
menentukan mutu inisiatif.
Remaja yang sangat memperhatikan pakaian mengharapkan seorang
pemimpin yang menarik dan rapih. Ciri lain dari pemimpin adalah tingkat
intelegensi sedikit di atas rata-rata, prestasi akademik yang baik dan tingkat
kematangan di atas rata-rata.
Pada umumnya, para pemimpin dalam berbagai kegiatan sosial remaja
berasal dari keluarga yang status sosioekonominya lebih tinggi dari status
sosioekonomi keluarga remaja yang buka pemimpin. Keadaan ini tidak hanya
memberikan prestise dalam pandangan teman-teman sebaya, tetapi juga
memungkinkan mereka berpakaian lebih baik dan lebih rapih, memiliki
pengertian tentang berbagai masalah sosial, memiliki kesempatan untuk
Pemimpin biasanya berperan lebih aktif dan berpartisipasi dalam
kelompok sosial dibandingkan dengan remaja bukan pemimpin, sehingga
pemimpin mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri yang lebih
mendalam. Pemimpin juga dapat menilai diri sendiri secara realistik dan dapat
memperhitungkan minat serta kehendak anggota-anggota kelompok yang
dipimpinnya. Pemimpin tidaklah “terikat pada diri sendiri” dalam artian
sangat memikirkan minat dan masalah pribadi sehingga tidak sempat
memperhatikan minat dan masalah anggota kelompok yang lain.
Faktor utama yang terpenting dalam kepemimpinan adalah kepribadian.
Pemimpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat,
lebih banyak akal, dan lebih mengambil inisiatif dibandingkan yang bukan
pemimpin. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia,
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual Penelitian
Skema 1 : Kerangka konsep hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan
sosialisasi remaja.
Pola Asuh Orang Tua Perkemban ck,gan Sosialisasi Remaja
(Hurlo 1999)
- kuatnya pengaruh kelompok
teman sebaya
- perubahan dalam perilaku sosial
- pengelompokan sosial baru
- nilai baru dalam memilih teman
- nilai baru dalam penerimaan
sosial
- nilai baru dalam memilih
pemimpin. 1. Otoriter
2. Demokratis
2.Definisi Operasional 2.1. Variabel Independen
Variabel independen dari penelitian ini adalah tipe pola asuh orang tua,
meliputi pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Independen
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
a. Otoriter
b. Demokratis
a. Pola asuh otoriter
adalah pola asuh yang
diterapkan oleh orang
a. Pola asuh demokratis
c. Permisif
orang tua remaja di
SMA Negeri 15
b. Pola asuh permisif
adalah pola asuh
yang diterapkan oleh
orang tua remaja di
2.2 Variabel Dependen
Variabel dependen dari penelitian ini adalah perkembangan sosialisasi
remaja.
Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Dependen
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil
Ukur
Skala
Perkembangan
Sosialisasi
Perkembangan Sosialisasi adalah
proses perubahan yang terjadi
pada remaja di SMA Negeri 15
Medan sebagai hasil dari interaksi
sosial dan pembelajaran dari
aturan-aturan sosial.
Sosialisasi remaja berkaitan
dengan kuatnya pengaruh
kelompok teman sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial,
pengelompokan sosial baru, nilai
baru dalam memilih teman, nilai
baru dalam penerimaan sosial, dan
nilai baru dalam memilih
pemimpin yang akan diteliti pada
remaja di SMA Negeri 15 Medan.
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode deskriptif
komparatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh yang diterapkan
orang tua pada remaja di SMA Negeri 15 Medan, perkembangan sosialisasi
remaja di SMA Negeri 15 Medan, serta mengidentifikasi hubungan antara tipe
pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja dengan perkembangan
sosialisasi remaja di SMA Negeri 15 Medan.
2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 2.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Adapun
yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 15
Medan sebanyak 357 orang, dengan rincian sebagai berikut
Tabel 4.1