• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA

B. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah

4. Ahli Waris Menurut Adat Minangkabau

P e n g e r t i a n ahli waris disini ialah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada dasar kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seseorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai dalam ganggam

bauntuak (genggam beruntuk). Kematian seseorang yang memakai harta

menyebabkan kembalinya harta itu kepada kaum, kemudian pengolahannya diteruskan oleh orang lain, orang lain yang meneruskan itu disebut ahli waris dalam pengertian adat.

Dasar dari pewarisan dan siapa yang menjadi ahli waris dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut :49

Birik-birik turun ke semak

Tiba disemak berilah makan

Harta ninik turun kemamak

Dari mamak turun ke kemenakan.

Dari pepatah adat tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan ahli waris ialah mamak terhadap harta ninik dan kemenakan terhadap harta mamak. Asas kewarisan kolektif tersebut diatas menjelaskan bahwa ahli waris bukan orang perorang, maka pengertian ninik, mamak dan kemenakan itu harus dipahami sebagai kelompok orang atau generasi.

49

Sebuah keluarga matrilineal, susunannya biasanya terdiri dari seorang laki- laki disebut mamak, (sebagai kepala keluarganya yang berkuasa ke luar), saudara perempuan dari mamak itu (sebagai bundo yang berkuasa dalam keluarga) dan anak

dari perempuan tersebut baik laki-laki maupun perempuan. Jadi di dalam rumah keluarga itu terdapat dua generasi yaitu generasi mamak dan generasi kemenakan. Dahulunya si mamak dan si ibu adalah generasi kemenakan dari ninik dan saudara perempuannya. Generasi ninik dan nenek itu dahulunya adalah pemegang harta pusaka.

Menurut adat Minangkabau pemegang harta pusaka adalah perempuan karena di tangannya terpusat kerabat matrilineal, namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut ternyata bahwa pada umumnya kekuasaannya itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominan di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki 50.

Dengan berlalunya generasi ninik, maka peranan pengawasan dilanjutkan oleh mamak, sedangkan peranan pengolahan dan pengurusan dilanjutkan oleh ibu untuk membiayai kehidupan keluarga. Dengan demikian dikatakan bahwa harta ninik turun ke mamak atau dengan arti mamak adalah ahli waris terhadap harta ninik. Begitu pula dengan berlalunya generasi mamak, maka kemenakan laki-laki meneruskan peranan

50 B. Nurdin Yakub,

Hukum Kekerabatan Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukit Tinggi,

1995, hal 51, dan ini senada seperti yang diutarakan DS.Dt. Mangkuto Rajo SH, Tokoh Adat Minang Kabau, yang diwawancarai 22 Mei 2009

pengawasan dan kemenakan perempuan meneruskan peranan pengolahan, hingga dikatakan bahwa harta mamak turun ke kemenakan dengan arti kemenakan adalah ahli waris terhadap harta pusaka yang di tinggalkan oleh mamak.

Hubungan kewarisan mamak dan kemenakan ini menjadi ciri khas dari hukum kewarisan adat Minangkabau. Kewarisan mamak kemenakan didasarkan kepada pemikiran bahwa harta adalah milik kaum dan hanya untuk kpentingan kaum. Dilain pihak pengertian kaum didasrkan pada system matrilineal yang membatasi kelompok kerabat pada orang-orang yang bertalian darah menurut garis ibu. Yang terdekat dari kerabat itu ialah hubungan mamak kemenakan. Pokok pikiran seperti itulah yang menimbulkan bentuk kewarisan mamak kemenakan. Atas dasar pemikiran tersebut dapat dipastikan bahwa kewarisan mamak kemenakan sudah berlaku semenjak berlakunya system kekerabatan matrilineal di Minangkabau.

