MP-ASI Kemenkes
5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan Berat Badan Tidak Naik (2T)
a. Makanan Pokok
Analisis hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi makanan pokok dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.15 dibawah ini:
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan Pokok dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011 Makanan
Pokok
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah n % N % N % Sering 29 70,7 26 63,4 55 67,1 0,717 0,284- 1,810 Jarang 12 29,3 15 36,6 27 32,9 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 55 baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,284-1,810) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T).
b. Lauk Hewani
Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk hewani dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini:
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Hewani dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011 Lauk
Hewani
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah n % N % n % Sering 8 19,5 10 24,4 18 22 1,331 0,465- 3,806 Jarang 33 80,5 31 75,6 64 78 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 18 baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8 baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta
(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,465-3,806) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T).
c. Lauk Nabati
Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk nabati dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini:
Tabel 5.17
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Nabati dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011 Lauk
Nabati
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah n % N % n % Sering 10 24,4 11 26,8 21 25,6 1,137 0,421- 3,067 Jarang 31 75,6 30 73,2 61 74,4 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 21 baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,421-3,067) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T).
d. Sayuran
Analisis hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi sayuran dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.18 dibawah ini:
Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Sayuran dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011 Sayuran
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah n % N % n % Sering 17 41,5 18 43,9 35 42,7 1,105 0,460- 2,652 Jarang 24 58,5 23 56,1 47 57,3 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 35 baduta yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko 1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi sayuran. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,460-2,652) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T).
e. Buah
Analisis hubungan antara pola konsumsi buah dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk
melihat nilai OR. Pola konsumsi buah dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.19 dibawah ini:
Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Buah dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Tahun 2011 Buah
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah N % N % n % Sering 25 61 23 56,1 48 58,5 0,818 0,339-1,971 Jarang 16 39 18 43,9 34 41,5 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 baduta yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta (61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (41,5%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,339-1,971) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T).
f. Susu
Analisis hubungan antara pola konsumsi susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi susu dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.20 dibawah ini:
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Tahun 2011 Susu
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI (95%) 2T Non 2T Jumlah N % n % n % Sering 13 31,7 4 9,8 17 20,7 0,233 0,069- 0,791 Jarang 28 68,3 37 90,2 65 79,3 Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 17 baduta yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan
baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,069-0,791) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi susu dengan berat badan tidak naik (2T).