• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS BANGUNAN ATAS TANAH HAK GUNA

C. Hubungan Penggunaan Hak Pengelolaan dan Hak Diatasnya

Dari Hak Pengelolaan dapat diterbitkan hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai, yakni sejenis hak-hak yang tercantum dalam UUPA. Dengan demikian, berarti hak-hak tersebut harus sama dengan hak-hak tanah yang diatur oleh UUPA, baik mengenai kelembagaannya, jangka waktu,right to usedanright to disposalnya.

Untuk mendapatkan hak-hak yang timbul dari hak pengelolaan itu, maka pemegang hak pengelolaan mengadakan suatu perjanjian dengan yang memohon hak tersebut dan dalam perjanjian tersebut dibuatkanlah hak apa yang diberikan oleh pemegang hak pengelolaan, yaitu apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Perjanjian tersebut disertai dengan gambar tanahnya yang bersangkutan untuk dikirimkan kepada kepala kantor pertanahan setempat.

Hak pengelolaan itu tidak mudah dipahami, bahkan dapat menimbulkan salah tafsir bila disandingkan dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Permohonan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai oleh pihak ketiga dilakukan dengan perantaraan (rekomendasi) pemegang hak pengelolaan. Jika di atas tanah hak pengelolaan akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah, misalnya hak guna bangunan, maka tanah hak pengelolaan itu harus didaftarkan terlebih dahulu oleh karena tanggal pendaftaran itu merupakan saat lahir/terjadinya hak pengelolaaan. Dengan didaftarkannya hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan, hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan tanah

hak pengelolaannya tidak menjadi hapus. Dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai diberikan di atas hak pengelolaan untuk pembangunan dan pengembangan wilayah industri atau pariwisata, dengan berakhirnya hak atas tanah itu, maka tanah tersebut kembali dalam penguasaan sepenuhnya pemegang hak pengelolaan. Manakala hak tersebut telah berakhir, maka baik perpanjangannya maupun pemberian hak baru kepada pihak ketiga yang lain kembali ke prosedur melalui pemegang hak pengelolaan tersebut.33

Pemberian hak atas tanah di atas tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dapat dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan dan mewajibkan adanya perjanjian tertulis antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga sebagai dasar hubungan hukum antara kedua belah pihak. Pihak ketiga harus memperoleh persetujuan dari pemegang hak pengelolaan yang dimuat dalam Perjanjian Penyerahan Penggunaan dan Pengurusan Hak Atas Tanah, karena perjanjian itu merupakan alas hak pemberian hak guna bangunan di atas hak pengelolaan.

Hak pengelolaan merupakan fungsi/kewenangan publik sebagaimana hak menguasai negara, dan tidak tepat untuk disamakan dengan hak yang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan.34 Menurut Pasal 4 ayat (2) Permenag No.9 tahun 1999, untuk

33 A.P. Parlindungan, Hak Pengeloaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung : Mandar Maju,

1989), hal.30-31

34 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

memperoleh suatu hak atas tanah di atas tanah hak pengelolaan, pemohon harus memperoleh penunjukan berupa perizinan penggunaan tanah dari pemegang hak pengelolaan.

D. Status Hak atas Tanah dan Bangunan Setelah Berakhirnya Jangka Waktu Hak Guna Bangunan

Tanah-tanah yang diberikan Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang dimaksud diberikan untuk kepentingan penerima hak atas tanah, yang artinya memiliki waktu yang tidak terbatas. Setiap kali suatu hak itu berakhir, maka pemegang Hak Pengelolaan itu akan kembali mempunyai hubungan sepenuhnya kembali dengan hak-hak yang timbul dari Hak Pengelolaan tersebut.

Meskipun Hak Pengelolaan jangka waktunya tidak terbatas atau diberikan kepada pemegang haknya selama diperlukan, namun Hak Pengelolaan dapat hapus atau menjadi batal jika terjadi hal-hal sebagai berikut :35

1. Pembatalan hak oleh menteri karena tidak memenuhi kewajibannya sebagai penerima Hak Pengelolaan;

2. Pembatalan hak karena cacat hukum administratif;

3. Pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

4. Dilepaskannya haknya oleh pemegang Hak Pengelolaan kepada Negara. Pemberian hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai di atas Hak Pengelolaan dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara pemegang Hak Pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan, dan setelah jangka waktu hak guna

35Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

bangunan dan hak pakai di atas Hak Pengelolaan tersebut berakhir maka tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan.

Sedangkan terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut setelah berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan, maka pihak ketiga wajib mengosongkan atau menghancurkan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut dan jika tidak mengosongkan atau menghancurkannya, maka selanjutnya bangunan tersebut akan menjadi milik Pemerintah Kota Medan.

