• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

5.3 Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan Pangan Lokal

Pola pemilikan lahan dan penguasaan lahan berkaitan dengan kelembagaan pangan dalam membangun kemampuan rumahtangga dalam mencukupi pangannya sendiri. Pada masyarakat pedesaan yang menggantungkan nafkahnya pada sektor pertanian, pola hubungan sosial ikut berubah seiring dengan perubahan pemilikan dan penguasaan lahannya. Dalam tulisan Sajogyo (1992) dalam Mardyaningsih (2010) dijelaskan bahwa modernisasi di pedesaan Jawa hanya menguntungkan petani-petani berlahan luas dan mendorong terjadinya akumulasi penguasaan lahan yang menyebabkan petani-petani kecil menjadi buruh di lahannya sendiri. Hal tersebut juga mendorong tersingkirnya perempuan dari sektor pertanian karena kemudian laki-laki yang tadinya petani di lahannya sendiri berubah menjadi buruh tani dan mengambil peran perempuan dalam sektor pertanian dikarenakan tidak adanya kesempatan kerja lain di

pedesaan dan dengan sendirinya tingkat ketergantungan perempuan perempuan dalam rumahtangga terhadap laki-laki meningkat.

Kondisi tersebut belum terjadi pada masyarakat Kampung Sinar Resmi. Dalam pengelolaan lahan pertanian peran laki-laki dan perempuan relatif seimbang dan sama-sama dalam pengerjaan budidaya pertanian mulai dari persiapan lahan sampai proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Terdapat aturan tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau perempuan saja yang mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam persiapan lahan sawah yang menggunakan bajak dan cangkul harus dilakukan oleh laki-laki. Begitu pula yang memberi doa dan pemilihan benih padi harus Abah sebagai ketua adat. Untuk menanam, memelihara tanaman (ngoret), memupuk dan memanen dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Untuk menumbuk padi hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari pembagian kerja tersebut, peran laki-laki dan perempuan cukup seimbang dalam bidang pertanian.

Kelembagan lokal yang berkembang di masyarakat cukup baik antara pemilik lahan dan tenaga kerja di Kampung Sinar Resmi relatif seimbang. Pola- pola hubungan kerja yang dikembangkan masih berupa hubungan gotong royong dan tidak bersifat komersial. Pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di luar tenaga kerja rumahtangga atau keluarga, sistem yang digunakan adalah saling membantu dan bergiliran dalam mengerjakan lahan pertanian antara satu keluarga dengan keluarga yang lain (gilir balik tenaga kerja). Sistem membantu tersebut dinamakan sistem ngepak. Memanen di sawah orang lain dan menerima sebagian dari hasil panenan sebagai upah memanen merupakan kebiasaan di Desa Sinar Resmi. Pemanen menerima upah memanen 1/5 bagian (20 persen) dari hasil yang dipanen dimana setiap 5 pocong padi yang dihasilkan tenaga kerja yang memotong padi mendapat upah satu ikat. Ikatan-ikatan padi biasanya disimpan di sawah/huma selama satu bulan untuk proses pengeringan dengan ditutup daun patat. Setelah sekitar satu bulan dilakukan penggantian ikatan pada padi (di-pocong ulang). Pada saat penggantian tali pocong ini, biasanya dibantu tenaga kerja dari tetangga namun tidak memberikan upah, tetapi

hanya menyediakan makanan. Kegiatan ini biasa dilakukan bergantian antar rumahtangga tergantung ketersediaan waktu dari tenaga kerja yang dibutuhkan. Masyarakat yang datang membantu dengan niat untuk bekerja tidak dapat ditolak oleh pemilik sawah. Namun pemilik mempunyai hak untuk menentukan batas jumlah yang ikut, dan keputusan ini ditaati oleh warga yang ikut.

Masyarakat di Kampung Sinar Resmi mengenal penguasaan tanah melalui sistem gadai yakni penguasaan tanah dimana seseorang dapat menguasai tanah dari pemilik asli berdasarkan kontrak. Pada umumnya masyarakat yang mempunyai tanah menggadaikan tanah karena membutuhkan sejumlah uang, jika menjual tanah dirasa kurang baik karena akan dapat membayar uang tersebut dalam waktu jangka pendek. Masyarakat yang terlibat dalam gadai dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011

Luas Tanah Jumlah (n) Persentase

Tidak mengikuti 29 93.5

Luas 0 0

Sedang 0 0

Sempit 2 6.5

31 100

Sumber: Data Primer (diolah), 2011

Masyarakat yang terlibat dalam sistem gadai sangat sedikit, dari seluruh responden hanya 6.5 persen yang terlibat dalam sistem gadai dengan rata-rata penguasaan 0.1 hektar. Hal ini karena masyarakat masih memiliki hubungan yang sangat harmonis dan saling tolong-menolong sehingga masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan modal bisa tetap menghasilkan padi.

Apabila sawah sudah digadaikan, maka seluruh keputusan yang menyangkut penggarapan sawah tersebut, termasuk soal biaya faktor-input, dan tenaga kerja berada di tangan pemegang gadai. Begitu juga dengan pemungutan seluruh hasil sawah tersebut.

Menguasai sebidang sawah melalui kontrak gadai, lebih baik dan lebih menguntungkan karena kekuasaan penggarapan dan pemungutan hasil seluruhnya di tangan pemegang gadai. Namun, tentu tidak semua orang bisa jadi pemegang gadai, diperlukan modal yang relatif besar untuk itu. Kontrak gadai selalu dimulai

dengan masalah kebutuhan uang yang mendadak dalam jumlah yang relatif besar dari pihak pemilik lahan, misalnya untuk membiayai kebutuhan mendadak. Karena tidak mempunyai harta lain, maka menggadaikan sawah merupakan pilihan jalan keluar yang terbaik dari kesulitan keuangan tersebut. sementara itu meminjam uang ke bank memerlukan prosedur yang panjang. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat lebih suka gadai daripada menjual. Pertama, menjual sawah dalam keadaan terdesak akan menurunkan harga sawah. Kedua, jumlah uang yang dibutuhkan jauh lebih kecil daripada harga sawah yang akan dijual. Ketiga, pemilik sawah mempunyai keyakinan bahwa dia akan dapat membayar hutangnya dalam waktu singkat.

Sistem bagi hasil dikenal masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam meningkatkan akses rumahtangga mencapai kedaulatan pangan. Sistem bagi hasil lebih dikenal di masyarakat Kampung Sinar Resmi dengan istilah maro. Dalam sistem maro pembagian hasil antara pemilik dan penggarap 50:50. Biasanya ada selisih jika dalam pengolahan lahan terdapat biaya lain seperti penyediaan pupuk dan lainnya. Maka untuk penghitungan hasil-biaya pembelian dikurangi terlebih dahulu sebelum dibagi rata. Hal ini sesuai dengan penuturan UG yang mengikuti sistem maro:

“…kalo maro mah bagi padina dibagi dua, jadi setengah di yang punya tanah dan setengah lagi di yang ngerjain. Biasana hasil dikurangi dulu dengan ongkos-ongkos alat dan lainnya…”

Umumnya yang melakukan kontrak maro adalah keluarga dekat. Kontrak

maro dengan orang di luar keluarga dekat sangat jarang, namun bukan tidak mungkin. Kalau ada, maka kontrak ini dibuat dengan tetangga dekat, atau antara klien dan patron dimana sang patron adalah pemilik tanah.

Kontrak maro yang dibuat antara anak-orang tua sebenarnya lebih merupakan bantuan kekerabatan daripada hubungan bisnis. Karena kontrak seperti ini lebih menguntungkan pihak pemaro (anak). Disini semua tenaga kerja berasal dari pemaro, faktor input seperti benih dan pupuk ditanggung bersama. Pengambilan keputusan penting dalam penggarapan, misalnya berapa jumlah pupuk berada di tangan pemaro. Namun pada masa awal kontrak, sang pemaro

sering berkonsultasi dengan pemilik lahan (orang tua) dan merupakan pelajaran bertani yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam kontrak maro dengan orang lain, faktor input ditanggung pemaro. Karena reputasi pemaro sebagai petani sawah sudah dikenal baik oleh pemilik sawah, biasanya pengambilan keputusan dalam pengerjaan sawah juga diserahkan kepada pemaro. Dalam kenyataan, pemilik sawah dalam waktu tertentu perlu bertanya mengenai perkembangan usaha karena pemilik sawah juga peduli dengan jumlah produksi sawah tersebut. Penguasaan tanah melalui sistem maro di Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011

Luas Tanah Jumlah (n) Persentase

Tidak mengikuti 27 87

Luas 0 0

Sedang 1 3.3

Sempit 3 9.7

31 100

Sumber: Data Primer (diolah), 2011

Masyarakat yang terlibat dalam sistem maro sangat sedikit terbukti hanya 13 persen. Sebanyak 9.7 persen masyarakat menguasai luas lahan sempit dengan rata-rata 0.12 hektar dan sisanya berada di penguasaan lahan sedang dengan rata- rata 0.28 hektar. Responden mengaku bahwa mereka terlibat sistem maro dengan keluarga mereka. Berikut pernyataan Bapak OM:

“ …kalo abdi teh maro nya ama orang tua, biasana hasil panen dibagi dua. Orang tua ngasi aja tanah buat dikerjakeun, abdi ka sawah. Kalo panen hasil dikurangi biaya-biaya nyawah, baru dibagi dua…”

Responden menyatakan bahwa sistem ini cukup menguntungkan karena hanya bermodalkan tenaga kerja. Biaya yang melingkupi produksi dan resiko ditanggung bersama.