HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Wilayah Kelurahan Belawan Bahagia
5.1 Hubungan Sosio Demografi dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Variabel sosio demografi dalam penelitian yaitu umur, pendidikan,
pengetahuan, penghasilan dan jumlah anak.
5.1.1 Hubungan Umur dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden kelompok umur di bawah 30
tahun (58,7%) maupun berumur di atas 30 tahun (77,3%) cenderung tidak
menggunakan kontrasepsi tubektomi. Hasil uji statistik didapat nilai p = 0,034 < 0,05,
artinya ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan
kontrasepsi tubektomi. Ibu berpengetahuan baik tentang kontrasepsi tubektomi pada
umumnya pada kelompok umur di atas 30 tahun disebabkan ibu sudah mempunyai
pengalaman dalam berKB.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Riadi (2001) bahwa ada hubungan
antara umur ibu dengan pemakaian tubektomi pada peserta KB aktif di Desa
Kantonsari Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak.
Usia memengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia dewasa
madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial
menuju usia tua. Selain itu, orang usia madya akan lebih banyak menggunakan
banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah dan
kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini (Cahyono,
2009).
Umur ibu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang
termasuk dalam hal memelihara kesehatan. Untuk ibu yang usia cukup tua tentunya
lebih banyak pengalaman hidup sehingga lebih mudah menerima upaya-upaya
kesehatan bagi dirinya (Notoatmodjo, 2010).
Umur berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi tubektomi disebabkan
responden menggunakan kontrasepsi tubektomi karena semakin bertambah usia ibu,
tentunya cenderung anaknya bertambah juga sesuai keinginan bapak/ibu, terkait
kebutuhan hidup, dimana bertambahnya anak, maka kebutuhan akan bertambah.
Apabila tidak didukung dengan pendapatan menyebabkan kurang perhatian dan
perawatan terhadap anak. Temuan di lapangan pengguna kontrasepsi tubektomi
mayoritas tidak bekerja atau ibu rumah tangga.
5.1.2 Hubungan Pendidikan dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden kelompok berpendidikan
dasar (57,9%) maupun berpendidikan menengah ke atas (SMA/sarjana) (69,6%)
cenderung tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi. Hasil uji statistik chi square
didapat nilai p=0,158>0,05, artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara
Berbeda dengan penelitian Riadi (2001) menemukan variabel pendidikan
berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi tubektomi pada peserta KB aktif di
Desa Kantonsari Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak.
Menurut Notoatmodjo (2010) tingkat pendidikan seseorang akan
memengaruhi dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang
yang berpendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional terhadap
informasi yang datang, akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan
mereka peroleh dari gagasan tersebut maka mempermudah dalam memilih alat
kontrasepsi yang sesuai untuk digunakan.
Tidak ada hubungan pendidikan responden terhadap penggunaan kontrasepsi
tubektomi disebabkan responden merupakan akseptor KB yaitu pil, implant, suntik,
IUD dan tubektomi dengan keterpaparan informasi kontrasepsi yang diperoleh dari
tenaga kesehatan sehingga memahami manfaat dari kontrasepsi tersebut.
5.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja (75%) maupun
tidak bekerja (64,4%) cenderung tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi. Hasil uji
statistik chi square didapat nilai p 662>0,05, artinya tidak ada hubungan yang
signifikan antara pekerjaan responden dengan penggunaan kontrasepsi tubektomi.
Berbeda dengan penelitian Seto (2011) bahwa hasil uji statistik ada hubungan
yang signifikan antara faktor pekerjaan dengan minat WUS memilih kontrasepsi
Persentasi pemakaian kontrasepsi berdasarkan pekerjaan pada wanita pekerja
sebesar 55,4% tidak bekerja sebesar 53,6%. Wanita yang bekerja memiliki waktu
yang sedikit sehingga kesempatan untuk mengurus anak lebih sedikit dibanding
wanita yang tidak bekerja, dan wanita yang bekerja akan cenderung membatasi
jumlah anak (Subakti, 2005).
Banyak faktor yang memengaruhi dalam pemilihan kontrasepsi. Faktor-faktor
tersebut antara lain faktor pasangan yang berhubungan dengan umur, frekuensi
senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, faktor metode kontrasepsi yang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan pasangan tentang kontrasepsi, dan biaya
(Hartanto, 2010).
Responden yang menggunakan kontrasepsi tubektomi tidak memiliki
pekerjaan (ibu rumah tangga) dengan jumlah anak pada umumnya di atas 3 orang.
