• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pemanfaatan Posyandu

Menurut Supriyanto (1998) dalam Azwar (2002) bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah penggunaan pelayanan yang telah diterima pada tempat atau pemberi pelayanan kesehatan. Sedangkan pelayanan kesehatan sendiri adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok, keluarga, dan ataupun masyarakat.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penelitian ini pemanfaatan posyandu merupakan sebuah bentuk perilaku kesehatan (health behavior). Skiner dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku kesehatan (health behavior) yaitu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan minuman, dan pelayanan kesehatan. Jadi perilaku

kesehatan adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tindakan ibu membawa balita ke posyandu merupakan sebuah perilaku kesehatan yang dapat diamati (observable).

Notoatmodjo (2010) juga menjelaskan bahwa perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seeorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit atau usaha untuk penyembuhan bila sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan dan perilaku gizi (makanan dan minuman).

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.

3. Perilaku kesehatan lingkungan yaitu bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat.

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) menyebutkan bahwa perilaku terbentuk dari 3 faktor yaitu (1) faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya (2) faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan, dan sebagainya

(3) faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain. Perilaku kesehatan individu ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku petugas kesehatan akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Ibu balita tidak memanfaatkan posyandu dapat disebabkan tidak atau belum mengetahui manfaat posyandu bagi anaknya (predisposing factors) atau karena jarak rumah dengan posyandu yang jauh (enabling factors) atau bisa juga karena perilaku petugas kesehatan (reinforcing factors).

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Misalnya seorang ibu akan memanfaatkan posyandu untuk kesehatan anaknya setelah melihat ibu balita lain yang memanfaatkan posyandu memiliki balita yang sehat. Pengetahuan berpengaruh terhadap praktek atau tindakan seseorang. Pengetahuan ibu yang baik tentang manfaat posyandu untuk kesehatan anak berkontribusi terhadap tindakan ibu untuk membawa balita ke posyandu dan ibu balita melakukan tindakan memanfaatkan posyandu (Notoatmodjo, 2010).

Teori WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok yaitu (1) pemikiran dan perasaan (thoughs and feeling) yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan- kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek kesehatan (2) orang penting sebagai referensi. Orang-orang yang dianggap penting sering disebut kelompok referensi (reference group). Bila tokoh masyarakat membawa balitanya ke posyandu maka masyarakat yang lain juga akan memanfaatkan jasa posyandu untuk

memantau pertumbuhan balitanya. Perilaku yang ditampilkan oleh kelompok referensi akan ditiru oleh pengikutnya (3) sumber-sumber daya (resources), sumber daya ini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Sumber daya yang ada memungkinkan ibu balita mampu memanfaatkan posyandu (4) budaya (culture), kebudayaan merupakan suatu pola hidup yang dihasilkan dari perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan pengguunaan sumber-sumber dalam masyarakat dan menghasilkan (Notoatmodjo, 2010).

Demikian halnya dengan ibu balita tidak memanfaatkan posyandu karena tidak percaya terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan di posyandu, tidak mampu untuk membayar, takut pada petugas, atau mungkin tidak tahu fungsi posyandu.

Penelitian Anderson dan Andersen (1972), Mc Kinlay (1972) dan Aday Eichhorn (1972) seperti dikutip Kresno (2008) mengenai penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan lebih dimanfaatkan oleh orang yang berusia sangat muda (anak-anak) dan berusia tua. Yamin (2003) dalam penelitiannya tentang analisis perbedaan faktor yang berkontribusi terhadap pemanfaatan posyandu oleh pengunjung rutin dan tidak rutin dalam konteks keperawatan komunitas di wilayah Kecamatan Limus Nunggal, Baros dan Cikundul Kota Sukabumi menemukan bahwa usia ibu > 30 tahun memiliki tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding usia ibu ≤ 3 0 tahun, terdapat perbedaan yang bermakna antara usia ibu > 30 tahun dan ≤ 30 tahun dalam pemanfaatan posyandu.

