• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Hukum Adat Tionghoa di Indonesia

Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adatrecht” Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah “adatrecht”

58A. Ridwan Halim,Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal

17-22

kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis.60

C. Van Vollenhoven memberi pengertian: “Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.61

Di dalam memberikan pengertian tentang adat, Kusumadi Pudjosewojo, mengemukakan pendapatnya, yaitu :

“Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku uang

merupakan aturan hukum”.62

Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang

mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.63

Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Jaren Saragih : “Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sah nya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum”.64

60

Bushar Muhammad,Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1 61

C.Van Vollenhoven,Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1933, hal.7 62

Iman Sudiyat.,Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 14 63

Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko,Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.106

b) Latar Belakang Sejarah Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Tionghoa Indonesia, adalah sebuah kelompok etnik yang penting dalam

sejarah Indonesia, jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk. Selepas

pembentukan Negara Indonesia, maka suku bangsa Tionghoa yang

berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara terperinci kedalam masyarakat Indonesia, secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa

yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.65

Catatan-catatan kesusastraan Tionghoa menyatakan, bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang maupun manusia, dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.66

Hubungan China dan Indonesia berlangsung cukup lama sejak Sriwijaya mengutus orang Indonesia ke negara China pada saat 682 Sebelum Masehi. Seiring dengan perkembangan tersebut, maka masuklah kebudayaan masyarakat China ke Indonesia seperti bahasa, agama, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup.67

Kedatangan China ke Indonesia dengan tujuannya adalah berdagang. Itu dikarenakan letaknya yang strategis dengan dilewati jalur pelayaran dan perdagangan. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu terbuka lebarnya kesempatan menjalin hubungan perdagangan internasional.68

65Anonim, http://id.wikipedia.org-orang/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 04 Maret

2013

66Ibid

67 Anonim, http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

diakses tanggal 02 Maret 2013

68 Anonim, http://pecinaan6sejarahtinghoalogblog.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

Dengan kedatangan bangsa Belanda dengan membetuk VOC datang untuk melakukan perdagangan, demikian juga dengan orang-orang China. China

menjadi mitra dagang Belanda, khususnya dibidang distribusi. Cina

mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa. Dengan kegiatan distribusi tersebut maka terjadinya imigran China yang masuk ke Indonesia, akhrinya laki-laki China menikah dengan wanita Indonesia setempat dan keturunannya yang sekarang dikenal sebagai Peranakan Tionghoa atau etnis Tionghoa.69

Orang-orang Tionghoa Indonesia, merupakan keturunan orang-orang

Tionghoa yang hijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun dahulu. Tidak ada data yang resmi tentang jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia, yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak kemerdekaan Indonesia. Namun di perkirakan jumlah masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia berkisar antara 3% - 5% daripada seluruh penduduk Indonesia.70

Pergaulan dan bahkan percampuran dalam bentuk pernikahan dengan penduduk setempat memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh itu bukanlah hanya dari kegiatan ekonomi, tetapi juga makanan, bentuk bangunan, seni ukir, ragam hias tekstil, sampai gaya pakaian.71

Peninggalan dari masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat berupa bahasa Tionghoa yang kita kenal paling tidak terbagi atas empat kelompok, yaitu bahasa

Hokkien (Hokkian), Tiu-Chiu (Teo-Chiu), Hakka (Khek) dan Kanton (Kwong Fu),

yang masing-masing merupakan bahasa etnis yang berbeda dan saling tidak dipahami.72

Sumber-sumber sejarah menyatakan bahwa pada abad ke-16 sejumlah besar orang Tionghoa datang ke Indonesia dan menetap di kota-kota pantai utara Jawa,

69Ibid 70Ibid 71Ibid

72 Anonim , http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china-keturunan -china-di-bag-1,

terutama mereka yang berasal dari suku-suku bangsa berbahasa Hokkien dari wilayah