Responden memiliki lingkungan pekerjaan (bekerja) lebih mudah memperoeh
informasi tentang kontrasepsi tubektomi. Responden mayoritas tidak menggunakan
kontrasepsi mantap (tubektomi) berstatus sebagai IRT karena kurangnya pengetahuan
ibu tentang KB. Hal ini di dukung oleh teori Glasier (2006), rendahnya menggunakan
kontrasepsi disebabkan kurangnya pengetahuan akibat tidak mendapat akses
informasi tentang KB tubektomi.
5.1.4 Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden berpengetahuan baik (53,7%)
maupun berpengetahuan kurang (75,4%) cenderung tidak menggunakan kontrasepsi
hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan penggunaan kontrasepsi
tubektomi.
Sejalan dengan penelitian Riadi (2001) bahwa variabel pengetahuan
berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi tubektomi pada peserta KB aktif di
Desa Kantonsari Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak.
Dalam memperkenalkan cara-cara kontrasepsi kepada masyarakat tidak
mudah untuk segera diterima karena menyangkut pengambilan keputusan oleh
masyarakat untuk menerima cara-cara kontrasepsi tersebut. Menurut Rogers, ada
empat tahap untuk mengambil keputusan untuk menerima inovasi tersebut yaitu tahap
pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap pengambilan keputusan
(decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Melalui tahap-tahap tersebut, inovasi
bisa diterima maupun ditolak. Inovasi akan ditolak jika inovasi tersebut dipaksakan
oleh pihak lain, inovasi tersebut tidak dipahami, atau inovasi tersebut dianggap
sebagai ancaman terhadap nilai-nilai penduduk (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Hurlock (2004) ada beberapa faktor yang memengaruhi
pengetahuan, salah satu faktor yang memengaruhi pendidikan. Tingkat pendidikan
yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan
membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang
yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia
akan semakin berkualitas.
Ada hubungan pengetahuan responden dengan penggunaan kontrasepsi
belum menjamin responden menggunakan kontrasepsi tubektomi dan responden
merupakan akseptor KB yang memiliki pengalaman tentang dampak (efek) dari
penggunaan KB.
5.1.5 Hubungan Agama dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden beragama Islam (60,6%)
maupun beragama non Islam (69,2%) cenderung tidak menggunakan kontrasepsi
tubektomi. Hasil uji statistik chi square didapat nilai p = 0,291>0,05, artinya tidak
ada pengaruh antara agama ibu terhadap penggunaan kontrasepsi tubektomi.
Undang-undang No.52 tahun 2009, tentang Pembangunan Kependudukan dan
Keluarga Sejahtera, disebutkan bahwa penyelenggaraan pengaturan kelahiran,
dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi kesehatan, etik
dan agama yang dianut penduduk yang bersangkutan (Pasal 17 ayat 2).
KB perlu mendapat dukungan masyarakat, termasuk tokoh agama. Walaupun
awalnya mendapat tantangan akhirnya program KB didukung tokoh agama dengan
pemahaman bahwa KB tidak bertentangan dengan agama dan merupakan salah satu
upaya dalam pengaturan masalah kependudukan untuk memerangi kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan dan ketidakpedulian masyarakat sehingga dapat
mendukung pembangunan bangsa. Peserta KB juga memerlukan pegangan,
pengayoman dan dukungan rohani yang kuat dan ini hanya bisa diperoleh dari
pemimpin agama.
Program KB juga telah memperoleh dukungan dari Departemen Agama
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Memorandum of Understanding
(MoU) Nomor 1 Tahun 2007 dan Nomor: 36/HK.101/F1/2007 tentang Advokasi,
Komunikasi, Informasi dan Edukasi Program KB Nasional melalui Peran Lembaga
Keagamaan, zada 9 Februari 2007.
Sementara itu, agama-agama lain di Indonesia umumnya mendukung KB.
Agama Hindu memandang bahwa setiap kelahiran harus membawa manfaat. Untuk
itu kelahiran harus diatur jaraknya dengan ber- KB. Agama Buddha, yang
memandang setiap manusia pada dasarnya baik, tidak melarang umatnya ber-KB
demi kesejahteraan keluarga. Agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya
ber-KB.
Namun hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh agama terhadap
penggunaan kontrasepsi tubektomi disebabkan responden dengan keyakinan atau
agama yang dianutnya mendukung dalam penggunaan kontrasepsi tubektomi.
