• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

RAHMAD SALEH. Community’s Land Tenure Structures and Effort to Built Food Sovereignity: A case study in Village Sinar Resmi, Subdistrict Cisolok, District Sukabumi, West Java Province (Under the Supervision of Heru Purwandari).

The aim of this research are to analyze how the connection of the land

tenure structure to build food sovereignty and to analyze how the local community

realized their food sovereignty. This research is done at village Sinar Resmi,

sub-district Cisolok, sub-district Sukabumi, West Java province with focus land tenure

structure of agriculture. This research is done with fuse two approach,

quantitative and qualitative. The quantitative data were collected by using survey

method on 31 sample. The sample were selected by using stratified random

sampling based on their land tenure. The qualitative data were collected by

in-depth interview, Focus Group Discussion and observation. The respondent were

selected by using snowball method. Result from this research unfolds that found

connection land tenure structure to build food sovereignty. It realized by way of

local food institution to bring it possible.

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi “neoliberal” menyebabkan kondisi dimana 105 dari 149 negara

miskin dunia ketiga menjadi pengimpor pangan bersih, ini berarti negara-negara

tersebut tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi

pangannya sendiri. Kebijakan-kebijakan neoliberal merusak kedaulatan pangan

karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat

atas pangan. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan

rakyat pada impor agricultural dan mengintensifkan peng-korporatisasian

pertanian (Malonzo, 2007).

Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan

yang telah dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International

Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO)

menyebabkan semakin buruknya kondisi pangan di daerah-daerah pedesaan.

Institusi-institusi tersebut mengharuskan suatu negara untuk menerapkan

kebijakan perdagangan, makroekonomi, dan sektoral yang melemahkan daya

hidup petani-petani kecil. Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya

hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan paling kuat

yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan

perdagangan neoliberal ini membanjiri pasar-pasar lokal dengan bahan-bahan

pangan impor murah karena adanya praktek dumping yang menyebabkan petani

lokal tidak mampu bersaing.

Pertanian kapitalis yang identik dengan industrialisasi sering menganggap

sumberdaya seperti tanah merupakan input produksi yang harus digunakan

sebesar mungkin untuk memperoleh keuntungan. Pertanian di bawah pengelolaan

diasumsikan berpotensi menghasilkan produksi yang maksimal sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan petani. Pada kenyataannya, pertanian seperti ini tidak

efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sumberdaya seperti tanah justru

rusak karena tidak memperhatikan keberlanjutannya. Selain itu timbul masalah

(3)

yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang secara tradisional memandang tanah

secara spiritualistik dan sakral. Bagi masyarakat lokal, tanah bukanlah sekedar

suatu sumberdaya produksi, suatu habitat, atau batas politik. Tanah memiliki

makna lebih dari itu. Tanah merupakan basis bagi organisasi sosial, sistem

ekonomi, dan identifikasi kultural masyarakat (Vicente; Carino dalam La via

Campesina, et.al, 2008).

Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduk

berorientasi pada pertanian, tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting

(Tjondronegoro, 1999). Tanah merupakan faktor utama dalam kedaulatan pangan.

Sifat tanah relatif tidak bertambah, sementara kebutuhan tanah untuk keperluan

pangan semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut akan menimbulkan

kompetisi di masyarakat untuk menguasainya.

Penguasaan atas tanah mempengaruhi hubungan manusia dengan

ketersediaan pangan karena tanah merupakan sumberdaya yang berhubungan

dengan produksi. Ketimpangan dalam penguasaan tanah akan mempengaruhi

kemampuan produksi. Peningkatan produksi pertanian terutama pangan, sangat

diharapkan untuk mencapai kondisi yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

Praktek penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat akan menunjukkan

bagaimana masyarakat akan membangun kedaulatan pangan. Penguasaan tanah

yang merata memberikan kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan

sumberdaya guna mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan.

Sebaliknya, penguasaan yang timpang akan membawa masyarakat pada kondisi

yang tidak mandiri pangan. Bahkan, akan menjadikan banyak konflik yang

meluas. Brazil merupakan contoh negara berkembang yang berhasil dalam

pertanian dengan mengorganisir masyarakat tak bertanah untuk memiliki tanah

yang kemudian mengolahnya dengan skala kecil. Secara total, usaha pertanian

keluarga menyumbang sekitar 40 persen dari total nilai produksi secara nasional,

meski hanya memiliki 30.5 persen lahan pertanian. Usaha-usaha pertanian

tersebut mempekerjakan 76.9 persen dari jumlah tenaga kerja di bidang pertanian,

meski hanya mendapatkan 25.3 persen dari total pertanian (Pengue dalam La Via

(4)

Usaha mencapai kedaulatan pangan yang hakiki perlu memperhatikan

kelembagaan yang berkembang di masyarakat terutama yang berkaitan dengan

pengaturan pangan. Melalui kelembagaan inilah pihak-pihak yang terkait dapat

berinteraksi dan bersama-sama mencari solusi atas masalah yang muncul di

masyarakat.

Masyarakat Kampung Sinar Resmi merupakan masyarakat yang berada di

wilayah Desa Sinar Resmi. Masyarakat Kampung Sinar Resmi pada umumnya

merupakan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kelembagaan lokal yang

berkembang di masyarakat mengarahkan masyarakat kepada pola-pola tertentu.

Masyarakat ini hampir seluruhnya bergantung pada pertanian. Pertanian yang

berkembang masih bersifat tradisional baik pengolahan maupun pengaturannya.

Dalam setahun masyarakat kasepuhan hanya mempunyai siklus panen sekali. Pola

pertanian demikian berangkat dari pandangan tradisional bahwa tanah

diasosiasikan sebagai ibu yang dihargai; yang hanya dapat melahirkan sekali

dalam setahun. Namun, pada masa paceklik masyarakat kasepuhan dapat bertahan

dari kondisi kekurangan pangan. Kemampuan bertahan dalam siklus panen

demikian menunjukkan bahwa terdapat mekanisme pengembangan sistem

kedaulatan pangan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, diketahui Kampung Sinar Resmi mempunyai

siklus panen satu kali setahun. Namun masyarakat bisa mencukupi kebutuhan

pangan rumahtangga selama satu tahun. Hal tersebut tidak lepas dari peran

kondisi penguasaan tanah dan strategi masyarakat dalam membangun kedaulatan

pangan.

Penguasaan tanah masyarakat di Kampung Sinar Resmi rata-rata kurang

dari 0.25 hektar. Kondisi ini menyebabkan produksi pangan lokal sangat rentan

ketika musim paceklik. Penting untuk dilihat bagaimana keterkaitan struktur

penguasaan tanah dengan kemampuan komunitas membangun sistem kedaulatan

pangan. Secara khusus pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu:

1. Bagaimana sistem penguasaan tanah yang kurang dari 0.25 hektar dapat

(5)

2. Bagaimana strategi masyarakat Sinar Resmi membangun kedaulatan

pangan.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan penelitian yakni:

1. Mendeskripsikan pengaruh struktur penguasaan tanah yang kecil dalam

membangun kedaulatan pangan.

2. Menganalisis strategi masyarakat Sinar Resmi dalam membangun

kedaulatan pangan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji

secara ilmiah mengenai struktur penguasaan tanah dalam membangun

kedaulatan pangan

2. Menambah literatur bagi kalangan akademisi dalam mengakaji hal-hal

yang berkaitan dengan kedaulatan pangan dan upaya untuk mencapainya

di masyarakat

3. Acuan dalam pelaksanaan pembangunan bagi kalangan non akademisi,

seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam menentukan kebijakan

(6)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kedaulatan Pangan

Konsep kedaulatan pangan ini dikembangkan oleh La Via Campesina et

al. (2008) yang menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi

pertanian lokal untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat.