Fukienbagian selatan. Para perantau ini memiliki keterampilan berdagang melintasi

laut sejak berabad-abad yang lalu. Mereka terkenal dengan sifatnya yang rajin, hemat, kemandirian dan memiliki semangat bekerja yang tinggi.73

Peninggalan lainnya dapat berupa bangunan fisik seperti bangunan klenteng dalam menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing dalam menjalankan ibadahnya. Bangunan peribadahan merupakan kebutuhan agama untuk menjalankan ritual yang di lakukan masyarakat dan pemeluknya yang biasa di sebut dengan Klenteng atau Vihara.74

Pemberian nama untuk Klenteng atau vihara biasanya memakai nama atau

gelar nama dewa atau dewi utama yang ada di dalamnya. Misalnya ViharaKuam Im,

ViharaToa Pe Kong, Vihara Kuan Tek Kong, ViharaMaetreya. Di Indonesia Vihara

atau klenteng biasanya di sebut dengan istilahBio, Am, Hut Teng.75

Pembuatan bangunan untuk beribadah harus mencari Feng Suiyang tepat. Ini

di karenakan untuk memadukan hubungan harmonis Ying dan Yang agar tercipta

unsur positif dan negatif yang seimbang. Pada bangunan ini, juga terdapat ornamen yang berkaitan erat dengan unsur-unsur agama seperti bentuk fauna, bentuk flora seperti bunga teratai, bentuk patung atau gambar dewaimmortal.76

Warna bangunan Vihara atau klenteng biasanya berwarna terang seperti

73Anonim ,http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

diakses tanggal 02 Maret 2013

74Anonim , http://id.wikipedia.org/wiki/KotaSumatera, Vihara-vihara Tionghoa, diakses

tanggal 02 Maret 2013

75Ibid 76 Ibid

Warna merah yang memiliki makna kebahagiaan, warna kuning yang memiliki makna kejayaan atau kekaisaran, pondasi atau mahkota tiang bangunan berwarna merah, sedangkan atap bangunan berwarna abu-abu, hijau, hitam ataupun biru. Dengan demikian hukum adat itu tumbuh, lahir dan berkembang didalam alam Indonesia yang tradisional. Sesuai dengan sifatnya yang dinamis, hukum adat dapat menerima serta menyerap pengaruh dari luar, guna memenuhi kebutuhan serta keinginan dari masyarakatnya.77

c) Pengangkatan Anak Dalam Tradisi Tionghoa di Indonesia Dalam tradisi Tionghoa ada 3 jenis pengangkatan anak yaitu :

a. Anak tersebut anak yatim piatu, dimana tidak diketahui nama marganya atau nama orang tuanya. Biasanya jenis pengangkatan seperti ini, orang tua angkatnya berhak memberi nama anak tersebut juga marganya, dan menganggap dia sebagai anggota keluarga sendiri.

b. Anak tersebut anak yatim piatu dan punya nama marga. Anak angkat jenis ini tidak perlu diberi nama marga, hanya memberi nama saja. Anak angkat ini juga masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya.

c. Anak yang dikwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang punya orang tua, punya nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang oleh keluarga B. Si A memanggil papa dan mama kandungnya sendiri dengan sebutan II Atau Ithio ( Bibi atau Paman). Sementara didalam Keluarga si B ia memanggil Baba dan Mama. Dalam hal ini si A memiliki 2 orang tua.

Dalam Tradisi Tionghoa yang dimaksud dengan anak yang dikwepang

adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan Bajinya atau hong shuinya. Biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan sehat dan masih menghormati kedua orang tuanya sendiri dan orang tua Asuhnya.

Ada dua alasan utama urusan angkat anak di budaya Tionghoa yaitu :

1. Demi pendidikan, masa depan, dan demi kesehatan si anak

2. Karena alasan Baji atau hong shui yang bentrok unsur-unsur antara si

anak dengan orang tuanya.

