• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum dan aparat sebab musabab tragedi iwan

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 196-200)

Kepada Iwan Mulyadi

Korban lumpuh yang ditembak anggota Polsek Kinali tahun 2006

Assalamualaikum Iwan,... Apa kabarmu, Wan...? Aku berharap Iwan selalu sehat dan yang pasti akan selalu bersemangat.

Aku yakin begitu, karena aku tahu Iwan adalah pemuda yang selalu bersemangat dan tidak mudah patah arang meskipun kondisi tubuh sudah tidak sempurna sejak 26 Januari 2006 silam.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana semangatmu tak pernah pupus meskipun separoh bawah tubuhmu telah mati rasa dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan untuk memutar tubuh saja kamu

membutuhkan bantuan orang lain. Tidak sembarang orang pula bisa membantu; harus yang sudah terbiasa seperti ayah, almarhumah ibu, dan adikmu, Susi.

Itulah kamu, Iwan; laki-laki kuat, bersemangat dan tidak patah arang walau kehidupan banyak yang merintang.

Iwan,

Saat surat ini kutulis, Polsek Kinali, Pasaman Barat sedang mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan MA (Mahkamah Agung) No. 2710K/PDT/2010 yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan kedua yang memenangkan gugatan perdata No. 04/PDT.G/2007/PN.PSB yang kita ajukan tahun 2007 silam. Putusan tersebut memvonis Polres Pasaman Barat harus membayar ganti rugi sebesar Rp 300 juta atas kerugian yang Iwan derita -- karena ulah oknum mereka yang menembak Iwan pada 26 Januari 2006.

Tidak masuk akal memang bahwa mereka mengajukan PK setelah putusan ini dikeluarkan oleh MA lima tahun lalu, 2010. Padahal, batas waktu pengajuan PK jelas diatur dalam Perma No. 1 tahun 1982 pasal 8 huruf b, yaitu dibatasi maksimal 6 bulan setelah ditemukannya novum atau bukti baru. Sementara novum yang mereka gunakan dalam PK ini adalah surat perjanjian damai antara Briptu Nofrizal dengan keluarga Iwan pada tahun 2006. Padahal juga novum yang mereka maksud ini sudah digunakan dalam persidangan pidana di tahun yang sama. Jadi, dihitung sejak tahun persidangan, novum tersebut sudah berusia hampir sembilan tahun.

Dalam logika sederhana, kita faham proses ini hanyalah akal-akalan saja untuk menunda pelaksanaan putusan pengadilan tersebut.

Sebelum mereka mengajukan PK, sejak tahun 2012, tak henti-hentinya kita memanfaatkan peluang agar putusan MA tersebut bisa dieksekusi. Jika eksekusi sudah dilaksanakan dan uang ganti rugi sebanyak Rp 300 juta sudah di tangan Iwan, tentu bisa pula digunakan untuk membeli obat Iwan -- hal yang tidak pernah dibantu mereka itu. Atau uang

tersebut bisa digunakan untuk membeli kebun sawit sebagai jaminan hidup Iwan dan keluarga yang merawat.

Tapi, inilah kenyataannya. Mereka terus menghindar agar tidak membayar. Padahal, untuk kasus-kasus tertentu, mereka bergerak cepat. Sebut saja kasus penyidik KPK Novel Baswedan yang diungkit lagi itu, atau kasus dugaan pemalsuan dokumen Abraham Samad yang ketua KPK itu. Mereka sangat progresif untuk yang itu. Umumlah kita tahu alasan di balik semua itu. Tapi, ketika diminta eksekusi putusan pengadilan yang memenangkan Iwan yang sudah memiliki kepastian hukum, mereka lamban dan menghindar.

Wan...

Aku masih ingat betapa sulitnya akses ke ladangmu, tempat dimana Iwan ditembak. Saat itu, aku harus naik ke sana untuk mengambil gambar guna pembuatan film dokumenter tentang nasib Iwan. Untuk sampai di atas, sepeda motor kami harus jungkir balik dan terperosok ke dalam lubang penuh lumpur. Beberapa kali pula kami harus mendorong sepeda motor untuk dapat keluar dari lumpur. Di beberapa tempat sepeda motor harus digiring karena tidak memungkinkan ditunggangi. Jalan setapak dan berbatas jurang membuat kami sebenarnya takut untuk menunggangi sepeda motor itu. Beberapa kali kami juga harus menepi saat berpapasan dengan mobil-mobil yang sudah dimodifikasi menjadi besi bermesin pengangkut buah sawit. Melihat kondisi jalan yang sulit seperti itu, aku sungguh tidak mengerti motif apa yang membuat Briptu Nofrizal begitu bersemangat mencari Iwan ke ladang yang begitu jauh dan sulit dijangkau itu...