La Via Campesina menjelaskan kedaulatan pangan merupakan hak asasi manusia.

Kedaulatan pangan mensyaratkan reforma agraria yang berkaitan dengan hak atas

pangan yang mencukupi dan hak atas tanah.

Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat dalam menetapkan kebijakan

pertanian dan pangannya. Kedaulatan pangan mencakup (Bonnie, 2003):

1. Memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunakisma atas tanah, air benih, dan kredit. Karena itu perlu menjalankan land reform, akses atas benih, dan melindungi air sebagai barang publik untuk didistribusikan berkelanjutan.

2. Hak petani untuk memproduksi makanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi, bagaimana diproduksi dan siapa yang memproduksi.

3. Harga pertanian terkait dengan biaya produksi, misalkan dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yang murah.

4. Rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian.

5. Pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertanian dan pangan.

Kedaulatan pangan mempunyai fokus pada beberapa elemen kunci.

Elemen tersebut meliputi produksi pangan untuk pasar domestik dan lokal serta

memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis, menjamin

akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital, menjamin terciptanya harga yang

adil, menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya,

mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif, dan melindungi benih

dari pematenan.

Jaminan kepemilikan lahan dan/atau mendapatkan akses merupakan suatu

yang vital untuk menciptakan keterjaminan pangan tanpa jaminan dan/atau hak

(7)

pangan. Langkah yang tepat untuk mencapai hal tersebut adalah melalui reforma

agraria yang tepat yang berwatak distribusi merata serta peraturan-peraturan

hak-hak yang sesuai dengan sosio-kultural masing-masing.

2.1.2 Penguasaan Tanah

Distribusi penguasaan tanah di kalangan rumahtangga petani di pedesaan

akan membentuk pola penguasaan tanah. Maksud penguasaan tanah adalah luas

tanah yang dikuasai mengacu pada penguasaan yang efektif (bukan pemilikan

tanah yang sebenarnya), berdasarkan hak milik, menyakap, menyewa, dan bagi

hasil (Wiradi, 2008). Menurut Wiradi, penyewa adalah rumahtangga petani yang

menguasai tanah orang lain dengan sewa tetap, sedangkan penggarap adalah

penguasaan tanah oleh rumahtangga tidak hanya berupa sewa tetapi juga bagi

hasil.

Selanjutnya bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di

Pulau Jawa menurut Wiradi (2008) adalah:

1. Tanah yasan, yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka

hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang berasal

dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka

tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam Bahasa Jawa berarti membuat

sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah

ini dalam UUPA dikategorikan hak milik.

2. Tanah gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak

pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut

sebagai penduduk inti) secara tetap maupun secara giliran berkala.

Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk menjualnya atau

memindahtangankan hak tersebut. Dalam konsep barat tanah gogol

dikategorikan sebagai pemilikan komunal.

3. Tanah titisara (titisoro, tanah kas desa, tanah bondo desa) adalah tanah

pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau

disakapkan dengan cara dilelang terlebih dahulu. Hasil menjadi kekayaan

desa yang biasanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik

(8)

4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang

diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai

gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak lagi menjabat,

maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada

pejabat yang baru.

Hubungan antara manusia dengan sesamanya dan sumberdaya tanah dalam

penguasaan tanah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Dinamika dalam

penguasaan tanah menyangkut pemilikan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan

sifatnya, perubahan penguasaan tanah ada yang bersifat sementara dan tetap.

Penguasaan tanah yang bersifat sementara dilakukan melalui sewa menyewa,

gadai, dan bagi hasil sedangkan perubahan penguasaan tanah yang bersifat tetap

dilakukan melalui waris dan transaksi jual beli.

Petani miskin yang tidak mempunyai tanah garapan dapat menguasai

tanah melalui hubungan penguasaan sementara dengan petani lain (Wiradi, 2008),

karena pemilik tanah luas biasanya tidak selalu menggarap sendiri (Breman dan

Wiradi, 2004).

2.1.2.1Sewa

Breman dan Wiradi (2004) mendefinisikan sewa yakni menyewakan tanah

untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya

dibayarkan sebelumnya. Dalam sewa pemilik tanah memberikan hak penguasaan

tanah kepada orang lain secara sementara, sesuai dengan perjanjian antara

keduanya (Wiradi dan Makali, 1984).

Istilah sewa di beberapa desa di Jawa diantaranya motong, kontrak, sewa

tahunan setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Berdasarkan waktu

pembayarannya, sewa dapat dibayar sebelum atau setelah menyewa tanah,

tergantung pada kebiasaan. Istilah motong, kontrak, dan setoran, harga sewa

dibayar setelah panen sedangkan sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan

harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya. Selanjutnya

urutan bagi penyewa tanah untuk menggarap tanah menentukan harga sewa tanah.

Penyewa yang langsung menggarap (berada pada urutan pertama) membayar

sewa lebih mahal daripada penyewa yang harus menunggu beberapa musim

(9)

2.1.2.2Hak Gadai

Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian

punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman

(Breman dan Wiradi, 2004). Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan

hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa

sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau

kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah

menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan

atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah

tanamannya selesai dipanen (Wiradi dan Makali, 1984).

Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya

sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan

tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka

tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang

mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si

peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar (Breman

dan Wiradi, 2004).

Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya

dikarenakan dua hal, yaitu: (1) Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah

dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, (2) Uang

yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan

uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal.

Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah

hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan

untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam (Breman dan Wiradi,

2004).

2.1.2.3Bagi Hasil

Bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain

untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga

kerja seluruhnya, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi

hasil ini, maka si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang

(10)

sama sekali tidak menanggung resiko. Besar kecilnya bagian hasil yang harus

diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati bersama oleh

pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya

(Wiradi dan Makali, 1984).

Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA tahun 1960) diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan

pasal 53 yang menyebutkan bahwa: adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang-orang-orang lain serta

badan-badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di

atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan

peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA Tahun 1960).

Selanjutnya dalam pasal 16 ayat 1 UUPA Tahun 1960, dijelaskan macam-macam

hak atas tanah yang meliputi: a) hak milik, b) hak guna usaha, c) hak guna

bangunan, d) hak pakai, e) hak sewa, f) hak membuka tanah, g) hak memungut

hasil hutan, dan h) hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA

Tahun 1960 yang menunjukkan pada hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak

menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya

yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan

hapusnya dalam waktu yang singkat.

Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UUPA No. 2 Tahun 1960, tentang

perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa: perjanjian bagi hasil ialah perjanjian

dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan

seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut:

penggarap – berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh

pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik,

(11)

2.1.3 Sistem Pemilikan Tanah

Ada empat sistem pemilikan tanah di Jawa, menurut Koentjaraningrat

(1984), yaitu sistem pemilikan umum atau komunal dengan pemakaian beralih

(norowito), sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowitogilir), sistem

komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu/yasan. Tidak

diketahui dengan pasti kapan keempat sistem itu mulai berlaku, demikian juga

tentang ketersebarannya di daerah pedesaan Jawa.

Ciri khas struktur pemilikan tanah di Jawa Tengah (Rőll, 1983) ialah adanya hubungan yang sangat erat antara struktur pemilikan tanah dengan

keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat pedesaan. Karena itu,

dalam susunan masyarakat agraris yang kurang dinamis dan tradisional, hak-hak

penguasaan tanah yang berbeda-beda menentukan keadaan ekonomi seseorang,

yang sejak dahulu kala merupakan ukuran tingkat kedudukan sosial seseorang,

dan hingga kini masih merupakan suatu ciri yang representatif bagi kedudukan

sosial seseorang.

