• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukuman (punishment) dan ganjaran (reward) merupakan elemen yang senantiasa melekat dalam proses pendidikan, baik pendidikan formal, informal maupun non-formal. Hukuman dan ganjaran merupakan elemen yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan. Hukuman digunakan untuk memberi efek jera pada individu agar tidak mengulangi perbuatannya yang tidak baik, sedangkan pemberian reward dimaksudkan sebagai penguat dan apresiasi agar individu mengulangi perbuatannya yang baik.

Dalam parenting, orang tua juga perlu memahami hukuman dan ganjaran yang efektif agar mengena pada pencapaian tujuan. Hukuman yang efektif adalah hukuman yang bisa membuat anak tidak mengulangi perbuatannya, dan reward

58 yang efektif adalah hadiah yang dapat membuat individu dan orang lain konsisten melakukan perbuatan yang diperintahkan.

Dalam kenyataannya, masih banyak orang tua yang melakukan hukuman fisik kepada anak ketika anaknya dipandang melakukan tindakan yang melanggar aturan. Hukuman fisik dilakukan dengan memukul anak, menjewer telinga, memukul bagian tubuh lainya, mencubit, menampar, dan bahkan sampai menghilangkan nyawa anak. Sementara itu, banyak orang tua yang belum memahami arti penting pemberian hadiah kepada anak untuk menguatkan dan memotivasi agar ia gemar melakukan perbuatan yang baik.

Hukuman fisik ketika anaknya dianggap melanggar aturan

Orang tua terkadang memukul anaknya karena dulu waktu kecil ia diperlakukan demikian oleh orang tuanya ketika melakukan kesalahan. Orang tua dulu sering melakukan banyak kekerasan fisik dan emosional (misalnya membentak, memaki, berkata kasar yang dapat melukai emosi anak) dalam melakukan koreksi atas kesalahan anak, baik dalam tindakan dan ucapannya. Kalau model pendidikan demikian diwarisi oleh anak-anaknya, maka akan berdampak tidak baik pada generasi selanjutnya karena tidak menguntungkan bagi perkembangan anak terutama perkembangan kejiwaan dan emosinya.

Orang tua boleh melakukan hukuman terhadap anaknya selama hukuman tersebut tidak menyakiti fisik dan emosinya dan mampu memberi efek jera bagi

59 anak. Menurut Bunda (2010:3), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam memberi hukuman kepada anaknya agar efektif.

1. Adil.

Orangtua tidak bisa menghukum anak jika tidak melakukan kesalahan atau menghukum terlalu berat atas kesalahan yang kecil, tidak disengaja. Sebelum menghukum, orangtua harus mau mendengarkan alasan anak, mencari bukti-bukti dan mencari saksi atas kejadian tersebut. Apabila orangtua menghukum anak dengan tidak adil, maka bukannya membuat anak menjadi jera dan mau berdisiplin, melainkan membuat anak semakin meningkatkan pelanggaran perilaku.

2. Konsisten.

Orang tua yang tidak konsisten, akan membuat anak-anak belajar untuk menebak dan membaca batas-batas atau saat dimana mereka bisa lolos dari hukuman ketika mereka melanggar aturan. Biasanya, mereka pintar menebak dan mengakali orang tua. Oleh karena itu, dalam menegakkan aturan disiplin, orang tua harus konsisten.

3. Tidak terlalu sering menghukum

Jika orang tua terlalu sering menghukum anak maka menjadi latah, dan kurang menimbulkan efek jera. Jika kesalahan anak sekecil apapun dihukumi dengan memukul, misalnya, ini jelas tidak efektif. Orang tua tentu bisa memahami, kapan anak bisa didisiplinkan dengan cara mengajaknya berbicara terlebih dahulu melalui tahap demi tahap dan kapan harus memberikan hukuman kepada mereka. Keseringan menghukum anak, justru akan membuatnya berontak di kemudian hari.

4. Orang tua tidak suka mengumbar marah.

Menghukum anak dengan mengumbar marah; berteriak, memaki, mencela, memukul, dan tindak kekerasan lain harus dihindari. Selama anak-anak tidak butuh suara keras kita, tidak perlu kita berteriak-teriak. Selama kesalahan anak tidak perlu dihukumi secara fisik, tidak perlu kita memukul atau menendangnya. Sikap bijaksana dan tenang akan membuat mereka tahu

60 bahwa orang tua menghukum mereka atas kesalahan mereka karena cinta, bukan karena benci.

5. Penguatan positif.

Metode ini adalah cara yang paling efektif, jika orang tua mampu menyelaraskannya dengan keempat hal tersebut di atas. Penguatan positif membuat anak-anak memaham bahwa orang tua mendukung setiap usaha mereka untuk menjadi baik. Selain itu, anak akan merasa sangat dihargai oleh orang tua. Timbal baliknya? tentu mereka akan benar-benar menunjukkan bahwa “aku memang anak baik” dengan menuruti orang tuanya.

Sementara itu, beberapa teknik menghukum anak yang direkomendasikan oleh Asosiasi Dokter Spesialis Anak Amerika Serikat, Perkumpulan Psikiater Anak dan Remaja di Amerika Serikat dan Asosiasi Kesehatan Mental Amerika Serikat (Bunda, 2010:4) adalah sebagai berikut.

1. Mengapresiasi perilaku baik.

Hukuman yang efektif adalah hukuman yang makin jarang diperlukan. Kalau pun anak sampai dihukum, harusnya anak memahami bahwa perilakunya salah dan tidak boleh diulang. Jadi, lebih baik mendorongnya anak mematuhi peraturan, daripada orang tua sampai harus menghukumnya.

