• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Islam dan Kemaslahatan

Dalam dokumen filsafat hukum filsafat (Halaman 39-41)

ASPEK ONTOLOGI, NILAI ETlKA DAN LOGlKA DALAM HUKUM

E. HUKUM DAN KEADILAN 1 Konsep Keadilan

3. Hukum Islam dan Kemaslahatan

Pengetahuan tentang tujuan umum syar'i dalam pembentukan suatu hukum merupakan hal terpenting untuk memahami nash dan menerapkannya pad a berbagai kejadian. Pengetahuan tentang tujuan umum syar'i juga berfungsi untuk mengistimbathkan hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya. Kerena sering terjadi bahwa suatu nash terkadang secara lahiriyah seperti bertentangan, dan per- soalan terse but hanya bisa diselesaikan jika kita mengetahui tujuan umum syar'i yaitu dengan menghilangkan pertentangan tersebut dan membuat sintesis dari tesis-tesis dan anti tesis nash-nash tersebut atau mentarjihkan salah satunya. Nash-nash syar'i juga tidak akan dapat dipahami dengan benar, jika kita tidak mengetahui maksud umum .syar'i dalam pensyariatan hukum. Dernikian pula kita harus mengeta-

hui sebab-sebab turunnya suatu hukum terhadap kasus-kasus tertentu yang terjadi saat itu. Tetapi untuk yang terakhir ini akan dijelaskan dalam kitab tafsir, asbabun nuzul dan sunnah yang sahih. Setidaknya ada tiga sasaran hukum Islam:

I. Penyucianjiwattazkiyah an-natsy ./

yaitu agar setiap muslim menjadi sumber kebaikan bagi masya- rakat lingkungannya. Hal ini diimplementasikan dengan berba- gai macam bentuk-bentuk ibadah mahdhoh yang disyari'atkan. 2. Keadilan sosial

hal ini berlaku baik bagi sesama muslim maupun dengan non muslim. Firman Allah: "Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaUlll, mendorong kamu untuk berlaku tidak add. Berlaku add lah, karena add itu lebih dekat kepada taqwa"(al-Maidah:8).

3. Kemaslahatan

Maslahat yang dikehendaki Islam adalah maslahat yang hakiki, dan bukan maslahat yang berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu saja. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan (Zahrah, 1994: 543- 548).

Menurut Abdul Wahab Khalaf, tujuan umum syar'i dalam men- syariatkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manu- sia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (primer), hajiyyat (sekun- der), dan tahsiniyat (tersier). Hal yang dharuriy ialah sesuatu yang menjadi landasan berlangsungnya kehidupan manusia yang mesti ada untuk konsistensi kemslahatan manusia. Apabila tidak ada, maka akan rusaklah struktur kehidupan manusia, terjadi kekacauan, kerusakan dan disharmony dalam kehidupan.Hal-hal yang dharury bagi manusia meliputi agama,jiwa, akal, kehormatan, dan harta kekayaan.Menjaga kelima hal terse but merupakan hal yangdharurybagi manusia.

Hal yang hajiy adalah sesuatu yang diperlukan manusia untuk kelapangan dan keleluasaan terhadap beban taklif yang ditanggung- nya. Hajiy mengacu kepada penghilangan kesulitan manusia dan memberikan keringanan kepada manusia atas beban taklif yang ditanggungnya dan mempermudah bagi manusia untuk melakukan berbagai mac am perbutan dalam bidang muamalah. Sedangkantahsini

adalah sesuatu yang dikehendaki oleh moral dan etika terhadap per- buatan manusia. Tahsiniy mengacu pada akhlak yang mulia, adat istiadat yang baik dan segala sesuatu yang dianggap baik terhadap perilaku dan perbuatan manusia.

a. Kepentingan esensial(al-Mashdlih adh-Dhaniriyahj

Yaitu kepentingan yang mutlak dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Kepentingan itu meliputi kepentingan agama, kepen- tingan memelihara jiwa, kepentingan memelihara harta, kepen- tingan memelihara akal, dan kepentingan memelihara keturun- an.

b. Kepentingan yang tidak esensial (al-Masluilih al-Hajiyyah)

Islam telah mensyariatkan hukum-hukum pada bidangtnuatna- lah, jinayah dan 'ibadah yang bertujuan untuk menghilangkan kesulitan dan memberikan kemudahan bagi manusia. Jadi di- samping memberikan pembebanan(taklif), islam juga memberi- kan keringanan ketika bentuk-bentuk taklif tersebut tidak dapat dilaksanakan secara penuh karena adanay kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkannya dilaksanakan perbuatan tersebut. Dalam bidang ibadah, Islam memsyariatkan adanya rukhshah

untuk memberikan keringanan kepada mukallaf, apabila terda- pat kondisi yang memberatkan mereka. Bentukrukhshoh terse- but yaitu kebolehan untuk berbuka untuk orang yang sakit atau berada dalam perjalanan, kebolehan untuk mengqoshor shalat bagi orang yang bepergian, kebolehan untuk tayammum apabila tidak ditemukan air, danrukhshoh-rukhshoh lainnya.