5.1.6 Hubungan Penghasilan dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mempunyai penghasilan di
atas UMP (54,1%) cenderung menggunakan kontrasepsi tubektomi dan
berpenghasilan di bawah UPM (71,7%) cenderung tidak menggunakan kontrasepsi
tubektomi. Hasil uji statistik chi square didapat nilai p 0,005<0,05, artinya ada
hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan penggunaan kontrasepsi
Penelitian serupa dilakukan Seto (2011), berdasarkan uji statistik ada
hubungan yang signifikan antara faktor ekonomi dengan minat WUS memilih
kontrasepsi MOW di Desa Butuh Kabupaten Purworejo.
Salah satu faktor predisposisi yang memengaruhi perilaku sehat adalah tingkat
ekonomi. Menurut Azwar (2010) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh latar belakang
ekonomi, bagi yang berstatus ekonomi tinggi akan semakin mudah dalam memilih
pelayanan kesehatan begitu juga sebaliknya.
Apabila laju pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan pada batas
tertentu dan tidak diimbangi pertumbuhan ekonomi yang memadai maka akan terjadi
penurunan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sangat memengaruhi masalah kualitas
sumber daya manusia karena masih dijumpainya penduduk yang sangat miskin, yang
sangat memerlukan bantuan untuk sekedar hidup. Kepesatan pertumbuhan penduduk
Indonesia tersebut merupakan fenomena yang memerlukan perhatian dan penanganan
yang lebih sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Untuk itulah peran KB sangat
dibutuhkan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan untuk memajukan
perekonomian (BKKBN, 2013).
Ada hubungan penghasilan dengan penggunaan kontrasepsi tubektomi
disebabkan mayoritas responden berpenghasilan di bawah UMP, artinya responden
berpenghasilan rendah dengan anak banyak dapat menimbulkan beban keluarga
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga memilih kontrasepsi tubektomi. Ada
sebagian responden berpenghasilan rendah dan memiliki jumlah anak di atas 2 orang
dan khawatir terhadap proses pemasangan tubektomi melalui tindakan operasi dan
dampak yang timbul seperti infeksi akibat luka operasi.
5.1.7 Hubungan Jumlah Anak dengan Penggunaan Kontrasepsi Tubektomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mempunyai jumlah anak di
atas 2 orang (84,2%) maupun dibawah 2 orang (57,1) cenderung tidak menggunakan
kontrasepsi tubektomi. Hasil uji statistik chi square didapat nilai p 0,003<0,05,
artinya ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dengan penggunaan
kontrasepsi tubektomi.
Penelitian serupa dilakukan Etty (2010) didapatkan dari 32 responden ibu
grande multipara yang menggunakan metode kontrasepsi, mayoritas menggunakan
kontrasepsi mantap (tubektomi) dengan pekerjaan PNS yaitu sebanyak 9 orang
(28,1%) dan mayoritas tidak menggunakan kontrasepsi mantap (tubektomi) pekerjaan
IRT sebanyak 14 orang (43,8%). Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p 0,002 <0,005,
artinya ada hubungan pekerjaan dengan metode kontrasepsi mantap (tubektomi) pada
ibu grande multipara.
Karakteristik ibu terutama paritas berhubungan dengan pemilihan jenis
kontrasepsi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa paritas tinggi meningkatkan
angka kejadian seksio sesaria sebesar 3,2 kali lipat. Begitu pula dalam penelitian yang
dilakukan oleh Mesleh di Saudi Arabia yang menyebutkan bahwa paritas tinggi (lebih
dari 3) mengalami persalinan bantuan alat (forsep) sebesar 1,6 kali lipat. Oleh karena
itu jenis kontrasepsi mantap (Tubektomi) sangat efektif untuk ibu grandemultipara
Ibu dengan jumlah anak di atas 2 tahun mayoritas menggunakan kontrasepsi
mantap (tubektomi) berpendidikan SLTA, dimana pada saat penelitian dilakukan ibu
mengatakan bahwa mereka tidak ingin memiliki anak lagi dimana ibu sudah
mengetahui apa yang dimaksud dengan metode kontrasepsi mantap, sebaliknya bagi
ibu yang berpendidikan SD belum mengetahui tentang kontrasepsi mantap sehingga
ibu tidak bersedia menjadi akseptor KB Kontap. Responden sebagai pungguna
kontrasepsi tubektomi yang telah memiliki anak di atas 2 orang atau tidak
menginginkan bertambahnya anak dalam keluarga.