• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Hukum Atas Pernyataan Putus Hubungan Antara Orangtua Angkat Dan Anak Angkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Problematika Hukum Atas Pernyataan Putus Hubungan Antara Orangtua Angkat Dan Anak Angkat"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

M A L I S A

107011076/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

M A L I S A

107011076/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : MALISA

Nim : 107011076

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PROBLEMATIKA HUKUM ATAS PERNYATAAN

PUTUS HUBUNGAN ANTARA ORANGTUA ANGKAT DAN ANAK ANGKAT

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

berupa seorang anak yang diinginkan tidak diperoleh maka dilakukan dengan cara mengangkat anak orang lain untuk menjadi anak kita. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam tulisan ini disebut penulis sebagai pengangkatan anak.

Menurut ketentuan dalam Staatsblad 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa hanya mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan keturunannya. Pengangkatan ini akan mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang telah diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat disamakan dengan kedudukan anak kandung oleh orang tua angkatnya, dan anak angkat berhak mewarisi harta kekayaan dari orang tua angkatnya saja selama anak angkat tersebut melakukan hak dan kewajibannya sebagai anak. Lain halnya apabila seorang anak angkat yang bersifat durhaka terhadap orang tua angkatnya, maka dapat dilakukan pemutusan hubungan hukum terhadap anak tersebut. Akibat dari pemutusan orang tua angkat dengan anak angkatnya tersebut akan berakibat dikembalikannya anak angkat tersebut ke orang tua kandungnya. Didalam pengembalian anak angkat tersebut haruslah dilakukan melalui posedur yang telah ditetapkan oleh hukum. Pemutusan hubungan antara orang tua angkat dan anak angkatnya tersebut dapat terjadi apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan sama sekali tidak menuruti nasehat-nasehat orang tua angkatnya misalnya: pemboros, penjudi, dan kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan harapan orang tua angkatnya.

(7)

the reality does not always the same as what has been expected. When a married couple does not have a child, they usually adopt a child who is regarded as their own child although not as a biological child. To get a child in this way, in the term of the Western Civil Law, is called adoption which is the main topic of the research.

The provision in the Staatsblad No. 129/1917 states that adopting a child in the Chinese ethnic group, Indonesian citizens, is intended to continue their descendant. The consequence of an adoption is that there will be the civil law severance of an adopted child from his biological parents, and his position is considered the same as the biological child of his adopting parents. He has the right to inherit the property of his adopting parents as long he carries out the right and obligation as a child. On the contrary, if an adopted child is unfaithful to or betrays his adopting parents, his relationship with them can be broken off. In consequence, he will be returned to his own biological parents, but the process should be through a legal procedure. However, the severance of the relationship between adopting parents and their adopted child occurs when the latter is grown up and he does not comply with his parents’ counsels; in this case, he is, for examples, a spendthrift, a gambler, and his behavior does not reflect what his adopting parents have expected.

(8)

Esa, karena atas rahmat-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan Tesis ini dengan

judul : ”PROBLEMATIKA HUKUM ATAS PERNYATAAN PUTUS

HUBUNGAN ANTARA ORANGTUA ANGKAT DAN ANAK ANGKAT”. Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai jenjang studi S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini dapat terlaksana berkat dukungan, bantuan serta bimbingan para pihak sehingga pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya menyampaikan ribuan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dan tulus kepada berbagai pihak yang memberi kesempatan dan bantuan kepada saya untuk menyelesaikan tugas akademik dengan menyelesaikan penelitian Tesis ini, yaitu: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara;.

2. Bapak / Ibu Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara I, II, III, IV, dan V, beserta staf dan jajarannya;

3. Bapak Prof, Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Komisi Pembimbing;

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing I, yang juga adalah Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(9)

memberikan masukan dan kritikan kepada peneliti;

9. Bapak / Ibu dosen / Staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Segenap staf administrasi dan umum di Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Kedua orang tua Peneliti, Papa dan Mama tercinta

12. Kakak-kakak senior maupun adik-adik junior, yang tidak akan mungkin dapat Peneliti sebut namanya satu persatu; dan

13. Segenap pihak yang belum Peneliti sebut disini.

Selain itu, Peneliti sebelum dan sesudahnya juga memohonkan maaf atas segala kesilapan atau kesalahan yang tidak disengaja. Akhir kata, terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan, Semoga karya ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan hukum di Nusantara tercinta.

Medan, Agustus 2014. Penulis

(10)

Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 09 November 1985

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Buddha

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Selam I No 70F Kel. Tegal S. Mandala I Kecamatan Medan Denai

II. PENDIDIKAN:

1. Sekolah Dasar dari SD Swasta Sutomo Medan (1991-1997), keterangan TAMAT.

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dari SLTP Swasta Sutomo Medan (1997-2000), keterangan TAMAT.

3. Sekolah Menengah Atas dari Yayasan Perguruan Kristen SMA Swasta Andreas

Sunggal – Deli Serdang (2000-2004) ,keterangan LULUS.

4. Fakultas Hukum DharmaWangsa (2004-2008), memperoleh gelar SARJANA HUKUM (S.H.).

5. Fakultas Manajemen STIE IBBI (2005-2009), memperoleh gelar SARJANA HUKUM (S.E.).

6. Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2010-2014), memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN (M.Kn.).

