• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SENSITIVITAS INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI RAMAH LINGKUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SENSITIVITAS INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI RAMAH LINGKUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

HUTAN A

KAS

ALAM PR

SUS DI IU

SE

INS

RODUKSI

UPHHK/HP

R U

EKOLAH

TITUT PE

B

I RAMAH

PH PT. SA

U S M A N

PASCAS

ERTANIA

BOGOR

2008

LINGKU

ARI BUM

N

SARJANA

AN BOGO

NGAN :

MI KUSUM

A

OR

STUDI

MA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah LIngkungan : Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah adalalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2008

R u s m a n

(3)

Production Natural Forest: Case Study of IUPHHK/HPH of PT Sari Bumi Kusuma. Under academic supervision of Hadi Sukadi Alikodra and Herry Purnomo.

Sensitivity analysis of indicator is a modeling with the study objectives of constructing a model of indicators sensitivity of management of production natural forest which interact and inter affecting at the level of Concession Permit of Timber Forest Product Utilization Business (IUPHHK) in the area of PT. Sari Bumi Kusuma. There was environmental change due to human activity pressure (stakeholders and local community) and other natural factors, with indicator which had been determined for a management of production natural forest. Method of vegetation analysis used analysis of Importance Value Index. Soil analysis used USLE. Analysis of owa primate (Hylobates muelleri) used Indices Ponctuel of d’Abundance (IPA). Analysis of indicator sensitivity used the following phases (1) identification of indicators/issues/problems, objectives and definitions; (2) model conceptualization; (3) model specification (4) model evaluation and (5) use of model by constructing scenarios. Results of study, namely analysis on criteria and indicators of vegetation showed difference between virgin forest, logged over forest of Selective Logging and Strip Planting (TPTJ) and logged over forest of Indonesian Selective Logging and Planting (TPTI). Seedling stage in virgin forest comprised 28 000 per hectare, that of sapling stage 2600 per hectare; that of pole stage 204 per hectare; and that of tree stage 184 per hectare. Seedling stage in logged over forest of TPTJ comprised 3 173.73 per hectare; that of sapling stage 546.34 per hectare; that of pole stage 48.78 per hectare; and tree stage 142.07 per hectare. Seedling stage in logged over forest of TPTI comprised 2 357.14 per hectare; that of sapling stage 556 per hectare; that of pole stage 46.84 per hectare; and tree stage 86.76 per hectare. Size of Kalimantan owa primate population (Hylobates muelleri) in virgin forest was 0.109 per hectare, that in logged over forest of TPTJ was 0.087289 per hectare; that in logged over forest of TPTI was 0.065484 per hectare. Soil erosion occurring in primary forest was as much as 0.2310 tons per hectare per year; that in logged over forest of TPTJ was 0.8202 tons per hectare per year; and that of logged over forest of TPTI was 0.943 tons per hectare per year. Indicator which was sensitive in this study was increase in the fraction of growth rate and decrease in the fraction of death rate of seedlings; and increase and decrease of fraction of logging rate which created impacts on vegetation existence at seedling stage, sapling stage, pole stage and tree stage. Vegetation dynamics of each strata would affect the condition of habitat quality and existence of Kalimantan owa population (Hylobates muelleri) per hectare and soil erosion in each rotation. Results of analysis of the five scenarios which described the best forest condition of the annual working plan of 2007, up to year 2056 (rotation I through rotation II) occurred in scenario 2 with logging of 20%, seedling growth rate of 5.54% and seedling mortality rate of 94.47%.

Keywords: Sensitivity analysis, indicator, management of natural production forest, environmentally friendly

(4)

RUSMAN. Analisis Senisitivitas Indikator Pengelolaan Hutan ALam Produksi Ramah Lingkungan : Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumu Kusuma, dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA dan HERRY PURNOMO.

Karya Ilmiah ini menyajikan suatu pemodelan dengan tujuan penelitian untuk membangun sebuah model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di areal PT. Sari Bumi Kusuma. Adanya perubahan lingkungan akibat pengaruh tekanan aktifitas manusia (stakeholder s and local community) dan pengaruh alam lainnya, dengan indikator yang telah ditentukan untuk suatu pengelolaan hutan alam produksi akan mengalami, perubahan, pengurangan maupun penambahan.

Metode analisis vegetasi menggunakan analisis Indeks Nilai Penting = KR + DR + FR , Rumus USLE (Wischermeir dan Smith 1978) adalah : A = R x K x L x S x C x P, analisis primata Owa (Hylobates muelleri ) menggunakan PA (Indices Ponctuel of d’Abundance) berdasarkan rumus Shannon Winner: H' = - S {ni/N x Lnn (ni/N)} (i=1); análisis sensitivitas indikator dengan menggunakan fase-fase (Purnomo 2005), yaitu (1) Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan; (2) Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metod seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stoc) dan aliran (flow) atau diagram klas dan diagram sekuens; (3) Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen indikator yang diperlukan ; (4) Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan ; (5) Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau alternative kebijakan .

Hasil analisis sensitivitas dalam penelitian ini yaitu, Vegetasi pada plot contoh penelitian menunjukan adanya perbedaan antara hutan primer, hutan bekas tebangan TPTJ dan hutan bekas tebangan TPTI. Hutan primer jumlah vegetasi tingkat semai sebanyak 28.000 per hektar; tingkat pancang sebanyak 2.600 per hektar; tingkat tiang sebanyak 204 per hektar; tingkat pohon 184 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTJ tingkat semai sebanyak 3.173,73 per hektar; tingkat pancang sebanyak 546,34 per hektar; tingkat tiang sebanyak 48,78 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 142,07 per hektar. Hutan bekas tebangan TPTI tingkat semai sebanyak 2.357,14 per hektar; tingkat pancang sebanyak 556 per hektar; tingkat tiang sebanyak 46,84 per hektar dan tingkat pohon sebanyak 86,76 per hektar. Jumlah populasi primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) pada hutan primer sebanyak 0,109 per hektar, hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,087289 per hektar dan hutan bekas tebangan TPTI sebanyak 0,065484 per hektar. Erosi tanah yang terjadi pada hutan primer sebanya 0,2310 ton per hektar per tahun; hutan bekas tebangan TPTJ sebanyak 0,8202 ton per

(5)

penurunan fraksi laju penebangan yang memberikan dampak terhadap keberadaan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon. Dinamika jumlah vegetasi masing-masing strata tersebut akan mempengaruhi kondisi lingkunga/kualitas habitat dan keberadaan populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) per hektar, serta erosi tanah masing-masing daur. Hasil analisis kelima skenario yang menggambarkan kondisi hutan RKT 2007 terbaik sampai tahun 2056 (daur I sampai Daur II) adalah terjadi pada skenario 2 dengan penebangan 20%, laju pertumbuhan semai 5,54% dan laju kematian semai 94,47%.

Keywords : analisis sensitivitas, indikator, pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

PRODUKSI RAMAH LINGKUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA

R U S M A N

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

(8)

Judul Tesis : ANALISIS SENSITIVITAS INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN ALAM RAMAH LINGKUNGAN STUDI KASUS DI IUPHHK/HPH PT. SARI BUMI KUSUMA

Nama : Rusman

N I M : P052040061

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Com K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)
(10)

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan perkenaanNya-lah Penelitian ini dapat disusun dengan lancar, sukses dan insya Allah bermanfaatt bagi dunia kehutanan Indonesia.