E. Peralihan Hak dengan Jual Beli Bangunan di atas Tanah Hak Guna Bangunan yang Haknya Telah Berakhir Diatas Hak Pengelolaan

Suatu hak atas tanah dapat dialihkan atau beralih apabila hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak selaku subyek hukum/hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Peralihan dari setiap hak-hak yang berasal dari hak pengelolaan harus melalui tata cara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 jo. Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1972, yaitu melalui suatu akta pejabat dengan mempergunakan formulir Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang resmi menurut Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 104/Dja/1977 jo. Surat Direktur Jenderal Agraria tanggal 25 Okober 1977 Nomor Btu 10/614/10-77 yang dibuat oleh PPAT dan disesuaikan dengan bentuk akta PPAT yang baru sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negeri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jadi, peralihan hak atas tanah terjadi karena memang disengaja dan merupakan pemberian hak kepada orang lain karena suatu perbuatan hukum antara pemegang hak lama yang sengaja dilakukan kepada pihak ketiga yang akan menjadi penerima hak dan sekaligus sebagai pemegang hak baru dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas tanah yang dialihkan.

Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud, maka haknya akan berpindah. Hak(right)

yang dimaksud adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum.36Secara yuridis, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa proses, antara lain jual beli hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian biasa, pemisahan dan pembagian harta warisan, penyerahan hibah wasiat, hipotik dan credit verband.37 Adapun hipotek dan credit

verband sepanjang mengenai tanah saat ini tidak berlaku lagi sejak diundangkannya

undang-undang hak tanggungan yang baru. Sedangkan cara-cara peralihan hak guna bangunan dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, secara hibah dan hibah wasiat dan pewarisan yakni pewarisan tanpa wasiat dan pewarisan dengan wasiat.

36 J. Andy Hartanto, SH.,M.H, Problemtika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertpikat,

(Yogyakarta:CV.Asawaja Pressindo), hal.45-46.

37 Soetomo, Pedoman Jual Bei Tanah Peralihan Hak dan Sertipikat,, (Malang: Lembaga

Sebagai landasan hukum dalam pengaturan tentang hukum pertanahan di Indonesia, UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli hak atas tanah/jual beli tanah. Dalam konsiderans dan penjelasan umum hukum tanah nasional disebutkan bahwa hukum agraria Indonesia berdasarkan hukum adat dimana hukum adat merupakan sumber utama yaitu memakai sistem dan asas-asas hukum adat. Sehingga pengertian mengenai jual beli hak atas tanah juga menggunakan pengertian hukum adat, yaitu perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang merupakan penyerahan hak atas tanah (secara permanen) oleh penjual kepada pembeli dengan membayar sejumlah uang/dengan harga tertentu.

Adapun pengertian jual beli tanah yang disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan diriya untuk membayar kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disetujui.38

Penggunaan istilah jual beli tanah adalah untuk keperluan praktis, tetapi sebenarnya yang diperjualbelikan atau yang menjadi obyek jual beli adalah hak atas tanah, bukan tanahnya. Sedangkan jual beli bangunan yang ada di atas tanah tersebut dalam hal ini berarti perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas bangunan dari penjual kepada pembeli untuk dapat menguasai dan menggunakan bangunan tersebut dengan membayar sejumlah harga kepada penjual.

38 R Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Jual beli bangunan yang dilakukan juga bersifat tunai dan terang. Tunai artinya harga bangunan dibayar secara penuh/lunas dimana pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual dan penjual menyerahkan hak atas tanah berikut bangunan yang ada di atasnya kepada pembeli untuk dikuasai atau diusahakan. Sedangkan terang artinya perbuatan hukum terhadap penjualan dan pembelian hak atas tanah berikut bangunan yang ada di atasnya tersebut dilakukan dihadapan pihak/pejabat yang berwenang yang dapat menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Dalam hukum adat, sistem yang dipakai berkenaan dengan peralihan hak atas tanah berikut bangunan yang ada di atasnya umumnya dikenal dengan sistem yang konkrit (kontan) karena peralihan hak tersebut serentak terjadi seketika pada saat pembayaran harga tanah berikut bangunannya diserahkan oleh pembeli.

Jual beli terhadap hak atas tanah yang telah memiliki tanda bukti hak berupa sertipikat dilakukan oleh para pihak (penjual dan pembeli) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang membuat akta menyangkut perbuatan hukum yang dilakukan. Akta yang dibuat dihadapan PPAT ditandatangani oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan dan persetujuan secara nyata terhadap perbuatan hukum jual beli yang dilakukan dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain menerima dengan membayar sesuai dengan harga yang telah diperjanjikan.

