• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

5.1 Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Pemanfaatan

Pada analisis univariat didapatkan bahwa responden dengan pengetahuan baik sebesar 32%. Penelitian Thaha (1990) di Ujung Pandang mendapatkan hasil dimana frekuensi ibu balita dengan pengetahuan baik sebesar 51,1%. Penelitian Juarsa (2003) di Kabupaten Pandeglang mendapatkan bahwa frekuensi pengetahuan ibu balita sebesar 56,3%. Penelitian Yamin (2003) di Kota Sukabumi mendapatkan 63% ibu balita mempunyai pengetahuan baik.

Hasil analisis bivariat terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan tingkat pemanfaatan posyandu (p = 0,008). Tetapi analisis multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dengan tingkat pemanfaatan posyandu dengan nilai p = 0,239 (α=0,05) dan OR0,58 dengan 95% CI=0,24-1,43. Kemungkinan ibu berpengetahuan kurang baik untuk memanfaatkan posyandu pada tingkat kurang 58/100 kali lebih tinggi dibanding memanfaatkan posyandu tingkat baik atau cukup pada kelompok ibu berpengetahuan baik setelah dikontrol dengan variabel dukungan suami, jumlah balita, dan pendidikan ibu. Hal ini berarti hubungan pengetahuan dan tingkat pemanfaatan posyandu pada analisis bivariat hanya kebetulan saja sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang berarti antara pengetahuan dengan tingkat pemanfaatan posyandu.

Pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat pemanfaatan posyandu disebabkan tidak semua responden dengan pengetahuan baik memiliki dukungan suami tinggi. Proporsi responden dengan pengetahuan baik tetapi memperoleh dukungan suami rendah sebanyak 11 dari 40 responden. Sekalipun ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang posyandu, tetapi ibu tidak memanfaatkan posyandu dengan baik karena adanya faktor penghambat yaitu dukungan suami rendah. Suami sebagai pembuat keputusan dalam keluarga menghalangi ibu untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ibu.

Pengetahuan tidak memiliki hubungan signifikan dengan tingkat pemanfaatan posyandu juga disebabkan responden berpengetahuan baik memiliki balita > 1 orang sebanyak 22,5%. Jumlah balita ibu > 1 akan menghalangi ibu untuk memanfaatkan posyandu karena repot rasanya ibu harus membawa anak >1 orang ke posyandu. Jadi

sekalipun ibu tahu tentang posyandu tetapi faktor penghambat yang ibu miliki, menyebabkan tindakan ibu memanfaatkan posyandu menjadi kurang.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa bila ibu berpengetahuan baik memperoleh dukungan suami tinggi dan memiliki balita hanya 1 orang maka kecenderungannya memanfaatkan posyandu untuk memantau pertumbuhan balita akan lebih besar. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan dukungan suami dalam tindakan pemanfaatan posyandu. Tokoh masyarakat di desa dapat memberikan teladan bagi masyarakat khususnya para suami untuk memberi dukungan sosial terhadap pelaksanaan posyandu di desa yang diharapkan dapat mengubah perilaku dari dukungan suami rendah menjadi dukungan suami tinggi.

Faktor penghambat jumlah balita > 1 orang tidak dapat dihilangkan, tetapi adanya keterlibatan suami dalam bentuk dukungan nyata yaitu menyediakan fasilitas trasportasi atau ada orang lain yang membantu ibu untuk membawa balita > 1 orang ke posyandu masih bisa meningkatkan peluang ibu balita memanfaatkan posyandu dengan baik.

Tabulasi silang antara pengetahuan dan sarana menjelaskan bahwa ketidak tersediaan sarana di posyandu untuk penimbangan balita menghambat ibu berpengetahuan baik untuk memanfatkan posyandu dengan baik. Ternyata dari 40 responden berpengetahuan baik berpendapat bahwa sarana tidak tersedia sebesar 87,5%. Bila sarana tidak tersedia maka kegiatan penimbangan tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik. Penyediaan sarana penimbangan di posyandu perlu ditingkatkan untuk meningkatkan pemanfaatan posyandu oleh ibu balita. Ardani

(2010) dalam penelitiannya di Kota Semarang menyimpulkan bahwa kelengkapan sarana prasarana memiliki hubungan yang bermakna terhadap keberhasilan pelaksanaan Posyandu.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Yamin (2003) di wilayah Kecamatan Limus Nunggal, Baros, dan Cikundul Kota Sukabumi yang mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu yang mempunyai pengetahuan baik dibandingkan dengan ibu yang memiliki pengetahuan kurang dalam memanfaatkan posyandu. Thaha (1990) menyimpulkan bahwa pengetahuan yang tinggi bukan jaminan untuk melakukan tindakan menggunakan posyandu jika tidak diikuti kemauan positif dari subjek.