Hak milik, menurut pasal 20 UUPA Tahun 1960 adalah hak

turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

mengingat ketentuan pasal 6, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA Tahun 1960, adalah hak untuk

menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh

negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang

ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan

perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolah tanah, segala sesuatu asal

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

2.1.4 Lapisan Sosial Masyarakat

Soekanto (2006) menyebutkan bahwa selama dalam suatu masyarakat ada

sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat pasti mempunyai suatu yang

dihargainya, maka hal itu akan menjadi potensi yang dapat menumbuhkan adanya

sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam

masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,

(12)

keturunan dari keluarga yang terhormat. Mengenai hal ini Pitirim A Sorokin

dalam Soekanto (2006) menggunakan sistem pelapisan masyarakat dengan istilah

social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin menjelaskan stratifikasi sosial

adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

bertingkat (secara hirarkis).

Menurut Weber dalam Soekanto (2006) konsep stratifikasi sosial meliputi

class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan

stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan.

Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berkenan pada

prinsip-prinsip yang dianut pada masyarakat bersangkutan dalam mengkonsumsi

“harta-benda”, menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak

istimewa (privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi

pada penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat.

Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas

(lapisan masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran

pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup

orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut

ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah.

Sajogyo (1982) dalam Penny (1990) membedakan struktur sosial pedesaan

Jawa berdasarkan luas penguasaan tanah pertanian. Struktur sosial pedesaan Jawa

dibedakan menjadi tiga lapisan sosial yaitu: (1) Lapisan atas atau “orang kaya” di

desa, bila menguasai tanah lebih dari satu hektar; (2) Lapisan tengah, bila

menguasai tanah antara 0,5 sampai 1 hektar tanah; (3) Lapisan bawah, adalah

masyarakat yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar atau tidak mempunyai

tanah sama sekali. Sementara Breman (1986) membagi masyarakat desa pertanian

menjadi tiga lapisan berdasarkan modal yang dikuasai yakni berupa akses

terhadap tanah disamping kepemilikan modal di luar sektor pertanian. Tiga

lapisan masyarakat menurut Breman adalah: (1) Lapisan atas, yaitu pemilik atau

penggarap lahan pertanian lebih dari satu hektar, pedagang atau pemilik toko

besar, pimpinan dan guru; (2) Lapisan menengah, yaitu pemilik atau penyewa

lahan pertanian paling sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik

(13)

rendah (seperti hansip dan penjaga pintu air); (3) Lapisan bawah, yaitu buruh tani,

pemilik dan penyewa lahan marginal, pekerja kasar dan pekerja tidak tetap,

pekerja transport tanpa milik, pedagang asongan, dan pembantu rumahtangga.

2.1.5 Konsep Kelembagaan: Perspektif Kelembagaan

Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak pernah dapat

lepas dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam lingkup

kehidupan bermasyarakat. Setiap melakukan interaksi, mereka kadang-kadang

melakukan tindakan-tindakan yang berpola resmi maupun yang tidak resmi.

Menurut Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (2006), sistem-sistem yang

mewadahi warga masyarakat untuk dapat berinteraksi menurut pola-pola resmi

dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan pranata, atau dalam bahasa

inggris dengan institution. Tindakan-tindakan yang berpola tersebut ditekankan

pada suatu sistem norma khusus yang menata atau mengatur tindakan-tindakan

manusia agar dapat memenuhi suatu keperluan khusus dalam kehidupan

bermasyarakat. Definisi tersebut lebih menekankan pada sistem tata kelakuan atau

sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.

Koentjaraningrat (1954) dalam Soekanto (2006) membedakan istilah

pranata dengan lembaga, dimana menurut Koentjaraningrat pranata adalah sistem

norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus,

sedangkan lembaga atau institut merupakan suatu bentuk konkrit berupa badan

atau organisasi yang mengejawantahkan aktivitas masyarakat tersebut. Uphoff

(1986) menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi

dapat berwujud kelembagaan. Perbedaannya, kelembagaan berupa seperangkat

norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi

kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi berupa struktur dari peran-peran yang

diakui dan diterima.

Norma-norma yang berkembang di masyarakat memberikan petunjuk bagi

perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat. Norma mempunyai kekuatan

mengikat yang berbeda-beda, Soekanto (2006) membedakan tingkatan tersebut

kedalam empat tingkatan, yaitu:

1. Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjol

(14)

terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman berat, tetapi hanya

sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.

2. Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar

daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuataan yang diulang-ulang

dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai

perbuatan tersebut.

3. Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok

manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun

tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan

di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya

sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat

menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.

4. Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat

integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat

yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras.

Jika Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk menjelaskan

tentang kelembagaan, Soekanto (2006) menggunakan istilah lembaga

kemasyarakatan atau lembaga sosial yaitu himpunan norma-norma yang mengatur

segala tindakan atau berisikan segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan

pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga

kemasyarakatan adalah association.

2.1.6 Konsep Kelembagaan Pangan

Kelembagaan (institution) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan

berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponennya

yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan,

kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan dan untuk

wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang

melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1964 dalam Soekanto, 2006).

Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan

merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih

formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual

(15)

dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal

institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual

anggota-anggotanya dalam masyarakat karena kebebasan individu sering membuat

tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering

mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan. Oleh sebab itu, masyarakat

perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya

bersesuaian dengan kepentingan masyarakat.

Kelembagaan memiliki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule

of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan

masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal

maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia

dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam

kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian

ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh

sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan.

Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai

segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi

kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak,

karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan

pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola

pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif

sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat.

Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan

pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memenuhi

kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai

transparansi (keterbukaan) sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak

meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan

fungsi penyangga harga (PSP-IPB, 2003 dalam Basri, 2008).

Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan

penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan

kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan.

(16)

didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan

pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi

Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008).

2.1.7 Lumbung Pangan

Menurut Kusumowardani (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh

masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai

lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi

petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk

mencukupi kebutuhan rumahtangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan

lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelembagaan lokal

yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak

hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif

penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan

adalah sebagai berikut:

1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen.

2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik.

3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan

pangan maupun tunai.

4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan

alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar

dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon.

5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani

untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk

membeli bahan pangan pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik.

Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan

penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan

kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan.

Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat

didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan

pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi

(17)

2.2 Kerangka Pemikiran

Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk

kelangsungan hidup manusia, karena hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia

mulai dari proses produksi pertanian, pemukiman, sampai kegiatan industri

membutuhkan tanah sebagai input. Bahkan dalam teori produksi hasil-hasil

pertanian, tanah ditempatkan sebagai faktor produksi utama dalam setiap proses

produksinya.

Pertambahan penduduk serta akibat dari berkembangnya kegiatan

perekonomian membawa konsekuensi semakin besarnya permintaan akan tanah

untuk berbagai keperluan pertanian dan pemukiman. Keadaan ini menyebabkan

terjadinya ketimpangan penguasaan terhadap tanah. Derajat ketimpangan yang

berkembang akan mempengaruhi strategi pengaturan pangan di masyarakat. Pada

akhirnya, penguasaan tanah dan strategi pengaturan pangan masyarakat akan

menentukan kondisi kedaulatan pangan.