Penelitian yang berjudul “Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Ramah Lingkung Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma” ini bertujuan untuk Mengkaji dan mengidentifikasi indikator-indiktor pengelolaan hutan alam produksi pada hutan alam IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma serta Membangun model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2006 hingga Agustus 2007 di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. H.Hadi S. Alikodra, MS. dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan perbaikan dalam penyempurnaan penelitian ini, dan Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS selaku penguji luar Komisi, tidak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Tri Edi Budi Soesilo, M.Si yang telah banyak memberikan masukan dalam pengembangan model analisis sistem. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Ir. Nana Suparna selaku Direktur Produksi PT. Sari Bumi Kusuma yang telah memberikan kesempatan, tempat dan waktu untuk melakukan penelitian di areal kerja IUPHHK/HPH PT . Sari Bumi Kusuma dan staf di lapangan (Camp Nanga Nuak, Camp 53 dan Camp 54) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan. Penghargaan yang tidak terucapkan kepada istri tercinta yang telah mendorong, mendukung, membantu, memanjatkan do’a dan mendampingi penulis dalam menyelesaikan studi ini, penulis sampaikan terima kasih tak terhingga kepada orangtua penulis, kakak dan adik yang memberikan dukungan do’a, moril dan spiritual selama penulis mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semoga Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi dunia kehutanan khususnya pengelolaan hutan alam produksi, dan dengan segala kerendahan hati penulis menerima berbagai masukan dalam upaya penyempurnaan penelitian ini. Sekian dan terima kasih.

Bogor, April 2008 R u s m a n

(11)

Penulis dilahirkan pada tangal 19 Mei 1976 dari pasangan Muhamad Yamin (Alm) dan Hadaisa merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis menghabiskan masa remaja sampai dewasa di Kota Malang. Setelah Penulis menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Umum penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi di kota Malang. Penulis menamatkan sarjana strata satu (S1) di Institut Pertanian Malang pada fakultas Kehutanan tepatnya Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis sempat bekerja di beberapa HPH, dan sekarang bekerja di beberapa konsultan kehutanan dan lingkungan sebagai tenaga ahli.

Tahun 2004 penulis mempunyai kesempatan untuk melanjutkan ke Strata dua (S2) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkngan dan mengambil bidang minat Konservasi dan Ekowisata, dan menyelesaikan tugas akhir (Tesis) penelitian yang berjudul Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan : Studi Kasus di IUPHHK/HPH PT. Sari Bumu Kusuma Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah.

(12)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Tabel ... iii

Daftar Gambar ... iv BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Kerangka Pemikiran ... 6 1.3. Perumusan Masalah ... 7 1.4. Tujuan Penelitian ... 9 1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Hutan dan Konsep Pengelolaan Hutan Lestari ... 11

2.2. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Lestari ... 15

2.3 Model Pengembangan dan Analisis Sistem ... 23

2.4. Simulasi dan Sensitivitas ... 26

2.4.1 Simulasi ... 26

2.4.2. Sensitivitas ... 28

BAB III. METODOLOGI ... 30

3.1 Waktu dan Tempat ... 30

3.2 Rancangan Penelitan ... 30

3.2.1. Bahan dan Alat ... 30

3.2.2. Jenis Data ... 30

3.2.3. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.3 Metode Analisis Data ... 34

3.3.1. Metode Analaisis Potensi Tegakan ... 34

3.3.2. Metode Analisis Data Satwa ... 35

3.3.3. Model Sensitivitas Indikator-Indikator Pengelolaan Hutan Alam .... 36

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 40

4.1 Sejarah Pengelolaan Hutan ... 40

4.2. Letak dan Batas Areal Penelitian ... 41

4.3. Jenis Tanah dan Geologi ... 42

4.4. Iklim ... 42

4.5. Topografi dan Kelerangan ... 43

4.6. Komponen Vegetasi ... 44

4.7. Satwaliar ... 44

4.8. Sistem Pengelolaan Hutan ... 44

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Kriteria Indikator ... 47

5.2. Kriteria Produksi ... 47

5.2.1. Vegetasi ... 47

(13)

5.3. Kriteria Ekologi ... 53

5.3.1. Satwa Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) ... 53

5.4. Erosi ... 57

5.5. Penebangan Pohon Ramah Lingkungan Lingkungan ... 60

5.6. Model Sensitivitas Indikator Intervensi Penebangan dan Penanaman Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang dan pohon), Erosi dan Primata Owa Kalimanta (Hylobates muelleri) ... 61

5.7. Batasan Model ... 62

5.8. Sub Model Tegakan ... 62

5.9. Sub Model Dinamika Erosi ... 64

5.10. Sub Model Dinamika Primata Owa Kalimantan ((Hylobates muelleri) ... 64

5.10.1. Formulasi Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Dagram) ... 64

5.10.2. Deskripsi Diagram Alir (Stock Flow Diagram) ... 66

5.11. Pengujian Model ... 70

5.12. Kewajaran Model ... 70

5.13. Penggunaan Model ... 76

5.14. Asumsi-Asumsi Dalam Penelitian ... 76

5.15. Simulasi Uji Sensitivitas Penebangan Kayu Terhadap Performance Tegakan, Laju Erosi dan Laju Kematian Satwa Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) ... 77

5.14.1. Skenaio 1 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 27% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ... 79

5.14.2. Skenaio 2 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 20% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ... 83

5.14.3. Skenaio 3 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ... 86

5.14.4. Skenaio 4 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 10% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ... 89

5.14.5. Skenaio 5 Intervensi Pada Penambahan Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian (tingkat Semai) Dengan Laju Penebangan Pohon Sebesar 15% Kaitannya Dampak Erosi an Kematian Owa (Hylobates muelleri) ... 92

5.14. Perbandingan Skenario ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1. Kesimpulan ... 100

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(14)

Tabel Uraian Halaman Tabel 1. Kriteria dan Indikator oleh Armitage (1998) ... 19 Tabel 2. Jenis Data yang Dikumpulkan Dalam Penelitian ... 32 Tabel 3. Parameter dan Indikator Pengambilan Data Vegetasi dan

Satwa ... 34 Tabel 4. Rekapitulasi Data Iklim Selama 10 Tahun (1994-2005) Terakhir di

Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 43 Tabel 5. Kelas Lereng Areal Kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma

Unit Sungai Seruyan ... 43 Tabel 6. Keanekaragaman Jenis Vegetasi (H’) Plot Contoh Hutan Primer

Petak OO.55 dan Hutan Sekunder Petak 8B, C, Y, danZ RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten

Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 50 Tabel 7. Rekapitulasi Komposisi Jenis pada Plot Contoh Petak OO.55 Hutan

Primer dan Hutan Sekunder Petak 8B, C, Y dan Z RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten

Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 51 Tabel 8. Jenis-Jenis Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Kalimantan

(Hylobates muelleri) di Plot Peneliian ... 54 Tabel 9. Kepadatan Populasi Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)

Berdasarkan Kepadatan Individu dan Kepadatan Kelompok ... 57 Tabel 10. Laju Erosi Berdasarkan Penutupan Lahan (Faktor Tanaman) dan

Kegiatan Eksploitasi si Lokasi Penelitian IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma ... 59 Tabel 11. Pembuatan Sistem Pipa Pembuang Melintang (Cross Drain Culverts)

dan Jarak yand Direkomendasikan ... 60 Tabel 12. Skenario Laju Penebangan Pohon, Prosentasi Penambahan Laju

Pertumbuhan dan Laju Kematian Semai dan Laju Erosi Dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan ... 78

(15)

Gambar Uraian Halaman Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ... 7 Gambar 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al.,

1997) ... 25 Gambar 3. Tahap-tahap Simulasi Model (Siswosudarmo et al., 2001) ... 27 Gambar 4. Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model

(Siswosudarmo et al., 2001) ... 29 Gambar 5. Lokasi Penelitian ... 31 Gambar 6. Bentuk Plot Contoh Pengamatan Pengamata Vegetasi ... 33 Gambar 7. Tipe Intervensi Model Parameter Input vs Struktur Model

(Siswosudarmo et al., 2001) ... 36 Gambar 8. Pola Sistem Silvikultur TPTI-Intensif di Areal Kerja IUPHHK PT.

