• Tidak ada hasil yang ditemukan

’ kita sadar 

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 108-116)

tidak ada 

pencadangan 

kawasan hutan 

yang adil untuk 

rakyat 

’’

Dengan laju deforestasi 160 ribu hektare pertahunnya, hutan di Provinsi Riau saat ini hanya tersisa 20% saja dari seluruh luas daratan yang ada. Sebagian besar kehilangan hutan di Riau disebabkan oleh berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan, yaitu untuk hutan tanaman maupun alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Bang Edi beserta teman-teman di Segamai dan Serapung,

Kondisi saat ini harus membuat tekad kita semakin kuat untuk merebut wilayah kelola rakyat. Kenapa harus direbut? Karena kita sadar tidak ada pencadangan kawasan hutan yang adil untuk rakyat. Lembaran SK 4234/Menhut-VI/BRPUK/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 07/Menhut-II/2011 tentang Pencadangan Kawasan Hutan Produksi untuk Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu jelas-jelas memperlihatkan ketidakadilan alokasi pencadangan itu. Dari 1,25 juta hektare kawasan hutan yang dicadangkan di Provinsi Riau, hanya 0,99 persen (12.000 hektare) yang dicadangkan untuk rakyat melalui skema Hutan Desa/Hutan Kemasyarakatan. Malangnya, dari 12.000 yang dicadangkan untuk rakyat itu pun 70% nya telah dirampok untuk memoles brand image industri kertas & perkebunan kayu lewat proyek-proyek restorasi ekosistem.

Buku basis data spasial kehutanan RI tahun 2013 mendokumentasikan dengan baik ketimpangan itu. Sudah lebih 2 juta hektare lahan dikuasai oleh korporasi-korporasi yang berbisnis kehutanan. Hanya 4.220 hektare yang dikelola rakyat melalui skema Hutan Desa dan itupun diganjal dengan alasan tata ruang yang belum selesai. Kemudian, walaupun ada IUPHHK-HTR seluas 86.328 hektare namun kita sama-sama paham itu bukanlah milik rakyat karena skema hutan tanaman rakyat itu hanyalah akal-akalan untuk pemenuhan bahan baku industri kertas.

Izin Pemanfaatan Hutan Provinsi Riau

No Perizinan Luas hektar

1 IUPHHK-HA 229.228 2 IUPHHK-HTI 1.656.897 3 IUPHHK-HTR 86.328 4 IUPHHK-RE 20.265 5 IUPHHBK-HT 21.620 6 Hutan Desa 4.220

Bang Edi beserta teman-teman di Segamai dan Serapung,

Kenyataannya, walaupun sudah ada lebih dari 1,6 juta hektare kawasan konsesi HTI dan Hutan Alam di Provinsi Riau namun industri sektor kehutanan ini ternyata tidak berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau secara merata. Data Dinas Kehutanan Provinsi Riau menunjukkan bahwa 77% dari seluruh lahan konsesi di Riau berada di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Di Kabupaten Pelalawan bahkan lebih dari 41% luas wilayahnya telah menjadi kawasan industri kehutanan. Faktanya, statistik tahun 2009 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di kabupaten ini mencapai 17% dari total penduduk, dan 44 desa (50%) di Pelalawan masih saja berstatus desa miskin dan tertinggal.

   

Dalam hal infrastruktur pun, misalnya jalan sebagai akses vital untuk publik, terlihat perbedaan yang mencolok antara desa-desa di wilayah HTI dan di luar wilayah HTI. Jalan-jalan di wilayah HTI cenderung tidak layak. Kebanyakan jalan ke desa-desa di wilayah-wilayah itu masih berupa jalan tanah, kecuali di desa di kawasan HTI yang berada di pinggir jalan poros lintas timur. Posisi desa-desa di wilayah-wilayah HTI yang mayoritas jauh dari jalan poros dan ibukota kecamatan menyebabkan akses jalan ke arah desa-desa itu belum tersentuh pembangunan oleh pemerintah kabupaten. Di luar wilayah HTI, biasanya di jalan poros antar desa, berkembang pemukiman penduduk. Hal ini tidak terjadi di desa-desa yang berada di areal konsesi HTI. Besaran kontribusi sektor kehutanan yang menjadi pendapatan daerah penghasil sebagai penunjang pembangunan daerah tidak sebanding dengan besaran dampak yang ditimbulkannya. Kita menyaksikan wilayah yang dikelilingi konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) justru dikategorikan menjadi wilayah tertinggal. Selain itu, bencana akibat kehilangan hutan, pencemaran asap pembakaran hutan dan lahan, serta konflik antara warga dengan perusahaan menjadi realitas yang tidak dapat dihindarkan.

Konflik yang muncul sebagian besarnya adalah akibat perebutan lahan untuk kehidupan masyarakat di wilayah penghasil hutan. Sementara itu, kontribusi sektor kehutanan untuk pendapatan daerah jauh lebih kecil dibandingkan kerugian yang timbul dari kejahatan kehutanan itu.

Bang Edi beserta teman-teman di Segamai dan Serapung,

Buruknya tata kelola dan korupsi menjadi lingkaran setan di sektor sumber daya alam. Keduanya terus menggerogoti hak rakyat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya atas hutan dan tanah.

Namun aku masih ingat pernyataan Bang Edi saat ditanya wartawan beberapa waktu lalu terkait usulan hutan desa ini, “Pokoknya bagaimana menyelamatkan hutan dulu.” Mengapa? Sebab, kawasan yang menjadi usulan Hutan Desa Segamai-Serapung dikelilingi konsesi- konsesi perusahaan kayu.

“Kalau tak ada lagi hutan yang terjaga, dari mana masyarakat desa mendapatkan kayu untuk membuat dayung, sampan dan membangun rumah? Mau tinggal di mana satwa-satwa itu, jangan sampai karena tidak ada hutan mereka masuk kampung dan menganggu ketentraman warga.”

Bang Edi,

Mari, kembali kita semangatkan warga kampung! Belum mengantongi SK HPHD bukan berarti berhenti untuk menjaga hutan dan tanah. Sekejap saja kita lengah, hutan kita pasti dirambah para pemodal yang serakah.

Semoga kita tetap memegang tunjuk ajar Melayu yang menyatakan bahwa hutan dan tanah adalah simbol marwah. Negri Sangar yang terletak di Laut Embun (Sungai Kampar) tertulis jelas dalam tombo persukuan petalangan sebagai "bukti" hak atas tanah. Akan tetapi kini tidak sedikit

pihak luar yang menganggap tombo itu sebagai dongeng pengantar tidur saja. Sungai dan tasik sangar yang menjadi wilayah hutan desa harus menjadi simbol pengembalian marwah masyarakat desa.

Perjuangan mengambil kembali hak kelola ini dapat menjadi bukti bahwa kita tidak menyia-nyiakan hutan dan tanah yang menjadi rintisan moyang persukuan petalangan dalam membangun dusun, kampung, negeri, kebun, dan ladang untuk kesejahteraan anak cucunya.

Pekanbaru, Mei 2015 Muslim Rasyid

‘’

…terkait usulan 

hutan desa ini, 

pokoknya 

bagaimana 

menyelamatkan 

hutan dulu 

’’

SUMATERA BARAT:

aib kita penanda krisis

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 108-116)