Memperhatikan dan mengapresiasi saat anak berperilaku seperti yang diharapkan orang tua merupakan cara terbaik mendorong anak untuk terus bersikap baik. Orang tua bisa mengucapkan terima kasih sebagai apresiasi tiap kali anak bersikap baik sesuai aturan.

2. Konsekuensi natural.

Anak yang tidak menuruti aturan, dan orang tua membiarkannya, maka ia mengalami konsekuensi dari perilakunya itu. Jadi tak perlu ada „ceramah‟ lagi dari orang tua dan anak tidak bisa menyalahkan orang tua atas konsekuensi yang diterimanya. Misalnya, anak Anda tidak membereskan CD video games yang berserakan di sofa di depan televisi, lalu orang tua tidak sengaja menduduki salah satu CD sampai patah. Biarkan saja anak tidak lagi bisa memainkan video games tersebut.

61 Teknik ini lebih cocok diterapkan saat anak „tidak mendengarkan‟ peringatan atau alasan orang tua menerapkan aturan disiplin di rumah. Namun demikian, pastikan juga bahwa konsekuensi yang akan dialami anak tidak berbahaya baginya

3. Konsekuensi logis.

Teknik ini mirip dengan konsekuensi natural, tapi orang tua yang menetapkan konsekuensinya dan menjelaskannya pada anak. Konsekuensi harus langsung terkait dengan perilakunya. Misalnya jika anak-anak terus saja berebut mainan dan tidak mau bergantian, maka Bapak dan Ibu akan mengambil mainan tersebut, sehingga kedua tidak bisa mainan lagi.

4. Pelarangan atau pencabutan hak istimewa.

Untuk anak yang sudah lebih besar, orang tua bisa menerapkan pelarangan atau pencabutan hak istimewa sebagai bentuk hukuman. Cara ini lebih efektif jika pelarangan itu kurang-lebih berkaitan dengan perilaku salah yang ia buat, dan hal yang dilarang merupakan sesuatu yang sangat disenangi anak. Misalnya, jika anak Anda menolak mengerjakan PR-nya dengan alasan mengantuk. orang tua bisa menyuruhnya ke kamar dan tidur, serta melarangnya menonton TV, bermain video games, menggunakan gadget atau membaca buku. Atau para anak usia remaja yang pulang terlambat tanpa memberitahu orang tua saat pergi dengan teman-temannya, orang tua bisa melarangnya pergi dengan teman-teman selama seminggu sebagai hukumannya.

Selain memahami mekanisme pemberian hukuman, orang tua juga perlu memahami bagaimana mekanisme pemberian hadiah agar efektif. Orang tua yang tepat dalam memberi hadiah kepada anak akan mampu menimbulkan efektif positif bagi pengulangan perilaku baiknya. Deeann (2015:4), memaparkan kriteria-kriteria yang perlu dipertimbangkan orang tua ketika memberi hadiah atau reward kepada anaknya agar efektif.

1. Hadiah diberikan karena tujuan tertentu. Misalnya kita memuji anak di depan tetangga atau seluruh keluarga, sebagai apresiasi karena anak sudah bangun pagi, sholat subuh dan pandai mengaji. Hal itu dilakukan agar anak terdorong untuk mempertahankan prestasi dan sikap baiknya.

62 2. Apabila memberi hadiah bertujuan untuk mengubah tingkah laku anak, maka sebaiknya jangan memberi hadiah berupa barang, kecuali untuk pertama kali dalam jangka waktu yang panjang. Misalnya ketika menjelang bulan Ramadhan, orang tua bisa membelikan jilbab, mukena, sajadah atau koko, sarung dan peci lucu untuk anaknya

3. Ketika anak sudah terlanjur suka dengan hadiah barang, ubahlah sikap tersebut dengan sikap sabar, ulet dan konsisten. Perubahan hadiah dari barang menuju non-barang memang harus dilakukan secara bertahap dan tak boleh memaksakan.

4. Hadiah non-barang yang diberikan orang tua harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, eksklusif dan spesial. Misalnya peluk-cium dengan tulus dan tak perlu menahan air mata haru, tumpahkan saja sambil beri pujian dan apresiasi sebesar-besarnya pada prestasi atau kelakukan anak yang membanggakan.

5. Memberi hadiah non-barang tidak boleh sembarangan, tetapi harus proporsional, efisien, dan tepat waktu. Tentu tidak tepat juga kalau orang tua memuji anak secara lebay sampai salto; atau orang tua mendramatisir pelukan, ciuman dan tangisan ketika anak cuma membukakan pintu. Kalau hal tersebut dilakukan, anak pasti bingung dan sudah kebal lagi dengan „kegombalan‟ orang tua.

6. Orang tua seyogyanya tidak labil dalam memberikan hadiah non-materi. Orang tua harus melakukan secara konsisten, sehingga anak paham kalau selama ini ia terus diperhatikan dan diapresiasi oleh orang tuanya

7. Orang tua harus mengevaluasi teknik memberi hadiah yang diterapkan, apakah efektif atau tidak?.

8. Orang tua tidak perlu berlebihan dalam memberi hadiah, tetapi proporsional 9. Hadiah sebaiknya berujung pada dorongan atau motivasi agar anak lebih baik

63 Hadiah diberikan kepada anak sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilannya

Dokumen terkait