• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi Baduta

6.3.4 Hubungan antara Pola Konsumsi Makan dengan Berat badan Tidak Naik (2T)

Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berpengaruh terhadap asupan energi yang masuk ke tubuh. Mengkonsumsi makanan yang bergizi bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Konsumsi makanan tersebut berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, susu dan buah dapat mencukupi nilai gizi seseorang setiap harinya (Almatsier, 2001).

Dari bermacam-macam makanan tersebut menghasilkan berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh baduta. Asupan zat gizi dalam jumlah mutlak diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya bayi dan balita. Karena intake yang kurang maupun berlebihan secara terus-menerus akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan (Pudjiadi, 2000).

Dalam siklus kehidupan manusia, terutama saat tumbuh kembang anak, makanan merupakan kebutuhan yang terpenting. Menurut Muhammad as-Syyid (2009) disebutkan bahwa makanan seimbang adalah makanan yang ideal, baik kuantitas maupun kualitas, bagi setiap penduduk bumi dengan berbagai macam kepercayaannya.

Al-Qur’an telah membuat pondasi dasar yang jelas dan bijak dalam hal makanan ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah mengukuhkan dasar tersebut sembari memberikan beberapa ketentuan dan aturan yang menjamin realisasinya sehingga seorang muslim benar-benar dapat mengkonsumsi makanan yang sempurna dan bergizi seimbang, jasmani maupun rohani dan kesemuanya itu tersedia di alam, tinggal bagaimana

manusi mengolah dan memanfaatkanny dengan sebaik-baiknya. Seperti firman Allah SWT :                                   

“Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah

yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun (yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua itu) untuk kesenanan kalian dan untuk hewan-hewan ternak kalian” (QS.‟Abasa: 24 -32).

Berdasarkan kitab Shofwat Al-Tafasir karya Imam Muhammad „Ali

Al-Shobuny ayat diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Yakni hendaknya manusia melihat dengan pemikiran dan berangan-angan terhadap urusan kehidupannya bagaimana dia diciptakan dan diberi kebahagiaan dengan rahmat Allah, dan bagaimana ia menyiapkan sebab kehidupannya, serta diciptakan bagi manusia makanan sebagai penopang kehidupannya, seperti air dari langit, bermacam-macam tumbuhan yang subur, sayuran, biji-bijian, pohon zaitun dan buah kurma, rerumputan. Kami jadikan dan kami

tumbuhkan agar bermanfaat dan sebagai penopang kehidupan untukmu para manusia dan untuk binatang-bintangmu.

Pada penelitian ini pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Hasil analisis terhadap masing-masing makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan Pokok

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 55 baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%).

Dari uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717 dimana dengan interval CI 95% (0,284-1,810), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, sehingga dengan kata lain baduta yang sering mengkonsumsi

makanan pokok merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T).

b. Lauk Hewani

Hasil analisis hubungan antara pola makan lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 18 baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8 baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331 dengan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani.

c. Lauk Nabati

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 21 baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang

mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137 dengan nilai interval CI 95% (0,421-3,067), sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara antara pola konsumsi lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati.

d. Sayuran

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan sayuran dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 35 baduta yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105 dengan nilai interval CI 95% (0,460-2,652), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko

1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi sayuran.

e. Buah

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan buah dengan berat badan tidak naik diperoleh bahwa dari 48 baduta yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta (61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (41,5%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818 dengan nilai interval nilai CI 95% (0,339-1,971) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan baduta yang jsering mengkonsumsi buah merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T).

f. Susu

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi minum susu dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 17 baduta yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13

baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233 dengan nilai interval nilai CI 95% (0,069-0,791), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi minum susu dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa baduta yang sering mengkonsumsi susu merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T).

Dari berbagai jenis makanan yang diteliti hanya pola minum susu yang berhubungan dan sesuai dengan hasil penelitian Mutiara (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi buruk pada balita. Sedangkan untuk jenis makanan lain seperti, makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah tidak ada hubungan antara pola makan dengan berat badan tidak naik (2T).

Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan nabati), karena pada saat pengambilan data ada kemungkinan ibu baduta lupa terhadap apa dan jumlah makanan yang dimakan oleh

anaknya, karena menggunakan form FFQ sehingga hanya dilihat frekuensi makannya saja. Selain itu, pengambilan sampel penelitian ini menggunakan data program MP-ASI Kemenkes untuk bulan November 2010- Februari 2011 sehingga seharusnya pengambilan data mengenai pola makan dilakukan pada masa lalu.

Pada saat dilakukan penelitian pun tidak dilakukan observasi langsung terhadap pola konsumsi makan baduta, dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Terkadang saat dilakukan wawancara kebetulan ada responden yang sedang memberikan makan siang pada anaknya bersama teman-teman anaknya. Sehingga untuk mengurangi bias, disaat itu juga peneliti mengamati makanan yang diberikan untuk baduta, dan faktanya sesuai dengan jawaban yang diberikan saat pengisian Form FFQ kualitatif. Karena peneliti juga melakukan cross check data ke orang dirumah tersebut, seperti ayah, kakek, nenek, saudara bahkan tetangga terdekat. Dimana orang-orang tersebut mengetahui secara pasti pola konsumsi makan baduta tersebut. Memang rata-rata baduta yang diamati badannya kurus dan gizi kurang.

Saat dilakukan wawancara ditemukan adanya baduta yang sudah vegetarian dari kecil, sehingga asupan lauk hewani tidak tercukupi, dimana seharusnya saat usia tersebut pemenuhan berbagai macam zat gizi sangatlah dibutuhkan. Responden berpendapat sudah berusaha memberikan lauk hewani tersebut tetapi baduta tersebut tetap menolak (tidak doyan), sehingga dimuntahkan. Sehingga daripada tidak makan sama sekali, lebih baik makan sayuran saja.

Sebagian responden menyatakan untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan bergizi sangatlah sulit karena harga barang-barang kebutuhan pokok sangat mahal. Dikarenakan keterbatasan perekonomian mereka, sehingga jarang sekali mereka mengkonsumsi lauk pauk yang bergizi bagi keluarganya terlebih untuk baduta yang mengalami gizi kurang. Sehingga dapat dikatakan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pola konsumsi makan.

Kemungkinan lain karena faktor dari personal personal hygiene ibu kurang diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Personal hygiene yang tidak baik dapat menyebabkan balita terkena berbagai penyakit, seperti diare atau cacingan, sehingga asupan makanan tersebut tidak menjadikan status gizi balita menjadi lebih baik. Menurut Sahardjo (2006), parasit dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dapat menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi.

Dapat disimpulkan bahwa personal hygiene, pola konsumsi makan dan riwayat penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan berat badan tidak naik (2T). Dimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi berat badan baduta yang nantinya akan berpengaruh terhadap status gizinya.

6.4 Analisis Faktor yang Paling Dominan Mempengaruhi Berat Badan Tidak