• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM A. Hukum kewarisan Islam

B. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faraid dalam literatur hukum Islam adalah salah satu bagaian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harya yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.11

Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam

9Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, ibid, h. 17

10Moh. Muhibbin, Abdul Wahid Ibid, h.11-16

11Suhrawardi,Hukum waris Islam Lengkap dan Praktis,(Jakarta: Sinar Grafika,1995) h.35

mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal yang berlaku pula pada hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.12

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikkan harta oleh yang menerima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut.

a. Asas Ijbari

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari.

Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian “Wali mujbir” dalam terminologi fikih munakahat (perkawinan) mengandung arti si Wali dapat mengawinkan anak gadisnya diluar kehendak anak gadisnya itu tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawinkannya itu.

Begitupula kata jabari dalam terminologi ilmu kalam juga mengandung arti paksaan, dangan arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seseorang hamba bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, tetapi adalah kehendak dan kekuasaan Allah, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam Jabariyah.

12Mardani, Hukum kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta.Raja wali, 2004) h. 4

22

Dijalankanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya.

Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam ini tidak akan memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena menurut ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh pewaris.

Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris terhadapnya hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada warisnya, baik ahli waris itu suka menerima atau tidak.

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.

Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali Allah SWT. Oleh karena itulah, kewarisan dalam Islam diartikan dengan “peralihan harta,” bukan “pengalihan harta,” karena pada peralihan, berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada „pengalihan‟ tanpa usaha seseorang. Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surat an-Nisa‟ (4): 7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tua karib kerabat.

Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada apa yang telah ditentukan itu.

Adanya unsur ijbari dari jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudan yang secara etimologi berarti “telah ditentukan atau telah diperhitungkan.”Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fikih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka masudnya adalah: “sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.”

Bentuk ijbari dari penerimaan peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah

24

dalam ayat-ayat 11,12, dan 176 surah an-Nisa‟.13 b. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.

Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surah an-Nisa/4: 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya.

Begitu pula seseorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu. Secara terperinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya.

Dalam ayat 11 ditegaskan:

a. Anak perempuan berhak menerima harta warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak.

Dalam ayat 12 ditegaskan bahwa:

13Amir Syarifuddin, Ibid,h. 19

a. Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki ahli waris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan atau perempuanya berhak menerima bagian dari harta tersebut.

b. Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki danatau perempuan berhak menerima harta tersebut.

Dalam ayat 176 dinyatakan:

a. Seseorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan (keatas dan kebawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan permpuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisanya

b. Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (keatas dan kebawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak mendapatkan warisanya.

Dari tiga ayat yang dikemukakan di atas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah dan ibu), dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan, dan menerima warisan dari dua garis keluarga, yaitu dari garis laki-laki dan gari perempuan. Inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral.14 c. Asas Individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan.

Masing-masing ahli waris menerima bagian secara tersendiri, tanpa terikat dengan

14Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Ibid. h.22

26

ahli waris lain.

Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang didalam ushul fikih disebut ahliyat al-wujub. Dalam pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu berhak pula untuk tidak berbuat demikian.

Sifat individual dalam kewawisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan Qur‟an yang menyangkut pembagian hartawarisan itu sendiri. Ayat 7 surah al-Nisa secara garis besar juga menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tau dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan.

Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini berlaku pepatah: “Banyak bagi bertumpuk, sedikit bagi bercecah‟‟. Dan pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat di akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surah al-Nisa‟ ayat 13dan14.

Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiapa ahli waris, maka untuk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk menggunakan harta

tersebut. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut terdapat ketentuan lain yang dalam kaidah Ushul Fikih disebut ahliyat al-ada‟ Diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang diperolehnya berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan untuk kebutuhan sehari hari anak tersebut. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Nisa‟ (4): 5 yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta kepada safih, yaitu orang yang dalam ayat ini berarti‟‟belum dewasa.15

d. Asas Keadilan Berimbang

Kata „adil‟ merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata

al-„adlu. Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya dengan kewarisan kata tersebut dapat diartikan: keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

Atas dasar pengertian tersebut terlihat asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas dalam al-Qur‟an surah an-Nisa‟ ayat7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak untuk mendapatkan harta warisan.

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan

15Mardani, Ibid, h. 5

28

terdapat dua bentuk:

Pertama: Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapatkan seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat11 surah al-Nisa:

Begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung sebagaimana tersebut dalam ayat 12 surah an-Nisa‟.

Kedua: Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu ank laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat 11 dan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176. Dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda yaitu setengah banding seperempat bila pewaris tidak ada meninggalkan anak, dan seperempat banding seperdelapan bila pewaris ada meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam ayat 12 surah an-Nisa‟

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidak samaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karna keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.

Secara umum, dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk

para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah an-Nisa‟ (4):34: melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Bila dihubungkan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan kepada wanita dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah keadilan dalam konsep Islam.

Walaupun kerabat garis ke atas yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah yaitu anak sama-sama berhak atas harta warisan bahkan dalam surah an-Nisa‟ ayat 11, Allah menyatakan bahwa keduanya mempunyai kedudukan yang sama, namun terhadap perbedaan dalam jumlah warisan yang di terimanya. Anak mendapat bagian rata-rata lebih besar dibandingakan dengan apa yang diterima orang tua. Adanya perbedaan ini dapat dikaji dari segi hak dan kewajiban, serta

30

tanggung jawab, maka tanggung jawab orang tua terhadap anak lebih besar dari pada tanggung jawab anak terhadap orang tua.

Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan kontinitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris, sehingga jumlah bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga kemudian menjadi ahli waris).16

Bagi seorang laki-laki, tanggung jawab utamanya adalah istri dan anak-anaknya. Ini merupakan kewajiban agama yang harus dipikulnya (QS.al-Baqarah:

233):17

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa

16 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Ibid.h. 29

17 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.24

atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuanya (QS.al-Thalaq:7):



„‟Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.‟‟

Kewajiban ini harus dijalankannya, baik anak dan istri itu mampu atau tidak, memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seseorang hanya bersifat tambahan dan bukan utama. Tanggung jawab itu dipikulnya bila ia mampu berbuat demikian di satu pihak, dan pihak lain kerabat itu membutuhkan bantuan. Tanggung jawab terhadap kerabat ini disebutkan Allah dalam QS.al-Baqarah:215:

„‟Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan;

jawablah:‟‟apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak dan karib kerabat…‟‟

Berdasarkan hal di atas anak menerima hak dari ayah melebihi apa yang diterima orang tua dari anaknya. Karena kewarisan dikaitkan kepada tanggung jawab pada wktu masih hidup, maka merupakan suatu keadilan bila dalam kewarisan jumlah yang diterima oleh anak lebih banyak dari pada apa yang diterima oleh orang tua.

32

Bila dihubungkan besar keperluan orang dewasa dengan lamanya keperluan bagi anak kecil dan dikaitkan pula kepada perolehan yang sama dalam hak kewarisan, maka hasilnya ialah kedua pihak akan mendapatkan kadar manfaat yang sama atas apa yang mereka terima. Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam, yaitu keadilan berimbang dan bukan keadilan yang merata.

e. Asas Semata Akibat Kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peraliahan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.

Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara lansung,maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut Hukum Islam. Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum Perdata atau BW disebut dengan kewarisan abintestate dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament.

Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari yang disebut sebelumnya. Pada hakikatnya, seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum dapat menggunakan hartanya secara penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sepanjang hayatnya. Namun, setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut. Kalaupun ada, maka

peraturan untuk tujuan penggunaan setelah kematian terbatas dalam koridor maksimal sepertiga dari hartanya, dilakukan setelah kematianya, dan tidak disebut dengan istilah kewarisan.

Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata-kata „‟waratsa‟‟yang terdapat dalam al-Qur‟an kata-kata waratsa ditemukan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta itu meninggal dunia.18

Terdapat dua kelompok pemakaian kata waratsa dalam al-Qur‟an:

pertama: kata-kata waratsa atau turunannya dengan pihak yang mewariskan dinisbatkan kepada Allh. Umpamanya:

‟‟mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,‟‟

Surah al-Mukminun(23):11

(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.‟‟

Kata waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kelompok pertama yang dinisbatkan kepada Allah tidak berarti mewarisi atau mewariskan tetapi mengandung arti memberikan. Allah memberikan sesuatu kepada hamba-Nya atau si hamba menerima sesuatu dari Allah.

Dan pada ayat-ayat kelompok kedua pihak pewaris terdiri individu, kaum

18Amir Syarifuddin, Ibid.h. 30

34

atau generasi.Penggunaan kata waratsa pada kelompok kedua juga menunjukkan bahwa orang atau kaum atau generasi itu telah berlalu dan telah tiada. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa peralihan sesuatu dari yang mewariskan kepada pewaris berlaku setelah yang mewariskan tidak ada lagi atau sudah meninggal. Dari asas-asas tersebut dapat ditarik perbedaan antara Hukum Islam dengan system kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik kesamaan.19

f. Itegrity (Ketulusan)

Yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan dalam Islam, diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenaranya.

g. Asas Ta’abudi (pengambaan diri)

Maksud asas ini adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allh SWT

h. Asas Hukukul Maliyah (hak-hak kebendaan)

Masud dari Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan. Artinya hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris.

Sedangkan, hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu, dan semacamnya tidak dapat diwariskan.

i. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-hak dasar)

Pengertian Huququn Thaba‟iyah adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia. Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahi atau

19Ali Parman, Ibid. h. 25

seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian, sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai, walaupun telah berpisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap mewarisi harta tersebut.

j. Asas membagi Habis harta warisan

Membagi semua harta peninggal hingga tak tersisa adalah makna dari asas ini C. RUKUN DAN SYARAT KEWARISAN ISLAM

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikkan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allh SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.20

Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penulis menemukan

Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penulis menemukan

Dokumen terkait