Struktur penguasaan tanah meliputi luas lahan yang dimiliki; luas yang

dikuasai; status kepemilikan; dan status penguasaan. Masyarakat yang memiliki

luas tanah yang sempit akan berbeda dengan masyarakat dengan memiliki luas

tanah yang luas dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Masyarakat dengan

luas tanah yang kecil dapat menambah luas garapan dengan berbagai bentuk

penguasaan yang diperoleh dari pihak lain. Masyarakat yang memiliki tanah yang

luas dapat membantu masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit.

Hubungan tersebut dapat terjadi didukung oleh norma-norma yang berkembang di

masyarakat.

Setiap masyarakat pertanian memiliki kelembagaan pangan yang

merupakan bentuk pengaturan atau keteraturan yang dapat menyumbang pada

kedaulatan pangan masyarakat. Jika kelembagaan pangan yang ada dalam

masyarakat berkembang, norma-norma yang dianut serta adanya hubungan

interaksi yang dilandasi rasa saling percaya, maka upaya masyarakat mencapai

kedaulatan pangan akan berlangsung dengan baik.

Kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan sebuah wadah yang

diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan. Lumbung pangan masyarakat

(18)

kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Potensi sektor

pertanian dikelola melalui kelembagaan sehingga masing-masing masyarakat

kasepuhan dapat mengakses sumberdaya secara adil dan merata. Pengelolaan

yang demikian diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan dalam

rumahtangga masyarakat kasepuhan.

Keberadaan leuit di masyarakat menjadi hal yang sangat vital dalam

menjamin ketersediaan pangan. Leuit bukan hanya sekedar tempat menyimpan

padi, tetapi juga suatu pedoman masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya

tersebut. Jumlah leuit pun terkait dengan luas garapan masyarakat. Masyarakat

yang menggarap lebih banyak akan menghasilkan padi lebih banyak dan akan

membantu dalam membangun kemandirian.

Masyarakat Sinar Resmi memiliki dua jenis leuit yakni leuit sijimat dan

leuit rumahtangga. Leuit sijimat merupakan leuit komunal yang berada dipusat

kasepuhan. Leuit sijimat menampung sebagian hasil panen masyarakat sesuai

dengan produktivitas masing-masing rumahtangga. Apabila ada masyarakat yang

membutuhkan padi maka dapat meminjam ke leuit sijimat dan menggantinya di

panen berikutnya.

Kedaulatan pangan masyarakat adalah terpenuhinya pangan yang cukup

baik secara mandiri. Agar anggota masyarakat mendapat mengkonsumsi pangan

secara baik dibutuhkan ketersediaan pangan harus terpenuhi dengan baik. oleh

karena itu, untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut masyarakat harus

memiliki akses terhadap pangan secara fisik. Kedaulatan mempunyai karakter

yang meliputi produksi pangan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan

domestik ataupun lokal; memanfaatkan usaha petani kecil dan keluarga yang

agro-ekologis; menjamin akses tanah dan sumberdaya vital; menghormati peran

wanita dalam produksi pangan, akses, dan sumberdaya; dan mendorong kontrol

(19)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: mempengaruhi

2.3 Hipotesis Penelitian

1) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan pola sewa, gadai, dan

maro.

2) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan produktivitas pertanian.

3) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan jumlah leuit rumahtangga.

4) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan distribusi hasil panen ke

leuit sijimat.

2.4 Definisi Konseptual

1. Produksi pangan adalah semua komoditi bahan makanan yang diperoleh rumahtangga dari hasil usaha pertanian selama 1 trip/bulan/musim

dinyatakan dalam satuan kilogram.

Kedaulatan Pangan Struktur Penguasaan

Tanah

• Luas Lahan yang Dimiliki

• Luas lahan yang Dikuasai

• Status Kepemilikan

• Status Penguasaan

Kelembagaan Pangan Masyarakat

• Produksi

• Penyimpanan (Lumbung pangan-leuit)

(20)

2. Kedaulatan pangan masyarakat adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan bagi anggota lumbung pangan masyarakat

dari waktu ke waktu.

3. Sewa adalah penyerahan hak milik seseorang secara sementara kepada pihak lain untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang

yang biasanya dibayarkan sebelumnya.

4. Gadai adalah penyerahan tanah kepada kreditor dengan imbalan pembayaran dalam bentuk tunai (uang) maupun benda berharga lainnya

seperti emas atau ternak lainnya. Dengan ketentuan kreditor memiliki hak

menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman,

kemudian si pemilik tanah dapat mengambil tanahnya kembali bila ia telah

mengembalikan pinjaman.

5. Bagi hasil adalah penyerahan tanah secara sementara dari pemilik tanah kepada penggarap untuk dipakai, dimanfaatkan dan dikelola, disertai

perjanjian biaya produksi, tenaga kerja dan pembagian keuntungan antara

kedua belah pihak.

6. Lumbung pangan atau Leuit adalah tempat penyimpanan padi dalam satuan pocong yang dimiliki secara komunal atau rumahtangga. Jumlah

leuit rumah tangga sesuai dengan produktivitas padi yang dihasilkan.

7. Distribusi pangan adalah jumlah yang dibagikan untuk rumahtangga lain yang membutuhkan pangan. Jumlah yang dibagikan dalam satuan pocong.

8. Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir sampai saat penelitian berlangsung dalam satuan tahun.

2.5 Definisi Operasioanal

1. Penguasaan lahan adalah ukuran luas area yang dikelola oleh responden tanpa memperhatikan status kepemilikannya. Luasan area yang dikelola

dinyatakan dalam satuan hektar; pengukurannya dilakukan dengan skala

ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). Sempit

(0-0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar).

(21)

dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan dikelompokkan

menjadi tiga kategori yaitu: (1). pemilik, (2). Penggarap, dan (3). Pemilik

penggarap

3. Lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat menurut penguasaan tanah, yakni: (1).

Sempit (0-0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5

hektar)

4. Jenis kelamin digolongkan menjadi :1. Pria; 2. Wanita

5. Status dalam RT adalah posisi seseorang sebagai anggota rumah tangga dalam hubungan kekerabatan, misal suami, istri, anak, mertua, dan

lainnya.

6. Tingkat pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh oleh anggota rumahtangga, rendah (<6 tahun), sedang (6-9 tahun), tinggi (>9

(22)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi,

Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

penelitian dilakukan secara purposive. Alasan yang mendasari pemilihan

Kampung Sinar Resmi sebagai lokasi adalah adanya masyarakat adat yang dapat

memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan juga adanya lembaga pangan

berupa lumbung padi atau leuit. Selain itu. Kampung Sinar Resmi merupakan

pusat Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang memudahkan dalam menggali informasi

tentang kelembagaan pangan lokal.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2011. Pengolahan data dan

hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011. Selanjutnya,

perbaikan laporan, konsultasi dilakukan pada bulan Juli-Agustus2011.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory.

Penelitian explanatory merupakan penelitian penjelasan yang menyoroti

hubungan antar variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah

dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pendekatan yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode

survai menggunakan kuesioner serta didukung oleh data kualitatif seperti hasil

konsultasi atau wawancara antara peneliti dan informan. Pendekatan kuantitatif

digunakan untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang

sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk

mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian, yang terdiri dari

informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk

memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan

(23)

(teknik bola salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi

yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diteliti (kerangka sampling).