III. KELUARGA

Ayah : Sutikno Wongso

Ibu : Elly Gunawan

Saudari kandung : Stephanie Andreana Saudara kandung : Jackson Wongso

IV. TUJUAN HIDUP

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR ISTILAH ASING ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 16

2. Sumber Data... 16

3. Teknik Pengumpulan data... 17

4. Analisis Data ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

A. Pengertian Pengangkatan Anak (Adopsi) ... 19

B. Hukum Adat Tionghoa di Indonesia ... 24

(12)

C. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan

Perundang-Undangan ... 34

D. Tujuan dan Syarat- syarat dalam Pengangkatan Anak... 37

E. Prosedur Pengangkatan Anak yang Sah Dalam Penetapan Pengadilan Negeri ... 45

1. Menurut Staatsblad No. 129 tahun 1917... 45

2. Menurut Penetapan Pengadilan... 46

F. Prosedur Pengangkatan Anak dan Penerapan Staatsblad 1917 No. 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan ... 50

BAB III PENYEBAB TERJADINYA PEMUTUSAN HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA ANGKAT DAN ANAK ANGKATNYA... 54

A. Dasar Pemutusan Hubungan antara Orang tua Angkat dan Anak Angkatnya ... 54

B. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Pemutusan Hak Seorang Anak Angkat ... 57

BAB IV KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN WARISAN... 63

A. Kedudukan Anak Angkat Di dalam Hukum Waris ... 63

B. Pembagian Hak Mewarisi oleh Seorang Anak Angkat... 70

C. Akibat Hukum dalam Pengangkatan Anak ... 84

D. Hak dan Kewajiban Anak Angkat... 87

E. Akibat Hukum Pemutusan Hubungan Antara Orang tua Angkat dan Anak Angkat... 97

a. Pemutusan Hubungan Hukum Orang tua Angkat Terhadap Anak Angkatnya ... 97

(13)
(14)

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

BW : Burgerlijke Wet Boek (Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata)

UU : Undang-Undang

VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar tahun 1945

MA : Mahkamah Agung

KHI : Kompilasi Hukum Islam

PP : Peraturan Pemerintah

TKI : Tenaga Kerja Indonesia

SMP : Sekolah Menengah Pertama

WNI : Warga Negara Indonesia

STMD : Surat Tanda Melapor Diri

RI : Republik Indonesia

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KK : Kartu Keluarga

DKI Jakarta : Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Orsos : Organisasi Sosial

PIPA : Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak

(15)

Adoption/Adoptie/Adopt : Suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Fear of extinction of family : Rasa takut bahwa keluarga yang bersangkutan akan punah

Fear of diving childless : Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai

and so suffering the keturunan dan sangat kuatir akan hilangan garis

axtinction of the line keturunannya

of descent

Adoption of child : Pengangkatan anak

Uniformitif : Bersifat seragam dalam banyak hal dan faktor

dalam kehidupannya.

Indeferensiasi : Tidak mengenal perbedaan atau pemisahan yang

tegas terhadap berbagai jenis kegiatan.

Konservatif : Mempertahankan segala kehidupan yang sudah

ada

Kosmis religio : Percaya pada kekuatan gaib sebagai suatu

magis/sacral kekuatan yang menguasai alam semesta dan

seisinya dalam keadaan keseimbangan yang mantap.

Asosiatif : Proses sosial yang mengarah pada bentuk

kerja sama dan menciptakan kesatuan

Genealogis : Garis keturunan manusia dalam hubungan

keluarga sedarah

Adatrecht : Tingkah laku yang oleh dan dalam suatu

masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan

Unstatutory law : Hukum yang tidak tertulis di dalam

peraturan-peraturan legislative

Hokkien (Hokkian), : Bahasa-bahasa suku Tionghoa yang ada di

Tiu Chiu (Teo-Chiu), Indonesia

Hakka (Khek)dan

(16)

Private adoption : Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat

Single parent adoption : Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah

Constitutif : Bersifat Mutlak

Criminal law application : Penerapan hukum pidana

Prevention without : Pencegahan tanpa pidana

Punishment

Influencing views of : Mempengaruhi pandangan masyarakat

Society on crime and mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat

Punishment/mass media media massa

Testament : Surat wasiat

Hereditatis petition : Hak yang tidak diturunkan dari pewaris,

melainkan hak ahli waris sendiri yang diberikan oleh undang – undang, lembaga mana yang berasal dari Hukum Romawi

Onwardig : Tidak patut

Legitieme portie : Hak atas bagian mutlak

Vruchtgenot : Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang

tua berhak menikmati hasil atas harta kekayaan si anak

Hoogstpersoonlijke rechten : Hak-hak yang sangat pribadi

Vruchtgebruik : Suatu hak kebendaan untuk menarik

(17)

berupa seorang anak yang diinginkan tidak diperoleh maka dilakukan dengan cara mengangkat anak orang lain untuk menjadi anak kita. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam tulisan ini disebut penulis sebagai pengangkatan anak.

Menurut ketentuan dalam Staatsblad 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa hanya mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan keturunannya. Pengangkatan ini akan mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang telah diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat disamakan dengan kedudukan anak kandung oleh orang tua angkatnya, dan anak angkat berhak mewarisi harta kekayaan dari orang tua angkatnya saja selama anak angkat tersebut melakukan hak dan kewajibannya sebagai anak. Lain halnya apabila seorang anak angkat yang bersifat durhaka terhadap orang tua angkatnya, maka dapat dilakukan pemutusan hubungan hukum terhadap anak tersebut. Akibat dari pemutusan orang tua angkat dengan anak angkatnya tersebut akan berakibat dikembalikannya anak angkat tersebut ke orang tua kandungnya. Didalam pengembalian anak angkat tersebut haruslah dilakukan melalui posedur yang telah ditetapkan oleh hukum. Pemutusan hubungan antara orang tua angkat dan anak angkatnya tersebut dapat terjadi apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan sama sekali tidak menuruti nasehat-nasehat orang tua angkatnya misalnya: pemboros, penjudi, dan kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan harapan orang tua angkatnya.

(18)

the reality does not always the same as what has been expected. When a married couple does not have a child, they usually adopt a child who is regarded as their own child although not as a biological child. To get a child in this way, in the term of the Western Civil Law, is called adoption which is the main topic of the research.

The provision in the Staatsblad No. 129/1917 states that adopting a child in the Chinese ethnic group, Indonesian citizens, is intended to continue their descendant. The consequence of an adoption is that there will be the civil law severance of an adopted child from his biological parents, and his position is considered the same as the biological child of his adopting parents. He has the right to inherit the property of his adopting parents as long he carries out the right and obligation as a child. On the contrary, if an adopted child is unfaithful to or betrays his adopting parents, his relationship with them can be broken off. In consequence, he will be returned to his own biological parents, but the process should be through a legal procedure. However, the severance of the relationship between adopting parents and their adopted child occurs when the latter is grown up and he does not comply with his parents’ counsels; in this case, he is, for examples, a spendthrift, a gambler, and his behavior does not reflect what his adopting parents have expected.

(19)

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu perkawinan adalah ,

memperoleh keturunan akan tetapi kadangkala di dalam perkawinan yang

berlangsung cukup lama masih belum memperoleh keturunan yang diharapkan.

Dalam suatu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga

yang kekal, berhasil dan mendapatkan keturunan yang diharapkan dan harus di didik

dengan baik.1

Soerojo Wignjodipuro yang mengutip pengertian keturunan dari Djojodigoeno adalah sebagai berikut :2

“Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.”

Maka itu Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang senantiasa harus dijaga serta dibina, karena dalam dirinya melekat harkat,

martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Memiliki

keturunan merupakan hal yang sangat didambakan oleh setiap keluarga untuk

1 M. Hasballah Thaib,Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Universitas

Dharmawangsa, Medan ,1993,Hal. 12, Tujuan perkawinan dalam Islam secara luas adalah : 1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar 2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan

3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah 4. Menduduki fungsi sosial

5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok 6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan

2Soerojo Wignjodipuro, 1967, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV Haji Masagung,

(20)

meneruskan marga orang tua dan menambah kebahagiaan keluarga. Terkadang

keinginan tidak sepenuhnya dapat terwujud di karenakan terdapat kekurangan dan

hambatan diantara pasangan tersebut, sehingga salah satu cara bagi mereka untuk

mendapatkan seorang anak yaitu dengan melakukan pengangkatan anak.

Ketika keturunan berupa seorang anak yang diinginkan tidak diperoleh maka

dilakukan dengan cara mengangkat anak orang lain untuk menjadi anak kita.

Selanjutnya anak tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai

pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh

anak dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi

yang dalam tulisan ini disebut penulis sebagai pengangkatan anak.

Soerojo Wignjodipuro menyatakan bahwa :3

“Oleh karena itu apabila ada clan, suku atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kenyataan tidak memiliki keturunan, clan, suku atau kerabat,

pada umumnya melakukan pemungutan anak untuk menghindari kepunahan“

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah

menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah

dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus

demi terlindunginya hak-hak anak.4

Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa

tujuan/motivasi. Motivasinya antara lain untuk meneruskan keturunan jika dalam

sebuah perkawinan tidak memperoleh keturunan.5

3 Ibid,hal 105

4 Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2008, hal 5.

(21)

Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang

terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.6

Menurut catatan Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh J. Satrio, pengangkatan

anak di dalam Hukum Adat bukan merupakan sesuatu lembaga yang asing. Lembaga

ini dikenal luas hampir di seluruh Indonesia.7

B. Ter Haar Bzn berpendapat : Adoption is common throughout the

Archipelago. By means it is a child, who does not belong to the family group, is brought into the family un such a way that his relationship amongs to the same things as a true kindship relation. (Adopsi pada umumnya terdapat di seluruh nusantara. Artinya, bahwa perbuatan pengangkatan anak dari luar kerabatnya, yang memasukkan dalam keluarganya begitu rupa sehingga

menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan

kemasyarakatan yang tertentu biologis.)8

Menurut B. Bastian Tafal bahwa pengangkatan anak adalah usaha untuk

mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk memelihara dan

memperlakukannya sebagai anak sendiri.9

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal

lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin

yaitu dalam Bab XII bagian ke III pasal 280 sampai 290 KUHPerdata. Sedangkan

pengangkatan anak di kalangan masyarakat Warganegara Indonesia keturunan

Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut

6 Ibid, Pasal 39 ayat 2.

7J.Satrio,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, CitraAditya

Bakti, Bandung, 2002, Hal.202.

(22)

tradisi seorang anak laki-laki harus mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan

garis keturunan (patrilinial).

Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai tujuan

untuk meneruskan keturunan jika dalam sebuah perkawinan tidak memperoleh

keturunan, ataupun di karenakan telah melewati batas usia yang aman untuk

melahirkan, kurangnya keinginan untuk mengandung dan melahirkan dan

kemampuan mereka sudah tidak memungkinkan lagi untuk melahirkan seorang anak,

sehingga salah satu cara untuk memiliki anak dapat adalah dilakukan dengan

mengangkat anak.

Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di beberapa daerah, antara lain :

1) Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang bersangkutan akan punah (Fear of extinction of family)

2) Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan hilangan garis keturunannya ( Fear of diving childless and so suffering the axtinction of the line ofdescent).10

Sejak diundangkannya Staatsblad 1917 No. 129 jo Staatsblad 1924-557, maka bagi golongan Timur Asing Tionghoa dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan Timur Asing. Hal ini perlu diciptakan di Indonesia karena bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa lembaga pengangkatan anak dianggap masih berakar kuat dalam tradisi mereka.11

Menurut ketentuan dalam Staatsblad 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak

bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa hanya mengangkat anak

laki-laki untuk meneruskan keturunannya. Pengangkatan ini akan mengakibatkan

10 Ibid, hal 176

(23)

putusnya hubungan keperdataan antara anak yang telah diangkat dengan orang tua

kandung, dan kedudukan anak angkat disamakan dengan kedudukan anak kandung

oleh orang tua angkatnya, dan anak angkat berhak mewarisi harta kekayaan dari

orang tua angkatnya. Pada mulanya pengangkatan anak ini dilakukan hanya sebagai

alat pancingan agar mendapatkan karunia anak dari perkawinan sah keluarga untuk

melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak

mempunyai anak. Tetapi sejalan dengan dalam perkembangan masyarakat, tujuan

adopsi juga ditujukan untuk kesejahteraan anak, seperti halnya telah diatur dalam

Pasal 28B Undang – Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan juga

tercantum dalam pasal 12 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan anak, yang menyatakan : “pengangkatan anak menurut adat dan

kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.”

Perkembangan hukum dan masyarakat dimungkinkan pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan. Adapun dasar pertimbangan tersebut dikarenakan hukum adat Tionghoa mengenai pengangkatan anak telah lama meninggalkan sifat patrilineal, sehingga sekarang lebih bercorak parental.12

Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak

perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta

No.907/1963/pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 558/63.6 tertanggal 17 Oktober 1963, bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu keputusan antara lain menetapkan bahwa pasal 5, 6, dan 15 ordonansi S.1917:129 yang hanya memperbolehkan

12Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,

(24)

pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.13

Pengangkatan anak dalam masyarakat Tionghoa kebanyakan berasal dari: 1. Dari lingkungan keluarga sendiri atau kerabat dekat yang dilakukan

diam-diam atau tertutup oleh anggota keluarganya.

2. Dari luar lingkungan keluarga orang tua yang mengangkatnya, maka akan di umumkan ke tetangga dan lingkungan sekitarnya, agar apabila anak tersebut sudah dewasa, maka anak tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh orang tua kandungnya.14

Agar pengangkatan anak tersebut tercatat dengan baik, maka anak-anak dari

perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak mempunyai identitas resmi di hadapan

hukum di Negara di tempat mereka dilahirkan atau negara asal orangtua mereka.

Maka akan lebih baik pengangkatan seperti ini tidak terjadi maka harus mengikuti proses hukum sesuai dengan dasar hukum notaris yang membuat akta pengangkatan anak diatur dalam Bab II Staatsblad tahun 1917 Nomor 129 tentang pengangkatan anak, yaitu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang mulai diberlakukan umum pada tanggal 1 Maret 1925, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta notaris. Peraturan ini berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa saja (Pasal 6 Staatsblad 1917 nomor 129), sehingga pengangkatan anak di luar peraturan ini tidak di benarkan atau tidak sah serta kedudukan anak berubah menjadi anak yang di angkat yang tidak mempunyai hak atas warisan.15

Pada Pasal 10 ayat (4) Staatsblad tahun 1917 No. 129 berbunyi “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”. Setelah dibuatkannya sesuai dengan akta notaris mengenai pengangkatan anak, maka itu akta tersebut akan di daftarkan di Kantor Catatan Sipil setelah itu di Kantor Catatan Sipil akta akan di catat dan kemudian akan dikeluarkan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya dan bukan di anggap sebagai anak angkat.16

13 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 202.

14 Hidayat Z. M.,Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa Indonesia, Tarsito ,Bandung, 1977,

hal 101-103

(25)

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1983 tentang

Pengangkatan Anak, terdapat perubahan untuk sahnya pengangkatan anak bukan

hanya diharuskan dengan adanya akta notaris, tetapi juga harus ada proses hukum

pengadilan yang berupa penetapan dari Pengadilan Negeri.

Karena itulah notaris mempunyai peranan yang sangat penting terhadap

perlindungan hukum atas hak waris anak angkat keturunan Tionghoa yang

berkebangsaan Warga Negara Indonesia.

Sri Widyowati Wiratmo Soekito mengatakan bahwa :

“Dengan berkurangnya kewibawaan lembaga-lembaga adat di negara kita dan

yang telah menimbulkan berbagai masalah yang tidak semuanya dapat

diselesaikan oleh hukum adat, mendorong masyarakat untuk mencari

penyelesaian pada badan-badan pengadilan.”17

“Di dalam lingkungan Hukum Adat, Hukum Islam maupun dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (BW), anak dari si peninggal warisan merupakan

golongan yang terpenting dan yang utama. Pada hakekatnya anak merupakan

satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila

si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.”18

Hubungan anak dengan orang tuanya menurut hukum adat sangat dipengaruhi

oleh struktur genealogis atau menurut asas keturunan yang dianut oleh masyarakat

yang bersangkutan yaitu patrilineal, matrilineal atau parental.19

17Sri Widowati Wiratmo Soekanto,Anak dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta, 1988, hal 55. 18 Soedaharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,

Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika , Jakarta, 2004, hal. 32

19Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita , Bandung, 1995,

(26)

Dalam struktur patrilineal anak laki-laki maupun perempuan masuk ke dalam kekerabatan ayahnya, seluruh anggota kerabat ayah sangat penting artinya bagi anak-anak yang dilahirkan. Dengan demikian anak-anak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya dan anggota kerabat dari pihak ayah. Anak laki-laki dalam kerabat ini sesudah beristeri tetap tinggal menjadi anggota dan padanya dan membawa masuk isteri mereka selaku anggota baru, sedangkan bagi anak perempuannya meninggalkan kerabat asal mereka, untuk mengikuti suami mereka masing-masing ke dalam kerabat suami. Anak laki-laki mempunyai status yang utama di dalam kerabatnya.20

Dalam kehidupan sehari- hari pastilah ada sedikit masalah yang akan terjadi .

Begitu pula masalah ini bisa menghampiri dalam kehidupan keluarga yang

berdampak terjadinya pemutusan hubungan Anak yang telah diangkat.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam

bentuk tesis dengan judul : “Problematika Hukum Atas Pernyataan Putus

Hubungan antara Orang tua Angkat dan Anak Angkat.”

B. Perumusan Masalah

Adapun pokok masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa di Medan?

2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya pemutusan hubungan antara orang

tua dan anak angkat?

3. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam pembagian warisan apabila terjadi

pemutusan hubungan orang tua angkat dan anak angkat dikaitkan dengan hak

waris anak?

C. Tujuan Penelitian

Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

(27)

1. Untuk mengetahui pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa di Medan

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya pemutusan hubungan antara orang tua

dan anak angkat

3. Untuk mengetahui kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan

apabila telah terjadi pemutusan hubungan orang tua angkat dan anak angkat

dikaitkan dengan hak waris anak

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu

hukum dan dapat menambah pengetahuan mengenai Problematika Hukum

Atas Pernyataan Putus Hubungan antara Orang tua Angkat dan Anak Angkat.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan bagi penyempurnaan aturan yang menyangkut Problematika Hukum

Atas Pernyataan Putus Hubungan antara Orang tua Angkat dan Anak Angkat.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, maka penelitian dengan judul:“Problematika Hukum Atas Pernyataan Putus

Hubungan antara Orang tua Angkat dan Anak Angkat”, belum pernah ada yang

meneliti sebelumnya.

(28)

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sunarto Ady Wibowo, Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak dan kewajiban orang tua dan

anak (alimentasi) menurut KUH Perdata dan UU No.1 tahun 1974.”

Pokok masalah dari penelitian adalah:

a. Apa yang menjadi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak menurut

Kitab UU Hukum Perdata dan UU Perkawinan No.1 tahun 1974?

b. Bagaimana apabila orang tua tersebut tidak melaksanakan hak dan

kewajibannya sebagaimana semestinya dan apa akibatnya?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Anastasius Rico Haratua Sitanggang, Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Yuridis

tentang Putusnya Hubungan orangtua dan anak diakibatkan Perceraian”.

a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya hubungan orang tua

dan anak karena perceraian?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang

disebabkan perceraian orang tuanya?

c. Bagaimanakah hak dan kewajiban orangtua dan anak di tinjau dari UU

No.1 Tahun 1974?

Dengan demikian jelas bahwa penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan

asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis. Oleh karena itu judul

(29)

seperti yang diuraikan di atas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini

akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

“Teori berasal dari kata theoriadalam bahasa Latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari katathea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasartheaini pula

datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam

banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.”21

“Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan

melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan

suatu masalah.”22

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo :

“Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara

perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai

kerangka berfikir (Frame of thinking) dalam memahami serta menangani

permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut”.23

“Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variable

bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,

1999, hal. 12.

22 Ibid., hal. 15

23Bintoro Tjokroaminoto dan Mustofa Adidjoyo,Teori dan Strategi Pembangunan Nasional,

(30)

variable bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau

merupakan salah satu penyebab”.24

“Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian

dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch

tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum

sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam”.25

Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori keadilan.

Aristoteles membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.26

Sedangkan Kerangka Teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris

yaitu kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada

acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang

relevan bagi Ilmu Hukum.

24Ibid, hal. 13.

25Anonim, http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, Teori Hukum,

diakses tanggal 10 Maret 2013

(31)

“Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial. Oleh karena itu, hukum

tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan

masyarakat, namun demikian perkembangan masyarakat tersebut perlu diatur dengan

suatu ketentuan hukum guna terciptanya suatu kepastian hukum yang dapat

melindungi hak dan kewajiban subjek hukumnya”.27

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perkawinan yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang

merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini”.28

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi29 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak-benaran.

”Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di

bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,

pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan

masukan eksternal bagi penulisan tesis ini.”30

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

27

Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2002, hal. 7. 28Ibid,hal 11

29 J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

30

(32)

dalam pikiran (berupa ide). “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk

menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.31

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Suatu konsep bukan

merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala

tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian

mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut.

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas, karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian, oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.32

Guna menghindari kesalahan dalam penafsiran terhadap judul penelitian ini,

penulis merasa perlu memberikan konsepsi agar dapat tercapai tujuan yang dimaksud.

Pengertian konsepsi di sini adalah definisi operasional penelitian, yaitu pengertian

atau maksud dasar dari istilah-istilah yang dipakai atau digunakan:

a. “Keluarga merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Antara orang tua dan anak

masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.”33

b. “Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh

31

Mardalis,Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal.7. 32

Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal. 11

(33)

dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.”34

c. “Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja.”35

d. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan orang tua, wali

yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, endidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

e. Media cetak bisa diartikan sebagai sebuah media penyampai informasi yang

memiliki manfaat dan terkait dengan kepentingan rakyat banyak, yang disampaikan secara tertulis. Media cetak merupakan bagian dari saluran informasi masyarakat di samping media eletronik dan juga media digital. Melihat dinamika masyarakat yang demikian pesat, media cetak dianggap sudah tertinggal dibandingkan dengan dua pesaingnya yakni media elektronik dan media digital. Meski demikian, bukan berarti media cetak sudah tidak mampu

meraih konsumen yang menantikan informasi yang dibawanya.36

f. Masyarakat keturunan Tionghoa adalah suatu perkumpulan/ komunitas yang

berasal timur asing (China) yang bermukim diwilayah Indonesia yang kemudian disamakan sebagai warga negara Indonesia.

G. Metode Penelitian

Pengertian metode penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah suatu cara

penyelidikan atau pemeriksaan dengan menggunakan penalaran yang berpikir logis

berdasarkan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma, serta teori-teori yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti.

Sebelum menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian, maka dalam

penulisan ini akan terlebih dahulu memberi arti tentang Metodologi Penelitian ini

34

Andayani & Koentjoro. Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju Coparenting. Citra Media, Yogyakarta, 2004, hal 8

35

Djaja S.Meliala,Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1992, hal 41.

36Nita Au Batuwael, Media Cetak di Indonesia: Kritis atau Eksis?,

(34)

dimana Metodologi Penelitian merupakan suatu penelitian yang menyajikan

bagaimana cara atau prosedur maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam

suatu penelitian secara sistematis dan logis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya.37

Menurut Sutrisno Hadi, Penelitian atau Research adalah usaha untuk

menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang

dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.38

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah “penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum

normatif, yaitu penelitian tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika

hukum, serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, bahan hukum lainnya”.39

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif

maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan

sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat

untuk meneliti permasalahan yang ada.

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan

berasal dari data sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan antara lain meliputi

37 Sutrisno Hadi,Metodelogi Riset Nasional, Akmil, Magelang, 1978, hal. 8

38 Sutrisno Hadi,Metodologi Research Jilid 1, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000, hal 4 39

(35)

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam

penelitian ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dari Kitab Undang - undang Hukum Perdata,

yang bertujuan untuk melengkapi dan mendukung data-data ini, agar penelitian

menjadi lebih sempurna.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan

(library research) yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat

terhadap permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu “bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga

penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia,

majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan

dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini”.40

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian

kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data dari

penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.41

(36)

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif.

Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, 42 yaitu metode

yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini

akan menghasilkan data berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.43

Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data

deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan

dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang untuh.44

Penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul,

yang kemudian akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik

kesimpulan dengan cara deduktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan

dalam penelitian ini.45

Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut ke

dalam satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian di kategorikan. Data

yang di kategorisasikan, kemudian di tafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara

menjadi teori substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dengan menggunakan

logika berpikir deduktif yaitu dari pernyataan yang bersifat umum ke arah yang

khusus.

42 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode

Baru,Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hal. 15-20

43Ibid.,hal. 15.

44Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1984,

hal 20

(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pengangkatan Anak (Adopsi)

Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal

dari kata “adoptie” dalam bahasa Belanda atau “adoption” dalam bahasa Inggris.

Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan

pengangkatan anak yaitu“adoption of child.”46

Dari segi terminologi, adopsi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

dijumpai arti anak angkat yaitu, “anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan

anaknya sendiri”.47 Dalam ensiklopedia umum disebutkan, adopsi adalah suatu cara

untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Biasanya adopsi diadakan untuk mendapatkan pewaris atau

untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai anak.

Menurut Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak

untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu

yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor

hubungan darah.48

Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, kita dapat membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Pengertian secara etimologi pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” dalam

46Jhon M. Echols dan Hasan Shadily., Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta , 1981, hal 13 47

Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 48. 48

(38)

bahasa Belanda atau “adopt” dalam bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan

dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa

pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.49

Senada dengan pendapat di atas oleh Soerojo Wignjodipuro menyatakan

bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke

dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang

diangkat itu timbul hubungan hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada

diantara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.50

Adapun Pengertian pengangkatan anak menurut beberapa ahli hukum adat

sebagai berikut:

a. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Hukum Perkawinan di Indonesia yang di katakana anak angkat tersebut adalah: Seorang bukan keturunan dua orang suami isteri yang di ambil, di pelihara, diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri.”51

b. Bertling yang menyatakan bahwa : Anak angkat adalah bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua angkatnya, melainkan ia mendapatkan keuntungan sebagai anggota rumah tangga, jikalau barang-barang gono gini tidak mencukupi, pada pembagian harta peninggalan nanti anak angkat dapat minta bagian dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak kandung.52

c. Hilman Hadikusuma, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Adat” bahwa anak angkat anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, di karenakan

49

Muderis Zaini,Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, 1999, hlm. 4. 50

Soerojo Wignjodipuro,Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung, 1989, hal 123. 51

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta , 1970, hal. 63 52

(39)

tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaaan rumah tangga.53

Menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan

anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua

angkatnya. ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa

sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.54

Dapat disimpulkan dalam rangkuman di atas bahwa perbuatan mengangkat

anak merupakan perbuatan memasukkan anak dalam kehidupan rumah tangga dan di

anggap sebagai anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya sehingga

menimbulkan “kekuasaan orang tua” atas anak angkatnya.

Menurut perdapat seorang Sarjana Hukum Belanda yang khusus mempelajari tencang pengangkatan anak, yaitu J.A. Nota yang dikutip oleh Purnadi Perbotjaroko dan Soerjono Soekanto memberi rumusan, bahwa adopsi adalah suatu lembaga

hukum (eer. rechtsinstelling) melalui mana seorang berpindah kedalam ikatan

keluarga yang baru sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan - hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.

Beberapa jenis pengangkatan anak, yaitu:

1. Pengangkatan anak sempurna, yaitu pengangkatan seorang anak dengan tujuan

untuk memutuskan hubungan kekeluargaan seorang anak dengan keluarga semula dan dengan mengadakan hubungan kekeluargaan yang baru antara yang diangkat dengan yang mengangkat

2. Pengangkatan anak sederhana, yaitu pengangkatan anak yang tidak memutuskan

hubungan dengan keluarga asli.

3. Pengangkatan anak secara langsung, yaitu pengangkatan anak yanglangsung

dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat.

4. Pengangkatan anak oleh seorang wanita atau laki - laki, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah.

5. Pengangkatan anak anumerta, merupakan permohonan pengangkatan anak yang

53 Hilman Hadikusuma,Op.Cit.,hal. 114

54 M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum

(40)

diajukan oleh salah seorang suami atau istri yang hidup terlama, setelah meningnalnya suami atau istri yang lain, dengan syarat apabila ternyata pada waktunya mengambil alih pengangkatan anak masih dalam ikatan perkawinan, akan tetapi kematian menghalangi pengangkatan anaknya.55

Dalam ketentuan KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan

anak yang berlaku bagi anak angkat keturunan Tionghoa yang berkebangsaan Warga

Negara Indonesia, yang ada hanyalah pengakuan anak luar kawin yang disahkan.

Pengangkatan anak atau adopsi dapat di bagi menjadi 2 pengertian yaitu:

1. Pengangkatan anak dalam arti luas yaitu pengangkatan anak orang lain ke dalam

keluarga sendiri sedemikan rupa sehingga antara anak yang di angkat dengan orang tua angka akan timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua sebagai orang tua sendiri.

2. Pengangkatan anak dalam arti terbatas yaitu pengangkatan anak orang lain ke

dalam keluarga sendiri dan hubungan dengan anak yang di angkat dengan orang tua angkat hanya sebatas pada hubungan sosial saja.56

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal 3 (tiga ) macam sistem kekerabatan, yaitu:

1. Sistem Kekerabatan Patrilinial

Sistem kekerabatan patrilinial berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki-laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki akan melakukan pengangkatan anak laki-laki. Pada sistem kekerabatan patrilinial ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur. Seorang perempuan setelah perkawinannya, di lepaskan dari hubungan kekeluargaan kerabat aslinya dan masuk menjadi anggota kerabat suaminya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Sistem kekeluargaannya bersifat patrilinial hanya anak

laki-laki mewarisi harta warisan. Dalam hal ini anak perempuan itu tetap

menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris lain.

2. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal adalah merupakan kebalikan dari sistem

kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem

kekerabatan yang didasari oleh atas garis keturunan ibu. Sebagai konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anak-anak dari wanita dari

55Dewi Sartika,Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta Orang tua Angkatnya,

Semarang, 2002, hal. 45-46

(41)

pada anak-anak laki. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat asalnya dan tidak masuk ke dalam lingkungan kerabat isterinya. Sedangkan anak – anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi anggota kerabat ibunya.

3. Sistem Kekerabatan Parental.

Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.57

Ciri-ciri khas masyarakat Hukum Adat pada garis besarnya dapat kita

jabarkan sebagai berikut :

(1) Dalam kehidupan lahiriah mereka pada umumnya mempunyai petanda atau sifat-sifat:

a. Terikat kepada alam, yang artinya sanagt minim untuk menolak pengaruh alam, apalagi mengubah alam

b. Isolemen atau menutup bagi dunia luar karena mereka hanya membentuk

rumah tangga masyarakat yang tertutup

c. Uniformitif yaitu bersifat seragam dalam banyak hal dan faktor dalam

kehidupannya.

d. Indeferensiasi artinya hampir tidak mengenal perbedaan atau pemisahan yang

tegas terhadap berbagai jenis kegiatan warga. Siapa saja dapat mengerjakan tugas apa saja sepanjang ia mampu melakukan.

e. Konservatif artinya mereka lebih cenderung mempertahankan segala

kehidupan yang sudah ada dan dapat di katakana tidak mudah untuk menerima berbagai macam pembaharuan.

(2) Dalam kehidupan batiniah mereka pada umumnya pertanda- pertanda sifat

yang menurut Holleman adalah :

a. Kosmis religio magis/sacral artinya percaya pada kekuatan gaib sebagai suatu kekuatan yang menguasai alam semesta dan seisinya dalam keadaan keseimbangan yang mantap

b. Komunalistis artinya memiliki sifat kebersamaan yang amat besar antara warga yang satu dengan yang lain dalam masyarakat yang bersangkutan c. Kontan dan tunai, sebagi sifat yang mewarnai sikap tindak mereka terutama

dalam hal sikap tindak hukum yang di lakukan dan selesai seketika itu juga . d. Konkrit artinya segala tindakan mereka itu selalu di lakukan terang-terangan

dengan memakai tanda yang di mengerti oleh para warga masyarakat lainnya dalam lingkungan Hukum adapt itu sendiri.

e. Asosiatif artinya mereka sering menghubung-hubungkan dan mengasosiakan

berbagai kejadian dengan kejadian di luar pemikiran biasa.

f. Simbolik artinya mereka melakukan tindakan tertentu yang mempunyai

57

(42)

maksud tertentu.58

Dengan demikian ditinjau dari susunan tersebut, maka masyarakat Hukum

Adat kemungkinan terjadi kombinasi yaitu masyarakat Hukum AdatGenealogisyang

tunggal, yang bertingkat dan berangkai, kemungkinan terjadi kombinasi sesuai

dengan perkembangan masyarakat Hukum adat yang bersangkutan.

Pengangkatan anak secara sah menurut hukum yang berlaku diperlukan suatu lembaga pengangkatan anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5-Pasal15).59

Dalam kehidupan masyarakat adat Tionghoa khususnya di Sumatera ini masih

bersifat patrilineal, Ini dikarenakan anak laki – laki mempunyai kewajiban yang harus

di lakukan oleh anak laki – laki sesuai dengan adat yang sudah berlaku sejak dulu

sampai sekarang seperti:

1. Meneruskan nama marga atau garis keturunan dari keluarga besar

2. Melakukan upacara/ sembahyang apabila ada keluarga inti yang meninggal.

3. Menjaga/ merawat orangtua.

B. Hukum Adat Tionghoa di Indonesia.

a) Pengertian Hukum Adat

Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adatrecht”

Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah “adatrecht”

58A. Ridwan Halim,Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal

17-22

(43)

kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah

teknis yuridis.60

C. Van Vollenhoven memberi pengertian: “Hukum adat adalah hukum yang

tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia

Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan

sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.61

Di dalam memberikan pengertian tentang adat, Kusumadi Pudjosewojo,

mengemukakan pendapatnya, yaitu :

“Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah,

sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis, dan

senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam

masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat. Akan tetapi

dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku uang

merupakan aturan hukum”.62

Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam

keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang

mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.63

Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Jaren Saragih : “Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sah nya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum”.64

60

Bushar Muhammad,Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1 61

C.Van Vollenhoven,Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1933, hal.7 62

Iman Sudiyat.,Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 14 63

Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko,Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.106