Usut punya usut, ternyata alasan Nofrizal mencari Iwan ke ladang itu hanyalah karena rumah tetangganya dilempar orang dengan batu. Iwan lah yang dalam kasus ini dituduh. Kebenaran tuduhan itu belum terbukti, tapi Briptu Nofrizal begitu bersemangat naik ke ladang sendirian, berpakaian preman –baju kaos dan celana pendek- mencari Iwan. Tentu saja dengan berbekal senjata api di tangan. Lalu dengan membabi buta menyuruh Iwan turun dari pondok panggung setinggi 2

meter dari tanah sambil menodongkan senjata revolvernya. Iwan yang masih kebingungan karena tidak mengerti apa yang terjadi, terpaksa turun melalui tangga pondok.

Belum sampai Iwan menginjakkan kaki di tanah, DORR... peluru revolver milik Nofrizal menembus tubuh kecil Iwan dari pinggang kiri hingga ketiak kanan. Aken, temanmu itu, mengatakan bahwa saat itu Iwan langsung terkapar bersimbah darah. Lalu, entah bagaimana, Briptu Nofrizal tiba-tiba langsung bisa menggendong Iwan yang bersimbah darah turun dari ladang yang sulit dicapai itu tanpa bantuan siapa-siapa. Ia kemudian membawa Iwan ke rumah sakit.

Aku yakin rasa bersalah dan takut yang begitu besar membuatnya memiliki kekuatan untuk menggendong Iwan waktu itu dan menerobos turun dari ladang di perbukitan.

Di rumah sakit, pinggangmu harus dibor untuk mengeluarkan darah beku akibat tembakan itu. Pasca pengeboran itu, 27 hari lamanya Iwan harus opname di rumah sakit. Di sepanjang masa opname di rumah sakit itu, hanya sekali Nofrizal datang menjenguk Iwan untuk meminta damai. Orang tua Iwan yang tak mengerti hukum menerima tawaran damai waktu itu dan Iwan diberi kursi roda sebagai kompensasi perdamaian. Tentu saja perdamaian yang sudah ditandatangani tidak otomatis membuat Iwan sembuh dari sakit dan kemudian normal kembali. Perdamaian itu tentu juga tidak menghilangkan aspek pidana yang dilakukan oleh Briptu Nofrizal.

Sebagai negara hukum, proses hukum terhadap Nofrizal tentu harus berjalan. PBHI kemudian mendorong proses hukum terhadap Nofrizal harus dijalankan secara pidana. Oleh Polsek Kinali, untuk menyelamatkan oknumnya, Nofrizal kemudian diberi surat tugas agar perbuatannya menembak Iwan dalam rangka dinas. Tentu saja surat tugas yang diberikan tersebut memiliki kejanggalan karena waktu itu Nofrizal datang sendirian dan tidak menggunakan pakaian dinas. Apalagi, saat meminta Iwan turun dari pondok, Nofrizal tidak menunjukkan surat tugas dan langsung mencekal Aken, teman Iwan.

Di pengadilan, Nofrizal mempertanggungjawabkan perbuatannya dan divonis bersalah dan dihukum penjara 18 bulan. Tentu saja, proses hukum ini melibatkan banyak orang. Hampir semua LSM di Padang terlibat, Pemerintah Pasaman Barat, DPRD Pasaman Barat, orang-orang yang peduli. Dan yang paling berpengaruh, tentu saja peran pers yang terus mengawal perkembangan kasus Iwan sejak awal hingga sekarang.

Iwan,

Saat menulis surat ini aku ingat persis bagaimana ekspresi Iwan saat kutanya, “Apa yang akan Iwan lakukan kalau ada Nofrizal di sini?” “Akan saya remukkan tulangnya,”jawab Iwan sambil mengatupkan gigi dan menepukkan telapak tangan penuh marah.

Itu tahun 2008 saat aku membuat film dokumenter Iwan.

Beberapa waktu yang lalu kami menemani wartawan Tempo yang ingin menulis perjalanan kasus Iwan. Saat aku tanya pertanyaan yang sama, aku melihat ada perubahan. Iwan menjawab pertanyaanku dengan senyum sembari berkata, “Biarkan sajalah.”

Meskipun demikian, aku tidak bisa memastikan apakah senyum dan jawaban yang Iwan berikan itu mengindikasikan Iwan sudah ikhlas atau sudah pasrah dengan panjangnya perjalanan kasus ini. Tapi, yang saya tahu pasti, Iwan adalah orang yang bersemangat dan tidak pernah putus dalam perjuangan.

Sejenak, kalau mengingat lagi ke belakang, Wan, memang Nofrizal sudah dijatuhi hukum disiplin di internal kepolisian dan juga hukum pidana kurungan selama 18 bulan. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan penderitaan yang kamu alami, rasanya tidak sebanding hukuman itu. Dengan statusnya sebagai aparat hukum, mestinya hukumannya lebih berat. Bandingkan saja hukuman Nofrizal dengan vonis 1 tahun kurungan dengan 15 bulan masa percobaan Nenek Asyani karena tuduhan mencuri 7 potong kayu Perhutani. Atau vonis hukuman 1 bulan dengan masa percobaan 3 bulan untuk Nenek Minah yang

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 196-200)