• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya. Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum dan tinggal pada bedeng-bedeng yang disediakan.

Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta dan masa masuknya program-program kemasyarakatan. Adapun dinamika tersebut akhirnya akan menciptakan hubungan sosio-agraria antara subjek-subjek agraria yang berkepentingan pada sumberdaya agraria. Hubungan ini selanjutnya akan membentuk struktur agraria pada Desa Cipeuteuy dengan pihak-pihak yang selama ini berkepentingan atas sumberdaya agraria.

Menurut penuturan salah satu warga Kampung Cisalimar yang paling tua Pada masa Belanda, semua orang yang ada di Desa Cipeuteuy merupakan pekerja perkebunan sebagai buruh perkebunan, kuli kontrak dan pendatang yang memiliki tujuan tertentu, termasuk untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga kebutuhan hidup dan masa depannya sepenuhnya digantungkan kepada perkebunan. Praktis, mereka hanya menjadi organ dan pelengkap dari suatu sistem besar industri perkebunan.

Sebagai buruh perkebunan mereka hanya mengerjakan pekerjaan di perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan, baik untuk pertanian maupun perkebunan, terlebih lagi membuka kawasan hutan. Mereka tinggal pada bedeng- bedeng yang telah disediakan dan mereka telah diberi suplai untukpemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari makanan pokok hingga kebutuhan bambu, kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Pihak perkebunan pun telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kampak.

Pada masa Jepang, masyarakat Cipeuteuy mengalami penderitaan. Perkebunan teh dirusak dan dibakar dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian, namun hasil pertaniannya banyak diambil oleh Jepang. Pada masa tersebut banyak kampung- kampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai bertambah, sawah-sawah dan pemukiman mulai dibuka.

Selanjutnya pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan eks perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Pada tahun 1958 banyak tanah eks perkebunan Pandan Arum tersebut yang digarap masyarakat diberikan surat Letter C. Kemudian, tahun 1963 dikeluarkan surat keputusan dari agraria mengenai pembebasan tanah untuk garapan masyarakat.

Pada masa perkebunan Intan Hepta, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja seperti halnya yang terjadi pada masa perkebunan Pandan Arum, namun tidak semua anggota masyarakat bekerja disitu, telah banyak yang

memiliki sawah, lahan garapan, dan kebun. Disamping itu telah banyak yang mencari pekerjaan di kota, baik sebagai buruh, atau kuli bangunan, sehingga tidak lagi menggantungkan hidup pada perkebunan. Dengan demikian pola interaksi yang terjadi menjadi lebih bebas, terbuka dan tidak ketergantungan.

Pada tahun 1969, tanah-tanah eks erfpacth yang dikonversi menjadi HGU mulai dibuka kembali. Tahun 1973 terjadi pembebasan lahan yang dilakukan kontraktor pembebasan tanah dari PT. Intan Hepta, meskipun pada tahun 1963 sudah banyak tanah yang diberikan Petok C. Tanah-tanah eks perkebunan Pandan Arum yang sudah digarap masyarakat diberikan ganti rugi sebanyak Rp.7.000,- per hektar. Pada tahun 1975 PT. Intan Hepta yang dimiliki oleh Thoyib Hidayatullah, seorang menteri pertanian pada saat itu melakukan penanaman cengkeh seluas 583 hektar.

Namun demikian, PT. Intan Hepta tidak bertahan lama karena hasil cengkehnya tidak terlalu baik. Perkebunan ini kemudian diterlantarkan dan sempat menjadi sarang babi hutan yang mengganggu perkebunan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat diperkenankan untuk menggarap selebar empat meter dari sisi jalan dan tanaman cengkeh mulai ditebangi pada tahun 1997 Sebagian lahan yang tidak digarap oleh rakyat disubkontrakkan pada pihak lain untuk ditanami pohon yang berumur pendek sambil memanfaatkan sisa waktu HGU yang habis pada tahun 2000

Berkah kebangkrutan PT. Intan Hepta sebelumnya didahului oleh adanya kesempatan untuk melakukan tebangan hutan pada kawasan hutan produksi. Disamping melakukan tumpangsari mereka juga memperoleh tambahan pendapatan dari pekerjaan perawat tanaman pokok, seperti upah mengolah lahan,

pemupukan dan penyiangan. Masa tersebut merupakan masa yang penuh berkah bagi masyarakat Desa Cipeuteuy, karena mereka mendapatkan lahan garapan yang luas untuk perkebunan dan tumpangsari. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan tumpansari pada lahan kehutanan eks tebangan Perhutani, selain itu, mereka dapat mengelola lahan eks perkebunan Perhutani.

Akan tetapi pada masa itu kelimpahan ini diterima begitu saja tanpa diikuti oleh peningkatan kreatifitas dan daya jual yang tinggi, melainkan mereka selalu mengeluh mengenai modal. Mereka tidak mengupayakan adanya irigasi teknis ataupun menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Mereka hanya menanam tanaman yang ada dan bisa dibiarkan berkembang sendiri tanpa perawatan, seperti singkong, pisang dan sejenisnya. Sehingga pemanfaatan lahan eks perkebunan Intan Hepta yang masing-masing mencapai seluas satu hektar tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi mereka.