Penelitian Anderson dan Andersen (1972) dan Aday Eichhorn (1972) dalam Kresno (2008) bahwa seseorang yang mendapat pendidikan formal biasanya lebih banyak mengunjungi ahli kesehatan. Juarsa (2004) dalam penelitiannya yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penimbangan balita di posyandu wilayah Kabupaten Pandeglang menemukan bahwa ibu dengan pendidikan rendah lebih tinggi frekuensinya menimbang balita ke posyandu dibanding ibu dengan pendidikan sedang dan tinggi. Tetapi tidak ada hubungan secara bermakna antara pendidikan ibu balita dengan cakupan penimbangan balita.

Sihotang dkk (1989), Asrijanti (1990), Susetyo (2002), dan Sambas (2002) dalam Juarsa (2004) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan cakupan penimbangan balita di posyandu. Yamin (2003) menemukan bahwa kelompok ibu dengan pendidikan rendah mempunyai tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan pendidikan menengah dan tinggi, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna tingkat pendidikan ibu dalam pemanfaatan posyandu.

Pradianti (1989) dalam Kresno (2008) membuktikan bahwa faktor pekerjaan (status pekerjaan) ibu berhubungan signifikan dengan penggunaan posyandu. Yamin (2003) juga membuktikan bahwa ibu tidak bekerja memiliki tingkat pemanfaatan posyandu lebih tinggi dibanding ibu bekerja, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu tidak bekerja dan ibu bekerja dalam pemanfaatan posyandu. Kelompok ibu dengan jumlah balita 1 orang mempunyai tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan jumlah balita > 1 orang.

Tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok tersebut dalam melaksanakan kunjungan rutin atau tidak rutin. Kelompok ibu dengan penilaian terhadap kader baik memiliki tingkat pemanfaatan posyandu yang lebih tinggi dibanding kelompok ibu dengan penilaian kader yang kurang, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam pemanfaatan posyandu diantara kedua kelompok tersebut. Kelengkapan fasilitas posyandu juga memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu, terdapat perbedaan yang bermakna dalam pemanfaatan posyandu antara ibu yang menilai fasilitas posyandu yang lengkap dengan ibu yang menilai fasilitas posyandu kurang lengkap.

Yamin (2003) menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu maka tingkat pemanfaatan posyandu juga akan semakin tinggi. Namun dukungan keluarga yang kurang dalam pemanfaatan posyandu tidak berbeda dengan dukungan keluarga yang baik. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan posyandu oleh ibu balita akan semakin tinggi bila ibu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang posyandu. Adanya dukungan dari keluarga dalam penelitian ini adalah suami akan memengaruhi tindakan ibu dalam memanfaatkan posyandu untuk meningkatkan kesehatan keluarga khususnya balita. Perilaku ibu dalam memanfaatkan posyandu akan langgeng bila didasari oleh pengetahuan ibu yang baik dan diperkuat oleh adanya dukungan suami dalam bentuk dukungan nyata, dukungan emosional, maupun dukungan informatif.

Posyandu sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang dibentuk dari, untuk dan oleh masyarakat diharapkan dapat mendeteksi adanya penyimpangan pertumbuhan anak sehingga dapat diintervensi sedini mungkin sebagai upaya

preventif gizi buruk. Balita merupakan kelompok yang sangat rawan terhadap gizi kurang maupun gizi buruk. Ibu-ibu yang punya balita tidak akan bertindak memanfaatkan posyandu untuk pelayanan kesehatan balita termasuk menimbang secara teratur bila ibu tidak merasa bahwa anaknya menderita penyakit gizi kurang atau gizi buruk. Salah satu upaya mencegah gizi kurang atau gizi buruk adalah melakukan deteksi dini pertambahan berat badan anak secara teratur setiap bulannya ke fasilitas kesehatan termasuk posyandu.

Dokumen terkait