• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN

8.2. Pemilikan Sumberdaya Agraria

8.2.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-

Adanya pengakuan komunitas dan desa terhadap kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria secara tidak langsung mempengaruhi akses keduanya terhadap kepemilikan lahan, karena laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk memiliki sumberdaya agraria melalui proses jual beli. Sistem pewarisan yang diterapkan di Desa Cipeuteuy juga

memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk memiliki lahan melalui pewarisan dan hibah.

Merujuk pada pola-pola kepemilikan dan penguasaan lahan diperoleh bentuk-bentuk kepemilikan atas individu yang telah diakui oleh komunitas hingga tingkat desa, yakni kepemilikan laki-laki/suami, kepemilikan perempuan/istri dan kepemilikan secara gono-gini (guna kaya). Kepemilikan secara inividu ini kemudian menggambarkan akses dan kontrol ART laki-laki dan perempuan atas kepemilikan lahan.

Pada Tabel 20 telah disajikan jumlah luasan lahan yang dimiliki oleh ART laki-laki dan perempuan secara individu maupun bersama dilihat dari seluruh ART yang disurvei.

Tabel 20. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Status Kepemilikan Lahan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are)

Kepemilikan Laki-laki Perempuan Gono-Gini Total

Sawah 41,52 3,20 9,07 53,80 Kebun 23,45 3,14 14,42 41,01 Pekarangan 1,58 0,52 0,46 2,56 Kolam 0,16 2,39 0,09 2,64 Total (Persen) 66,71 9,24 24,05 100,00 Total (Jumlah) 1416,6 196,3 510,7 2123,6

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)

Dilihat dari luas lahan yang berstatus milik, Kepemilikan lahan pada 3 kampung kasus adalah seluas 2123,6 are (21,23 hektar) dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar 24,97 are per rumahtangga. Adapun komposisi kepemilikan lahan sebesar 53,8 persen lahan sawah, 41.01 persen lahan kebun, 2.56 persen lahan pekarangan dan 2,64 persen lahan kolam. Secara keseluruhan dari 100 rumahtangga ditemukan bahwa luas lahan yang dimiliki oleh laki-laki

memiliki persentase lebih tinggi dari lahan yang dimiliki oleh perempuan. Seluas 66.71 persen dari total lahan kepemilikan pada tiga kampung kasus dimiliki oleh laki-laki, selanjutnya sebesar 24,05 persen lahan kepemilikan dimiliki secara bersama/gono-gini dengan komposisi 9.07 persen lahan sawah, 14.42 persen lahan kebun, 0.46 persen lahan pekarangan dan 0.09 persen lahan kolam, sedangkan sisanya sebesar 9,24 persen adalah milik perempuan. Dengan demikian laki-laki memiliki persentase tertinggi dalam kepemilikan lahan dengan kepemilikan lahan sawah seluas 41,52 persen dan 23,45 persen lahan kebun dari total lahan kepemilikan.

Dari pencacahan lengkap 100 rumahtangga, diperoleh gambaran mengenai tingkat akses anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria. Pada Tabel 21 diketahui luas total kepemilikan lahan dari 100 rumahtangga adalah sebanyak 1494,2 are dengan rata-rata kepemilikan lahan 14,94 are per rumahtangga, dimana masing–masing seluas 58,9 persen dimiliki oleh stratum atas, 27,6 persen stratum menengah dan 13,5 persen pada stratum bawah.

Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession15) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana

15

Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai

perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)16 atas kepemilikan lahan.

Tabel 21. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi dan Kepemilikannya Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are)

Tingkat Stratifikasi Laki-Laki/Suami Gono-gini Perempuan/Istri Sawah Stratum Atas 4,6 1,1 4,6 Stratum Menengah 7,8 2,9 4,0 Stratum Bawah 4,5 0,5 4,3 Total (Persen) 16,9 4,6 12,9 Total (Jumlah) 252,7 68,0 192,7 Kebun Stratum Atas 29,3 0,0 13,4 Stratum Menengah 3,2 2,7 6,3 Stratum Bawah 0,8 1,8 0,8 Total (Persen) 33,3 4,5 20,5 Total (Jumlah) 498,0 66,6 306,2 Pekarangan Stratum Atas 1,7 0,6 0,0 Stratum Menengah 0,5 0,0 0,1 Stratum Bawah 0,0 0,1 0,5 Total (Persen) 2,2 0,7 0,7 Total (Jumlah) 33,5 11,0 9,8 Kolam Stratum Atas 0,2 3,3 0,1 Stratum Menengah 0,0 0,0 0,0 Stratum Bawah 0,0 0,0 0,0 Total (Persen) 0,2 3,4 0,1 Total (Jumlah) 3,4 50,7 1,9 Total Stratum Atas 35,8 5,1 18,0 Stratum Menengah 11,5 5,6 10,4 Stratum Bawah 5,4 2,5 5,7 Total (Persen) 52,7 13,1 34,2 Total (Jumlah) 787,5 196,2 510,5

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)

Disamping itu juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)17 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas

16

Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan

yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah.

Kepemilikan perempuan atas lahan akan mempengaruhi secara langsung terhadap bagaimana mereka memanfaatkan lahan tersebut. Dilihat kembali dari kampung kasus, tingkat akses perempuan rendah berada pada Kampung Cisalimar dan memiliki luas persentase kepemilikan lahan tertinggi pada Kampung Sukagalih, diduga hal ini dikarenakan perempuan pada Kampung Cisalimar mayoritas adalah pendatang yang dibawa oleh suaminya untuk tinggal di kampung tersebut sehingga kepemilikan lahan yang dimilikinya berada pada kampung asalnya yang notabene harus dijual, digarapkan/dihibahkan pada saudaranya agar lahan tersebut tetap dapat termanfaatkan.

Menurut penuturan salah satu responden perempuan di wilayah Sukagalih memang telah terbiasa melakukan kegiatan usahatani sejak usia dini sehingga hal tersebut mempengaruhi kepemilikan lahan oleh perempuan karena perempuan cenderung akan terus melakukan kegiatan usahatani pada lahannya sendiri.

Pada 100 rumahtangga kasus dapat dipastikan bahwa tingkat akses perempuan atas lahan mempunyai persentase tertinggi pada stratum atas dimana menurut pernyataan responden, perempuan yang termasuk kedalam stratum atas lebih banyak mewarisi lahan dari suaminya yang telah meninggal dan, membeli lahan tersebut dari hasil penghasilan beberapa orang yang suaminya bekerja diluar usahatani. Sedangkan perempuan pada stratum menengah dan stratum bawah cenderung memperolehnya dari membeli dan mewarisnya dari orang tua.

17

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.

Mengingat sistem pewarisan yang berlaku dan pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria, maka tingkat akses dapat dikatakan tinggi karena keduanya memiliki akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan. Serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu. Namun jika dilihat dari distribusi lahannya, tingkat akses anggota rumahtangga petani perempuan lebih rendah dibandingkan tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki. Hal ini diduga masih kuatnya anggapan bahwa laki-laki lah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya sedangkan perempuan hanya ikut suami saja, sehingga perempuan yang masih memiliki lahan, memutuskan untuk menjualnya sedangkan perempuan yang awalnya tidak mempunyai lahan, mengalami kesulitan untuk memutuskan membeli lahan karena beberapa pertimbangan sehubungan dengan pengelolaan lahan.

8.2.2. Tingkat Kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria

Pada Tabel 22 telah diketahui tingkat akses anggota rumahtangga petani atas sumberdaya agraria, tingkat akses tersebut belum dapat menggambarkan tingkat partisipasi anggota rumahtangga laki–laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria mereka,dengan demikian perlu diketahui tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria, tingkat kontrol ini berkenaan dengan partisasi ART laki-laki dan perempuan dalam mempertahanakan sumberdaya agraria yang dimilikinya melalui pewarisan, hibah dan membeli sendiri untuk membeli dan menjual sumberdaya agrariannya.

Tingkat kontrol ART laki-laki dan perempuan atas kepemilikan sumberdaya agraria ditentukan dari pola pengambilan keputusan atas kepemilikan sumberdayanya. Pola pengambilan keputusan untuk mempertahankan sumberdaya agraria yang dimiliki ART laki-laki dan perempuan terdiri dari 3 pola, yakni: pengambilan keputusan oleh suami sendiri, pengambilan keputusan oleh suami dan istri secara setara, dan pengambilan keputusan oleh istri saja.

Secara keseluruhan pengambilan keputusan oleh suami sendiri dilakukan sebanyak 41,4 persen dari jumlah rumahtangga yang disurvei. Suami memiliki tingkat kontrol yang tinggi dengan persentase sebesar 41,4 persen untuk suami sendiri dan 37,1 persen untuk kombinasi suami dan istri setara.

Tabel 22. Tingkat Kontrol ART Terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen)

Pola Pengambilan Keputusan ART Laki-laki dan Perempuan atas Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tingkat Stratifikasi

Suami Suami dan Istri Istri Total

Stratum Atas 10,0 11,4 4,3 25,7

Stratum Menengah 14,3 8,6 5,7 28,6

Stratum Bawah 17,1 17,1 11,4 45,7

Total (Persen) 41,4 37,1 21,4 100,0

Total (Jumlah) 29 26 15 70

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 70 (Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32)

Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang

dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaanya.

8.3. Penguasaan Sumberdaya Agraria

Kondisi sumberdaya agraria di Desa Cipeuteuy sangat tidak memungkinkan penduduknya yang mayoritas berprofesi sebagai petani untuk mencukupi kebutuhannya dengan hanya mengandalkan sumberdaya agraria yang dimilikinya. Dengan alasan tersebut, maka penduduk Desa Cipeuteuy tidak hanya mengarap lahan yang dimilikinya namun juga menguasai lahan garapan baik milik orang lain, pemerintah maupun lahan TNGHS. Dari hasil observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di tiga kampung kasus, diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kampung Sukagalih, Cisalimar dan Pasir Masigit menguasai lahan milik Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan eks perkebunan PT. Intan Hepta yang ditetapkan sebagai lahan status quo. Penduduk pada tiga kampung kasus tersebut dapat menggarap lahan TNGHS dan eks HGU tanpa sistem sewa, gadai, ataupun bagi hasil. Dengan demikian dirasa cukup penting untuk melihat penguasaan sumberdaya agraria, pada masing-masing rumahtangga

8.3.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria

Dengan kebebasan akses untuk menguasai lahan TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta, maka baik laki-laki dan perempuan diduga mempunyai kesempatan yang sama untuk menguasai sumberdaya agraria tersebut dengan cara

menggarap. Adapun kesempatan laki-laki dan perempuan dalam penguasaan lahan dapat dilihat dari tingkat akses keduanya dalam menguasai lahan. Tingkat Akses atas penguasaan lahan diukur dari peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem garap dan kontrak yang dibedakan ke dalam sistem sewa, gadai, bagi hasil. Tidak seperti tingkat akses terhadap kepemilikan sumberdaya agraria yang dapat diukur kepemilikannya atas kepemilikan laki-laki dan perempuan. Penguasaan sumberdaya agraria juga berkenaan dengan lahan garapan, sehingga status petani yang menggarap tidak hanya sebagai petani pemilik, namun petani pemilik dan penggarap. Menurut hasil FGD dan wawancara mendalam, lahan garapan yang dikuasai secara otomatis dianggap sebagai lahan gono gini (guna kaya) yang penguasaannya adalah penguasaannya secara bersama, sehingga baik laki-laki maupun perempuan mempunyai akses yang sama atas penguasaan lahan tersebut. Dari 100 rumahtangga yang disurvei, terdapat 85 rumahtangga yang menguasai lahan, baik lahan milik dan lahan garapan dan didalamnya termasuk 53 rumahtangga yang menguasai sumberdaya agraria bukan milik melalui hak garap.

Luas penguasaan lahan pada ketiga kampung kasus, adalah seluas 3446,9 are, dengan rata-rata luas lahan penguasaan 40,551 are per rumahtangga dan 2149,2 are lahan garapan di luar lahan milik.

Tabel 23. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, Bentuk Penguasaan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are)

Sawah Kebun Bentuk Penguasaan Stratum Atas Stratum Menenga h Stratum Bawah Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total Waris 5,7 2,9 1,7 5,3 1,7 0,8 18,3 Beli 5,7 2,7 0,9 10,6 3,0 0,7 23,5 Hibah 10,0 0,2 0,7 2,0 0,0 0,6 13,5 Sewa 1,5 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 1,6 Garap 4,9 4,1 1,0 19,9 6,4 5,5 41,9 Bagi Hasil 0,2 0,3 0,1 0,0 0,0 0,0 0,7 Gadai 0,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 Total (Persen) 28,7 10,4 4,4 37,8 11,1 7,6 100,0 Total (Jumlah) 988,0 358,0 152,3 1304,2 384,0 260,4 3446,9

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)

Tabel 22 menyajikan data yang menyatakan bahwa sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara menggarap memiliki persentase tertinggi, yang diikuti oleh persentase luas sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara membeli, mewarisi, sedangkan persentase terendah dilakukan dengan cara sewa dan gadai. Sumberdaya agraria yang dikuasai dengan cara menggarap berturut-turut dari persentase yang tertinggi dilakukan oleh ART pada stratum atas, menengah. Diketahui bahwa jumlah lahan kebun yang digarap memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah.

Data yang tersaji pada Tabel 23 juga menginformasikan bahwa lahan sawah lebih banyak diwariskan daripada lahan kebun, sedangkan di lain sisi, masyarakat lebih memilih untuk membeli lahan kebun daripada sawah. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masuknya pertanian modern yang padat modal dengan berbagai tanaman hortikultur yang menjanjikan peluang perolehan pendapatan

yang lebih tinggi, sehingga para petani lebih menaruh minat untuk mengusahakan komoditi yang komersil dibandingkan dengan lahan padi sawah yang subsisten.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penguasaan sumberdaya agraria yang berstatus hak garap dikuasai secara gono-gini. Hal ini dikarenakan, kebutuhan untuk menggarap dan menguasai lahan di luar hak milik baru akan timbul setelah individu laki-laki dan perempuan menikah. Karenanya, laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama dalam proses membuka lahan hingga pengelolaannya. Selanjutnya diketahui bahwa sebanyak 20 persen penguasaan lahan dilakukan oleh laki-laki sendiri dan perempuan sendiri. Hal ini dikarenakan, pasangan dari keduanya bekerja di luar sektor usahatani, sehingga tidak akses kepada lahan yang dikuasai.

Tabel 24. Distribusi Sumberdaya Agraria Menurut Tingkat Stratifikasi Berserta Status Kepemilikan yang Dikuasai Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are)

Status Kepemilikan Sumberdaya Agraria

Stratum Atas

Stratum

Menengah Stratum Bawah Sawah Suami 19.5 3.3 1.9 Istri 0.5 1.2 0.2 Gono-Gini 1.9 1.7 1.8 TNGH-S 1.0 2.7 0.6 Eks-HGU 1.6 0.0 0.0 Lainnya 4.4 1.2 0.3 Total (Persen) 29.0 10.1 4.9 Total (Jumlah) 1025.0 358.0 172.3 Kebun Suami 12.4 1.4 0.3 Istri 0.0 1.1 0.8 Gono-Gini 5.7 2.7 0.3 TNGH-S 11.1 5.4 3.9 Eks-HGU 6.7 0.6 1.1 Lainnya 2.2 0.0 0.3 Total (Persen) 38.0 11.1 6.8 Total (Jumlah) 1344.2 394.0 240.4

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Tabel 24 menyajikan gambaran mengenai status kepemilikan lahan yang dikuasai, dimana terlihat bahwa persentase tertinggi ada pada lahan milik suami, yang disusul oleh lahan milik TNGHS, Gono-gini dan lahan garapan eks HGU perkebunan PT. Intan Hepta. Tingginya jumlah persentase penguasaan lahan pada kawasan TNGHS turut menjelaskan tingginya persentase penguasaan dengan cara menggarap.

Dari keseluruhan data yang diperoleh, diketahui bahwa anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan memiliki tingkat akses yang tinggi terhadap penguasaan lahan, karena keduanya memiliki akses yang sama terhadap penguasaan sumberdaya agraria. Selanjutnya diketahui bahwa petani penggarap lebih memilih menggarap lahan kering/kebun daripada sawah. Hal ini dikarenakan lahan kering/kebun lebih menghasilkan daripada lahan sawah yang pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan pengelolaan yang cukup mahal. Selain daripada itu, lahan kering/kebun merupakan sumber penghasilan petani, sedangkan sawah berfungsi untuk mencukupi kebutuhan pangan harian, dimana masing-masing petani telah memiliki sawah dengan hak milik.

8.3.2. Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria

Tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria berkenaan dengan kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk menggarap, menyewa, dan mengarap dengan sistem bagi hasil, lahan lainnya termasuk lahan pemerintah.

Pola pengambilan keputusan untuk menggarap, menyewa, dan mengarap dengan sistem bagi hasil terdiri dari tiga pola, yakni: pengambilan keputusan oleh suami sendiri, suami dan istri secara setara, dan pengambilan keputusan oleh istri saja. Pada Error! Reference source not found. diketahui pola pengambilan keputusan ART laki-laki dan perempuan terhadap kepemilikan sumberdaya agrarianya. Secara keseluruhan pengambilan keputusan oleh suami sendiri dilakukan sebanyak 38,8 persen dari jumlah rumahtangga yang disurvei, masing- masing 10,6 persen dari total jumlah rumahtangga yang disurvei pada stratum atas, 11,8 persen pada stratum menengah, dan 16,5 persen dari total rumahtangga pada stratum bawah. Suami memiliki tingkat kontrol yang tinggi dengan persentase sebesar 33,8 persen untuk suami sendiri, dan 36,5 persen untuk pengambilan keputusan bersama

Tabel 25 Tingkat Kontrol Terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam persen)

Kontrol ART Laki-laki dan Perempuan atas Penguasaan Sumberdaya Agraria Tingkat Stratifikasi

Suami Suami+Istri Istri Total

Stratum Atas 10,6 8,2 4,7 23,5

Stratum Menengah 11,8 9,4 7,1 28,2

Stratum Bawah 16,5 18,8 12,9 48,2

Total (Persen) 38,8 36,5 24,7 100,0

Total (Jumlah) 33 31 21 85

Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007

Keterangan: n= 85 (Stratum A=20, Stratum B=24, Stratum C=41)

Dari Pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa perempuan secara sendiri masih memiliki tingkat kontrol yang rendah terhadap penguasaan sumberdaya agraria. Dengan demikian, tingkat kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria dapat dikatakan rendah, karena laki-laki lebih dominan dalam

pengambilan keputusan atas penguasaan sumberdaya agraria, meskipun keduanya mempunyai akses yang sama terhadap lahan yang dikuasai.

8.4. Pengelolaan Sumberdaya Agraria

Relasi gender pada rumahtangga petani tidak pernah terlepas dari proses pengelolaan sumberdaya agraria sebagai salah satu bentuk kegiatan produktif yang menyokong kebutuhan rumahtangga pertanian. Seperti pedesaan yang terletak di dataran tinggi lainnya, Desa Cipeuteuy juga mengandalkan hasil usahataninya untuk menunjang pemenuhan kehidupan.

Desa Cipeuteuy pernah menjadi Desa yang hanya memproduksi komoditas padi, sehingga pada masa itu, masyarakat tidak perlu menghawatirkan pengangkutan komoditas hasil produksinya. Pada tahun 1997, penduduk Desa Cipeuteuy mulai menanam sayuran. Hal ini bersamaan dengan mulai digarapnya tanah eks HGU oleh masyarakat, sehingga dibukalah lahan-lahan untuk menanam sayuran. Adapun pertimbangan untuk mengganti komoditas ini adalah karena tanaman hortikultur lebih menguntungkan dari pada hasil lahan basah/sawah. Seiring dengan masuknya teknologi pertanian, maka cabai, tomat dan kol menjadi komoditas andalan, salah satunya di wilayah Sukagalih, sedangkan tanaman padi tetap menjadi tanaman subsisten untuk memenuhi kebutuhan pangan harian. Pengolahan lahan pun selanjutnya akan dipengaruhi oleh komoditas yang ditanam, karena masing-masing komoditas memiliki perlakuan dan usia yang berbeda hingga masa produksinya habis.

Dari hasil FGD, diketahui bahwa cabai memerlukan waktu kurang lebih empat bulan dari proses pengolahan lahan hingga panen terakhir dan tumbuhan cabai mati. Sedangkan jarak waktu antara panen pertama dengan panen

selanjutnya adalah satu minggu dalam periode 12 kali panen. Untuk perlakuannya, tanaman cabai rata-rata membutuhkan penyemprotan hama fungisida dan insektisida setiap satu kali dalam satu minggu dan untuk penyiraman dilakukan tiap lima hari satu kali khusus pada musin kemarau. Adapun aktifitas dan waktu yang diperlukan untuk penanaman cabai tertera pada Tabel 26 mengenai kalender musim tanam cabai untuk satu rol mulsa yang diperoleh dari hasil FGD tiga kampung sampel.

