• Tidak ada hasil yang ditemukan

listrik untuk siapa?

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 154-158)

Yang Terhormat, Bang Karya

(Gelar Karya Niti Jaman)

Perwakilan Masyarakat yang gigih membela hak-haknya

Desa Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung

Bang Karya yang terhormat,

Perkenalkan nama saya Rizani, asal lembaga Yayasan Mitra Bentala Lampung.

Saya rasa kita memang belum pernah bertemu dan bertatap muka, namun saya tertarik untuk menyampaikan sesuatu yang selama ini menjadi isu yang cukup santer terkait dengan pengembangan energi panas bumi di Register 3 Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan.

Dari informasi dan diskusi secara intensif dengan Bapak Hermansyah, saat itu menjabat Kepala Departemen Advokasi WALHI Lampung sedangkan saat ini jabatan beliau adalah Direktur Wanacala Lampung, nampaklah kepada saya bahwa rencana yang sedang dikembangkan untuk pengelolaan panas bumi telah menimbulkan friksi, gesekan- gesekan, di antara kelompok masyarakat adat yang ada di sekitar

Gunung Rajabasa. Telah muncul kesenjangan dan saling tidak percaya antar tokoh adat dan masyarakat di Lampung Selatan. Telah timbul juga kecurigaan dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) antara yang mempertahankan harga diri dan yang membela kepentingan perusahaan.

Alasan yang cukup mendasar, menurut sejarah, adalah bahwa ada 4 gunung di Lampung yang dianggap sebagai nilai budaya atau simbol Lampung. Merusak 4 gunung ini berarti sudah merusak budaya Lampung. Keempat gunung itu adalah: Gunung Tanggamus, Gunung Pesagi, Gunung Seminung, dan Gunung Rajabasa.

Gunung Rajabasa memiliki kekhususan karena di situlah letak kekuatan budaya Lampung, yaitu pada situs-situs yang ada di gunung ini. Oleh karena itu Gunung Rajabasa dinilai sebagai pondasi adat Lampung Saibatin (Lampung Pesisir).

Bang Karya,

Yang lebih langsung kita alami adalah pertanyaan besar kita yang muncul terkait dengan Gunung Rajabasa sebagai sumber air bagi warga sekitar. Karena disinyalir bahwa pengoperasian geothermal ini membutuhkan air yang banyak dan bisa menguras air yang selama ini dimanfaatkan oleh warga sekitar. Oleh karena itu warga tidak mau adanya kegiatan dapat merusak sumber air dan pasokan air bagi warga sekitar.

Nah, isu yang digulirkan untuk mempengaruhi warga adalah bahwa keberadaan geothermal ini untuk memenuhi kebutuhan listrik di Lampung. Namun kita bisa bertanya kemudian: ‘’Siapa yang menjamin bahwa listrik yang ada akan digunakan untuk masyarakat sekitar?” Memang persoalan listrik ini adalah hal yang sangat urjen bagi masyarakat. Kita semua telah merasakan betapa tidak nyamannya kejadian ‘byar pett’. Listrik begitu penting bagi kehidupan kita saat ini. Listrik merupakan bentuk energi yang mampu menggerakkan berbagai sektor kehidupan. Listrik juga berperan penting guna mendukung gerak

ekonomi. Industri-industri akan berhenti beroperasi jika saja listrik sebagai motor pengerak tidak dapat tersedia.

Pendek cerita, tak ada listrik maka ‘mati’ sudah sebagian hidup kita di alam ini. Produktivitas dunia industri pun akan menurun. Peran yang begitu penting membutuhkan ketersediaan listrik yang cukup. Agar sekiranya di kemudian hari listrik tidak menjadi masalah sosial yang dapat mengganggu stabilitas negara, menurut pemerintah, maka berbagai proyek dikembangkan oleh negara untuk mencukupi ketersediaan energi.

Nah, ini salah satu contohnya di provinsi kita. Proyek ini, yang dari seluruh rangkaian perizinan2 yang harus dilalui, hanya IPPKH yang

belum diterbitkan, diharapkan dapat menjamin penyediaan listrik untuk Kabupaten Lampung Selatan untuk jangka waktu yang lama, sekaligus memenuhi sekitar 50% kebutuhan listrik di Lampung, sekaligus juga diharapkan meningkatkan penerimaan bagi APBD Kabupaten Lampung Selatan.