Sari Bumi Kusuma ... 46 Gambar 9. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop Dagram) Sensitivitas

Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabupate Seruyan dan

Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 68 Gambar 10. Diagram Stock Flow Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan

Alam Produksi Ramah Lingkungan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kabupate Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi

Kalimantan Tengah ... 69 Gambar 11 Proyeksi Tren Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian Akibat Aktifitas

Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) dan (d) Laju Erosi Akibat Kegiatan Penebangan ... 73 Gambar 12. Skenario 1. Laju Penebangan 27%, Laju Pertumbuhan Semai

6,53%, Laju Kematian Semai 93,47%, Laju (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ... 82 Gambar 13. Skenario 2. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai

(16)

(Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ... 85 Gambar 14. Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai

4,53%, Laju Kematian Semai 95,47%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ... 88 Gambar 15. Skenario 4. Laju Penebangan 12%, Laju Pertumbuhan Semai

5,6%, Laju Kematian Semai 94,4%, Laju. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ... 91 Gambar 16. Skenario 5. Laju Penebangan 15%, Laju Pertumbuhan Semai 7%,

Laju Kematian Semai 93%, (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), (f) Laju Erosi ... 94 Gambar 17. Perbandingan Vegetasi (Semai, Pancang, Tiang dan Pohon)

Masing-Masing Skenario (Daur I dan Daur II) ... 96 Gambar 18. Perbandingan Laju Erosi Masing-Masing Skenario (1, 2, 3 4 dan

5) ... 96 Gambar 19. Perbandingan Jumlah Laju Kematian Owa Kalimantan (Hylobates

muelleri) Masing-Masing Skenario (1, 2, 3, 4 dan 5) ... 97 Gambar 20. Perbandingan Laju Pendapatan Masing-Masing Skenario (1, 2, 3,

4 dan 5) ... 99

(17)

1. Tata Waktu Penelitian, Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan: Studi Kasus IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah ... 110 2. Skenario Proyeksi Trend (Tahun 2006-2056) Jumlah Vegetasi di Plot Penelitian

Akibat Aktifitas Kegiatan Penebangan Pohon (a) Jumlah Pohon dengan Laju Penebangan 25,75%, (b) Jumlah Permudaan Tingkat Tiang Akibat Kegiatan Penebangan, (c) Jumlah Permudaan Tingkat Pancang Akibat Kegiatan Penebangan, (d) Jumlah Permudaan Tingkat Semai Akibat Kegiatan Penebangan, (e) Laju Kematian Primata Owa Kalimantan (Hylobates Muelleri) dan (d) Laju Erosi Akibat Kegiatan Penebangan ... 110 3. Skenario 1. Skenario 1. Laju Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai

5,53%, Laju Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Lajui Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia

Primata, (f) Laju Erosi ... 111 4. Skenario 2. Penebangan 27,57%, Laju Pertumbuhan Semai 7,53%, Laju

Kematian Semai 92,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 19,76%, Laju Kematian Pancang 80,24%, Laju Pertumbuhan Tiang 8,93%, Laju Kematian Tiang 63,31%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ... 112 5. Skenario 3. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju

Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Laju Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 5%, Laju Kematian Tiang 95%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ... 113 6. Skenario 4. Laju Penebangan 10%, Laju Pertumbuhan Semai 10%, Laju

Kematian Semai 90%, Laju Pertumbuhan Pancang 7%, Lajui Kematian Pancang 93%, Laju Pertumbuhan Tiang 10%, Laju Kematian Tiang 90%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematia Primata, (f) Laju Erosi ... 114 7. Skenario 5. Laju Penebangan 20%, Laju Pertumbuhan Semai 5,53%, Laju

Kematian Semai 94,47%, Laju Pertumbuhan Pancang 23%, Laju Kematian Pancang 77%, Laju Pertumbuhan Tiang 10,93%, Laju Kematian Tiang 89,17%. (a) Pohon, (b) Tiang, (c) Pancang, (d) Semai, (e) Laju Kematian Primata, (f) Laju Erosi ... 115 8. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis

dan Kelas Diameter Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 116

(18)

Pada Petak OO.55 Hutan Primer Tahunan RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan

Tengah ... 119

10. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2007 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 122

11. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 8 B, C, Y dan Z Hutan Bekas Tebangan (TPTJ) RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 125

12. Rekapitulasi Jumlah Batang (N) dan Volume Rata-rata Per Hektar Menurut Jenis dan Kelas Diameter Pada Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan (TPTI) Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 128

13. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Permudaan dan Tingkat Pohon Petak 9P dan 9T Bekas Tebangan Tahunan RKT 2006 IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah ... 131

14. Equations Existing Condition ... 133

15. Equations Skenario 1 ... 137

16. Equations Skenario 2 ... 141

17. Equations Skenario 3 ... 145

18. Equations Skenario 4 ... 149

(19)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan adalah karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang harus dikelola dengan penuh kearifan dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal guna menciptakan kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Keberadaan dan peran sumber daya hutan bagi kelangsungan hidup masyarakat dari berbagai tingkatan sangat vital dan strategis, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Kepentingan atas sumberdaya hutan yang bersifat multidimensi, lintas teritorial dan lintas generasi mengharuskan semua pihak (stakeholders) untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management).

Globalisasi dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumberdaya hutan telah memunculkan paradigma baru dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan terutama di negara-negara berkembang. Isu-isu lingkungan dan peran serta masyarakat sebagai bagian dari ekosistem hutan merupakan dua aspek penting. Ngadiono (2004), menyatakan bahwa sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah tantangan bagi praktisi kehutanan, dimana selama ini prosedur dan mekanisme pengelolaan hutan hanya berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang merupakan persyaratan dan harus dipenuhi. Kondisi ini sedikit banyak mempengaruhi kinerja Unit Manajemen dalam melaksanakan kegiatannya. Proses sosialisasi sertifikasi tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan, hal ini menurut Ngadiono (2004), disebabkan oleh berbagai hambatan baik teknis maupun non teknis. Hambatan non teknis diantaranya berupa tidak kondusifnya iklim berusaha yang disebabkan oleh kondisi framewok di Indonesia. Penyelesaian makro dan mikro politik secara menyeluruh oleh oleh komponen yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan.

Praktek pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yang hanya menekankan maksimalisasi produk kayu tanpa melihat fungsi hutan yang lain. Pemanfaatan hutan yang hanya berorientasi pada produksi tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya hutan, dan hanya menghasilkan keuntungan ekonomi sesaat serta terbatas pada sebagian kecil masyarakat, akan menimbulkan kerugian yang sangat besar (Suhariyanto, 2004). Akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak bijaksana ini

(20)

meningkatkan luas lahan kritis pada tahun 2003 mencapai 40 juta ha dengan produktifitas hutan kurang dari 0,5 m/ha/tahun (Anonimous, 2005).

Saat ini praktek pengelolaan hutan lestari telah menjadi tuntutan global, baik tingkat internasional, nasional maupun lokal. Pada level internasional terdapat kesepakatan di antara negara-negara anggota International Timber Trade Organization (ITTO) untuk hanya memperdagangkan produk hutan yang dihasilkan dari sistem pengelolaan hutan secara lestari (ITTO 2001). Secara nasional pengelolaan hutan lestari telah menjadi konsensus nasional sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tingkat lokal pengelolaan hutan produksi lestari juga merupakan kebutuhan bagi masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya sangat bergantung kepada sumberdaya hutan (Anonimous, 1999).

Menurut Suratmo (2001), deforestasi dan degradasi hutan hujan tropis di Indonesia dimulai tahun 1960 yaitu sejak diperkenalkannya Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) terhadap 64 juta ha hutan produksi dan konversi hutan tropika menjadi lahan non-hutan seluas 30 juta ha. Kebijakan pemerintah atau pengambil keputusan, rencana tataguna hutan, kesalahan menejemen perusahaan hutan produksi oleh perusahaan-perusahaan swasta dan penebangan liar telah memicu kerusakan hutan. Bagaimana cara memberhentikan deforestasi dan degradasi hutan, maka perlu dilakukan strategi khusus untuk memperbaiki kondisi hutan seyogyanya dilakukan pendekatan melelui revisi kebijakan pemerintah, penerapan pengelolaan hutan lestari dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat.