Dalam bidang muamalah, Islam mensyariatkan thalak untuk me1epaskan ikatan perkawinan ketika diperlukan, menghalalkan

bangkai binatang laut, dan memakan binatang yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa. Sedangkan dalambidangjinayat,

Islam mensyariatkan pembayaran diat oleh pembunuh kepada pihak dari keluarga yang dibunuh.

c. Kepentingan pelengkap(al-Mashdlih al-Kamdliyahy

Islam telah mensyariatkan hukum-hukum pada bidangmuama- lah, jinayah dan 'ibadah yang bertujuan untuk perbaikan dan keindahan serta membiasakan manusia dengan perilaku yang baik. Dalam bidang muainalah, Islam mensyariatkan bersuci bagi badan, pakaian dan menutup aurat, tempat, dan menghin- dari najis.

Dalam bidang muamalah, Islam mengharamkan penipuan,

tadlis (menyembunyikan cacat), taghrir, berlebih-lebihan, dan melarang berlaku kikir. Islam melarang akad yang kauasa-nya tidak halal atau mengandung najis atau mengandung bahaya. Dalam bidang jinayat, Islam mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak dan kaum wanita dalam peperangan. Islam melarang membunuh orang yang tidak bersenjata, membakar orang mati atau hidup.

Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa semua ajaran yang dibawa oleh Islam mengandung maslahat yang nyata. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara hukum Islam dengan maslahat, yaitu diawali dengan pertanyaan "apakah maslahat itu mengikat hukum syara?" atau "apakah setiap hukum syara yang diturunkan, mutlak mengandung maslahat?" Ada tiga golongan yang mengemukakan pendapat yang berbeda:

1. Golongan Asy'ariyah dan Zhahiriyah menolak bahwa hukum Islam terkait dengan maslahat. Walaupun berdasarkan peneliti- an yang dilakukan, menunjukkan bahwa semua hukum syara' disyariatkan untuk kemaslahatan manusia. Menurut mereka Allah tidak layak ditanya ten tang apa yang diperbuatNya. 2. Sebagian madzhab Syafi'I dan sebagian madzhab Hanafi ber-

sekedar hanya sebagai tanda (amarah) bagi hukum dan bukan sebagai penggerak yang mendorong Allah menetapkan hukum. Firman Allah: "Dia tidak ditanya ten tang apa yang diperbuat- Nya, tetapi mereka yang justru ditanya." (al-Anbiya: 23). 3. Golongan Mu'tazilah, Maturidiyah, sebagian madzhab Hambali

dan Maliki berpendapat bahwa segala hukum islam terkait dengan maslahat. Hukum-hukum yang terdapat pad a nash me m- punyai ilIat berupa maslahat, tanpa dikaitkan dengan iradat (kehendak) Allah, sepanjang ta 'lil (perikatan) itu tidak meng- akibatkan gugumya nashjika tidak mengandung maslahat. Jika substansi maslahat tidak jelas diotak kita, maka kita boleh melakukan rasionalisasi sendiri dan menghindarkan nash dari kemungkinan adanya anggapan tidak mengandung maslahat. Sinyalemennya adalah bahwa setiap perintah dan larangan Allah sering diakhiri dengan penjelasan bahwa orang yang menetangNya sama artinya menganiaya dirinya sendiri (Zahrah,

1994: 552).

Perbedaan ini sebenamya hanya pada tataran teoritis, karena dalam tataran empiris semua fuqoha' menyepakati bahwa hukum- hukum syara' mengandung maslahat yang hakiki. Tidak ada satu pun hukum yang didatangkan kecuali mengandung maslahat bagi umat manusia.

Imam Izzuddin Abdus Salam membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah bagi hambaNya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat terbagi menjadi fadhil (utama), afdhal (paling utama), dan mutawassith (pertengahan). Maslahat afdhal adalah maslahat yang wajib dikerjakan, maslahat ini adalah maslahat yang mengandung kemuliaan, menghilangkan mafsa- dah (kerusakan) yang besar, dan mendatangkan kemaslahatan yang paling besar. Sementara itu, kewajiban bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar maslahat yang terkandung di dalamnya. Jika tingkat kemaslahatannya lebih besar, maka kewajibannya untuk dikerjakan lebih kuat dan harus didahulukan. Contoh: menyelamatkan orang yang tenggelam pada saat sedang berpuasa Ramadhan. Menyelamatkan

jiwa didahulukan atas memenuhi kewajiban mengerjakan puasa, walaupun puasa sebagai ash! (hukum pokok).

Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh syari' kepada hamba- Nya demi untuk kebaikannya. Kedudukan maslahat sunnah adalah dibawah maslahat wajib. Ketiga, maslahat mubah. Maslahat ini ber- laku terbatas dan bersifat perorangan, dinikmati khusus bagi pelaku- nya. Melakukan perbuatan maslahat mubah tidak membawa pahala, seperti: makan dan minum. Sedangkan maslahat didalam perkara wajib dan sunnah tidak bersifat perorangan, kemaslahatannya tidak saja kembali kepada pelakunya tetapi juga kepada masyarakat luas.

G. ASPEK NILAI ETlKA DALAM HUKUM (JURISTIA

Dalam dokumen filsafat hukum filsafat (Halaman 39-41)