Kondisi pertama itu biasanya anak dari keluarga yang kurang mampu atau miskin, dimana mencari ayah angkat dari keluarga yang berkecukupan. Atau juga berpengharapan agar anaknya pintar, maka dicarikan ayah angkat yang berpendidikan tinggi. Atau pernah kehilangan anaknya atau anaknya pendek umur maka dicari orang lain yang dianggap berbadan sehat dan panjang umur, sehingga anaknya juga bisa sehat dan panjang umur, dan lain sebagainya.

Biasanya dalam tradisi tionghoa ada jenis kwepang kepada para dewata terutama Dewi Laut Atau Ma Cho Po, tujuannya adalah agar si anak dilindungi oleh Ma Cho Pho dalam perjalanan hidupnya, tidak mengalami gangguan, dari segi kesehatan, mahluk halus dan sebagainya, sampai ia dewasa. Atau anaknya mempunyai jiwa pengecut, lalu dikweepang oleh Dewa Kwan Kong dengan tujuan agar memiliki keberanian dan sifat tanggung jawab. Kalau sering sakit-sakitan maka dicari orangtua angkat “dewa” panjang umur atau shou xing, kalau anaknya ingin pintar maka dicari Dewa Wenchang dijun.

Tetapi memang ada juga yang kalau menurut perhitungan anak tersebut ada masalah dimasa depannya , maka dicari orang tua angkat yang “dewa” dengan tujuan untuk melindungi si anak. Ada juga yang mengangkat Yuhuang Dadi menjadi orang tua angkat hanya gara-gara masalah bunyi jiujiu atau 99 yang artinya 99 adalah panjang umur.

Secara umum, upacara pengangkatan itu dengan cara meletakkan 1 meja, disebutnya ganpanzi, diatasnya ada teko arak,cangkir, hiolo, dan lilin. Anak yang mau diangkat anak dibimbing untuk kowtow kepada orang tua angkatnya, memberi arak dan makanan sambil berkata “ayah dan ibu angkat silahkan minum dan makan”. Orang yang mengangkat anak lalu memberi nama kepada anak angkat tersebut.

Orang tua anak itu memberi celana, ikat pinggang kepada orang tua angkat anaknya. Orang tua angkat memberi baju untuk anak angkatnya, dibajunya diletakkan 1 jarum yang artinya secara tulus hati mengangkat anak tersebut, dan juga terkadang dikasih bawang yang bunyinya chong yang senada dengan chongming yang artinya pintar, hal ini dilakukan dengan harapan agar anak angkatnya kelak menjadi anak yang pintar.

Tujuan dilakukannya hal-hal tersebut diatas adalah agar anak tersebut kelak bisa menjadi orang yang baik dan sehat selalu. Tidak ada hubungannya dengan hoki berhoki, kecuali anak tersebut diangkat anak oleh seorang yang memang kaya.

Setelah itu masih ada serangkaian kegiatan lagi yang harus dilakukan oleh si anak angkat dengan orang tua angkatnya, dimana semua kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi harapan orang tua angkatnya, agar si anak angkat itu kelak

panjang umur, sehat dan kelak berhasil menjadi orang.

Ada tiga hal alasan pengangkatan anak dalam tradisi Tionghoa di Indonesia yaitu:

1. Karena tidak mempunyai keturunan.

Jika dalam sebuah keluarga tidak mempunyai keturunan, biasanya

mengangkat anak dari keluarga sendiri dan biasanya laki-laki, yang marganya sama, lalu diasuh sama orang tua angkatnya, dan si anak ini nanti memenuhi kewajiban (mengurus orang tua) yaitu orang tua angkatnya, bukan kepada orangtua kandungnya.

Kalau yang seperti ini biasanya tidak memakai upacara bermacam-macam, lebih bersifat hubungan kekeluargaan diantara orang tua kandung dan orang tua angkat saja, orang lain tidak perlu tahu, bahkan si anak sendiri seringkali juga tidak tahu. Sehubungan hak waris, si anak berhak mewarisi dari orang tua angkat, bukan dari orang tua kandung.