Adapun informan kunci yang dipilih adalah tokoh-tokoh masyarakat adat

setempat yakni ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi. Dalam melengkapi data yang

didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya

yang telah didiskusikan dengan informan kunci. Pemilihan tokoh masyarakat

setempat menjadi informan kunci didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah

orang-orang yang mengetahui secara mendalam terkait dengan pengaturan

pangan.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Penentuan

responden dipilih dengan teknik stratified random sampling. Artinya, populasi

yang tidak homogen dibagi dalam lapisan-lapisan, dan setiap lapisan diambil

sampel secara acak. Dengan menggunakan metode ini, semua lapisan dapat

terwakili (Singarimbun dan Effendi, 1989). Populasi meliputi seluruh

rumahtangga Kampung Sinar Resmi yang berjumlah 111 rumahtangga (Lampiran

4). Kemudian dari semua daftar rumahtangga dibagi ke dalam beberapa kategori

berdasarkan penguasaan tanah. Stratifikasi responden dibagi ke dalam tiga

kategori, yaitu responden I yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah

0-0.25 hektar, responden II yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah

0.26-0.5 hektar, dan responden III yakni responden rumahtangga yang menguasai

tanah lebih dari 0.5 hektar. Kemudian dipilih responden sebanyak 31 rumahtangga

yang menurut kategori masing-masing berjumlah 16, 8, dan 7 rumahtangga.

Jumlah responden yang diambil dalam penelitian dihitung menggunakan Rumus

Slovin. Rumus Slovin digunakan karena ukuran populasi diketahui. Rumus Slovin

adalah sebagai berikut:

n NNe

n . 5

= 31 (pembulatan)

Keterangan: N: ukuran populasi e: nilai kritis (15%)

(24)

Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel

Keterangan:

: Populasi

: Kerangka Sampling

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara:

a) Kuesioner: Teknik kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data primer

secara kuantitatif terhadap informan.

b) Wawancara mendalam: teknik wawancara mendalam dilakukan untuk

mendapatkan data primer secara kualitatif yang dapat mendukung

penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan tokoh masyarakat

(formal dan non formal) serta warga yang menguraikan secara mendalam

mengenai struktur penguasaan tanah, hubungan interaksi dan kerjasama

dalam kelembagaan pangan masyarakat.

c) Pengamatan berperan serta: merupakan teknik pengumpulan data, dimana

peneliti hadir sebagai pengamat dinamika subjek penelitian. Rumahtangga

Kampung Sinar Resmi

Rumahtangga kategori >0.5

hektar

Rumahtangga kategori 0.26-0.5

hektar Rumahtangga

(25)

d) Melaksanakan “Focus Group Discussion” untuk mendapatkan data

kualitatif mengenai hubungan-hubungan antara variabel penelitian

menurut masyarakat.

e) Penelusuran dokumen: data sekunder diperoleh dengan melakukan kajian

pustaka dan menganalisis berbagai literatur yang ada. Selain itu analisis

data sekunder juga diperlukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi

penelitian, seperti data monografi desa, data kepemilikan tanah, dan

lain-lain. Berikut rincian mengenai teknik pengumpulan data penelitian:

Tabel 1. Rincian Metode Pengumpulan Data

Uraian Data yang

diperlukan

Metode Sumber data

Mengetahui Struktur

penguasaan tanah di Desa Sinar Resmi Sistem penguasaan tanah Sistem pemilikan tanah Struktur pemilikan dan penguasaan tanah Kuesioner Wawancara mendalam Literatur Pemetaan oleh masyarakat Responden Informan Kelembagaan pangan masyarakat di Desa Sinar Resmi

Distribusi hasil panen Partisipasi masyarakat dalam membangun lumbung Struktur kelembagaan FGD yang dilakukan tiga kali, yakni disetiap lapisan masyarakat Wawancara mendalam Responden Responden Sistem norma yang mendukung sistem kedaulatan pangan masyarakat Komponen modal sosial (kepercayaan, norma, dan jaringan) Proses bekerjanya sistem norma Peranan sistem norma dalam kelembagaan pangan Pengamatan berperan serta Wawancara mendalam Studi dokumen Informan Responden

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan

data kuantitatif dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean.

(26)

selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan

melalui analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, ukuran pemusatan, dan ukuran

penyebaran. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara deskriptif dengan

mengunakan Microsoft Excel 2007. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula

analisis data kualitatif sebagai pendukung dengan mengutip hasil pembicaraan

dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif untuk

(27)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi

Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan

Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini

terletak antara 106° 27´ - 106° 33´ BT dan 6° 52´ - 6° 44´ LS. Desa Sinar Resmi

memiliki luas wilayah 4917 hektar dengan ketinggian tanah 600-1200 meter di

atas permukaan laut, dengan karakteristik topografi yang berbukit dan bergunung

dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45 persen. Pemukiman warga

masyarakat pada umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara lahan

pertanian masyarakat pada umumnya di lereng-lereng gunung. Suhu rata-rata pada

musim kemarau berkisar 28° Celsius sedangkan pada musim penghujan sekitar

21-25° Celsius. Desa Sinar Resmi memiliki curah hujan yang bervariasi antara

2120-3250 mm/tahun dengan kelembaban udara 84 persen. Batas-batas Desa

Sinar Resmi antara lain sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Banten, sebelah

selatan dan barat berbatasan dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur berbatasan

dengan Desa Cihamerang.

Jarak Desa Sinar Resmi dari ibukota kecamatan sekitar 23 kilometer, jarak

dari ibukota kabupaten sekitar 33 kilometer, jarak dari ibukota provinsi sekitar

183 kilometer, dan jarak dari ibukota negara sekitar 168 kilometer. Akses lalu

lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan

menuju desa tersebut masih terbatas. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh

dengan bus melalui jalur Bogor menuju Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh

tiga sampai empat jam. Setelah sampai terminal Pelabuhan Ratu, dapat dicapai

dengan angkutan umum Elf dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Memasuki

wilayah perkampungan masyarakat Sinar Resmi dapat menggunakan ojek. Ketika

memasuki wilayah Desa Sinar Resmi kondisi jalan masih berbatu dan belum

(28)

4.1.2 Kondisi Demografi

Desa Sinar Resmi dihuni oleh tiga kelompok masyarakat adat kasepuhan

yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yaitu Kasepuhan Cipta

Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Penelitian ini

dilakukan di Kampung Sinar Resmi yang merupakan wilayah pusat Kasepuhan

Sinar Resmi.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, menunjukkan bahwa

penduduk Desa Sinar Resmi sekitar 5.007 jiwa yang terbagi dalam 1.497 kepala

keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 2.487 jiwa dan penduduk

perempuan adalah 2.420 jiwa. Terdapat tujuh kampung atau dusun yang ada di

Desa Sinar Resmi yaitu Kampung Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag,

Situmurni, Cimemet, dan Sukamulya. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap

kampung hampir merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan yang

seimbang. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kampung Cibongbong

sejumlah 1.023 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di

kampung Cimemet sebanyak 262 jiwa. Sebagian besar masyarakat Desa Sinar

Resmi beragama Islam dengan jumlah sekitar 5.305 jiwa dan yang beragama non

Islam sekitar delapan jiwa. Gambaran mengenai penyebaran penduduk di Desa

Sinar Resmi pada tiap kampung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis Kelamin di Sinar Resmi Tahun 2009

No Kampung Jumlah Penduduk Jumlah KK

L P Total L P Total

1 Sinar Resmi 203 185 388 100 11 111

2 Cibongbong 517 506 1.023 271 31 302

3 Cikaret 384 328 712 203 19 222

4 Cimapag 409 404 813 210 31 241

5 Situmurni 313 291 604 159 12 171

6 Cimemet 288 274 562 163 21 184

7 Sukamulya 437 432 869 236 30 266

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009

Jumlah penduduk Kampung Sinar Resmi paling sedikit setelah Kampung

Cicemet diantara kampung lainnya namun kampung ini merupakan tempat pusat

dari kegiatan adat dan pemerintahan. Masyarakat memilih untuk tinggal di

(29)

memberikan kemudahan dalam produksi dan pengawasan terhadap usaha tani

yang mereka kembangkan.

