• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ALAM

Dalam dokumen filsafat hukum filsafat (Halaman 48-51)

ASPEK ONTOLOGI, NILAI ETlKA DAN LOGlKA DALAM HUKUM

HUKUM ATAU ILMU HUKUM)

A. HUKUM ALAM

Para pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, huku m alam yang diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai huku m oleh sebab men yatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri, yaitu kodratnya (Huijbers, 1995 : 82).

Huijbers (1995: 82) membedakan penggunaa n istilah hukum alam dengan hukum kodrat. Menurut Huijbers istilah yang benar untuk menyatakan hukum yang dimaksud adalah "hukum kodrat" dan bukan "hukum alam". Huijbers menggunakan istilah tersebut ber- dasarkan pengertian istilah latin lex naturalis (bhs. Inggris: natural law) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum kodrat" dan bukan lex naturae (bhs.Inggris: law of nature) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum alam" . Secara panjang lebar Huijbers menerangkan sebagai berikut:

.Lex naturae merupakan cara segala yang ada berj alan sesuai

dengan aturan semesta alam. Menurut para sofis Yunani (abad 5 SM)

dan Thomas Hobbes, Ch. Darwin, H Spencer, dkk., hukum alam itu menguasai kehidupan manusia juga seperti makhluk hidup lainnya yang mengikuti kecenderungan-kecenderungan jasmaninya, contoh:

sifat ketamakan, kerakusan, saling memangsa, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, lex naturalismenandakan bahwa terdapattuntutan funda-

mental dalam hidup manusia yang menjadi nyata dalam wuj udnya

manusia tidak mengikuti nalurinya yang irasional, melainkan pertim-

bangan akal budi dan rasa moral. Namun dalam lex naturalis juga

diakui bahwa hukum yang dianut bukanlah kegiatan rasional melulu. Hukum itu merupakan bagian aturan alam semesta alam (natura) yang sebenarnya merupakan suatu keseluruhan kosmis yang penuh rahasia yang tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia.

Dalam Bahasa Indonesia, istilah "hukum alam" lebih menan- dakan lex naturae dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada di dunia ini berjalan menurut aturan yang telah ditetapkan. Karenanya untuk mengungkapkan arti

lex naturalissebaiknya dipakai istilah lain yaitu hukum kodrat.

Hukum kodrat lebih kuat dari pada hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan ber- fungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang- undang tersebut. Dengan kat a lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalarn aturan alamiah yang terwujud dalam

kodrat manusia.

1. Hukum Kodrat dalam Sejarah a.Zaman klasik

Tokohnya adalah Aristoteles. Menurut Aristoteles manusia sebagai makhluk politik (ZOO/1 polticoni harus menyumbang bagi Negara yang merupakan kewajiban alamiah bagi laki-Iaki yang mempunyai hak-hak yuridis sebagai warga polis.

b. Abad pertengahan

Tokohnya adalah Thomas Aquinas. Menurut Aquinas hukum kodrat sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif, berhubungan langsung dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan. Prinsip-

prinsip tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:

1).Prinsip hukum kodrat primer, yaitu prinsip hukum yang telah

dirumuskan oleh para pemikir Stoa zaman klasik. Prinsip hukum kodrat primer yaitu: honeste vivere (hidup terhonnat),

neminem laedere(tidak merugikan orang lain),unicuique suutn tribuere(memberikan orang lain sesuai haknya).

2). Prinsip hukum kodrat sekunder, yaitu norma-norma moral seperti jangan membunuh, mencuri dan lain sebagainya.

Dalam hal ini Thomas Aquinas menggabungkan lex naturalis

dengan lex aeterna (hukum abadi) yang ada pada Tuhan, dalam defi- nisinya: lex naturalis aliud est quam participatio legis aeternae in rationali creatura (hukum kodrat itu tidak lain adalah partisipasi hukum abadi dalam ciptaan yang berakal budi) (Huijbers, 1995: 83).

c. Zarnan rasionalisme

Pada zaman ini lazim diterima bahwa hukum kodrat sebagai pernyataan akalbudi praktis manusia. Para pemikir zarnan ini cende- rung menyusun suatu daftar hukum kodrat yang dianggap tetap berlaku dan abadi. Pada zaman ini Hugo Grotius menyatakan prinsip hukum a priori. yaitu hukum kodrat yang berlaku positif. Menurut Grotius, ada dua macam prinsip-prinsip dalam konsepnya tersebut, yaitu:

I). Prinsip-prinsip dasar, meliputi: prinsip kupunya-kaupunya, prinsip kesetiaan pada janji, prinsip ganti rugi, prinsip perlunya hukuman.

2). Prinsip-prinsip yang melekat pad a subjek hukum, meliputi hak atas kebebasan, hak untuk berkuasa atas orang lain, hak untuk berkuasa sebagai majikan, hak untuk berkuasa atas milik.

d. Awal abad XX

Pada awal abad ini beberapa pemikir berusaha lagi untuk menyusun suatu daftar hukum kodrat, diantaranya Messner. Menurut Messner hukum kodrat sama dengan prinsip-prinsip dasar bagi kehi-

dupan sosial dan individual. Definisi hukum kodrat dari Messner berbunyi: Das Naturrecht ist die Ordnung del' in del' menschilchen Natur mit ihren Eigenverantwortlichkeiten begrundeten eizelmen- schlichen und gesellschaftlichen Eigenzustandigkeiten (hukum kodrat adalah aturan hak-hak (kompetensi) khas baik pribadi maupun masyarakat yang berakar dalam kodrat manusia yang bertanggung- jawab sendiri). Menurut Messner terdapat tiga macam hukum kodrat, yaitu:

1). Hukum kodrat primer yang mutlak, yaitu memberikan kepada tiap orang sesuai haknya. Dari prinsip ini diturunkan prinsip- prinsip umum seperti jangan membunuh,dan seterusnya. 2).Hak fundamental, yaitu kebebasan batin, kebebasan agama, hak

atas nama baik, hak atas privacy, hak atas pemikahan, hak untuk membentuk keluarga, dan sebagainya.

3).Hukum kodrat sekunder, yaitu hak yang diperoleh karena ber- kaitan dengan situasi kebudayaan, misalnya hak milik dan azas- azas hukum adat.

2. Perkembangan Hukum Kodrat

Pemikir zaman ini menerima bahwa terdapat prinsip-prinsip tertentu yang menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang, oleh karena itu dewasa ini muncul satu anggapan bahwa hukum kodrat seperti bangkit kembali sebagaimana disuarakan Roscoe Pound (1982: 24), Eikema Hommes (1961), dan Wolfgang Kluxen (1979). Namun berbeda dengan pemikir zaman dulu, pemikir zaman ini menginsyafi bahwa hidup manusia bersifat dinamis. Dinamisnya masyarakat ter- cermin dalam pandangan-pandangannya, misalnya masalah perbudak- an, zaman dulu hat ini sesuatu yang wajar dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun kita harus akui bahwa pandangan tersebut keliru, Contoh yang lain misalnya masalah kesetaraan gender, dan lain sebagainya.

Demikianlah dapat dipastikan bahwa manusia melalui pikiran- nya meIihat dirinya dalam suatu situasi hsitoris aktual tertentu, dan

bahwa gambaran manusia ten tang dirinya terus berubah dalam lintas- an sejarah. Namun adanya kesadaran tentang perubahan pandangan- pandangan tertentu membuktikan juga,bahwa manusia mampu meng- atasi situasi historisnya dan mampu menerapkan aturan-aturan hidup yang kurang lebih tetap. Karenanya pada zaman sekarang ini diterima adanya prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam menyusun per- aturan-peraturan, tetapi prinsip-prinsip itu umumnya tidak dipandang lagi sebagai prinsip yang abadi (Huijbers, 1995: 85).

Saat ini hukum kodrat yang terperinci seperti zaman klasik dan pertengahan tidak lagi dianggap bersifat abadi, karena dinamisnya kehidupan manusia. Namun prinsip itu tetap ada,dengan lebih umum seperti keadilan, kejujuran, kesopanan dan lain-lain. Prinsip itu memiliki ketetapan, tetapi juga suatu kelonggaran untuk berubah sesuai perkembangan zaman.

Sekarang ini ban yak sarjana tidak rela menerima adanya dua macam hukum, yang satu telah menjadi undang-undang dan yang lain yang dipikirkan sebagai hukum dasar yang Iebih kuat daripada undang-undang. Oleh karena para ahli hukum senantiasa melembaga- kan/institusionalisasi atau formalisasi prinsip-prinsip hukum dengan memasukkannya dalam undang-undang dengan mengadopsinya dalam kerangka rasionaI. Dengan ini pula sebenamya berarti ban yak pemikir menolak positivisme hukum, tetapi sekaligus mengakui bahwa hukum yang benar adalah hukum positif.

Namun demikian para positivis memandang bahwa prinsip- prinsip hukum yang terdapat dalam hukum kodrat sebagai prinsip regulatifbelaka, yaitu sebagai pedoman bagi terbentuknya hukum, dan bukan sebagai prinsip konstitutif dari hukum. Artinya prinsip-prinsip tersebut memang harus diindahkan pad a saat undang-undang di- bentuk, namun bila undang-undang yang ada seandainya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum kodrat, maka undang-undang tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain menurut para postivis cenderung menganut prinsip kepastian hukum, dibandingkan dengan sarjana tradisional yang lebih memperhatikan prinsip keadilan dan keman- faatan hukum bagi masyarakat.

Dalam dokumen filsafat hukum filsafat (Halaman 48-51)