Katanya setiap kenaikan kebutuhan listrik sebesar Rp 1 akan mengakibatkan kenaikan keluaran ekonomi (economic output) sebesar Rp 2,07. Sedangkan dari sudut investasi, katanya setiap tambahan gaji lokal sebesar Rp 1 akan mengakibatkan kenaikan keluaran ekonomi sebesar Rp 2,9.

Proyek PLTP ini katanya juga lebih ramah lingkungan ketimbang pembangkit listrik berbasis fosil, juga tidak memerlukan lahan yang luas, tidak tergantung cuaca, tidak tergantung pemasok, tidak tergantung ketersediaan fasilitas pengangkutan dan bongkar muat pasokan bahan bakar.

Pendek kata, proyek ini tampil sebagai proyek sempurna yang tidak ada kelemahannya, tidak ada masalahnya bagi kita, warga.

       

2

Izin Usaha Pertambangan melalui SK Bupati Lampung Selatan No. B/94A/III. 07/HK/2010 Tanggal 14  Mei  2010;  Izin  Lingkungan  berupa  UKL/UPL  disahkan  oleh  Komisi  AMDAL  Daerah  Kabupaten  Lampung  Selatan  tanggal  2  Juni  2009;  Izin  Lokasi  dari  Bupati  Lampung  Selatan;  Izin  Pengambilan  Air  Permukaan  (SIPAP);  Kepala  Teknik  Tambang  dari  Distamben  Lampung  Selatan;  Persetujuan  Harga  Jual  Tenaga  Listrik  PLTP Rajabasa kepada PT PLN (Persero) melalui Surat Menteri ESDM;  Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik  sementara melalui SK Menteri ESDM; Jaminan Kelayakan Usaha PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari  PLTP Gunung Rajabasa; Izin Dermaga; dan Izin Pemanfaatan Air Laut.  

Bang Karya, sebagai penyegar ingatan saja, listrik dapat dihasilkan dari berbagai sumber seperti air, angin, gelombang, matahari, diesel, batu bara, dan yang sekarang lagi seksi adalah penggunaan panas bumi. Kalau teknologi kita canggih, maka listrik juga dapat dihasilkan dari energi nuklir. Di bawah ini saya tampilkan rencana pembangkitan listrik untuk tahun 2013–2021.

Lebih jauh lagi, pengembangan potensi panas bumi di seluruh Lampung yang ditaksir mencapai 2.658 MW ini bakal menjadi proyek

ambisius untuk mengubah krisis energi menjadi surplus energi. Sebagai provinsi yang berstatus sebagai ‘Gerbang Sumatera’ tentu Lampung tak ingin tertinggal terutama ketika bangsa ini bergerak seragam dalam skema “MP3EI’. Semua proyek sepertinya memang harus dipercepat untuk mencapai target keberhasilan dan meraup untung besar, termasuk tentunya bagi memperbesarkan PAD Provinsi Lampung.

Luar biasa besar sekali pengembangan energi listrik yang dilakukan di daerah kita, gerbang ekonomi Sumatera dan Jawa ini. Sayangnya, gebyar-gebyar pembangunan dan proyek-proyek di tahun 2014 ini ternyata tidak nyambung

dengan kenyataan bahwa tahun 2014 adalah tahun ‘krisis listrik’ bagi masyarakat Lampung. ‘Byar pet’ terjadi di nyaris seluruh kabupaten/kota. Meskipun sebenarnya di tahun-tahun sebelumnya kondisi demikian juga kerap terjadi.

Di Kota Bandar Lampung sendiri, sebagai ibukota provinsi dan pusat pemerintahan, kondisi kelistrikan semakin ‘miris’ dimana setiap blok mendapat giliran ‘dimatikan’ dua hari sekali. Di satu sisi, hal ini memicu kemarahan masyarakat yang menghendaki pemerintah membangun pembangkit listrik yang baru. Namun di sisi lain, kondisi ini dianggap tak lain hanyalah sebuah ‘cara’ untuk mendapatkan dukungan masyarakat atas beberapa proyek eksplorasi panas bumi di Lampung, termasuk khususnya di Gunung Rajabasa oleh PT Supreme Energy.

Perusahaan ini adalah perusahaan swasta yang akan membangun PLTP Rajabasa sebagai satu dari 4 pembangunan PLTP di seluruh Lampung dengan kapasitas keseluruhan 605 MW. Rencana ini cukup

‘’

Dalam dokumen Robohnja Sumatera Kami (Halaman 154-158)