Kegiatan pendidikan umum yang terdapat di Desa Sinar Resmi yakni

pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pendidikan khusus tersedia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekolah

madrasah. Masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat lebih atas pada

umumnya sekolah di luar Desa Sinar Resmi. Umumnya masyarakat yang tidak

melanjutkan sekolah akan bekerja di sektor pertanian. Berikut tabel kelompok

pendidikan dan tenaga kerja di Desa Sinar Resmi:

Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Usia,Kelompok Pendidikan dan Kelompok Tenaga Kerja di Desa Sinar Resmi Tahun 2009

Kategori Kelompok Menurut Usia Usia (tahun) Jumlah/Jiwa a. Kelompok Pendidikan 4-6

7-12 13-15

391 784 124

b. Kelompok Tenaga Kerja 20-26 27-40

805 1.402

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009

Sebagian besar penduduk dalam kelompok pendidikan berada di jenjang

SD. Jumlah tenaga pendidik untuk melayani pendidikan di Desa Sinar Resmi

belum memadai. Untuk mendidik seluruh murid yang bersekolah hanya terdapat

15 guru. Untuk kelompok tenaga kerja di Desa Sinar Resmi sebagian besar berada

pada kelompok usia produktif. Selain sebagai tradisi dan lapangan pekerjaan yang

tersedia terbatas menyebabkan sebagian besar berada di sektor pertanian.

Sebagian kecil diantaranya bekerja di sektor jasa, seperti bengkel dan

pertukangan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Sinar Resmi Tahun 2009

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah/Jiwa Persentase

1. Petani 2.818 88

2. Wiraswasta 163 7

3. Pertukangan 221 5

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009

Berdasarkan Tabel 4 sebanyak 88 persen berada di sektor pertanian

menjadikan sektor yang menjadi sumber penghidupan utama penduduk Desa

(30)

cocok untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian oleh penduduk Desa Sinar

Resmi dibagi menjadi tiga bagian yaitu padi dan palawija, sayur-sayuran, dan

buah-buahan. Kegiatan pertanian menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin

banyak dan persentase penggunaan tanah yang semakin besar. Penggunaan tanah

[image:30.595.85.517.97.794.2]

tanah Desa Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penggunaan Lahan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009

Status Tanah Tanah Milik Adat/Desa (Ha) Tanah Negara Kehutanan, TNGHS (Ha) Jumlah (Ha)

1 2 3 4

Luas Wilayah Desa 917 4.000 4.917

Luas Wilayah menurut penggunaan

Luas Pemukiman 17 19 36

Luas Persawahan 75 225 300

Luas Perkebunan 0 0 0

Luas Kuburan 1 2 3

Luas Pekarangan 7 8 15

Luas Taman 0 0 0

Luas Perkantoran 0 0 0

Luas Prasarana Umum lainnya 1 1 2

Lainnya Tanah Sawah :

Sawah Irigasi Teknis 0

Sawah Irigasi 1/2 Teknis 120

Sawah Tadah Hujan 180

Sawah Pasang Surut 0

Total luas 75 225 300

Sumber: Kantor Desa Sinar Resmi, 2009

Berdasarkan Tabel 5 luas tanah persawahan di Desa Sinar Resmi mencapai

300 hektar atau sekitar 6.1 persen dari total luas desa. Hal ini disebabkan oleh

sebagian besar yakni 81 persen wilayah dijadikan taman nasional. Penggunaan

lahan persawahan di Desa Sinar Resmi dapat dilihat sebagian besar lahan desa

digunakan untuk lahan persawahan. Jenis sawah yang dikelola sebagian besar

merupakan sawah tadah hujan. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi topografi

desa.

Petani di kampung ini berbeda dengan daerah lainnya dengan hanya

melakukan penanaman padi satu tahun sekali sesuai peraturan adat yang berlaku

(31)

memanfaatkan ladang untuk bertanam palawija atau ikan untuk lahan sawah yang

diberakan. Selain bertanam padi, petani memanfaatkan kesuburan lahan untuk

menanam tanaman kapulaga (kapol) yang harganya relatif mahal sebagai bahan

obat-obatan. Selain itu masyarakat juga memanfaatkan tanaman kayu keras

sebagai salah satu sumber penghasilan.

4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi

Kasepuhan Sinar Resmi terletak di Desa Sinar Resmi, bersama dengan dua

kasepuhan lainnya, yakni Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Cipta Gelar.

Ketiga kasepuhan ini satu sama lain saling terkait dan masih dalam satu

keturunan. Berdasarkan keterangan beberapa orang sesepuh komunitas,

munculnya masyarakat kasepuhan berawal dari hancurnya Kerajaan Pajajaran

sebagai akibat peperangan dengan Banten. Pada saat itu juga terjadi

pemberontakan dari dalam sehingga penguasa saat itu tidak dapat bertahan dan

untuk menyelamatkan “harta-benda” kerajaan pasukan yang setia terhadap

penguasa melarikan diri ke arah selatan menuju tiga daerah yang berbeda.

Pasukan pertama yang menjaga harta kekayaan kerajaan melarikan diri ke daerah

Galuh dan sampai sekarang dikenal sebagai orang-orang yang sukses dan kaya di

daerah Ciamis dan sekitarnya. Pasukan kedua diminta untuk menyelamatkan

ajaran agama wiwitan dan melarikan diri ke arah Banten Selatan dan sampai saat

ini masih bertahan dengan ajaran tersebut dan dikenal sebagai komunitas Baduy.

Pasukan terakhir melarikan diri ke arah Barat dan diminta menuju ke Gunung

Halimun untuk menyelamatkan sistem pertanian dan sampai saat ini bertahan

sebagai komunitas kasepuhan yang tinggal di sekitar Gunung Halimun dan

Gunung Salak.

Berdasarkan tapak tilas yang sampai saat ini masih dapat dilihat, diketahui

bahwa komunitas kasepuhan pertama kali didirikan di Bogor, yaitu di Kampung

Cigudeg, Leuwiliang. Sebelum Indonesia merdeka, komunitas kasepuhan

berpindah berturut-turut sesuai wangsit yang diterima ketua adat ke Lebak Larang

(Banten), Lebak Binong, Tegal Luhur, Bojong, Pasir Telaga, dan Pasir Jeungjing.

Semua daerah tersebut berada di sekitar Gunung Halimun dan sampai saat ini

(32)

dikarenakan perpindahan komunitas kasepuhan sesuai wangsit yang diterima oleh

“Abah” (sebutan bagi pimpinan kasepuhan) hanya dilakukan oleh

pimpinan-pimpinan kasepuhan. Sementara sebagian besar anggota kasepuhan (pengikut)

tetap tinggal dan melanjutkan ajaran kasepuhan. Pada Tahun 1959, lokasi

kepemimpinan kasepuhan berpindah dari Cicemet ke Cikaret dan bernama

kasepuhan Sinar Resmi dengan Abah Rusdi sebagai pimpinan kasepuhan. Pada

Tahun 1960, pimpinan kasepuhan digantikan oleh Abah Harjo karena pemimpin

sebelumnya meninggal. Tahun 1979 pusat kasepuhan dipindahkan ke Sinarasa

dan Kasepuhan Sinar Resmi ditinggalkan. Pada Tahun 1983, Abah Harjo

meninggal dan sesuai wasit kepemimpinan dilimpahkan ke Abah Ujat, namun

karena saat itu Abah Ujat menjabat sebagai kepala desa, kepemimpinan

kasepuhan kemudian dilimpahkan ke Abah Anom. Abah Anom kemudian

memindahkan kasepuhan ke Ciptarasa dan pada Tahun 2000 pindah ke Ciptagelar

yang dulunya di Cicemet.

