• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN

6.2. Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan

6.2.1. Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan

Tokoh masyarakat di tingkat desa pada intinya mengakui adanya kepemilikan perempuan atas sumberdaya agraria sedemikian halnya laki-laki. Berbeda dengan ketentuan hukum yang menetapkan usia 21 tahun sebagai batas usia hak membeli dan menjual, di Desa Cipeuteuy kepemilikan laki-laki dan perempuan telah diakui mulai pada usia 17 tahun keatas. Dengan demikian pengakuan kepemilikan sumberdaya agraria tidak hanya melalui proses jual beli, namun juga melalui sistem pewarisan dan hibah.

Desa juga memiliki ketentuan-ketentuan dalan proses jual beli yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan, Adapun ketentuan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh alat-alat hukum dalam proses jual beli yang diantaranya adalah: pertama, pada lahan milik gono- gini, jika istri mau menjual, maka harus ada persetujuan dari suami, dan jika suami menjual harus ada persetujuan dari istri; Kedua, jika menjual tanah milik Suami/Istri, maka harus ada persetujuan dari ahli warisnya; Ketiga, untuk tanah waris/hibah yang dimiliki oleh lebih dari satu orang anak dan salah satu ingin menjual maka harus ada izin dari saudara-saudaranya; Keempat, untuk tanah waris/hibah yang dihibahkan atau diwariskan dan belum dibuatkan akta hibah, maka ketika menjual dalam SPPT-nya masih menggunakan nama Bapak, disamping itu sebelum menjual harus izin saudara-saudaranya (tanda tangan di atas materai) dan membuat Surat Pernyataaan Kuasa Hibah (SPKH) Sebelum Di

aktakan, namun jika telah memiliki akta hibah maka tidak perlu dibuatkan surat lagi.

Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pengakuan yang sama atas kepemilikan sumberdaya dan keduanya memiliki kemudahan yang sama dalam pengurusan kepemilikan sumberdaya agraria. Tidak hanya kepemilikan laki-laki dan perempuan atas lahan yang mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat, penguasaan keduanya atas lahan pun diakui pada tingkat desa dan tokoh masyarakat. Kondisi sumberdaya agraria pada tiga kampung kasus mendorong penduduknya untuk menggarap lahan taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNGHS) dan lahan status quo eks PT. Intan Hepta. Dengan demikian, jumlah penguasaan lahan tentunya lebih banyak dari jumlah kepemilikan lahan. Tidak hanya laki-laki sebagai kepala rumahtangga yang diakui dapat menguasai lahan, namun perempuan–tidak hanya janda-juga diakui atas penguasaan lahan. Sebagai contoh, Ibu ‘SC’ yang tinggal di Kampung Cisalimar yang menguasai lahan sawah milik Bapak ‘ID’ (pemilik lahan yang tinggal di Jakarta) menguasai lahan dengan sistem sewa dan menguasai kebun lahan TNGHS dengan sistem garap dan ia mendapat pengakuan dari tokoh masyarakat setempat dan dapat mempekerjakan beberapa buruh tani untuk mengelola lahannya. Contoh lainnya terjadi di kampung Cisalimar dimana kelompok perempuan secara khusus diberikan hak penguasaan atas lahan garapan kelompok yang dapat diusahakan dan dikelola sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan. Dengan adanya lahan kelompok khusus perempuan tersebut, perempuan selanjutnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas lahan yang mereka kuasai sendiri.

6.2.2. Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C

Menurut penuturan aparatur desa, sebelum adanya Letter C, bukti kepemilikan atas tanah yang digunakan adalah Girik dan Blangko. Pada tahun 1967, verifikasi pemilikan lahan yang dilakukan oleh BPN menghasilkan pencatatan kepemilikan lahan melalui Letter C desa. Kemudian pada tahun 1992, girik dan blangko sebagai bukti kepemilikan individu dihilangkan dan diganti dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Selain SPPT, sebelum diaktakan terlebih dahulu dibuatkan surat pemindahan kepemilikan hanya sementara (SEGEL).

Dengan demikian sertifikasi tanah baru diberlakukan pada tahun 1992, sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) sudah disertifikasi dari tahun 1972. Selanjutnya jumlah sertifikasi yang tercatat di desa berjumlah 75 buah dengan kepemilikan sebanyak 50 orang sedangkan jumlah Letter C tercatat hingga berjumlah 813 nomor.

Pada tingkat desa diketahui bahwa jumlah laki-laki yang tercatat dalam Letter C desa lebih banyak dari jumlah perempuan. Kepemilikan lahan oleh perempuan yang berasal dari hibah atau waris, bisa jadi tidak tercatat atas nama perempuan tersebut, kecuali ia membeli lahan. Hal ini diduga karena belum adanya pemindahan kepemilikan melalui surat waris dan surat hibah, disamping itu penduduk Desa Cipeuteuy, mayoritas mendaftarkan kepemilikannya atas lahan dengan diatas namakan laki-laki.

Menurut pengakuan dari masyarakat, mereka cenderung mendaftarkan dalam Letter C dengan mengatas-namakan/meminjam nama anak laki-laki mereka. Seperti bapak ‘AJ’ yang mengatakan bahwa ketika anak laki-lakinya

dewasa, maka ia akan membukukan hartanya atas nama anak laki-lakinya dan bukan anak perempuan pertamanya, pertimbangannya adalah, bahwa penopang keluarga adalah laki-laki dan selama ini laki-laki cenderung mempunyai sifat kritis, sehingga ketika namanya tercantum ia akan memperjuangkan harta tersebut, berbeda dengan sifat anak perempuan yang cenderung pasrah menerima keadaan. Dari anggapan tersebut, tidak sedikit perempuan yang memiliki lahan namun tidak tercatat dalam Letter C dikarenakan lahan tersebut tercatat atas nama saudara laki-laki atau orang tuanya.

Dalam pencatatn Letter C terdapat pihak-pihak yang cenderung memilih menggunakan nama anak laki-lakinya dengan pertimbangan bahwa laki-laki dianggap lebih dapat bertanggung jawab untuk menjaga harta benda yang dimilki, sedangkan hanya beberapa pihak yang cenderung tidak mempermasalahkan nama anak perempuan atau laki-laki yang digunakan karena mereka berpandangan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama dalam kepemilikan lahan.

Adapun nama perempuan yang tercatat dalam Letter C menandakan bahwa perempuan tersebut memperoleh lahan dari hasil membeli dan jika mewarisi dan mendapat hibah, artinya ia telah mengganti nama pemilik sebelumnya dengan menerbitkan surat waris/hibah sehinga kepemilikannya atas sumberdaya agraria menjadi sah.

6.2.3. Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya

Seperti yang telah diuraikan di atas, SPPT mulai diberlakukan pada tahun 1992 sebagai pengganti girik dan blangko. Adapun jumlah SPPT yang tercatat di desa berjumlah 1.212 lembar SPPT dengan kepemilikan sebanyak 308 orang.

Setelah dianalisis, dari 308 pemegang SPPT, diperoleh jumlah laki-laki sebanyak 225 orang dan jumlah perempuan sebanyak 83 orang pemegang SPPT.

Adapun masing-masing orang berpeluang memiliki satu hingga sepuluh lembar SPPT. Ditemukan beberapa diantaranya menggunakan nama yang berbeda pada tiap SPPT, hal ini diduga memberikan peluang untuk memiliki lembar- lembar SPPT selanjutnya, sehingga jika menggunakan nama yang berbeda asumsinya pemiliknya adalah orang yang berbeda. Tercatat pada tahun 2007, total pembayaran pokok sebanyak Rp 8.020.561,-.

Untuk SPPT, biasanya digunakan juga nama anak laki-laki sebagai anak pertama, sama halnya dengan pencatatan SPPT, jika anak pertama adalah perempuan, maka tergantung kepada kebijakan keluarga masing-masing.

Dokumen terkait