Dengan pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak tidak ikut adat matrilineal. Oleh karenanya tidak mendapat warisan. Pengertian generasi dalam kaum mengandung lingkungan yang luas, sedangkan prinsip keutamaan mengharuskan pembatasan generasi kedalam lingkungan yang lebih sempit. Generasi yang berhak untuk menggantikan peranan melanjutkan harta pusaka itu disebut “sewaris”. Tentang syarat-syarat sewaris ditentukan oleh adat sebagai berikut 51 :

1. Seharta sepusaka. 2. Serumah asal 3. Sependam sepekuburan 4. Segolok segadai 51

Setiap kaum mempunyai rumah gadang asal, mempunyai harta pusaka untuk kehidupan anggota kaum itu dan mempunyai pendam pekuburan bagi anggota kaum yang mati. Seandainya antara dua orang masih sama-sama tinggal di rumah asal atau dapat diketahui bahwa keduanya adalah sekaum dengan arti sewaris. Bila tidak dapat diketahui bahwa keduanya serumah asal tetapi dapat diketahui bahwa pendam pekuburannya adalah samaa, maka itu adalah menjadi tanda bahwa mereka adalah sekaum dan dengan sendirinya adalah sewaris. Segolok segadai berarti bahwa dalam pertemuan yang melakukan transaksi gadai ia dikuatkan sebagai pihak yang harus mengetahui. Hadirnya ia dalam transaksi gadai itu menunjukan bahwa mereka sekaum dan sewaris.

Keseluruhan yang dapat diketahui melalui persyaratan tersebut diatas adalah ahli waris lapisan kekerabatan yang terdekat ialah kerabat bertali darah. Hubungan

antara waris dengan ahli waris disebabkan oleh kesamaan keturunan yang di telusuri ke atas melalui garis perempuan bila generasi pewarisan disebut mamak dan generasi ahli waris disebut kemenakan sesuai dengan ketentuan harta pusaka turun dari mamak kepada kemenakan maka hubungan dalam bentuk ini disebut kemenakan bertali darah karena jarak hubungannya terdekat kepada pewaris, maka kemenakan ini di sebut

kemenakan di bawah dagu penamaan ini menunjukan dekatnya hubungan dan yang

lebih dulu meminta perrhatian ini menunjukkan dekatnya hubungan dan yang lebih dulu meminta perhatian dibandingkan dengan yang lain.

Lapisan kedua ialah kerabat yang disebut bertali adat yaitu antara satu dengan yang lainnya tidak diketahui bertali darah. Tetapi secara adat keduanya dinyatakan

mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama hanya berbeda nagari oleh karena keduanya diikat oleh ikatan adat, maka hubungan mamak kemenakan di sini disebut kemenakan bertali adat dari segi jaraknya terutama yang menyangkut perhatian disebut kemenakan di bawah dada.

Lapisan selanjutnya disebut kerabat bertali budi, yaitu hubungan antara kedua

pihak tidak diikat oleh kesamaan darah dan tidak pula oleh kesamaan suku. Terjadinya hubungan ialah bahwa sekelompok orang dari luar suku menempatkan dirinya di satu suku dan berbuat jasa pada suku tersebut. Atas jasanya itu ia diakui oleh orang dalam suku untuk bergabung dcengan suku tersebut dan selanjutnya diperlakukan dari anggota dari suku itu oleh karenanya kemenakan yang disebabkan oleh budi itu disebut kemenakan bertali budi karena jaraknya begitu jauh maka ia disebut kemenakan di bawah perut.

Bentuk lapisan terakhir disebut kerabat bertali emas ini terjadi pada orang- orang yang tidak sedarah dan juga tidak sesuku tetapi datang menyandar kepada suatu suku/ kaum untuk ikut mengusahakn tanah ulayat suku itu. Untuk dapat diterima dalam suku itu ia telah mengisi adat dalam bentuk penyerahan emas. Hubungan orang itu dengan suku tempat ia menyandar itu pada hakikatnya terkait pada emas tersebut. Kemenakan dalam bentuk hubungan ini disebut kemenakan bertali emas dan dari segi jaraknya disebut juga kemenakan di bawah lutut.

Pelapisan kekerabatan tersebut diatas menimbulkan adanya sekelompok keutamaan dalam hukum kewarisan. Lapisan yang lebih atas lebih berhak mendapatkan warisan dibandingkan dengan lapisan yang lebih rendah. Selama masih ada yang lebih tinggi, maka yang dibawahnya tidak mempunyai hak atas warisan.

Bila keseluruhan ahli waris itu tidak ada, maka yang meninggal itu punah. Dalam keadaan seperti itu maka harta peninggalan diurus oleh penghulu sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa kaumnya berdasarkan musyawarah yang dilakukan bersama para ninik mamak keluarga tersebut agar harta tersebut di kembalikan pada posisinya dalam kaum sebagai harta pusaka tinggi dan harta tersebut di laporkan ke lembaga adat gunanya untuk melegalkan posisi terakhir harta tersebut agar terhindar persengketaan dikemudian hari. Biaya pengurusan harta tersebut diambil dari harta peninggalan yang punah. 52

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Bustami Sar, Datuak Perpatiah Nan Sabatang Dena Bawan menyatakan jika dalam pewarisan tersebut itu punah maka harta yang ditinggalkan di urus oleh Pengulu untuk di serahkan ke suku yang paling dekat dari suku yang telah punah tersebut, dan penyerahan harta tersebut harus di hadiri oleh para tungganai dan ninik mamak kedua suku agar tidak terjadi persengketaan di kemudian hari.

Dari penjelasan tersebut bahwa “punah” dalam adat Minangkabau sulit terjadi dalam hubungannya dengan harta pusaka karena yang berhak menerima harta pusaka luas sekali lingkungannya dan berlapis-lapis. Pengertian punah dalam arti sempit disebut putus ahli waris. hal itu dapat terjadi jika dalam sebuah rumah tidak ada lagi perempuan. Dengan demikian tidak akan ada lagi keturunan matrilineal yang akan menyambung tali keturunan. Walaupun ada laki-laki di rumah itu, tetapi ia tidak akan

52 Wawancara dengan Amrin Karim, Ketua Badan Musyawarah Masyarakat Minang di

melanjutkan keturunan matrilineal. Dalam keadaan demikian maka ahli waris berpindah kepada tingkat lebih jauh. Demikian seterusnya sampai betul-betul punah kerabat tersebut dan harta itu disebut harta gantung.

Dalam perkembangan selanjutnya ahli waris mengalami perubahan tetapi khusus untuk harta pencaharian. Yaitu janda atau duda serta anak-anak menjadi ahli waris, tetapi hal itu khusus untuk bentuk perkawinan menetap bukan urang sumando lagi.

Perhatikan diagram dibawah ini :

NN IN.1 IN.2 N.1 N.2 N.3 1.1 1.2 1.3 1.4 M Sp.1 Sp.2 Sp.3 S.p4 K.1 K.2 K.3 K.4 Keterangan :

NN : Nenek dari nenek IN : Ibu Dari Nenek

N : Nenek Ï : Ibu

M : Mamak (ego) Sp. : Saudara Perempuan

: Perempuan K : Kemenakan113

: Laki-Laki

K.1 oleh M disebut kemenakan kandung karena hubungan M dengna Ibunya K.1 yaitu Sp.1 adalah seibu. Dalam kewarisan, K.1 oleh M disebut waris yang

setampok. Inilah ahli waris yang paling berhak atas harta peninggalan M. Selama ada

kemenakan ini keraat lainnya tidak berhak mendapat warisan dari M.

K.2 oleh M disebut kemenakan dunsanak ibu, karena ibunya M yaitu I.1 dengan neneknya K.2 Yaitu I.2 adalah seibu yaitu sama-sama anak dari N.1 dalam jarak kewarisan, K.2 disebut waris sejengkal. Maka baru berhak atas warisan M bila K.1 sudah tidak ada.

K.3 oleh M desebut kemenakan dunsanak nenek karena neneknya M yaitu IN.1, dalam jarak kewarisan, K.3 disebut warsi sehasta. Mereka berhak atas warisan M bila K.1 dan K.2 sudah tidak ada.

K.4 oleh M disebut kemenakan dunsanak moyang, karena dari M yaitu N.1 dengan nenek dari ibunya K.4 adalah senenek, yaitu sama-sama cucu dari NN. Dalam jarak kewarisan K.4 disebut waris sedepa, mereka baru berhak atas harta warisan M bila K.1, K.2 dan K.3 sudah tidak ada.53

Hal ini disebut prinsip keutamaan dalam hukum kewarisan adat Minangkabau yang erarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain dan selama yang lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerima.

53