Meskipun masih diliputi rasa takut, karena terdesak kebutuhan hidup, banyak masyarakat desa dan luar desa memanfaatkan lahan bekas perkebunan Intan Hepta. Pada awalnya, ada yang menggarap secara sembunyi-sembunyi dan perlahan-lahan tetapi akhirnya mereka masuk dan menggarap secara terang- terangan setelah mereka dibiarkan untuk mengelola lahan. Pembukaan lahan inipun juga dilakukan oleh warga desa tetangga yang kemudian menetap, salah satunya dilakukan oleh kelompok tani yang dikoordinir oleh Bapak ‘PI’ yang hingga saat ini bersama dengan kelompok taninya memerjuangkan status lahan eks HGU.

Sudah hampir sepuluh tahun kelompok tani ini berkonflik dengan pemegang kepemilikan HGU lahan perkebunan eks Intan Hepta. Pemilik HGU menginginkan agar ia dapat memperpanjang masa HGU, sedangkan Bapak ‘PI” dengan kelompoknya berusaha agar HGU tersebut tidak lagi diperpanjang dan warga memperoleh hak garap pada lahan tersebut.

Pada masa masuknya program kemasyarakatan mulai dikembangkan pertanian modern dengan komoditas yang padat modal, seperti tanaman cabai, tomat dan sayuran lainnya yang membutuhkan saprodi lebih banyak seperti mulsa plastik, pupuk kimia dan pestisida. Pada masa ini mulai banyak bantuan yang datang dari pemerintah, lembaga kemasyarakatan, akademisi hingga LSM. Hal ini sangat mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat. Masayarakat menjadi lebih konsumtif, dan cenderung pasif untuk berusaha. Mereka lebih mengharapkan bantuan dari luar. Hal ini dipicu oleh kesalahan pihak luar dalam melakukan pendekatan pada masyarakat. Sebagai contoh, LSM Internasional pernah mengadakan pendampingan, dimana pada setiap pertemuan, masyarakat diberikan uang saku/amplop, sehingga hal ini membentuk pola pikir masyarakat yang memandang bahwa, setiap ada pihak luar yang masuk Desa Cipeuteuy, maka pasti akan ada bantuan atau sumbangan. Selain itu, banyaknya lembaga-lembaga yang menjalankan program di Desa Cipeuteuy juga mempengaruhi pola-pola yang ada di masyarakat. Menurut penuturan dari informan, beberapa program tidak datang dari keinginan warga dan cenderung dipaksakan untuk diarahkan kepada kepentingan lembaga.

Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial.

Adanya hubungan antar kelas ini akan membentuk suatu tatanan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dari dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi, maka Desa Cipeuteuy memiliki tatanan sosial, yakni struktur agraria yang terbagi menjadi tiga tipe penguasaan sumberdaya agraria, yakni tipe kapitalis, sosialis dan tipe populis dengan hubungan sosio agraria seperti pada Gambar 4. Pada tipe kapitalis, sumberdaya agraria dimiliki oleh perusahaan, atau pemilik modal. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan majikan- buruh.yang pada Desa Cipeuteuy subjek agrarianya antara lain PT. Intan Hepta, petani penggarap dan pemerintah desa sebagai pihak yang selama ini menjadi perantara antara dua pihak tersebut.

Gambar 4. Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy

Sumber:Penelusuran Peneliti Pada Desa Cipeuteuy tahun 2007

Pemerintah Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Sukabumi TNGH-S Swasta PT. Intan Hepta Sumberdaya Agraria

- Eks HGU Perkebunan Intan Hepta - Perkebunan Rakyat - Lahan TNGH-S - Lahan Perorangan Petani Pemilik Buruh Tani H u n u n g a n in tra s u b je k Komunitas - Kelompok tani - Petani Pemilik - Petani penggarap - Buruh Tani

Pada tipe sosialisme, sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok, dimana hubungan sosio agraria yang terjadi adalah hubungan ketua –a nggota. Di Desa Cipeuteuy, tipe sosialis dapat ditemui pada lahan yang dikelola kelompok tani secara bersama-sama. Subjek agrarianya antara lain pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), kelompok tani dan pemerintah desa. Pihak TNGHS menyediakan lahan untuk dikelola dan dimanfaatkan bersama oleh kelompok tani pada Kampung Sukagalih.

Tipe populisme merupakan tipologi yang mendominasi wilayah Cipeuteuy, dimana sumberdaya agraria dikuasai oleh keluarga atau rumah tangga pengguna. Adapun subjek agrarianya antara lain petani pemilik, petani penggarap dan buruh tani. Hubungan yang terjadi antara subjek agraria adalah hubungan intra subjek agraria yang tercermin dalam hubungan patron-klien.

Selanjutnya, Hubungan yang terjadi antara subjek agraria dengan sumberdaya agraria ditunjukkan dari pengelolaan sumberdaya agraria. Pada Desa Cipeuteuy tidak ditemukan hubungan teknis yang eksploratif. Hampir seluruh pengelolaan sumberdaya agraria dilakukan secara konservatif, dalam artian pengelolaannya memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungannya. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari peran serta masyarakat dalam menjaga hutan

Dokumen terkait