Purnomo (2004), menyatakan bahwa pengelolaan hutan bersama adalah salah satu alternatif untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan serta membangun kelembagaan yang lebih baik di tingkat lokal. Pengelolaan hutan bersama masyarakat adalah sebuah paradigma baru dalam pengelolaan hutan yang menempatkan para profesional kehutanan dan masyarakat lokal dalam suatu kemitraan. Beberapa terminologi yang punya makna serupa dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah joint forest management, shared forest management, co-management dan partisipatory forest management. Partisipasi bisa dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu seperti perbaikan struktur manejemen atau peningkatan kualitas barang dan jasa.

Keberadaan pengetahuan stakeholders lokal, sesuai dengan pengelolaan dan pembangunan sumberdaya. Sebaliknya pengetahuan ilmiah menghasilkan

(21)

strategi pengelolaan secara teknis yang tidak sesuai untuk diaplikasikan. Pengetahuan masyarakat lokal tidak sesuai dengan pengembangan (rural) pedesaan, konsekuensinya pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan modern sesuai untuk pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Hal ini membutuhkan pendekatan participatory dari pandangan banyak stakeholders (Ostrom et al., 1993).

Hasil penelitian Purnomo et al., (2005),terhadap masyarakat lokal sekitar hutan di Indonesia menunjukkan adanya perberdaan persepsi lokasi terhadap indikator pengelolaan lestari yaitu : (1) masyarakat lokal mempunyai persepsi yang berbeda dalam pengertian dimana mereka mempertimbangkan indikator penting dari pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); (2) terdapat persepsi yang berbeda antara pemerintah dan perusahaan kayu; (3) terdapat perbedaan persepsi antara personel urban dan personel lapangan pada organisasi yang sama. Persepsi stakeholder, indikator dikelompokkan ke dalam aspek sosial, ekologi, biofisikal, mata pencaharian (livelihood) dan kebijakan.

Masyarakat lokal menerima pengelolaan hutan secara praktis untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dari situasi yang ada, contohnya mereka tertarik dengan konsesi kayu yang secara langsung merupakan sumber finansial dan menyediakan sumberdaya manusia guna memacu perkembangan ekonomi lokal, LSM juga memfokuskan pembagian manfaat antara komunitas atau masyarakat dan konsesi sebagai kondisi pengelolaan hutan yang baik dan memusatkan perhatian tentang ketidakhadiran hukum yang sesuai di daerah tersebut. Masyarakat lokal juga menjelaskan pentingnya pengakuan banyaknya lahan-lahan sawah mereka dan lahan-lahan lainnya yang ada dalam areal konsesi.

Perbedaan ini terjadi disebabkan oleh cara pelestarian yang diterima/dilakukan. Tiga LSM dalam kajian pelestarian diterima lebih praktis oleh masyarakat lokal. Perbedaan ini juga terjadi karena adanya jarak pendidikan formal diantara stakeholders. Umumnya anggota LSM telah lulus sekolah tinggi atau universitas dan berkerjasama dengan peneliti-peneliti, aktivis universitas dan anggota LSM lainnya ditingkat provinsi, Nasional dan Internasional. Umumnya masyarakat lokal hanya lulus sekolah dasar. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi secara siginifika antara pemerintah dan perusahaan kayu mengenai seperangkat indikator pengelolaan hutan lestari (Purnomo et al., 2005).

(22)

Efektivitas kolaborasi perencanaan dan pembuat keputusan tergantung pada komunikasi yang baik dan pengertian diantara stakeholders. Pada kenyataannya stakeholders sering berbeda pandangan dan prespektif serta dalam menginterprestasikan suatu keadaan. Pluralitas perspektif ini, termasuk dengan posisi penguasa pada legitimasi, menghasilkan definisi masalah yang cukup luas, definisi masalah yang salah, kesalahpahaman dan polarisasi antar stakeholders untuk membantu pluralitas prespektif dari multistakeholders, sejumlah peralatan perencanaan telah diusulkan. Peralatan ini dapat dikategorikan kedalam dua kelas yaitu pendekatan system keras dan pendekatan system lunak (Purnomo et al., 2004).

Akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak bijaksana ini meningkatkan luas lahan kritis sampai tahun 2004 mencapai 47,4 juta ha dengan produktifitas hutan kurang dari 0,5 m/ha/tahun (Baplan, 2005). Fenomena ini akan terus meningkat dan menyebabkan perubahan ekosistem global yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Adanya Protocol Kyoto yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan, mengharuskan pengelolaan sumber daya termasuk hutan mengedepankan pada keseimbangan ekosistem.

Menurut Aber et al., (N.D), praktek pengelolaan hutan alam secara lestari harus didasarkan pada pengertian bagaimana kerja ekosistem hutan. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan kehutanan seharusnya menekankan pada :

a Pemeliharaan kualitas tanah dan persediaan nutrisi hutan.

b Perlindungan kualitas air dan hasil serta pencegahan banjir dan tanah longsor.

Pengelolaan hutan secara lestari melibatkan beberapa komponen, yaitu: (a) interaksi antara komponen ekosistem hutan; (b) thresholds/kadar nutrisi untuk pertumbuhan tanaman, seperti jumlah phosphat sedikit dalam tanah akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar setiap jenis tanaman atau antar tahap pertumbuhan; (c) non-linierity, suatu hubungan yang tidak selalu memberikan hasil yang membentuk persamaan garis lurus; (d) feedback, timbal balik; (e) kompleksitas yang tinggi dengan koneksi antar komponen sistem yang berbeda; (f) ekstrapolasi lebih tinggi daripada interpolasi (Vanclay, 2000). Jika keenam hal tersebut berjalan secara seimbang maka keseimbangan produk-produk hutan (tangible dan intangible) akan berjalan.

Banyak bentuk pengelolaan hutan alam dengan kriteria yang dikembangkan untuk mengelola hutan lestari yang ramah lingkungan.

(23)

Kriteria-kriteria yang diusulkan terdiri dari tiga komponen utama: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan; (3) peraturan dan hukum (Purnomo et al., 2004). Setiap kriteria-kriteria mengandung indikator-indikator yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan hutan alam, sehingga dapat menilai kesesuaian antara manajemen dengan pelaksanaan di lapangan. Indikator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu menjelaskan konteks/situasi yang melatarbelakanginya, mengklasifikasi tujuan pengelolaan, mengevaluasi compliace/komponen pegelolaan hutan dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan (Armitage, 1998). Indikator-indikator yang berkembang sebagai respon dari dampak praktek pengelolaan hutan alam perlu dianalisis untuk melihat sensivitasnya sebagai suatu alat melihat keberhasilan atau kegagalan praktek pengelolaan hutan. Analisis sensitivitas dirancang menjadi suatu bentuk model.

Pemodelan merupakan suatu ilmu yang memiliki expertiseandcomputer how-know agar dapat mengorganisasi data-data, mengembangkan struktur untuk menganalisis data tersebut dan mengembangkan model-model campuran yang telah diuji untuk dapat menyelesaikan analisis simulasi (Purnomo et al., 2004). Suatu bentuk pemodelan akan berkembang dalam aplikasinya sebagai alat pemecah masalah salah satunya adalah penggunaan model yang digunakan untuk menguji sensitivitas indikator pengelolaan hutan alam. Model sensivitas ini merupakan suatu perancangan yang dapat menjadi alat analisis indikator dan memprediksi dampak dari penerapan manajemen hutan, dan mengembangkan strategi manajemen dan adaptasi di sektor kehutanan (Vanclay, 2000). Banyaknya model-model yang digunakan untuk analisis sesentivitas akan lebih baik jika model-model tersebut dikolaborasi menjadi suatu model kolaborasi yang bisa mengkover semua perbedaan dan menampung semua respon dari berbagai indikator. Hal ini dibuktikan oleh Purnomo et al., (2004), bahwa sistem model kolaborasi dapat mengakomodasi pandangan-pandanngan stakeholder yang beragam. Bentuk kolaborasi lebih efektif untuk menguji sensifitas indikator pengelolaan hutan daripada yang bukan kolaborasi. Salah satu sistem model kolaborasi adalah Multi-Agen Simulasi (MAS). Model ini digunakan untuk mengembangkan skenario pengelolaan hutan secara lestari yang melibatkan multi-stakeholder. Kolaborasi antara consessioneiresdancommunity merupakan suatu pendekatan yang lebih menjanjikan untuk pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar tanpa menurunkan kualitas hutan (Purnomo dan Vanclay, 2003). Model kolaborasi lain untuk menganalisis

(24)

indikator pengelolaan hutan yang efesien adalah DLMP (Venier et al., 2003). Model ini berguna untuk menguji dan merengking kelestarian pilihan menejemen, mengkuantifikasi pengaruh negatif pada ekosistem. Model DLMP seharusnya ditekankan pada dasar peralatan pengelolaan yang adaptif sehingga akan melengkapi kajian monitoring melalui pemberian konteks yang menginterpretasikan fluktuasi populasi, indentifikasi indikator yang sensitiv dan ukuran pengaruh biologi.

Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan ramah lingkungan di lapangan atau di tingkat unit atau Forest Management Unit (FMU) melelui pendekatan uji sentivitas indikator di dunia kehutanan Indonesia belum dianggat sebagai bagian dari pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Menurut Siswosudarmo et al., (2001), menyatakan bahwa sensitivitas model adalah respon model terhadap stimulus. Respon ditunjukan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Perlakuan tersebut disebut uji sensitivitas. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas ini, dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja, yang digunakan untuk menganalisa efek intervensi terhadap model (Siswosudarmo et al., 2001).

Vanclay (2000), menjelaskan bahwa model sensivitas ini merupakan suatu perancangan yang dapat menjadi alat analisis indikator dan memprediksi dampak dari penerapan manajemen hutan, dan mengembangkan strategi manajemen dan adaptasi di sektor kehutanan. Pentingnya analisis indikator-indikator ini, maka diperlukan suatu pemodelan yang dirancang untuk melihat sensitifitas indikator sehingga mampu menjadi model sensitifitas umum yang dapat diaplikasikan di hutan alam produksi pada kurun waktu tertentu. Adanya perubahan lingkungan akibat pengaruh tekanan aktifitas manusia (stakeholder dan komuniti lokal) dan pengaruh alam lainnya, indikator-indikator yang telah ditentukan puntuk suatu pengelolaan hutan alam produksi akan mengalami, perubahan, pengurangan maupun penambahan. Oleh karena itu perlu kiranya mencari model-model sensivitas yang up to date dengan perubahan indikator yang ada.

1.2. Kerangka Pemikiran

(25)

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Pembangunan Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah.

1.3. Perumusan Masalah

Upaya perbaikan menuju tercapainya sistem pengelolaan hutan produksi lestari merupakan proses yang terus menerus dan berkelanjutan baik pada tataran kebijakan, pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan SDM, maupun penerapan di tingkat unit pengelolaan hutan di lapangan atau unit pengelolaan. Sebagai suatu proses yang berkelanjutan, maka diperlukan monitoring dan evaluasi secara berkala, khususnya pada tingkat implementasi di lapangan. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengelolaan pelaksanaan pengelolaan hutan alam produksi lestari serta persoalan-persoalan yang dihadapi

Penggunaan Model Identifikasi Indikator / masalah, tujuan dan batasan Konseptualisasi Model Spesifikasi model Evaluasi Model Skenario-skenario untuk alternative pengelolaan hutan Hutan Alam (IUPHHK/HPH)

PT Sari Bumi Kusuma

Indikator pengelolaan Hutan Alam oleh FSC

Intervensi Parameter Input

Intervensi Struktur Model

Model Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Ramah Lingkungan

(26)

oleh unit pengelolaan hutan di lapangan sebagai umpan balik bagi perbaikan kebijakan, pengembangan iptek, maupun pengembangan SDM (Soekotjo, 2000).

Sebagai salah satu sumberdaya alam dan sistem penentu penyangga kehidupan di bumi, hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, yang mempunyai peranan strategis baik sebagai pelindung ekosistem dan plasma nutfah maupun dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya serta merupakan penghasil devisa bagi negara. Oleh karena itu kegiatan pengusahaan hutan yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam upaya pembangunan bangsa Indonesia. Kontribusi ini berkaitan secara langsung terhadap penerimaan devisa negara (foreign exachange) dan secara tidak langsung melalui pengaruh penciptaan kaitan (linkage) kegiatan pengusahaan terhadap industri serta perdagangan dalam negeri.

Sumberdaya hutan memegang peranan yang besar bagi pendapatan negara. Manfaat lainnya memberikan fungsi pengaturan tata air, penghasli oksigen, lokasi rekreasi dan wadah pengembangan ilmu pengetahuan. Pemanfaatan sumber daya hutan terus meningkat sehingga diperlukan pengelolaan yang bijaksana agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hutan dan daerah sekitarnya.

Mendoza et al., (1999), mengemukakan bahwa hutan diseluruh dunia telah sangat banyak berkurang sehingga mencapai tingkat yang mengkwatirkan. Sebagai reaksi atas tekanan yang hebat terhadap sumberdaya hutan, banyak sekali usaha dilakukan untuk mencari cara menentukan dan menilai kelestarian hutan yang dapat digunakan diseluruh dunia. Suatu konsep yang telah dikembangkan untuk memantau pengelola hutan yang masih tersisa adalah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). PHL adalah satu rangkaian sasaran kegiatan dan hasil-hasil usaha yang konsisten dengan usaha mempertahankan atau meningkatkan integritas ekologi hutan dan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan manusia baik untuk sekarang maupun untuk masa depan.

Agar dapat melaksanakan pengelolaan hutan lestari dengan baik maka diperlukan suatu pengembangan pengukur yang bersifat spesifik untuk lokasi tertentu dan dapat diuji di lapangan sehingga mencerminkan kondisi hutan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi indikator pengelolaan hutan yang ramah lingkungan (aspek ekologi, aspek sosial dan aaspek produksi/ekonomi berjalan secara seimbang) belum didasarkan atas pertimbangan multisektoral dan

(27)

multidimensi. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka diperlukan pertanyaan penelitian yaitu :

1. Seberapa sensitif intervensi yang dilakukan IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma terhadap indikator-indikator pengelolaan hutan alam lestari ? 2. Seberapa jauh implementasi indikator-indikator pengelolaan hutan alam

produksi (FSC) yang sensitif terhadap intervensi ? 1.4. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah model sensitivitas indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi ditingkat konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi indikator Forest Stewardship Council (FSC) pengelolaan hutan alam produksi pada hutan alam IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma.

2. Membangun model sensitivitas indikator FSC pengelolaan hutan alam produksi ramah lingkungan.

1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK khususnya indikator-indikator yang penting dalam pengelolaan hutan ramah lingkungan.

b. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan.

2. Stakeholder

Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder dengan memperhatikan indikator-indikator yang saling berinteraksi, seberapa besar pengaruh keterkaitannya dibidang pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan.

3. Pemerintah

a. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai indikator-indikator yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditngkat

(28)

pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada HPH/IUPHHK.

b. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Departemen Kehutanan dalam pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan.

(29)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan dan Konsep Pengelolaan Hutan Lestari

Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, hutan sebagai modal pembangunan yang mempunyai manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indinesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya mupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Sumberdaya hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang 41 tahun 1999 adalah sebagai penyediaan bahan baku industri dan sumber pendapatan karena itu harus dimanfaatkan dengan teteap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya. Untuk itu hutan harus dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang (Anonimous, 1999).

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alamhayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya untuk menegaskan kedudukan hutan sebagai suatu kawasan yang dikuasai oleh negara. Definisi ini memberikan penekanan kepada fungsi ekologis hutan sebagai kesatuan ekosistem dan wujud biofisik hutan berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didimonasi pepohonan dalam persekutuan lingkunagnnya. Dalam definisi ini, walaupun merupakan bagian dari undang-undang, akan tetapi sama sekali tidak mengandung pernyataan yang merangkan status hukum hutan atau lahannya. Definisi ini sepenuhnya berdasarkan perspektif ekologi.

