• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA

B. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah

2. Hukum Yang Mengatur Pembagian Harta Pusaka Rendah

Telah sejak lama perobahan-perobahan struktur sosial Minangkabau disorot sebagai telah melemahnya ciri matrilineal dari susunan kekerabatannya. Perkembangannya antara lain mencerminkan semakin senggangnya hubungan seseorang dengan kemenakannya, serta dengan konsekwensinya semakin kokohnya

36 . Ahmad Syafruddin,

Makalah Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah, Kajian Yuridis

hubungan dengan anaknya, proses perobahan ini bagaimanapun membawa berbagai masalah konflik kedalam kehidupan sosialnya .

Cara membagi harta benda seseorang yang telah meninggal merupakan satu diantara masalah tersebut. Ini tidak hanya merupakan masalah penerapan hukumnya saja, tetapi juga masalah pertentangan sistem hukumnya sendiri. Menurut hukum waris adat Minangkabau, harta peninggalan jatuh ketangan anggota kerabat dari garis keturunan keibuan, yang dalam hal ini adalah anak dari saudara yang meninggal, yaitu kemenakan-kemenakannya, sedangkan harta yang telah menjadi pusaka, diwarisi secara komunal yaitu dimiliki secara bersama-sama oleh para ahli waris . demikianlah pokok-pokok dari sistem kewarisan adat Minangkabau

Sebaliknya, kepentingan dari anak-anak dari yang meninggal mendapat perhatian yang utama dalam sistem kewarisan menurut Islam. Sistem ini hanya memungkinkan sikemenakan memperoleh warisan dari mendiang makanya, bila orang-orang yang lebih berhak mewarisi (yaitu anak-anak serta turun-turunan mereka, mereka, ayah dan ibu dan saudara-saudara dari mamaknya yang meninggal) telah lebih dulu meninggal. Sedangkan harta yang diwarisi dibagi-bagi diantara para ahli waris menurut cara-cara dan urutan-urutan pembagian tertentu.

Komplikasi yang ditimbulkan oleh kedua sistem kewarisan ini yaitu sistem kewarisan matrilineal komunal menurut hukum adat minangkabau dan sistem kewarisan bilateral individual menurut hukum Islam diperbesar oleh gejala-gejala perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri 37

37 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional,

Pola-Pola Kewarisan Di Sumatera Barat Dewasa Ini, Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Universitas andalas Padang ,1971

Semakin kuatnya kehidupan dalam satuan keluarga, yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka, antara lain berhubungan erat dengan cara pencaharian nafkah. Biaya hidup lama-lama tidak lagi lagi ditutup dengan menggarap harta pusaka kaum atau kerabat. Harta yang diperdapat dari hasil pencaharian ini di belanjakan untuk keperluan membiayai anggota-anggota keluarganya. Pembagian warisan yang berasal dari harta pencaharian inipun menjadi tantangan bagi berlakunya hukum kewarisan adat.38

Dengan demikian timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka. Kemudian dijelaskan pula bahwa harta pusaka yang sudah terlepas dari harta pencaharian tidak termasuk dalam lingkungan harta warisan yang harus mengikuti hukum faraidh.39

Pengertian “sesuai hukum faraidh” sebagaimana sering disebut bahwa pengertian yang sebenarnya dalam tinjauan dan pengertian orang yang mengetahui, bukan faraidh menurut pengertian awam yang berlaku di Minangkabau. Menurut pengertian awam sesuai dengan hukum faraidh ialah pewarisan untuk anak-anak, sebagai imbangan pewarisan secara adat ialah pewarisan untuk kemenakan. Atas

38 Iskandar Kamal,

Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Dalam Mochter Naim (Ed),

Menggali Tanah Dan Hukum Waris Mingangkabau, Center For Minangkabau Studies Press, Padang,

1968, Hal 158

39

dasar anggapan awam ini, bila harta pencaharian telah diwarisi oleh anak tanpa memperhatikan cara pembagiannya, maka yang demikian telah sesuai dengan hukum faraidh.40

Pewarisan harta pencaharian pada waktu ini dalam lingkungan adat Minagkabau sudah berbeda dengan pewarisan harta pusaka menurut adat lama. Menurut adat lama pewarisan berlaku menurut sistem matrilineal, yaitu pewarisan hanya melalui garis kerabat perempuan saja. Pada waktu ini sistem pewarisan demikian hanya diberlakukan terhadap harta pusaka.41

Dari hasil penelitian diketahui pula pada prakteknya, bahwa masyarakt Minangkabau menganggap penyelesaian harta warisan dalam bentuk harta pencaharian adalah persoalan keluarga yang dapat diselesaikan bersama oleh anggota keluarga, meski mereka tidak mengalami kesukaran dalam penyelesaian warisan tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peranan pengadilan tidak banyak dalam penyelesaian harta pencahariaan, karena pada umumnya dapat diselesaikan di rumah masing-masing secara kekeluargaan. Timbulnya sengketa dalam hal ini disebabkan oleh adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan menuntut bagiannya atas harta warisan.

Menurut kenyataan yang berlaku di lingkungan Adat Minangkabau terdapat 2 cara dalam penyelesaian harta warisan yaitu :

40 Wawancara Khusus Dengan Sarwono, SH, M.H, Hakim Pengadilan Negeri Padang, tanggal

27 Februari 2009, dan ini senada diucapkan oleh Alidir Datuk Mudo, Ketua Karapatan Adat Nagari Koto Tangah, tanggal 27 Januari 2009

41

1. Harta warisan dimiliki bersama oleh ahli waris yang berhak. Hal ini berarti bahwa dalam peristiwa kematian itu tidak dilakukan pembagian harta warisan secara nyata. Bentuk tidak dibaginya harta warisan itu ada 3 kemungkinan.

a.Harta warisan tidak dibagi karena memeng tidak ada yang pantas untuk dibagi.

b.Ada harta yang mungkin dibagi di kalangan ahli waris, tetapi harta tersebut tidak dapat dibagi secara terpisah seperti rumah dan tanah. c.Harta warisan ada dan dapat dibagi tetapi tidak diadakan

pembagian karena memang ahli waris tidak menginginkannya untuk membagi harta tersebut secara terpecah – pecah.

Tidak terbaginya harta warisan biasanya berlaku pada harta peninggalan yang besar yang pada umumnya dalam bentuk barang yang tidak bergerak atau barang berharga lainnya. Sedangkan barang yang kecil – kecil dan dapat berpindah – pindah, diadakan pembagian secara kekeluargaan sesuai dengan bentuk kegunaannya.

2. Bentuk kedua dari harta pencarian ialah secara terbagi, dengan arti kata setiap ahli waris menerima haknya secara perorangan. Cara ini berlaku terhadap barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Inilah yang mengikuti azas individual dalam kewarisan.

Dalam pelaksanan azas individual tersebut, dari segi penentuan porsi bagian masing – masing terdapat dua cara, pertama membaginya sesuai dengan perincian dalam hukum Faraid dengan arti murni secara ilmu

faraid. Kedua membaginya menurut perdamaian dan musyawarah bersama dari seluruh yang berhak atas dasar keperluan masing – masing dan atas kerelaan bersama.42

Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan dua hal pokok perbedaan antara apa yang secara teoritis dikehendaki oleh hukum kewarisan Islam dengan apa yang secara nyata terjadi dalam pewarisan harta pencaharian.

Pertama adanya kesepakatan di antara ahli waris yang berhak untuk memiliki bersama harta warisan dan tidak mengadakan pembagian secara nyata, yang menurut lahirnya dianggap tidak sejalan dengan azas individual yang dikehendaki oleh ajaran Islam.

Kedua adanya keinginan bersama ahli waris untuk menggunakan hak mereka atas harta warisan menurut mereka sepakati, yang mungkin dalam beberapa hal tidak persis seperti yang dikehendaki hukum faraid.

Dua perbedaan tersebut diatas adalah merupakan kelainan dari pelaksanaan hukum kewarisan dalam lingkungan adat Minangkabau43