Perbuatan hukum jual beli yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dimana dapat dibuktikan bahwa pembeli sebagai penerima hak telah

sah menjadi pemegang hak yang baru. Bukti kepemilikan dan pemindahan hak terhadap hak atas tanah berikut bangunan yang ada di atasnya yang diterima oleh pembeli harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dimana tanah tersebut berada untuk dicatat pada buku tanah dan sertipikat hak dari tanah yang bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut maka sertipikat haknya dapat dijadikan sebagai surat tanda bukti yang kuat dan bentuk pemberitahuan kepada pihak ketiga bahwa penerima hak adalah pemegang hak yang baru karena pendaftaran tanah mempunyai sifat terbuka.

Hak atas tanah berikut bangunan yang ada di atasnya yang dapat dijadikan obyek jual beli adalah hak atas tanah di atas tanah negara, yang dalam hal ini adalah peralihan hak guna bangunan diatas hak pengelolaan. Peralihan dalam bentuk jual beli ini harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak terpenuhi maka akan membawa konsekuensi pada legalitas (sah/tidaknya) jual beli hak guna bangunan di atas hak pengelolaan tersebut. Disamping itu juga dapat berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan dengan jual beli tersebut.

Para pihak dapat melakukan jual beli bangunan yang berada di atas tanah hak guna bangunan di atas hak pengelolaan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini dipertegas dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24 tahun 1997 dengan catatan bahwa hak guna bangunan atas tanah tersebut belum berakhir dan mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Adapun syarat-syarat maupun prosedur

peralihan atau perbuatan hukum jual belinya tidak berbeda jauh dengan jual beli tanah pada umumnya.

Prosedur peralihan hak atas tanah karena jual beli harus dilakukan dihadapan PPAT yang dihadiri oleh pihak penjual atau kuasanya, pihak pembeli atau kuasanya dengan dihadiri oleh minimal dua orang saksi yang menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen asli dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. Untuk jual beli terhadap bangunan yang beradaa di atas tanah hak guna bangunan yang haknya telah berakhir dihadapan PPAT, harus dilakukan perpanjangan terlebih dahulu terhadap haknya yang telah berakhir tersebut ke Kantor Pertanahan setempat karena secara hukum, hak atas tanah yang haknya telah berakhir tidak dapat dilakukan perbuatan hukum jual beli diatasnya.

Sebelum melakukan jual beli, PPAT harus memeriksa/mengecek kesesuaian data terlebih dahulu atas sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftar- daftar dalam buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kota setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. Hal ini perlu dilakukan guna menghindari jual beli tanah terhadap sertipikat palsu atau sertipikat ganda atau sertipikat asli tapi palsu. Hasil pengecekan tersebut dicatatkan Kantor Pertanahan pada lembar halaman perubahan yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah dicek dan dinyatakan sesuai dengan buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan. Untuk melakukan perbuatan

hukum jual beli ini, seorang PPAT harus jeli dalam memperhatikan hal-hal yang krusial dalam kegiatan jual beli tanah berikut bangunannya tersebut, yakni mengenai objek dan subjek hukum dari jual beli tanah berikut bangunannya tersebut.

Mengenai yang menjadi objek dari jual beli tersebut yakni tanah, hal yang perlu diperhatikan dan dipastikan adalah letak tanah yang berada harus di wilayah kerja PPAT itu sendiri dan tidak melanggar ketentuan absentee, tanah yang

bersangkutan tidak sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridis, mengenai luas dan batas-batas tanah sehingga dikemudian hari tidak memungkinkan munculnya konflik atas tanah tersebut mengenai ketidakcocokan luas dan batas, serta jenis tanah yang diperjualbelikan serta benda-benda yang ada diatasnya. Sedangkan mengenai subjek dari perbuatan hukum jual beli tanah tersebut yang perlu diperhatikan dan dipastikan adalah pihak-pihak yang berwenang bertindak sebagai pihak penjual dan pihak pembeli.

Yang berhak menjadi pihak penjual adalah pihak yang namanya tertera dalam sertipikat hak guna bangunan tersebut atau ahli warisnya yang sah. Sedangkan yang berhak menjadi pihak pembeli adalah siapa saja yang menurut undang-undang berhak menjadi pemegang hak atas tanah berikut bangunan di atasnya yang akan dibeli. Apabila dalam proses peralihan jual beli tanah memerlukan ijin dari pejabat yang berwenang, maka ijin tersebut sudah diperoleh sebelum akta jual beli yang bersangkutan dibuat dan ditandatangani.

Namun pada kenyataannya, khusus mengenai jual beli bangunan yang berada di atas tanah hak guna bangunan yang haknya telah berakhir, dapat dilakukan proses

jual beli dihadapan Notaris, sesuai dengan kewenangan Notaris yang termuat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UUJN) Pasal 15 ayat (2) huruf f yang menyatakan bahwa Notaris berwenang pula untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sekaligus dengan permohonan hak baru dengan dasar penggunaan akta otentik yaitu Jual Beli Rumah dan Pengoperan Hak. Hal ini secara prakteknya telah banyak dilakukan dan telah menjadi jalan keluar terhadap hak guna bangunan yang haknya telah berakhir, namun ingin dilakukan peralihan haknya.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa bangunan yang telah dibangun di atas tanah hak pengelolaan tidak dapat serta merta dihancurkan seketika hak guna bangunannya berakhir namun dapat tetap berdiri di atas tanah pengelolaan tersebut karena prinsip dari hak guna bangunan adalah hak atas bangunan yang didirikan di atas tanah negara atau tanah hak milik dimana biaya untuk membangun/mendirikan bangunan dikeluarkan oleh pemegang hak guna bangunan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan perdata tentang kepemilikan bangunan antara pemegang hak dan hak atas bangunan tersebut. Adapun bentuk penggantian dari adanya hubungan tersebut dapat dilakukan dengan ganti rugi oleh pihak lain yang dalam hal ini calon pemegang hak baru (pembeli) berupa harga yang disepakati kepada pemegang hak lama (penjual) dalam proses peralihan hak dengan jual beli tersebut. Akta ini sekaligus sebagai bukti telah terjadi peralihan hak dengan jual beli bangunan di atas tanah Hak Guna Bangunan yang haknya telah berakhir yang dengan

disertai dengan persetujuan atau rekomendasi dari pemegang Hak Pengelolaan dalam hal ini Pemko Medan.

Peralihan hak dengan perbuatan hukum jual beli terhadap bangunan di atas tanah hak guna bangunan yang haknya telah berakhir ini bukan merupakan suatu penyelundupan hukum, namun suatu bentuk perbuatan hukum yang telah terjadi semenjak lahirnya UUPA yang menyebutkan bahwa dapat terjadi peralihan hak terhadap bangunan di atas tanah yang belum bersertipikat yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, yakni Notaris. Belum bersertipikat dalam hal ini tanah yang haknya telah berakhir dan statusnya kembali menjadi tanah negara. Tanah yang hak guna bangunannya telah berakhir di atas tanah hak pengelolaan, artinya haknya kembali kepada negara dan tidak terdaftar lagi sebagai hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Menjadi wewenang Notaris dalam hal jual beli atas bangunan di atas tanah tanah yang statusnya adalah tanah negara karena telah diatur dalam UUJN yakni secara praktek Notaris dapat mengalihkan dan memohon hak baru terhadap tanah negara yang belum memiliki hak.

Hal ini dikarenakan hak guna bangunan yang telah berakhir, sertipikatnya tidak berlaku lagi walaupun secara hukum, hak guna bangunan yang haknya telah berakhir harus diperpanjang/diperbarui kembali sebelum haknya berakhir. Jika haknya telah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan, maka status tanah kembali menjadi milik negara. Sertipikat hak guna bangunan yang telah berakhir jangka waktunya jika hak guna bangunan tersebut berasal dari tanah negara maka haknya akan kembali kepada negara meskipun pemegang hak sebelumnya masih menjadi

pemilik dari bangunan tersebut. Jika hak guna bangunan yang haknya telah berakhir akan dialihkan kepada pihak lain maka perubahan haknya melalui proses permohonan hak di kantor pertanahan setempat.

Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi warga negara Indonesia yang ingin memohonkan hak baru terhadap tanah dan bangunan tersebut kepada negara dapat menjadikan akta jual beli rumah dan pengoperan hak tersebut sebagai alas hak untuk memohon hak baru kepada Kantor Pertanahan dengan tetap mengikutsertakan ijin/rekomendasi dari pihak pemegang hak pengelolaaan karena tanah tersebut berada di atas tanah hak pengelolaan dalam hal ini Pemko Medan.

BAB III

PROSES PELAKSANAAN JUAL BELI BANGUNANDAN PENDAFTARAN HAK GUNA BANGUNAN YANG HAKNYA TELAH BERAKHIR DIATAS

HAK PENGELOLAAN

A. Tata Cara Pelaksanaan Jual Beli Bangunan di Atas Tanah Hak Guna