Suhendang (2002), menyatakan bahwa hutan dapat ditinjau dari faktor-faktor : wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan satus hukum lahan hutan. Definisi hutan berdasarkan penekanan pada konsep ekologi, hutan adalah jenis tumbuhan yang dominan (pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lain), sifat pertumbuhan pohon (bersama-sama dan cukup rapat) dan berfungsi sebagai komunitas tumbuhan. Ukuran kerapatan pohon minimal dari sisi fungsi ekologis hutan adalah kemampuannya untuk menciptakan iklim mikro di dalam hutan yang berbeda dengan keadaan disekitar luarnya

(30)

Helms (1998), menyatakan bahwa hutan adalah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beranekaragam sifat, seperti : komposisi, jenis, struktur, kelas umur, dan proses-preses yang berhubungan; pada umumnya mencakup : padang rumput, sungai, ikan, dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota. Definisi diatas lebih menekankan kepada fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem dengan ciri-ciri yang khusus, yaitu penutupan yang rapat dan cukup luas dan terdiri dari beberapa tegakan yang memiliki ciri-ciri yang beragam dalam hal komposisi, jensi, struktur, kelas umur dan proses lain yang berhubungan. Adapun yang dimaksud dengan tegakan (stand) adalah sebidang lahan yang homogen dan secara geografis terpusat sertamemiliki kombinasi sifat-sifat fisik lahan, tumbuhan, dan fasilitas minimal yang ditetapkan dalam pengelolaan hutan.

Departemen Kehutanan (1989), memberikan definisi hutan sebagai sebuah ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat maupun yang kurang lebat. Dari definis tersebut diatas lebih menekankan fungsi hutan sebagai sebuah ekosistem yang memiliki ciri penutupan pohon yang cukup luas dengan kerapatan pohon lebat (tinggi) atau kurang lebat. Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang langsung sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga, dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langusung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kehidupan manusia maupun manfaat yang tidak langsung yang berupa perlindungan lingkungan, pengelolaan tata air, memberikan keindahan dan kenyamanan dan lain-lain (Djajapertjunda, 2002).

Cara lain dalam pengelompokan manfaat hutan yang pada akhir-akhir ini sering dipergunakan adalah pengelompokan manfaat hutan yang dihubungakan dengan kelompok hutan yang dipergunakan dalam konsep pengelolaan hutan lestari (SFM), yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi ekologi, dan fungsi sosial budaya. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi produksi atau biasa juga dinamakan fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan tindakan ekonomi. Termasuk kedalam kelompok ini misalnya hasil hutan untuk bahan baku

(31)

industri yang memiliki nilai komersial, yaitu kayu untuk bahan baku industri, hasil hutan bukan kayu untuk bahan baku industri, kayu bakar untuk dijual secara komersial, dan jasa hutan untuk menghasilkan air segar untuk dijual secara komersial. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi ekologis adalah meningkatkan kualitas lingkungan, misalnya fungsi hutan untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Manfaat hutan dalam kelompok fungsi sosial-budaya adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama bagi masyarakat sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah penyediaan lapangan kerja, penyedia lahan untuk bercocok tanam, penyedia kayu bakar serta berbagai fungsi yang diperluka dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan (Awang, 1999).

Menurut Sukotjo (2004), pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an Lembaga Penelitian Hutan Bogor telah melakukan kajian memilih dan menerapkan regime silvikultur yang sesuai untuk dipakai di HPH/IUPHHK yang melakukan pembalakan di hutan Indonesia. Dari kajian tersebut terbit Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor : 35/Kpts/DP/I/1972. dari SK tersebut dipilih tiga regime silvikultur yang dirancang untuk mengolah hutan Indonesia. Ketiga regime silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Dari ketiga regime yang disrankan tersebut hanya TPI yang lebih banyak dipergunakan. Berdasarkan SK Direktur Jenderal No. 35 tersebut aturan yang harus diikuti pada TPI mencakup (a) Pertimbangan, (b) Dasar-dasar, (c) Pelaksanaan, dan (d) sangsi-sangsi. Pertimbangan TPI yang sangat strategis ini dalam praktek kurang dipertimbangkan, sehingga sangat mengecewakan. Dalam pertimbangan untuk melaksanakan TPI, ada 4 hal pokok yang harus diikuti, yaitu , (1) Asas kelestarian, (2) Teknik Silvikultur, (3) Kelangsungan Pengusahaan hutan, dan (4) Pengawasan yang efisien dan efektif. Soekotjo (2004), menambahkan sampai saat ini penerapan regime silvikultur di Indonesia adalah :

- Monocyclic, regime yang dipilih hanya tebang habis. Regime tebang habis ini untuk menampung jenis-jenis, ddimana semainya sejak semula untuk pertumbuhan yang optimal sangat membutuhkan cahaya penuh, seperti jati dan mahoni.

(32)

- Polycyclic, regime yang dipilih adalah Tebang Pilih Indonesia, yang dalam praktek dikenal dengan dua versi yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sistem silvikultur Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/KPTS/IV-BPHH/1997 tanggal 2 Oktober 1997 tentang penerapan sisten Tebang Pilih dan Tanam Jalur yang diterapkan pada areal bekas tebangan (log over area) dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia pada hutan primer (virgin forest) untuk pohon yang diameter 60 cm ke atas dan 40 cm keatas pada areal bekas tebangan.

Sistem silvikutur di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma terjadi perubahan sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.221/VI-BPHA/2005 tanggal 18 Agustus 2005, bahwa PT. Sari Bumi Kusuma ditunjuk/ditetapkan sebagai salah satu pemegang IUPHHK dengan Model Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTI-Intensif), dengan diberlakukannya keputusan tersebut, PT. Sari Bumi Kusuma melaksanakan sisten TPTI-Intensif sejak tahun 2006.

Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI-Intensif secara teknis tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ). Perbedaan mendasar terletak pada areal efektif yang dikelola, jarak tanam dan jarak antar jalur tanaman. Sistem silvikultur TPTJ diharuskan pada areal bekas tebangan (Log Over area) dengan jarak tanam 5 meter dan jarak antar jalur tanaman 25 meter, sedangkan pada sistem silvikultur TPTI-Intensif diterapkan pada seluruh areal efektif yang dapat diusahakan dengan jarak tanam 2,5 meter dan jarak antar jalur tanaman 20 meter.

Davis dan Johnson (1978), lebih menekankan hutan untuk pengelolaan dengan tujuan menghasilkan kayu, yaitu hutan adalah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang ditumbuhi (memiliki) atau akan ditumbuhi pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan berupa kayu atau hasil-hasil lain yang berbuhungan dengan hutan. Hal tersebut diatas diartikan sebagai kumpulan dari bidang-bidang lahan yang pada saat tertentu ditumbuhi pohon-pohon atau tidak dan secara keseluruhan dikelola dalam satu kesatuan pengelolaan. Bidang-bidang lahan yang dimaksud adalah tegakan yang dalam pengelolaan hutan lebih khusus lagi disebut petak (compartement). Pada

(33)

waktu tertentu petak-petak yang terdapat dalam satu kesatuan pengelolaan hutan tanaman, yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang habis, akan memiliki keadaan beragam dari mulai tanah kososng atau terbuka karena ditebang kemudian ditanami, tumbuhan yang masih remaja, tumbuhan pohon yang sudah dewasa sampai pohon-pohon tua yang sudah siap untuk ditebang dan dinamakan tegakan siap tebang.

Definisi hutan yang dikemukakan oleh Bruenig (1996), hutan adalah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon yang dapat membentuk keadaan iklim tegakan (iklim makro di dalam hutan), termasuk bagian bidang lahan bekas tebangan melalui tebang habis, di dalam wilayah hutan tetap pada tanah negara atau hutan milik, yang setelah pemanenan (penebangan) terhadap tegakan hutan yang terdahulu, dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan alam atau penghutanan kembali (permudaan buatan).