Abah Ujat sendiri pada Tahun 1985 dikarenakan dorongan wangsit yang

kuat pada akhirnya membuka kasepuhan baru di Sinar Resmi. Pada Tahun 2003,

Abah Ujat meninggal dan berdasarkan wangsit kepemimpinan kasepuhan

dilimpahkan ke Abah Asep yang ada pada saat itu masih bekerja dan berdomisili

di Jakarta. Sementara kasepuhan Sinar Resmi tidak ada yang memimpin dan

kemudian Abah Uum yang merupakan saudara Abah Ujat mendirikan kasepuhan

Ciptamulya pada Tahun 2003. Karena kuatnya wangsit untuk memimpin

kasepuhan akhirnya pada tahun yang sama, Abah Asep menerima kepemimpinan

kasepuhan Sinar Resmi dan mengganti nama kasepuhan menjadi Kasepuhan Sinar

Resmi.

Berdasarkan sejarah tersebut sampai saat ini ada tiga pusat kasepuhan di

Desa Sinar Resmi yaitu Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya, dan Sinar Resmi.

Anggota masing-masing kasepuhan merupakan pembagian dari anggota

kasepuhan yang pada masa Abah Ujat menjadi satu disesuaikan dengan

batas-batas alam dimana kedudukan anggota komunitas tinggal selain berdasarkan

keinginan anggota komunitas itu sendiri untuk memilih kepemimpinan komunitas

(33)

Kasepuhan Sinar Resmi sampai saat ini masih dipimpin oleh Abah Asep

yang membawahi sekitar 14.000 anggota kasepuhan, baik yang berada di wilayah

Desa Sinar Resmi maupun di luar wilayah ini. Sesuai dengan amanat didirikannya

kasepuhan untuk menyelamatkan sistem pertanian Kerajaan Pajajaran, sampai

saat ini sistem pertanian yang dilakukan oleh anggota komunitas kasepuhan masih

berupa sistem pertanian padi lahan tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam

satu tahun.

4.2.2 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi

Kasepuhan Sinar Resmi memiliki incu putu (pengikut) yang tersebar di

berbagai wilayah atau dusun. Para incu putu ini tidak hanya di Desa Sinar Resmi

tetapi juga menyebar di luar wilayah. Namun, dalam lingkup penelitian ini,

komunitas anggota kasepuhan yang digunakan adalah komunitas anggota

kasepuhan yang secara administratif bertempat tinggal di Kampung Sinar Resmi.

Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama di

sektor pertanian, baik dari huma, sawah, dan kebun sedangkan mata pencaharian

sampingan seperti berdagang, tukang ojek, keterampilan pertukangan, dan

lain-lain. Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

sebagian besar hanya mengenyam pendidikan dasar. Saat ini akses masyarakat

untuk meneruskan pendidikan hingga tingkat lanjut sudah mudah meskipun untuk

sampai jenjang tingkat atas belum ada.

Masyarakat kasepuhan terbilang cukup terbuka terhadap pengaruh luar,

asalkan tidak bertentangan dengan aturan adat dan harus sesuai dengan izin dari

Abah. Hal tersebut terbukti dengan masuknya teknologi seperti televisi dan

handphone sehingga akses informasi menjadi lebih mudah. Adanya akses tersebut

membuat masyarakat mengenal Bahasa Indonesia meskipun bahasa sehari-hari

yang digunakan masyarakat kasepuhan adalah Bahasa Sunda.

Pemukiman masyarakat kasepuhan terlihat padat dan berkumpul dalam

satu lokasi yang saling berdekatan. Sebagian besar rumah masyarakat adat adalah

rumah panggung. Atap rumah terbuat dari rumbia dengan bangunan dari bambu

dan kayu. Tiap rumahtangga anggota kasepuhan memiliki leuit atau lumbung padi

yang letaknya tidak jauh dari rumah. Setiap rumah memiliki tungku api (hawu)

(34)

4.3 Struktur Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi

Kelembagaan yang ada dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi telah

ada sejak dahulu. Kelembagaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang dijalankan

secara turun-temurun. Dalam memimpin kasepuhan, Abah mempunyai perangkat

adat yang memiliki tugas masing-masing dan sifatnya turun-temurun. Dalam hal

ini, perangkat adat sebagai aktor dalam kegiatan kelembagaan. Perangkat adat

yang tidak dapat menjalankan tugasnya akan menurunkan jabatannya kepada

kerabatnya melalui wangsit yang akan diterima anggota keluarganya. Orang yang

menerima wangsit tersebut akan menjadi perangkat adat yang baru. Berikut

[image:34.595.95.551.81.676.2]

adalah struktur kelembagaan adat yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi:

Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi

Sumber : Sekretaris Kasepuhan Sinar Resmi, Tahun 2011

Gambar struktur kelembagaan adat di atas merupakan sejumlah perangkat

adat yang membantu tugas Abah dalam memimpin Kasepuhan Sinar Resmi.

Masing-masing perangkat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Mereka

menjalankan tugas sebagai sebuah amanah dan kewajiban sehingga tidak

mendapatkan imbalan apapun. Abah dibantu oleh sejumlah staf ahli (penasehat) PENGHULU GANDEK BENGKONG TUTUNGGUL DUKUN KOKOLOT LEMBUR CANOLI EMA’ BEURANG NGURUS LEUIT TUKANG BANGUNAN KEMIT PARAJI KOKOLOT LEMBUR KOKOLOT LEMBUR TUKANG DAPUR KOKOLOT LEMBUR KASENIAN TUKANG PARA KOKOLOT LEMBUR KOKOLOT LEMBUR TUKANG BEBERSIH KOKOLOT LEMBUR PANDAY DUKUN HEWAN PAMORO PAMAKAYAN

(35)

dalam bidang agama dan negara (garis fungsional). Secara struktural, posisi

perangkat adat di bawah Abah terdiri dari wakil-wakil Abah (dukun, penghulu,

kokolot lembur, dll). Abah Asep membentuk posisi baru yaitu sekretaris adat

tetapi posisi tersebut tidak masuk dalam struktur kelembagaan adat di kasepuhan.

Tugas dari sekretaris adalah mencatat jumlah incu putu (pengikut) dan mencatat

jumlah pemasukan padi saat pesta tani yang diadakan satu kali setahun setelah

panen sebagai rasa syukur. Pesta tani ini dikenal di masyarakat dengan sebutan

seren taun. Selain itu, sekretaris mewakili Abah dalam berhubungan dengan dunia

luar. Adapun tugas atau fungsi dari tiap-tiap perangkat adat adalah sebagai

berikut:

1. Tutunggul adalah seseorang yang bertugas untuk memimpin kasepuhan

yang tidak lain adalah Abah sendiri.

2. Gandek adalah seseorang yang menjadi pengawal atau ajudan kasepuhan.

Tugas gandek adalah melayani seluruh keperluan Abah dan mengawal

kemanapun Abah pergi.

3. Dukun adalah seseorang yang tugasnya mengobati orang yang sakit dan

mencegah terjadinya wabah. Pengetahuan dalam pengobatan didapatkan

secara turun-temurun dengan menggunakan obat tradisional.

4. Penghulu adalah seseorang yang memimpin doa saat upacara adat

dilaksanakan. Penghulu mempunyai posisi yang penting karena setiap

kegiatan kasepuhan selalu diawali dengan upacara adat.

5. Bangkong adalah seseorang yang bertugas untuk mengkithan anak-anak

kasepuhan.

6. Paraji adalah seseorang yang bertugas untuk membantu dalam persalinan

dan perias pengantin.

7. Pamakayan adalah seseorang yang bertugas untuk mengatur kegiatan

pertanian baik sawah maupun huma.

8. Pamoro adalah seseorang yang bertugas memburu hewan dan mengusir

hewan yang mengganggu tanaman.

9. Kemit adalah seseorang yang menjaga kasepuhan pada malam hari.

10. Tukang bangunan adalah seseorang yang bertugas untuk membangun

(36)

11. Ngurus leuit adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus lumbung

komunal masyarakat adat kasepuhan yang disebut leuit sijimat.

12. Ema’ beurang adalah seseorang yang bertugas menolong ibu-ibu saat

melahirkan.

13. Tukang bebersih adalah seseorang yang tugasnya membersihkan

lingkungan kasepuhan.

14. Dukun hewan adalah seseorang yang mempunyai tugas mengobati hewan

atau tugasnya layaknya dokter hewan.

15. Canoli adalah seseorang yang bertugas untuk mengambil beras dari tempat

penyimpanan beras untuk dimasak pada upacara adat. Canoli juga

bertugas dalam membantu memasak beras tersebut.

16. Tukang para adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus upacara

besar kasepuhan serta mengurus berbagai jenis kue yang digunakan dalam

ritual upacara tersebut.

17. Kasenian adalah seseorang yang bertugas dalam hal kelestarian kesenian

kasepuhan.

18. Tukang dapur adalah orang yang bertugas untuk mengurus kegiatan

memasak di rumah Abah.

19. Panday adalah seseorang yang bertugas untuk membuat peralatan tani

seperti cangkul dan arit.

20. Incu putu adalah masyarakat kasepuhan Sinar Resmi baik yang tinggal di

Desa Sinar Resmi maupun yang tidak.

21. Kokolot lembur adalah perwakilan abah di setiap wilayah tertentu yang

ditunjuk oleh Abah. Tugas yang harus dijalankan oleh kokolot lembur

adalah mewakili incu putu. Berbeda dengan pengurus kasepuhan yang

lain, kokolot lembur dipilih berdasarkan syarat-syarat seperti: (1)

dipercaya oleh incu putu, (2) mampu mewakili incu putu untuk

menghadap Abah, dan (3) memiliki pengetahuan dan kecakapan yang

baik.

4.4 Aturan Adat, Sanksi, dan Monitoring Terhadap Aturan

Kehidupan masyarakat adat kasepuhan Sinar resmi tidak terlepas dari

(37)

“tiga sewajah, dua serupa, satu yang itu juga”. Filosofi tersebut mengandung nilai

bahwa hidup dapat berjalan dengan tenteram dan baik apabila tiga syarat dapat

dipenuhi, yaitu: (1) tekad, ucap, dan lampah (niat, ucapan, dan tindakan) yang

selaras dan dapat dipertanggungjawabkan kepada incu putu (masyarakat

Kasepuhan Sinar Resmi) dan sesepuh (orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa,

raga, dan perilaku yang selaras dan berakhlak; (3) kepercayaan adat sara, nagara,

dan mokaha harus selaras, harmonis, dan tidak saling bertentangan satu dengan

lainnya.

Kehidupan masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari berbagai aturan adat.

Semua aturan adat selalu dikaitkan dengan adanya perintah dari leluhur yang terus

dipelihara oleh masyarakat kasepuhan. Perintah leluhur tersebut berupa wangsit

yang diberikan melalui Abah selaku ketua adat. Pelanggaran terhadap aturan adat

tidak mendapatkan sanksi secara sosial tetapi akan mendapatkan hukuman dari

leluhur berupa “kabendu”. Kabendu berasal dari kata bendu yang artinya marah.

Menurut kepercayaan masyarakat kasepuhan, kabendu merupakan sanksi berupa

penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis akibat dari kemarahan

leluhur. Seseorang yang diberikan kabendu, maka hidupnya selalu gelisah dan

merasa bersalah. Untuk menghilangkan kabendu tersebut maka seseorang harus

ingat kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat. Lalu, ia harus memohon

ampunan kepada leluhur lewat Abah dan dilakukan ritual yang bertujuan untuk

pembersihan diri.

Kepercayaan terhadap leluhur, wangsit, dan ketakutan terhadap kabendu

membuat tradisi tetap terpelihara dengan baik. Meskipun demikian, pengaruh

globalisasi mengubah gaya hidup masyarakat terutama dalam bidang komunikasi.

Masyarakat telah mengenal televisi, parabola, dan menggunakan handphone

untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Beberapa rumah penduduk sudah mulai

menggunakan beton. Bahkan pupuk kimia telah digunakan oleh sebagian

masyarakat kasepuhan. Perubahan gaya hidup tersebut dapat dilakukan atas restu

dari Abah. Selama Abah merestui maka leluhur dianggap merestui juga.

Aturan tidak hanya dalam sistem pola kehidupan masyarakat tetapi juga

(38)

1. Rumah adat berupa rumah panggung yang dipercaya bahwa rumah

panggung tersebut memenuhi prinsip tilu sapamulu (siku penyangga

rumah berbentuk segitiga). Selain itu, rumah panggung ditujukan untuk

menghindari aliran udara dingin dan binatang agar tidak masuk ke dalam

rumah.

2. Atap rumah terbuat dari ijuk pohon aren dengan bentuk segitiga dan bulat.

Bentuk segitiga memiliki arti sebagai kesatuan agama, negara, dan adat

yang harus berjalan selaras sedangkan bentuk bulat merupakan tanda

bahwa manusia berasal dari lubang (tanah) dan akan kembali lagi ke

lubang. Menurut penuturan sekretaris adat alasan penggunaan ijuk

daripada genteng adalah sebagai berikut: “genteng kan terbuat dari tanah,

masa kita mas

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel
Tabel 1. Rincian Metode Pengumpulan Data
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis
+7

Referensi

Dokumen terkait

jenis penelitian pengembangan (Research and Development) yang mengacu pada 10 langkah penelitian menurut Borg and Gall. Sedangkan dalam pengembangan media, yaitu

Keterbatasan informasi dan penelitian tentang kebutuhan nutrien pada sapi lokal khususnya sapi Madura maka uraian tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk

Skripsi berjudul Pengaruh Harga, Kualitas Produk, dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian Handphone Berbasis Android, (Studi Kasus pada Mahasiswa UMK Fakultas Ekonomi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen laba saat terjadi penurunan tarif pajak penghasilan badan dipengaruhi secara signifikan oleh beban pajak tangguhan, earnings

Apabila dari hasil rekomendasi yang diberikan sistem memiliki salah satu kriteria wisata yang diinginkan oleh user maka dapat dikatakan tingkat akurasi dari metode Simple

Hymes (1976:75) menyebut kemampuan berkomunikasi, yang berarti menciptakan wacana, sebagai communicative competence. Sejauh ini ada dua hal yang membedakan kurikulum 2004

Gambarlah K-Map untuk setiap ekspresi logika berikut, serta sederhanakan dengan pengcoveran yang

Sementara berdasarkan analisis independent t-test terhadap gain score angket, diperoleh nilai thitung&gt;ttabel (5,544&gt;1,994) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima,