• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN

6.1. Sistem Kekerabatan

6.1.2. Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan

Secara tertulis maupun secara adat, penduduk Desa Cipeuteuy tidak memiliki Hukum Adat yang mengatur mengenai kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya, namun ada kebiasaan- kebiasaan yang kemudian melembaga pada masing-masing kampung yang menjadi acuan dalam pengaturan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya. Dari hasil diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan aparat desa dan

tokoh masyarakat diluar dari tiga kampung kasus, ditemui beberapa asumsi yang mendasari kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya.

Individu laki-laki dan perempuan memperoleh hak atas kepemilikan sumberdaya agraria melalui proses jual beli, hibah dan waris. Kebanyakan kepemilikan lahan oleh perempuan berasal dari hibah dan waris. Sejumlah responden perempuan hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa saat ini mereka hidup bersama suami dengan mengelola sumberdaya agraria milik suami. Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki lahan, namun dikarenakan lahan yang mereka mereka warisi terletak jauh di tempat tinggal mereka dulu, sehingga mereka harus menjual atau menghibahkannya kepada saudara untuk mengelola lahan tersebut. Selanjutnya responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengelola lahan yang dihibahkan oleh orang tua mereka dan meninggali rumah yang diwariskan kepada mereka. Dalam proses jual beli sumberdaya agraria, keduanya mempunyai hak yang sama untuk dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria. Tidak ada ketentuan khusus pada tingkat desa yang mengatur proses jual beli atas keduanya kecuali peraturan-peraturan secara hukum yang mengatur syarat-syarat jual beli antara pihak penjual dan pembeli secara umum.

Adapun syarat-syarat umum jual beli sumberdaya agraria – dalam hal ini adalah tanah/lahan - telah diatur dalam PS 1320 KUH Perdata dan UUPA dalam UU No 5 th 1960 an PP 24/1997 mengenai jual beli tanah. Adapun syarat umum sah jual beli berinduk pada kesepakatan, dimana subjeknya cakap hukum dan objeknya dalam keadaan tidak bertentangan hukum (tidak dalam status sengketa). Sedangkan syarat khusus untuk jual beli tanah antara lain : bukti Cash and carry, KTP, KK, surat nikah, sertifikat yang telah di cek BPN, 10 tahun melunasi PBB,

pembayaran pajak transaksi, dan Akta yang di tanda tangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai status hukum yang sama dalam proses jual beli, hanya saja terdapat ketentuan pada penjualan sumberdaya agraria, dimana ketika menjual baik laki-laki maupun perempuan harus didasari atas persetujuan pasangan hidupnya dengan pernyataan tertulis. Namun hal tersebut tidak berlaku jika masing-masing ingin membeli sumberdaya agraria. Selanjutnya mengenai batasan usia di atur dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Baik laki-laki maupun perempuan hanya dapat menjual dan membeli sumberdaya agraria setelah berumur 21 tahun (> 21 tahun), terkecuali jika kondisi individu belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah, maka ia dapat melakukan pembelian sendiri dan penjualan atas persetujuan pasangannya.

Jika dalam peraturan hukum jual beli sumberdaya agraria, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, tidak demikian pada sistem pewarisan sumberdaya agraria terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan perolehan hak atas kepemilikan sumberdaya agraria terlihat jelas pada sistem pewarisan dimana antara laki-laki dan perempuan tidak selalu memperoleh bagian yang sama satu dengan lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat Desa Cipeuteuy mempunyai sistem kekerabatan Sunda yang Bilateral. Berbeda dengan sistem kekerabatan di daerah Jawa yang patrilineal, dimana garis keturunan yang digunakan adalah garis keturunan ayah, pada sistem kekerabatan sunda, garis keturunannya berasal dari kedua orang tua, ayah dan ibu. Dengan demikian asumsinya, baik perempuan dan laki-laki memperoleh hak yang sama atas sumberdaya, termasuk sumberdaya agraria. Selain daripada itu, mayoritas penduduk Desa Cipeuteuy merupakan penduduk yang beragama Islam, dimana

dalam agama Islam telah diatur pembagian pewarisan yang jelas atas laki-laki dan perempuan12. Pembagian warisan menurut hukum Islam diatur dalam Q.S. An Nisa ayat 11 (4:11)13 yang menyatakan bahwa “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan...”. Dengan demikian laki-laki memperoleh warisan dua kali lebih banyak dari bagian perempuan (2:1). Ketentuan tersebut didasari oleh kondisi dimana kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah14.

Pada dasarnya, penduduk Desa Cipeuteuy menggunakan ketentuan dari agama Islam (syari’at hukum Islam) dalam pembagian warisannya, yakni dengan perbandingan L:P=1:2. Dengan demikian laki-laki akan memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan. Namun, dari kondisi yang demikianlah, beberapa rumahtangga mengaku masih mempertimbangkan kondisi anak laki-laki dan perempuan serta kebijakan keluarga dalam pembagian warisan.

Ketiga kampung kasus sendiri memiliki perbedaan dalam sistem pewarisan. Menurut keterangan tokoh masyarakat yang berada di kampung

12

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa (4:7)

13 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang

anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan(Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah) ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Q.S. An Nisa (4:11)

14

...Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...Q.S. An Nisa (4:34)

Sukagalih, proporsi penduduk yang menggunakan syari’at Islam rata-rata hanya 25 persen dibandingkan dengan 75 persen penduduk lainnya yang menggunakan kebijakan keluarganya dan pertimbangan kondisi anak laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan. Demikian halnya yang terjadi pada kampung Cisalimar, dimana sistem pewarisan dengan syari’at Islam masih dijalankan, namun ada kebijakan pembagian harta dengan alternatif hibah melihat dari kondisi individu laki-laki dan perempuan yang akan diwarisi, seperti pernyataan yang dilontarkan Bapak “AH” selaku kepala Dusun pada saat diskusi kelompok terarah berlangsung yang menyatakan bahwa “Kalo waris disini mah pakai sistem hukum Islam, tapi suka ada kebijakan-kebijakan dalam keluarga. Misalnya laki- laki suka lebih besar atau karena perempuan kasihan cuma dapet sedikit yah dikasih lebih banyak lagi. Itu mah tergantung keluarganya juga”.

Selanjutnya terdapat tiga pandangan dalam kebijakan keluarga mengenai sistem pewarisan, dimana yang pertama, beberapa responden menyepakati bahwa laki-laki memang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak sehingga mereka menjalankan syari’at Islam, dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Seperti pernyataan Ibu ‘AC’ dari kampung Cisalimar yang mengatakan : ”Kan kalo anak laki-laki itu bakalan bawa istri, sedangkan anak perempuan mah nanti dibawa suaminya.”

Hal ini juga selaras dengan pernyataan dari Bapak ‘AD’ yang berujar: “Sistem disini mah masih menganut pepatah “lalaki di gawe awewe nungguan di bere” yang berarti bahwa laki-laki yang memberi nafkah dan perempuan yang menunggu diberi. Namun ketika dalam FGD terlontar kasus mengenai pembagian warisan kepada anak perempuaan yang telah menikah dengan laki-laki yang

berkecukupan, mereka kembali berkesimpulan bahwa anak perempuan tetap memproleh hak waris, meskipun lebih sedikit dari laki-laki. Pada sistem pewarisan ini stereotipi gender masih mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pembagian warisan.

Lain halnya dengan sistem pembagian waris yang kedua, dimana sistem pewarisan yang berlaku cenderung sama menggunakan cara Islam, yang selebihnya tergantung pada kebijakan keluarga tersebut, namun sistem ini tidak melihat label gender yang disandang individu, misalkan seorang anak perempuan bisa saja ditambah dengan sejumlah hibah sehingga akan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki. Cara lainnya adalah jika terdapat dua orang anak baik itu laki-laki maupun perempuan, dimana anak pertama memiliki penghasilan yang lebih banyak dari anak laki-laki, maka pembagian lebih banyak kepada anak ke dua. Pada sistem pewarisan ini dimungkinkan pembagian kepada anak perempuan akan lebih besar. Hal ini didasari semata-mata oleh rasa sayang orang tua kepada anak perempuannya dan keinginan untuk berbuat adil disamping menjalankan syari’at.

Pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan yang merata antara laki-laki dan perempuan, dan cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum. Menurut penuturan Bapak ’EN’, selaku aparat desa, pembagian warisan di Desa Cipeuteuy tidak lagi menggunakan syari’ah. Sudah menjadi adat dan budaya bahwa pembagiannya dibagi secara rata. “Da’ laki-laki atanapi perempuan, semuanya anak saya, yah masa mau dibedakan, kalo masih ada ibunya ya dibagi rata dengan ibunya juga, disini mah meskipun ustad juga bagi rata aja lah.” ujarnya kemudian.

Beririsan dengan pernyataan Bapak ’TR’ yang menyatakan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Desa Cipeuteuy beragama Islam, namun dalam pembagian harta warisan yang lebih menonjol adalah adat istiadatnya. Jika dalam agama pembagian warisan diatur yakni 1:2, semisal laki-laki mendapat satu bagian berarti perempuan memperoleh ½ bagian, namun yang terjadi di wilayah ini adalah pembagian secara rata yakni L:P=1:1.

Merata yang dimaksudkan bukan hanya berkenaan dengan jumlah namun nominal/nilai rupiah. Dengan demikian pembagian warisan dengan sistem ini dapat dipengaruhi oleh lokasi/tipe lahan dan kondisi sumberdaya agraria. Harga tanah ditentukan menurut kelasnya. Harga tanah kelas 1 akan lebih mahal karena keberadaan tanah tersebut yang terletak di pingir jalan protokol/ibukota desa.Namun harga tanah Cipeuteuy lebih mahal dari Desa Kalapa Nunggal yang secara logika jaraknya lebih dekat dengan Kecamatan, hal ini dikarenakan atmosfer-nya yang sejuk dan lokasinya yang cenderung lebih dekat dengan tempat wisata. Adapun untuk tanah kelas satu harganya berkisar > 50.000/meter. Tanah Kelas dua, dipengaruhi oleh kontur tanah, dimana batasan dimulai dari as jalan menuju batas akhir jalan datar. Harga tanah kelas dua berkisar < 50.000/meter. Kelas tiga merupakan wilayah yang jauh dari jalan, namun masih dapat diakses oleh kendaraan bermotor. Harga berkisar antara 25.000-15.000/meter. Kelas empat, berada jauh dari jalan dan tidak dapat diakses oleh kendaraan bermotor, berkisar antara 5000-10.000/meter. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk wilayah di ibukota desa. Untuk wilayah yang jauh dari balai desa, kelas satu yang ada di daerah tersebut sama dengan kelas tiga di daerah ibukota desa. Dari uraian tersebut, dapat diambil contoh semisal ada dua petak sawah, dimana petak

pertama berlokasi di pinggir jalan (kelas satu) yang notabene lebih mahal dan petak kedua yang berlokasi di tengah desa (kelas dua) otomatis harga kedua lahan tersebut berbeda, maka pembagiannya pun berdasarkan nominal rupiah, bukan jumlahnya.

Selain lokasi, kondisi sumberdaya agraria juga mempengaruhi pembagian warisan. Seperti yang telah diketahui, harga sawah lebih mahal dari harga darat yang menurut penduduk desa hal ini disebabkan karena tanah sawah dapat dimanfaatkan untuk menanam padi dan dipergilirkan untuk menanam tanaman palawija dan pemeliharaan ikan. Disamping itu, pembuatan sawah lebih banyak mengeluarkan biaya dan membutuhkan perlakuan (proses pengolahan lahan, irigasi, dan lainnya) yang lebih sulit dari pembuatan ladang/darat. Menurut penduduk desa harga sawah dapat mencapai tiga kali lipat dari harga darat/ladang. Harga juga dapat dilihat dari hasil panen, karena luas lahan pun dapat dilihat dari hasil panen. Jika menanam sebanyak satu gedeng padi (tujuh kilogram padi besar, eman kilogram untuk padi bubuk) harganya berkisar diatas 20.000/meter, itupun sawah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan desa dan jauh dari jalan utama. Jika sawah yang letaknya di pinggir jalan dan dekat dengan pusat pmerintahan desa, maka harganya dapat mencapai 100.000/meter. Dari kondisi sumberdaya agraria, contoh selanjutnya jika lahan kering dan lahan basah akan diwariskan kepada empat orang anak laki-laki dan perempuan secara seimbang, dimana lahan kering lebih luas dari lahan basah, maka lahan kering akan dibagi menjadi empat bagian yang sama, dan jika lahan basah tidak dapat dibagi dengan merata maka lahan itu akan dijual dan hasilnya akan dibagi rata untuk ke empat orang anak tersebut.

6.2. Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan

Dokumen terkait