• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan dan Konsep Pengelolaan Hutan Lestari

Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, hutan sebagai modal pembangunan yang mempunyai manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indinesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya mupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Sumberdaya hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang 41 tahun 1999 adalah sebagai penyediaan bahan baku industri dan sumber pendapatan karena itu harus dimanfaatkan dengan teteap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya. Untuk itu hutan harus dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang (Anonimous, 1999).

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alamhayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya untuk menegaskan kedudukan hutan sebagai suatu kawasan yang dikuasai oleh negara. Definisi ini memberikan penekanan kepada fungsi ekologis hutan sebagai kesatuan ekosistem dan wujud biofisik hutan berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didimonasi pepohonan dalam persekutuan lingkunagnnya. Dalam definisi ini, walaupun merupakan bagian dari undang-undang, akan tetapi sama sekali tidak mengandung pernyataan yang merangkan status hukum hutan atau lahannya. Definisi ini sepenuhnya berdasarkan perspektif ekologi.

Suhendang (2002), menyatakan bahwa hutan dapat ditinjau dari faktor-faktor : wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan satus hukum lahan hutan. Definisi hutan berdasarkan penekanan pada konsep ekologi, hutan adalah jenis tumbuhan yang dominan (pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lain), sifat pertumbuhan pohon (bersama-sama dan cukup rapat) dan berfungsi sebagai komunitas tumbuhan. Ukuran kerapatan pohon minimal dari sisi fungsi ekologis hutan adalah kemampuannya untuk menciptakan iklim mikro di dalam hutan yang berbeda dengan keadaan disekitar luarnya

Helms (1998), menyatakan bahwa hutan adalah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beranekaragam sifat, seperti : komposisi, jenis, struktur, kelas umur, dan proses-preses yang berhubungan; pada umumnya mencakup : padang rumput, sungai, ikan, dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota. Definisi diatas lebih menekankan kepada fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem dengan ciri-ciri yang khusus, yaitu penutupan yang rapat dan cukup luas dan terdiri dari beberapa tegakan yang memiliki ciri-ciri yang beragam dalam hal komposisi, jensi, struktur, kelas umur dan proses lain yang berhubungan. Adapun yang dimaksud dengan tegakan (stand) adalah sebidang lahan yang homogen dan secara geografis terpusat sertamemiliki kombinasi sifat-sifat fisik lahan, tumbuhan, dan fasilitas minimal yang ditetapkan dalam pengelolaan hutan.

Departemen Kehutanan (1989), memberikan definisi hutan sebagai sebuah ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat maupun yang kurang lebat. Dari definis tersebut diatas lebih menekankan fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem yang memiliki ciri penutupan pohon yang cukup luas dengan kerapatan pohon lebat (tinggi) atau kurang lebat. Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang langsung sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga, dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langusung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kehidupan manusia maupun manfaat yang tidak langsung yang berupa perlindungan lingkungan, pengelolaan tata air, memberikan keindahan dan kenyamanan dan lain-lain (Djajapertjunda, 2002).

Cara lain dalam pengelompokan manfaat hutan yang pada akhir-akhir ini sering dipergunakan adalah pengelompokan manfaat hutan yang dihubungakan dengan kelompok hutan yang dipergunakan dalam konsep pengelolaan hutan lestari (SFM), yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi ekologi, dan fungsi sosial budaya. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi produksi atau biasa juga dinamakan fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan tindakan ekonomi. Termasuk kedalam kelompok ini misalnya hasil hutan untuk bahan baku

industri yang memiliki nilai komersial, yaitu kayu untuk bahan baku industri, hasil hutan bukan kayu untuk bahan baku industri, kayu bakar untuk dijual secara komersial, dan jasa hutan untuk menghasilkan air segar untuk dijual secara komersial. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi ekologis adalah meningkatkan kualitas lingkungan, misalnya fungsi hutan untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi sosial-budaya adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama bagi masyarakat sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah penyediaan lapangan kerja, penyedia lahan untuk bercocok tanam, penyedia kayu bakar serta berbagai fungsi yang diperluka dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan (Awang, 1999).