Hasil penelitian ini juga didapat bahwa dari 40 responden berpengetahuan baik, memiliki pandangan negatif tentang sikap kader yaitu sebesar 35%. Hal ini akan menyebabkan ibu berpengetahuan baik tidak datang berkunjung ke posyandu. Sikap kader seharusnya ramah kepada ibu maupun balita sehingga dapat menarik minat ibu balita untuk datang ke posyandu memantau pertumbuhan dan perkembangan balitanya. Thaha (1990) di Kotamadya Ujung Pandang menyimpulkan bahwa pandangan responden tentang petugas posyandu memengaruhi tindakan responden dalam memanfaatkan posyandu. Petugas posyandu yang dalam hal ini adalah kader perlu bersikap lebih ramah kepada ibu maupun balita sehingga para ibu tidak merasa enggan untuk datang ke posyandu membawa balita untuk kegiatan penimbangan. Hasil ini berbeda dengan penelitian penelitian Bambang (1992) di Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Cipondoh, dan penelitian Wilangsari (2010) di

Kelurahan Gemah Semarang yang mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan praktek penimbangan balita. Perbedaan ini mungkin disebabkan tekhnik pengambilan sampel yang dilakukan berbeda. Penelitian ini menggunakan tekhnik random sampling sedangkan penelitian di Semarang menggunakan accidental sampel.

Bertnard dan Awlmus dalam Thaha (1990) dalam penelitian mereka tentang pencarian pengobatan ke pusat pelayanan kesehatan oleh ibu-ibu yang anaknya menderita diare selama 2 minggi terakhir di Columbia, juga menyimpulkan bahwa faktor pencarian jenis pelayanan pengobatan sangat berkorelasi positf dengan faktor pengetahuan yang diduga memengaruhi terjadinya perubahan perilaku.

Pengetahuan seseorang tentang posyandu dapat menyebabkan orang menggunakan posyandu dan sebaliknya kebiasaan menggunakan posyandu menambah pengetahuan mereka tentang posyandu. Lebih dari separuh resonden berpengetahuan kurang, kondisi ini disebabkan pemahaman responden yang salah bahwa posyandu hanya tempat imunisasi dan hanya balita yang mengalami gizi buruklah yang harus datang secara teratur ke posyandu untuk ditimbang sehingga memperoleh makanan tambahan berupa roti maupun susu dari pemerintah melalui Puskesmas. Balita yang sehat bahkan gemuk tidak perlu dibawa ke posyandu. Pemahaman yang kurang baik ini menyebabkan ibu tidak membawa balitanya secara rutin ke posyandu. Responden juga tidak tahu bahwa balita dapat memperoleh pelayanan pemeriksaan kesehatan di posyandu. Posyandu sebagai sarana deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan balita tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan

baik sehingga kasus-kasus gizi kurang terlambat untuk ditangani. Hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan perkembangan alat-alat reproduksi balita dikemudian hari. Balita dengan gizi kurang akan tumbuh menjadi remaja dengan gizi kurang dan selanjutnya menjadi wanita dewasa dengan gizi kurang. Dalam kehidupan sebagai ibu kemampuan untuk menghasilkan generasi penerus yang berkualitas juga kurang. Ini akan menjadi lingkaran setan yang sulit untuk diputus.

Perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang manfaat posyandu terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita, serta jenis pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh balita di posyandu. Kemampuan ibu untuk menyerap informasi yang diberikan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Kondisi ini menjelaskan bahwa penyuluhan yang dilakukan haruslah memanfaatkan fasilitas dan metode yang tepat sesuai dengan tingkat pendidikan responden yang mayoritas adalah berlatar belakang pendidikan rendah. Hal ini penting untuk merubah kondisi dari pengetahuan kurang baik menjadi baik.

Pengetahuan sebagai hasil penginderaan manusia baik melalui indera mata, hidung, telinga, dan sebagainya akan mengubah pemahaman dari kurang baik menjadi baik bila didukung oleh media dan metode yang tepat pula. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Rogers (1962) dalam Nursalam (2007), tindakan dapat timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari tingkat pengetahuan

seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut mengikuti empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan menerima (penerimaan) atau dikenal juga dengan AIETA (Awareness, Interest, Evaluation, Trial, and Adoption)

Blum yang dikutip Notoatmodjo (2010) yang mengatakan bahwa tindakan seorang individu termasuk kemandirian dan tanggung jawabnya dalam berperilaku sangat dipengaruhi oleh domain kognitif atau pengetahuan. Tindakan kemandirian setiap individu yang lebih nyata akan lebih langgeng dan bertahan apabila hal ini didasari oleh pengetahuan kuat. Dalam penelitian ini pengetahuan perlu diperkuat oleh dukungan suami agar tindakan ibu untuk memanfaatkan posyandu dapat lebih baik. Suami sebagai orang paling dekat dengan ibu akan memberi kontribusi terhadap tindakan ibu dalam melakukan upaya pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Perlu dilakukan upaya promosi kesehatan kerjasama Kepala Desa dan pihak Puskesmas untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya membawa balita secara teratur ke posyandu. Promosi kesehatan ini perlu dilakukan secara kontinyu sehingga intensitas keterpaparan terhadap informasi kesehatan mampu mengubah pemahaman yang salah tentang posyandu. Pihak Puskesmas perlu menyikapi masalah ini karena posyandu merupakan salah satu pendekatan yang tepat untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan balita serta dapat meningkatkan status gizi balita. Dengan meningkatnya pengetahuan ibu diharapkan akan meningkatkan perilaku memanfaatkan posyandu untuk meningkatkan kesehatan balita.

Dokumen terkait