(44)

b) Latar Belakang Sejarah Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Tionghoa Indonesia, adalah sebuah kelompok etnik yang penting dalam

sejarah Indonesia, jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk. Selepas

pembentukan Negara Indonesia, maka suku bangsa Tionghoa yang

berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara terperinci kedalam masyarakat Indonesia, secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa

yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.65

Catatan-catatan kesusastraan Tionghoa menyatakan, bahwa kerajaan-kerajaan

kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang

berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan

lalu lintas barang-barang maupun manusia, dari Tiongkok ke Nusantara dan

sebaliknya.66

Hubungan China dan Indonesia berlangsung cukup lama sejak Sriwijaya

mengutus orang Indonesia ke negara China pada saat 682 Sebelum Masehi. Seiring

dengan perkembangan tersebut, maka masuklah kebudayaan masyarakat China ke

Indonesia seperti bahasa, agama, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial,

sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup.67

Kedatangan China ke Indonesia dengan tujuannya adalah berdagang. Itu dikarenakan letaknya yang strategis dengan dilewati jalur pelayaran dan perdagangan. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu terbuka lebarnya kesempatan menjalin hubungan perdagangan internasional.68

65Anonim, http://id.wikipedia.org-orang/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 04 Maret

2013

66Ibid

67 Anonim, http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

diakses tanggal 02 Maret 2013

68 Anonim, http://pecinaan6sejarahtinghoalogblog.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

(45)

Dengan kedatangan bangsa Belanda dengan membetuk VOC datang untuk melakukan perdagangan, demikian juga dengan orang-orang China. China

menjadi mitra dagang Belanda, khususnya dibidang distribusi. Cina

mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa. Dengan kegiatan distribusi tersebut maka terjadinya imigran China yang masuk ke Indonesia, akhrinya laki-laki China menikah dengan wanita Indonesia setempat dan keturunannya yang sekarang dikenal sebagai Peranakan Tionghoa atau etnis Tionghoa.69

Orang-orang Tionghoa Indonesia, merupakan keturunan orang-orang

Tionghoa yang hijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun dahulu. Tidak ada data yang resmi tentang jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia, yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak kemerdekaan Indonesia. Namun di perkirakan jumlah masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia berkisar antara 3% - 5% daripada seluruh penduduk Indonesia.70

Pergaulan dan bahkan percampuran dalam bentuk pernikahan dengan

penduduk setempat memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh

itu bukanlah hanya dari kegiatan ekonomi, tetapi juga makanan, bentuk bangunan,

seni ukir, ragam hias tekstil, sampai gaya pakaian.71

Peninggalan dari masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat berupa bahasa

Tionghoa yang kita kenal paling tidak terbagi atas empat kelompok, yaitu bahasa

Hokkien (Hokkian), Tiu-Chiu (Teo-Chiu), Hakka (Khek) dan Kanton (Kwong Fu),

yang masing-masing merupakan bahasa etnis yang berbeda dan saling tidak

dipahami.72

Sumber-sumber sejarah menyatakan bahwa pada abad ke-16 sejumlah besar

orang Tionghoa datang ke Indonesia dan menetap di kota-kota pantai utara Jawa,

69Ibid 70Ibid 71Ibid

72 Anonim , http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china-keturunan -china-di-bag-1,

(46)

terutama mereka yang berasal dari suku-suku bangsa berbahasa Hokkien dari wilayah

Fukienbagian selatan. Para perantau ini memiliki keterampilan berdagang melintasi

laut sejak berabad-abad yang lalu. Mereka terkenal dengan sifatnya yang rajin, hemat,

kemandirian dan memiliki semangat bekerja yang tinggi.73

Peninggalan lainnya dapat berupa bangunan fisik seperti bangunan klenteng

dalam menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing dalam menjalankan

ibadahnya. Bangunan peribadahan merupakan kebutuhan agama untuk menjalankan

ritual yang di lakukan masyarakat dan pemeluknya yang biasa di sebut dengan

Klenteng atau Vihara.74

Pemberian nama untuk Klenteng atau vihara biasanya memakai nama atau

gelar nama dewa atau dewi utama yang ada di dalamnya. Misalnya ViharaKuam Im,

ViharaToa Pe Kong, Vihara Kuan Tek Kong, ViharaMaetreya. Di Indonesia Vihara

atau klenteng biasanya di sebut dengan istilahBio, Am, Hut Teng.75

Pembuatan bangunan untuk beribadah harus mencari Feng Suiyang tepat. Ini

di karenakan untuk memadukan hubungan harmonis Ying dan Yang agar tercipta

unsur positif dan negatif yang seimbang. Pada bangunan ini, juga terdapat ornamen

yang berkaitan erat dengan unsur-unsur agama seperti bentuk fauna, bentuk flora

seperti bunga teratai, bentuk patung atau gambar dewaimmortal.76

Warna bangunan Vihara atau klenteng biasanya berwarna terang seperti

73Anonim ,http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa,

diakses tanggal 02 Maret 2013

74Anonim , http://id.wikipedia.org/wiki/KotaSumatera, Vihara-vihara Tionghoa, diakses

tanggal 02 Maret 2013

Referensi

Dokumen terkait

Hukum Perjanjian diatur dalam Buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai bagian dari KUH Perdata. KUH Perdata terdiri dari empat buku yang mana Bab Kedua

Dalam perkara perdata yang timbul dari transaksi perdagangan secara elektronik, disamping alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata tersebut, maka berdasarkan

Ketentuan yang mengatur tentang akte otentik dalam Undang- undang Jabatan Notaris dan juga KUH Perdata, memberikan pemahaman bahwa penerapan teknologi informasi dalam pembuatan

1) Di dalam kitab undang-undang hukum perdata anak angkat disamakan statusnya dengan anak kandung, sedangkan di dalam kompilasi hukum Islam secara tegas membedakannya. Hal

Dalam pasal ini – dan sesuai dengan uraian dalam pasal 503 KUH Perdata - yang dimaksud dengan barang adalah benda bertubuh (materiil) dan hak adalah benda tak bertubuh

Diatur dalam pasal 613 KUH Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta di bawah tangan yang harus

Perjanjian yang Dilarang dalam Monopoli dan Persaingan Usaha Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai

Dokumen ini membahas tentang penerapan peraturan waris berdasarkan KUH Perdata dalam kasus kematian seseorang yang meninggalkan ahli waris