2.2. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Lestari

Upaya perbaikan menuju tercapainya sistem pengelolaan hutan produksi lestari merupakan proses yang terus menerus dan berkelanjutan baik pada tataran kebijakan, pengembangan ilmu dan teknologi, pengembangan SDM, maupun penerapan di tingkat unit pengelolaan hutan di lapangan. Sebagai suatu proses yang berkelanjutan, maka diperlukan monitoring dan evaluasi secara berkala, khususnya pada tingkat implementasi di lapangan. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana perkembangan kinerja pelaksanaan pengelolaan hutan alam produksi lestari serta persoalan-persoalan yang dihadapi oleh unit pengelolaan hutan di lapangan sebagai umpan balik bagi perbaikan kebijakan, pengembangan iptek, maupun pengembangan SDM.

Mendoza et al., (1999) dalam bukunya “Panduan Untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan Indikakator” menekankan yang harus dipahami oleh stakeholders adalah memahami prinsip, kriteria dan indikator. Prinsip merupakan suatu kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar suatu pertimbangan atau tindakan. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan lestari diperlukan sebagai kerangka primer untuk mengelola hutan secara lestari. Prinsip-prinsip tersebut memberikan landasan pemikiran bagi kriteria, indikator dan pengukur. Dicontohkan, agar pengelolaan hutan lestari dapat berlangsung, maka “integritas ekosistem harus dipelihara atau ditingkatkan atau agar

(34)

pengelolaan hutan dapat berlangsung, maka kesejahteraan manusia harus terpenuhi.

Kriteria merupakan suatu prinsip atau patokan untuk menilai suatu hal. Oleh karenanya suatu kriteria dapat dilihat sebagai prinsip yang menambah arti dan cara kerja dalam suatu prinsip tanpa membuatnya sebagai suatu pengukur secara langsung. Sedangkan indikator adalah suatu variabel atau komponen ekosistem atau sistem pengelolaan hutan apa saja yang digunakan untuk memperkirakan status kriteria tertentu (Mendoza et al., 1999).

Untuk mendukung upaya perbaikan sistem pengelolaan hutan lestari, Departemen Kehutanan antara lain menetapkan “Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan Hutan” (Keputusan Menhut No. 4795/Kpts-II/2002). Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam lestari (PHAPL) pada unit pengelolaan dalam Keputusan Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 ini mengacu pada kriteria ITTO (1998) dengan sejumlah penyederhanaan dan penyesuaian. Kriteria dan indikator PHAPL tersebut meliputi 4 kriteria, yakni kriteria prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial yang seluruhnya terdiri 24 indikator.

Banyak bentuk pengelolaan hutan alam dengan kriteria yang dikembangkan untuk mengelola hutan secara lestari. Kriteria-kriteria yang diusulkan terdiri dari 3 komponen utama: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan; (3) peraturan dan hukum (Purnomo et al., 2004). Setiap kriteria-kriteria mengandung indikator-indikator yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan hutan alam, sehingga dapat menilai kesesuaian antara manajemen dengan pelaksanaan di lapangan. Indicator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu menjelaskan konteks/situasi yang melatarbelakanginya, mengklasifikasi tujuan pengelolaan, mengevaluasi compliace/komponen pengelolaan hutan dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan. Indikator-indikator yang berkembang sebagai respon dari dampak praktek pengelolaan hutan alam perlu dianalisis untuk melihat sensifitasnya sebagai suatu alat melihat keberhasilan atau kegagalan praktek pengelolaan hutan. Analisis sensitivitas dirancang menjadi suatu bentuk model (Armitage, 1998).

Mendoza dan Prabhu (2001), menjelaskan dari pengalaman menunjukkan kesuksesan pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi

(35)

efektif dengan mengkolaborasikan memuat keputusan yang tergantung pada pengertian dan komunikasi.

Efektivitas kolaborasi perencanaan dan pembuat keputusan tergantung pada komunikasi yang baik dan pengertian diantara stakeholders. Pada kenyataannya stakeholders sering berbeda pandangan/prespektif serta dalam menginterprestasikan suatu keadaan. Pluralitas perspektif ini, termasuk dengan posisi penguasa pada legitimasi, menghasilkan definisi masalah yang cukup luas, definisi masalah yang salah, kesalah pahaman dan polarisasi antar stakeholders untuk membantu pluralitas prespektif dari multi-stakeholders, sejumlah peralatan perencanaan telah diusulkan. Peralatan ini dapat dikategorikan kedalam 2 kelas yaitu pendekatan system keras dan pendekatan sistem lunak (Purnomo et al., 2004).

Identifikasi dan ketegorisasi komponen pengelolaan hutan. Proses partisipatori dimulai dengan eksplorasi visi, perspektif, tujuan dan perhatian stakeholders. Selanjutnya Purnomo et al., (2004) membagi komponen pengelolaan hutan menjadi 3 fase yaitu :

1. Fase sosial dan ekonomi

2. Fase kegunaan lingkungan hutan 3. Fase aturan dan hukum

Interaksi dan hubungan inter-komponen (fase 2). Pengelolaan hutan dibagi dalam 3 kategori: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan dan lingkungan; (3) aturan dan hukum. Pada tahap ini, stackeholder diberi pertanyaan untuk menentukan subkomponen yang dikategorikan pada fase 1. stockeholders dan partisipan modeling juga ditanyai untuk mereview subelement fase 1. ketika indikator-indikator non spesik dispesifikasikan, hal itu menjadi perlu untuk mengidentifikasi indikator pusat yang dapat digunakan sebagai fokus strategis dalam perkembangan skenario alternatif untuk diidentifikasi pada fase 3. Selama proses pemodelan, fasilitator mengasumsikan peran pasif melalui penyediaan lingkungan informal dan comfortable bagi stackeholder untuk berinteraksi, tukar pikiran tentang opini, dan mengekspresikan persepsi pada pengelolaan komunitas hutan. Analisis indikator performan : Indikator kunci untuk ketiga komponen adalah kepastian hukum, jumlah tegakan dan tutupan lahan dan penghasilan dan kewajiban/pajak masyarakat. Dua indikator lainnya adalah

(36)

tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dan forest concessionaire revenue (Purnomo et al., 2004).

Purnomo et al., (2003), dalam “Collaborative modelling to suport forest management” menjelaskan ada 3 fase dalam proses pemodelan kolaboratif yaitu : Fase I: Identifikasi komponen manejemen hutan. Fase ini membagi komponen pengelolaan hutan ke dalam 3 kategori umum: (1) sosial dan ekonomi; (2) kegunaan hutan dan lingkungan; (3) aturan dan hukum. Fase I ini (proses pemodelan kolaborasi, digunakan untuk memahami perspektif stakeholder dari pengelolaan hutan. Fase II: Hubungan intern antara komponen. Pembagian lategori serupa dengan fase I. Partisipan menerima kepastian hukum, yang merupakan kunci indikator hubungan yang melibatkan hukum dan aturan hutan. Kepastian hukum (certainly law) merupakan level transparansi, persistensi, dan enforcement hukum yang diterima oleh semua stakeholder. Hokum yang jelas juga mempengaruhi kualitas aturan kegunaan hutan, pendapatan masyarakat, dan investasi pajak hutan di sektor lain. Fase ini untuk mendirikan hubungan antara komponen kunci menggunakan diagram causal loop. Hal ini menawarkan cara terbaik untuk mengintegrasikan perspektif stakeholder yang berbeda, dan menawarkan suatu basis untuk menyetujui indikator performance pengelolaan hutan.

Proses pemodelan kolaborasi adalah cara positif bagi stakeholder untuk mengeksprsikan pandangan dan ketertarikan mereka dalam mengelola hutan. Proses ini membantu partisipan mempercayai bahwa penerimaan tujuan respektif membutuhkan kolaborasi, termasuk pembagian biaya (costs) dan manfaat pengelolaan hutan. Proses ini merupakan cara terbaik untuk mengharmoniskan ketertarikan stakeholder. Pendekatan pemodelan kolaboratif ini dapat melengkapi suatu metode untuk perbedaan persepsi stakeholder, menekan sebab akibat (kausalitas), dan untuk mengusulkan skenario pengelolaan hutan (Purnomo et al., 2003).