Menurut Sukotjo (2004), pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an Lembaga Penelitian Hutan Bogor telah melakukan kajian memilih dan menerapkan regime silvikultur yang sesuai untuk dipakai di HPH/IUPHHK yang melakukan pembalakan di hutan Indonesia. Dari kajian tersebut terbit Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor : 35/Kpts/DP/I/1972. dari SK tersebut dipilih tiga regime silvikultur yang dirancang untuk mengolah hutan Indonesia. Ketiga regime silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dari ketiga regime yang disrankan tersebut hanya TPI yang lebih banyak dipergunakan. Berdasarkan SK Direktur Jenderal No. 35 tersebut aturan yang harus diikuti pada TPI mencakup (a) Pertimbangan, (b) Dasar-dasar, (c) Pelaksanaan, dan (d) sangsi-sangsi. Pertimbangan TPI yang sangat strategis ini dalam praktek kurang dipertimbangkan, sehingga sangat mengecewakan. Dalam pertimbangan untuk melaksanakan TPI, ada 4 hal pokok yang harus diikuti, yaitu , (1) Asas kelestarian, (2) Teknik Silvikultur, (3) Kelangsungan Pengusahaan hutan, dan (4) Pengawasan yang efisien dan efektif. Soekotjo (2004), menambahkan sampai saat ini penerapan regime silvikultur di Indonesia adalah :

- Monocyclic, regime yang dipilih hanya tebang habis. Regime tebang habis ini

untuk menampung jenis-jenis, ddimana semainya sejak semula untuk pertumbuhan yang optimal sangat membutuhkan cahaya penuh, seperti jati dan mahoni.

- Polycyclic, regime yang dipilih adalah Tebang Pilih Indonesia, yang dalam

praktek dikenal dengan dua versi yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sistem silvikultur Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/KPTS/IV-BPHH/1997 tanggal 2 Oktober 1997 tentang penerapan sisten Tebang Pilih dan Tanam Jalur yang diterapkan pada areal bekas tebangan (log over area) dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada hutan primer (virgin forest) untuk pohon yang diameter 60 cm ke atas dan 40 cm keatas pada areal bekas tebangan.

Sistem silvikutur di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma terjadi perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.221/VI-BPHA/2005 tanggal 18 Agustus 2005, bahwa PT. Sari Bumi Kusuma ditunjuk/ditetapkan sebagai salah satu pemegang IUPHHK dengan Model Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif), dengan diberlakukannya keputusan tersebut, PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sisten TPTI-Intensif sejak tahun 2006.

Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI-Intensif secara teknis tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ). Perbedaan mendasar terletak pada areal efektif yang dikelola, jarak tanam dan jarak antar jalur tanaman. Sistem silvikultur TPTJ diharuskan pada areal bekas tebangan (Log Over area) dengan jarak tanam 5 meter dan jarak antar jalur tanaman 25 meter, sedangkan pada sistem silvikultur TPTI-Intensif diterapkan pada seluruh areal efektif yang dapat diusahakan dengan jarak tanam 2,5 meter dan jarak antar jalur tanaman 20 meter.

Davis dan Johnson (1978), lebih menekankan hutan untuk pengelolaan dengan tujuan menghasilkan kayu, yaitu hutan adalah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang ditumbuhi (memiliki) atau akan ditumbuhi pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan berupa kayu atau hasil-hasil lain yang berbuhungan dengan hutan. Hal tersebut diatas diartikan sebagai kumpulan dari bidang-bidang lahan yang pada saat tertentu ditumbuhi pohon-pohon atau tidak dan secara keseluruhan dikelola dalam satu kesatuan pengelolaan. Bidang-bidang lahan yang dimaksud adalah tegakan yang dalam pengelolaan hutan lebih khusus lagi disebut petak (compartement). Pada

waktu tertentu petak-petak yang terdapat dalam satu kesatuan pengelolaan hutan tanaman, yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang habis, akan memiliki keadaan beragam dari mulai tanah kososng atau terbuka karena ditebang kemudian ditanami, tumbuhan yang masih remaja, tumbuhan pohon yang sudah dewasa sampai pohon-pohon tua yang sudah siap untuk ditebang dan dinamakan tegakan siap tebang.

Definisi hutan yang dikemukakan oleh Bruenig (1996), hutan adalah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon yang dapat membentuk keadaan iklim tegakan (iklim makro di dalam hutan), termasuk bagian bidang lahan bekas tebangan melalui tebang habis, di dalam wilayah hutan tetap pada tanah negara atau hutan milik, yang setelah pemanenan (penebangan) terhadap tegakan hutan yang terdahulu, dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan alam atau penghutanan kembali (permudaan buatan).

Dokumen terkait