Tabel 26. Kalender Musim Tanam (Kebun-Cabai) Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 Rol Mulsa)

Peranan Jam Kerja (Perhari)

Kegiatan L P Lama Pengerjaan L P Nyacar √ √ 1 Minggu 6 6 Macul √ 1 Minggu 6 0 Ngipuk √ 1 Hari 1 0 Ngagarit √ 3 Hari 6 0 Ngabungbung √ 1 hari 3

Masang pupuk kandang √ 1 Minggu 6

Ngapur √ 1 Hari 6

Berak dasar √ 5 hari 6

Ngaduk √ √ 2 Hari 6 6

Masang mulsa √ 4 Hari 6

Melak √ √ 3 Hari 6 6

Pasang Ajir √ 5 Hari 3

Ngobat √ 1 hari 3 Nyirung √ 1 hari 6 Nalian √ 2 Hari 6 Ngobat √ 1 hari 6 Ngecor √ √ 4 Hari 6 6 Panen √ 4 Hari 6

Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy

Pada Tabel 27 telah disajikan aktifitas beserta waktu yang diperlukan dalam penanaman komoditas tomat. Untuk komoditas tomat, dari mulai pengolahan tanah hingga panen pertama memerlukan waktu ± 2,5 bulan dengan jarak antara panen pertama ke panen selanjutnya adalah satu minggu. Seperti

komoditas cabai, tomat juga memerlukan penyemprotan hama (fungisida dan insektisida) satu minggu satu kali dan penyiraman dilakukan tiap lima hari satu kali pada musim kemarau Yang membedakannya dengan cabai adalah masa hidup tomat yang hanya mampu berproduksi hingga delapan kali panen.

Tabel 27. Kalender Musin Tanam Tomat Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (untuk 1 rol mulsa) Bulan Peran Jam Kerja (perhari) 10 11 12 1 2 3 Kegiatan

L P L P Syawal Hapit Haji Muharam Sapar Mulud

Ngored √ √ 6 6 √ Ngabungbung √ 0 6 √ Macul √ 6 0 √ Masang Pupuk √ 4 0 √ Masang Mulsa √ 7 0 √ Kemplong √ 6 0 √ Melak √ √ 6 6 √ Ngobat √ 3 0 √ √ √ Pasang Ajir √ 6 0 √ Nalian √ 6 √ √ √ Nyirung √ √ 6 6 √ √ √ Panen √ √ 6 6 √ √

Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy

Pada lahan sawah, seperti pada Tabel 28 mengenai kalender musim tanam pada Kampung Sukagalih, mayoritas masyarakat Sukagalih memanen padinya dua kali dalam satu tahun, dengan masa istirahat tanah dua bulan termasuk pengolahan tanah dan pembibitan. Dari masa tanam hingga panen memerlukan waktu selama empat bulan.

Berdasarkan hasil FGD pada tiga kampung kasus rata-rata penduduk ketiga kampung kasus, diketahui bahwa dalam jangka waktu selama dua tahun, mereka dapat merasakan panen selama tiga kali panen. Adapun varietas padi yang ditanan adalah varietas lokal (srikuning dan markoti). Petani di sukagalih

mendapatkan benih padi dari hasil panen sebelumnya yang dibenihkan. Adapun kegiatan usahatani pasi-sawah mulai dari pengelolaan lahan antara lain: Mopok (mengolah lahan), Nyangkul, Tandur (menanam), Mupuk, Pengobatan, Ngarembet (penyiangan), Babad, dan panen.

Tabel 28. Kalender Musim Tanam (Sawah) Desa Cipeuteuy Tahun 2007 Bulan

Peran

7 8 9 10 11 12 1 2

Kegiatan

L P Rajab Ruwah Puasa Syawal Hapit Haji Muharam Sapar Mopok √ √ Nyangkul √ √ √ Tandur √ √ Mupuk √ √ √ Pengobatan √ √ Ngarambet √ √ Mupuk √ √ √ Ngarambet √ √ Pengobatan √ √ Babad √ √ √ Pasca Panen √ √ √ Panen √ √ √ √

Sumber: Hasil FGD Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy

8.4.1. Tingkat Kontribusi Waktu Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Pengelolaan Sumberdaya Agraria

Perbedaan komoditi yang dibudidayakan turut mempengaruhi kontribusi anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya agraria (sawah dan kebun) dibutuhkan adanya pembagian peran dalam dalam rumahtangga. Secara umum, baik dilihat dari kampung maupun stratumnya, tidak terdapat perbedaan dalam kontribusi perempuan pada pengelolaan usahatani. Dalam pembagian peran pada kegiatan usahatani,

Dokumen terkait