Fase III: Indikator Performan Model. Indikator pada fase ini terdiri dari: (1) kepastian hukum; (2) tegakan dan penutup lahan hutan; (3) pendapatan masyarakat; (4) pajak. Indikator ini digunakan untuk memprediksikan trend masa depan. Hasil proses pemodelan: (1) konsultasi publik; (2) kolaborasi pengelolaan hutan; (3) Public Hearing.

(37)

Ada 6 indikator penting berdasarkan prioritas: (1) pendapatan masyarakat; (2) Forest standing stock and cover; (3) hukum yang jelas; (4) kesadaran dan partisipasi masyarakat; (5) pajak; (6) forest concessionare revenue (Mendoza dan Prabhu, 2000).

Indikator pengelolaan hutan digunakan untuk membantu menjelaskan konteks/situasi yang melatarbelakanginya, mengklasifikasi tujuan pengelolaan, mengevaluasi compliace dengan aturan dan kebijakan serta mengimplementasi suatu perencanaan. Indicator juga digunakan untuk mengakses akibat dan efektifitas hasil pengelolaan dan meningkatkan pengertian bagaimana hutan dan fungsi sosial hutan (Anonimous, 2004). Beberapa kriteria dan indikator yang diusulkan oleh Armitage (1998), seperti tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria dan Indikator oleh Armitage (1998)

1. PERLUASAN SUMBER DAYA HUTAN & SIKLUS KARBON LOKAL

ITTO3 TARA CIFOR ATO CCAD INDICATORS

* Area Penutupan hutan y + + y + * Wood Growing Stock (tegakan) t + + + + * tahap suksesi + + + + t * Struktur Umur t + t + t * Rata-rata Konversi hutan untuk penggunaan

lain

+ + t T y 2. INDIKATOR YANG DIPENGARUHI KESEHATAN EKOSISTEM HUTAN &

VITALITAS EKSTERNAL

* Pengendapan oleh polutan udara t t Y t t * Kerusakan karena erosi oleh angin t t + + t INDIKATOR VITALITAS HUTAN

* Insiden gugur daun karena hama penyakit + + t t t * Kesehatan reproduksi t t t + t INDIKATOR YANG DIPENGARUHI HUTAN

* Kerusakan karena hama penyakit + y t T + * Kerusakan karena kebakaran dan badai + + T + + * Kerusakan karena binatang liar + + T t T INDIKATOR YANG DIPENGARUHI OLEH ANTHROPOGENIC

* Kompetisi akibat introduksi tanaman + t t t t * Keseimbangan nutrisi dan keasaman + t t t t * Tren menenam tanaman yang ekonomis t + t + t 3. KEANEKARAGAMAN BIOLOGI DALAM EKOSISTEM HUTAN

(38)

ITTO TARA CIFOR ATO CCAD INDIKATOR EKOSISTEM

* Distribusi ekosistem hutan t t t + t * Perluasan lahan yang dilindungi y y y y y * Fragmentasi hutan + t + + + * Pembersihan lahan tahunan dari jenis

endemik + + + + +

* Luas dan persentase kawasan hutan dengan perubahan ekologi fundamental

y y + y y

* Pengendalian kebakaran hutan &

ukuran pencegahan t t t t y

INDIKATOR SPESIES

* Jumlah spesies endemik t t t + + * Number sepesies endemic yang

terancam t + + y y

* Reliance of regenerasi secara alam + y + y y * Penggunaan system eksploitasi

sumber daya + + + + +

* Ukuran konservasi in situ bagi spesies

terancam t + + + +

INDIKATOR GENETIK

* Jumlah spesies endemic dengan

kisaran berkurang + t t + +

4. FUNGSI-FUNGSI PRODUKTIF HUTAN INDICATOR

* Persentase lahan berhutan yang dikelola menutut pengelolaan tanaman

y y y y y

* Tegakan y + + y y

* Produksi kayu y y y y y

* Produksi hasil hutan non kayu y + t y y * Keseimbangan tahunan antara

pertumbuhan pohon dan pemanenan kayu

y y y y y

* Tingkat diversifikasi produksi hutan

lestari + y + y y

* Tingkat penggunaaan tehnologi yang

ramah lingkungan + y y y y

5. FUNGSI PERLINDUNGAN HUTAN

ITTO TARA CIFOR ATO CCAD INDIKATOR

(39)

* Kondisi Air yes yes + yes + * Menejemen perlindungan tanah yes yes + yes yes * menejemen saluran air yes yes + yes yes * Lahan yang dikelola untuk tujuan

Scenic & Amenity + no no + yes * Areas and Percentage of Forest Lands

Managed for Environmental Protection

+ + + + +

* Infrastructure Density by FMU

Category no no yes no yes

6. SOCIO-ECONOMIC FUNCTIONS AND CONDITIONS

ITTO TARA CIFOR ATO CCAD INDIKATOR UNTUK MANFAAT EKONOMI

* Nilai produk kayu + + + + + * Nilai produk non kayu + + t + + * Nilai industri primer dan sekunder + t t t t * Nilai energi biomasa + t + t t * Probabilitas ekonomi SFM y y + + y * Efesiensi dan persaingan produksi

produk hutan, prosesing dan difersifikasi

+ + t t y

* Tingkat keterlibatan swasta dan non

swasta dalam SFM + + + + y

* Informasi komunitas lokal dan

mekanisme referensi dalam SFM t t + t y INDICATORS UNTUK DISTRIBUSI MANFAAT

* Pengembangan/kondisi tenaga kerja y y y y y * Komunitas yang tergantung hutan y y Y y y * Pengaruh/tekanan penggunaan

ekonomi hutan terhadap kemampuan hutan memberikan manfaat untuk masyarakat lokal

y y Y y y

* Kualitas hidup populasi lokal yes yes + yes yes * Rata-rata pendapatan per kapi ta

dalam sector kehutanan + + + + + * Jender yang difokuskan pada

partisipasi dalam SFM + + + + yes 7. POLITICAL, LEGAL AND INSTITUTIONAL FRAMEWORK

INDICATORS

* Framework legal that ensures participation by local governments and private landowners

+ yes + + yes * Standar tehnis & regulator dari

Gambar

Gambar 1.  Skema Kerangka Berpikir Pembangunan Model Sensitivitas Indikator  Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari di IUPHHK PT
Tabel 1. Kriteria dan Indikator oleh Armitage (1998)
Gambar 2.  Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al., 1997) Banyak Data Sedikit Banyak data Pemahaman rendah (Statistik) Banyak data Pemahaman tinggi (Fisika) Sedikit data Pemahaman rendah Sedikit data Pemahaman tinggi (Statistik)
Gambar 3.   Tahap-Tahap Simulasi Model (Siswosudarmo et al., 2001) Gejala Proses
+7

Referensi

Dokumen terkait

JudulTesis KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI ; PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA PT INHUTANII- V.. Nama EVA RINDRIANI

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pemodelan sistem untuk simulasi pengelolaan hutan di PT Suka Jaya Makmur dengan menggunakan beberapa skenario pengelolaan

Berdasarkan hasil analisis tingkat risiko MSDs dengan menggunakan metode REBA, unsur kerja yang memiliki tingkat risiko MSDs tinggi pada penebangan, yaitu

Hutan Jati" yang disampaikan dalam Seminar Pengelolaan Hutan Lestari, sebuah seminar hasil kerjasama Badan EksekutifMahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dan

Ketua Program Studi Pengelolaan Sekolah Pascasarjana Somber Daya Alam dan Lingkungan. A >;; 'a "P

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pemodelan sistem untuk simulasi pengelolaan hutan di PT Suka Jaya Makmur dengan menggunakan beberapa skenario pengelolaan

Pada mata kuliah ini akan dijelaskan konsep (data tematik dan metode analisis) terkait sistem sumberdaya alam lingkungan di darat dan perairan laut dalam konteks

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi