• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Variabel Karakteristik Petani (X1) dan Persepsi (Y)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Hasil Kajian

4.6.1 Hubungan Variabel Karakteristik Petani (X1) dan Persepsi (Y)

berkualitas sesuai dengan standar internasional, yaitu ICO 407 dan SNI 01-2907-2008 (AEKI, 2014). Mutu yang baik membuat kopi Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. Dengan demikiran, kopi memiliki peluang pasar yang baik bila dilihat dari nilai ekspor, volume ekspor dan konsumsi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013). Sedangkan petani yang memilih kategori ragu-ragu berpersepsi bahwa citarasa kopi tidak beda jauh. Petani yang berpersepsi tidak setuju dan sangat tidak setuju menyatakan bahwa bertani kopi hanya sekedarnya saja asal laku untuk dijual dan tidak menyulitkan saat panen.

Berdasarkan tabel 4.16, hubungan antara umur dengan persepsi petani memiliki arah hubungan yang searah ditunjukkan dengan nilai koefesien korelasi positif. Kekuatan hubungan menunjukkan nilai koefesien korelasi 0,042 yang dapat diartikan bahwa hubungan indikator umur dengan persepsi petani berkorelasi sangat rendah. Sedangkan untuk signifikansi hubungan memiliki nilai kurang dari 0,05 yaitu 0,717 sehingga tidak memiliki hubungan yang siginifikan antara umur dengan persepsi petani. hal ini dikarenakan umur yang ada pada karakteristik responen merupakan umur yang produktif yaitu dari 77 responden, 46 orang berada pada rentang umur 49 – 60 tahun, pada umur mereka saat ini tidak membatasi mereka dalam melakukan usahataninya, selain iyu umur tidak membatasi para petani untuk bergaul dengan petani yang lain, hal ini dapat menyebabkan pola pikir mereka cenderung sama, dalam hal memahami suatu inovasi, umur tidak membatasi diri mereka dalam membangun pola pikir tentang petik merah kopi.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anne Charina, dkk (2018) bahwa umur tidak berpengaruh terhadap persepsi petani dalam menerapkan SOP dan sistem pertanian organik, dalam penelitiannya 87%

berkisar pada umur 18-54 tahun, hal ini menunjukkan suatu inovasi teknologi selagi itu cocok untuk dilakukan, setiap petani pada umur berapapun memiliki keinginan yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari setiap usahataninya, sehingga selagi umur mereka masih produktif, tua ataupun muda tidak menjadi untuk halangan untuk mereka melakukan inovasi.

Menurut Viantimala (2016) dalam usia produktif seseorang memiliki kemampuan fisik yang optimal dan memiliki respon yang baik dalam menerima hal-hal bru dalam perbaikan usahataninya. Petani cenderung lebih lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan cenderung hana melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat, namun tidak semua petani tua enggan menggunakan inovasi.

2. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Petani

Hubungan tingkat pendidikan petani dengan persepsi petani dapat dilihat pada tabel 4.17 berikut :

Tabel 4. 13 Tingkat Pendidikan

Correlations

Tingkat Pendidikan Persepsi Petani

Tingkat Pendidikan Pearson Correlation 1 -.239*

Sig. (2-tailed) .036

N 77 77

Persepsi Petani Pearson Correlation -.239* 1

Sig. (2-tailed) .036

N 77 77

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber : Data yang diolah, 2022.

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan nilai kekuatan hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi memiliki arah hubungan tidak searah atau negatif. Kekuatan hubungan menunjukkan koefesien korelasi -0,239 yang dapat diarkan bahwa hubungan indikator tingkat pendidikan dengan persepsi petani berkorelasi rendah. Sedangkan untuk signifikansi hubungan memiliki nilai kurang dari 0,05 yaitu 0,036 sehingga memiliki hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan persepsi petani. Secara umum pendidikan formal penting untuk meningkatkan pengetahuan serta menganalisis setiap informasi yang didapat namun petani responden berpendapat bahwa pendidikan tidak memengaruhi dalam membangun pola pikir yang baik dalam penerapan petik merah kopi, karena dalam pendidikan fromal ilmu yang didapat bukanlah ilmu yang berkaitan tentang budidaya kopi organik, maka dari itu pendidikan formal

belum cukup untuk membangun pola pikir yang baik terhadap persepsi petani dalam menerapkan petik merah kopi.

Menurut Suhargiyono (1992) dalam Riandri Irsa (2017) pendidikan formal merupakan struktur dari suatu sistem mengajar yang memiliki kronologis dan berjenjang, lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai perguruan tinggi. pendidikan formal didasarkan pada ruang kelas, disediakan oleh para guru yang dilatih. Pada umumnya, ruang kelas mempunyai anak yang sama dan guru yang sama setiap hari. Sehingga dalam pengenalan inovasi teknologi lebih dilakukan pada pendidikan nonformal, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari hasil karakteristik pendidikan dalam penelitian ini menunjukkan pendidikan tertinggi pada responden hanya sampai pada jenjang SMA dengan nilai persentase 6%, petani tidak pernah bersekolah formal yang berkaitan dengan pertanian, pemahaman dalam dunia pertanian didapat dari pengalaman dan pendidikan non formal saja, sehingga pendidikan tidak membatasi petani untuk dapat melakukan suatu inovasi teknologi.

3. Hubungan Lama Usahatani dengan Persepsi Petani

Hubungan lama usahatani dengan persepsi petani dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4. 14 Lama Usahatani

Correlations

Lama Usahatani Persepsi Petani

Lama Usahatani Pearson Correlation 1 -.162

Sig. (2-tailed) .160

N 77 77

Persepsi Petani Pearson Correlation -.162 1

Sig. (2-tailed) .160

N 77 77

Sumber : Data yang diolah, 2022.

Tabel diatas menunjukkan hubungan antara lama usahatani dengan persepsi petani memiliki arah hubungan yang negatif atau tidak searah.

Koefesien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara lama usahatani dengan persepsi petani, semakin tinggi pengalaman maka semakin rendah persepsi petani dalam panen kopi secara petik merah. Kekuatan hubungan menunjukkan nilai koefesien korelasi -0,162 sedangkan untuk signifikansi hubungan memiliki nilai lebih dari 0,05 yaitu 0,160. Hal ini menyatakan bahwa lama usahatani tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepi petani terhadap petik merah kopi, hal ini dikarenakan menurut responden pengalaman bukanlah modal utama untuk melakukan petik merah kopi, karena para petani belum menerapkan petik merah kopi, sehingga pengalaman tidak ada hubungan persepsi petani tentang petik merah kopi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Muh. Assad dkk, (2017) bahwasannya pengalaman berusaha tani tidak mempengaruhi persepsi petani penerapan teknologi jajar legowo. Pengalaman petani dapat dikatakan sebagai sumber informasi dari petani namun pengalaman juga tidak bisa djadikan patokan apakah dengan pengalaman yang lebih lama petani dapat melakukan inovasi dengan baik, intinya bukan seberapa lama pengalaman tersebut tetapi sebarapa tepat pengalaman tersebut mendukung petani dalam menerapkan inovasi.

Dilihat dari karakteristik pengalaman responden, pengalaman responden rata-rata memiliki pengalaman yang cukup lama dapat dilihat 45 % responden memiliki pengalaman 22 – 33 tahun dan 35 % memiliki pengalaman 34 – 46 tahun, hal ini dapat dikatakan cukup lama, namun pengalaman ini belum dapat membangun persepsi yang baik untuk melakukan budidaya kopi secara organik, karena pengalaman yang dimiliki belum sesuai dengan petik merah kopi.

4. Hubungan Luas Lahan dengan Persepsi Petani

Hubungan luas lahan dengan persepsi petani dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4. 15 Luas Lahan

Correlations

Luas Lahan Persepsi Petani

Luas Lahan Pearson Correlation 1 .039

Sig. (2-tailed) .738

N 77 77

Persepsi Petani Pearson Correlation .039 1

Sig. (2-tailed) .738

N 77 77

Sumber : Data yang diolah, 2022.

Berdasarkan tabel 4.19 diketahui hubungan antara luas lahan dengan persepsi petani memiliki arah positif dengan kekuatan hubungan senilai 0,039.

sehingga dapat diartikan hubungan luas lahan dengan persepsi petani berkorelasi rendah. Koefesien bernilai positif artinya terjadi hubungan yang positif antara las lahan dengan persepsi petani, semakin tinggi luas lahan makan semakin tinggi persepsi petani dalam petik merah kopi.

Dari hasil siginifikansi hubungan luas lahan dengan persepsi petani lebih dari 0,05 yaitu 0,738 sehingga memiliki hubungan yang tidak signifikan antara luas lahan dengan persepsi petani. Hal ini menyatakan bahwa luas lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi petani dalam petik merah kopi. Hal ini dikarenakan pola pikir petani dalam memandang penerapan petik merah kopi tidak dibatasi oleh luas lahan, luas atau tidaknya lahan tidak akan mempengaruhi persepsi petani dalam melakukan petik merah kopi, karena luas lahan bukanlah modal utama yang perlu dipertimbangkan untuk menerapkan petik merah kopi, melainkan modal tetap yang telah dimiliki petani, sehingga jika petani ingin menerapkan petik merah, tidak ada standar harus memiliki luas lahan tertentu. Dilihat dari karakteristik resonden luas lahan yang dimiliki petani

rata-rata 1 hektar sebanyak 78% (60 responden), dari pendapat petani responden menyatakan bahwasannya luas tidaknya lahan yang dimiliki petani, petani tetap mau mengikuti suatu inovasi, asalkan inovasi tersebut mudah untuk dilakukan, memberikan keuntungan, serta tersedianya sarana prasarana dalam menjalankan inovasi tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwasannya tidak ada hubungan luas lahan dengan persepsi petani terhadap petik merah kopi.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisana Widi (2008) yang menunjukkan bahwa luas usahatani tidak mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan penerapan pertanian organik. Baik petani yang memiliki luas usahatani yang lahan maupun luas usahatani yang sempit, petani mempunyai kecepatan yang sama dalam mengadopsi inovasi penerapan petik merah kopi. Selagi inovasi itu memberikan keuntungan petani akan tetap melakukan inovasi tersebut. (Azwar, 2013)

Dokumen terkait