Tetapi biasanya juga yang mengangkat anak ini keadaan perekonominya lebih baik dari orang tua kandungnya, atau si anak mempunyai banyak saudara, dimana biaya untuk makan banyak anak juga lebih sulit dibandingkan hanya memiliki sedikit anak, atau si anak bertempat tinggal di kampung, dimana untuk biaya makan saja sudah susah, apalagi ditambah biaya pendidikan dan lain sebagainya.

2. Karena masalah ‘ciong’

cocok dengan orang tua kandungnya, katanya bisa menyebabkan sakit, mati atau bangkrut atau apalah yang bisa dibilang jelek-jelek, kemudian di “kias” dengan cara mengangkat anak orang lain.

Kalau yang ini biasanya upacaranya lebih rumit, misalnya: memakai acara merangkak di kolong meja makan, menyuguhkan teh, sembahyang di depan altar leluhur, sembahyang kepada langit dan bumi, makan-makan, announcement sama keluarga dan kerabat dekat bahwa si A sekarang sudah menjadi anaknya si C dan bukan anaknya si B.

Dalam hal ini, nanti si anak tetap tinggal bersama orang tua kandungnya, tetapi panggilannnya diganti, biasanya dipanggil Asuk atau Acek atau Apak terhadap ayah kandungnya sendiri. Jika nanti sewaktu orang tua angkatnya meninggal, dia harus ikut ‘tuaha’ atau memakai baju belacu menurut adat istiadat acara kematian di tionghoa. Tetapi dia tidak punya hak waris dari orang tua angkatnya (kecuali diberi wasiat) dan tetap punya hak waris dari orang tua kandungnya.

3. Karena masalah ‘mancing’ anak

Mancing anak adalah suatu proses yang dilakukan oleh sepasang suami isteri yang lama tidak mempunyai anak, dengan cara mengambil anak orang lain atau mengangkat anak, dan biasanya anak kerabatnya sendiri, dengan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri, dirawat, dipelihara dengan baik, dengan harapan supaya dengan mengambil anak tersebut bisa juga memiliki anak sendiri.

upacara sembayangan dan makan-makan. Anak tersebut akan tinggal di rumah orang tua angkatnya, juga memanggil mama-papa kepada orang tua angkatnya, disini hanya sementara saja, sampai si orang tua angkat mempunyai anak sendiri, sedangkan si anak angkat boleh tetap tinggal dirumah itu atau dikembalikan kepada orang tua kandungnya, itu terserah orang tua angkatnya, kalau pulang pun biasanya diberi kado atau hantaran seperti sangji, karena berhasil “mancing” anak.

Anak yang bisa “mancing” ini bisa dua-tiga kali mancing yang berarti nanti dia akan mempunyai dua-tiga orang tua angkat pula. Kalau untuk masalah ini si anak tidak mempunyai hak waris dan tidak wajib “tuaha” kalau orang tua angkatnya meninggal.

Jadi tidak semua urusan kweepang berkweepang atau angkat mengangkat anak itu berbau mistik semuanya tetapi adalah tradisi yang dilakukan atau diwariskan dari generasi ke generasi, untuk kebahagiaan dan kesejahteraan si anak angkat maupun kedua orang tuanya baik orang tua angkat maupun orang tua kandungnya sendiri. Dan biasanya tradisi ini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat tionghoa.

C. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Pengangkatan anak dalam Staatsblaad Tahun 1917 No. 129 berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa, yang berkaitan dengan bebrbagai syarat untuk melakukan suatu perbuatan pengangkatan anak.

Didalam peraturan ini diatur antara lain seorang laki-laki yang kawin dapat mengadopsi seorang anak laki-laki. Dalam peraturan ini ada ketentuan yang melarang pengadopsian anak perempuan sebagai anak angkat. Akan tetapi dengan adanya yurispudensi yang menentukan seorang anak perempuan pun dapat diangkat sebagai anak angkat oleh golongan Timur Tionghoa, maka sekarang anak perempuan boleh diangkat menjadi anak angkat oleh golongan Timur Tionghoa.

Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami istri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak diadopsi adalah seorang anak sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Apabila diadopsi bagi anak yang dilahirkan diluar nikah, yang member persetujuan ialah orang tua yang mengakui sebagai anak. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, maka wali dan balai harta peninggalan member persetujuan.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 mengenai tata cara pengangkatan anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak warga negara Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut, maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan.

Mahkamah Agung lewat surat edarannya ingin menegaskan bahwa Penetapan dan keputusan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Jadi pengangkatan anak yang sah harus mendapat persetujuan yang diberikan oleh badan pengadilan (harus melalui suatu keputusan pengadilan).

Sebagai contoh, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 29 Mei 1963, nomor 907/1963 P, tentang Adopsi Di Kalangan Orang-orang Tionghoa. Dalam sub bagian menimbang, antara lain menyebutkan :

a. Bahwa keterangan saksi-saksi tersebut yang diberikan secara ahli dan ilmiah

telah meyakinkan kami bahwa hukum adat Tionghoa mengenai adopsi anak perempuan, karena kalangan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa di Indonesia telah lama meninggalkan sifat patrilineal serta penghormatan nenek moyang, sehingga sekarang lebih bercorak parental;

b. Bahwa pendapat tersebut juga sesuai dengan asas persamaan hak antara wanita

dan pria yang pada waktu ini sedang menggelora dan yang antara lain telah dianut dalam Undang-undang Kewarganegaraan dalam Undang-undang mana terdapat aliran-aliran baru yang menerobos aliran klasik seperti terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Perkawinan Campuran;

c. Bahwa asas persamaan hak ini telah dimuat pula dalam resolusi Seminar Hukum

Nasional 1963, dalam resolusi mana dicantumkan agar mengindahkan

keseimbangan pembagian antara pria-wanita dalam hukum waris dan masyarakat yang bersifat parental…78

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Nomor 907/Pdt.P/1963 tertanggal 29 Mei 1963 tentang Pengangkatan Anak Perempuan Keturunan Tionghoa oleh Masyarakat Keturunan Tionghoa Sah. Dalam mengambil keputusan hakim tanpa ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi terikat oleh peraturan pengangkatan anak berdasarkan Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang berarti bahwa permohonan pengangkatan anak bagi golongan keturunan Tionghoa tidak terbatas pada anak laki-laki saja tetapi dibenarkan seorang anak perempuan bagi golongan Tionghoa untuk dijadikan sebagai anak angkat oleh golongan Tionghoa sepanjang tidak melukai hukum adat masyarakat Tionghoa. Masyarakat hukum adat tionghoa mengenal pengangkatan anak perempuan, karena masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa telah lama meninggalkan sifat patrilineal serta penghormatan nenek moyang sehingga sekarang lebih bercorak parental. Pandangan ini telah selaras dengan semangat perjuangan persamaan hak antara pria dan wanita.79

Sehingga dengan adanya pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, dapat dikatakan juga, mengenai pengangkatan anak, baik antara laki-laki dan perempuan

78

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Tentang Adopsi Anak Perempuan, Dimuat Dalam Buku Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, oleh Soedharyo Soimin, SH, Sinar Grafika, 2004. hal. 79.

79

Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Raja rafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 201.

sama. Demikian juga dengan hak waris anak angkat, baik antara laki-laki dengan perempuan sama, yaitu dengan menganut sistem kekerabatan keluarga yang bersifat parental.

Beberapa putusan pengadilan tentang pengangkatan anak laki-laki ataupun perempuan yang pernah terjadi adalah:

1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 456/1960 pdt.R. yang memutuskan:

Permohonan bagi seorang suami Istri Tionghoa terhadap seorang anak perempuan dikabulkan.

2. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 335/1964. Dimana semua

pengesahan adopsi untuk orang-orang keturunan Tionghoa terhadap seorang anak perempuan dikabulkan.80

Dalam Ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan dengan tegas dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk mrngutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Hal ini dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang selengkapnya berbunyi :

1. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan

mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

2. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat (1) yaitu

Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.81