• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUTANG JANGKA PANJANG

Beban bunga

Hutang jangka panjang Rp 253.252.904.241 Rp 134.499.995.768 Hutang usance letters of credit 143.985.077.945 87.316.716.328 Pinjaman jangka pendek 110.751.700.067 49.715.318.593 Gaji, upah dan kesejahteraan karyawan 10.126.670.467 8.139.819.767 Beban ekspor dan penanganan barang 8.582.357.988 15.787.251.497

Jasa komitmen 3.216.597.008 2.990.841.182

Penyelesaian Pabrik PA III 2.770.674.318 1.142.050.440 Jasa tenaga ahli 1.259.679.125 1.661.088.640 Telepon, listrik dan air 625.574.025 723.425.995

Pengangkutan 577.397.600 1.630.840.744

Impor 201.237.190 197.537.674

Lain-lain (masing-masing di bawah

Rp 200.000.000) 1.240.982.970 504.544.195 Jumlah Rp 536.590.852.944 Rp 304.309.430.823

16. HUTANG JANGKA PANJANG

Rincian akun ini adalah sebagai berikut:

2001 2000

Pinjaman bank

Pinjaman dari fasilitas kredit investasi dan bunga selama penyelesaian

pembangunan (IDC) (AS$ 61.905.650) Rp 643.818.760.000 Rp 593.984.711.750 Pinjaman sindikasi (AS$ 37.625.000) 391.300.000.000 361.011.875.000 Sub-jumlah 1.035.118.760.000 954.996.586.750 Hutang sewa guna usaha

(AS$ 13.972.500 dan Rp 666.437.612 pada tahun 2001 dan AS$ 13.972.500

dan Rp 655.672.288 pada tahun 2000) 145.980.437.612 134.721.809.788 Kontraktor dan pemasok (lihat Catatan 24k)

(AS$ 133.000, DM 4.438.016 dan

€ 580.742 pada tahun 2001) 27.569.203.616

Jumlah 1.208.668.401.228 1.089.718.396.538

Dikurangi bagian yang jatuh tempo dalam

satu tahun:

Pinjaman bank 1.035.118.760.000 954.996.586.750 Hutang sewa guna usaha 145.863.022.999 134.452.532.453

Kontraktor dan pemasok 11.337.420.726

(Berlanjut)

2001 2000

Jumlah bagian yang jatuh tempo dalam

satu tahun Rp 1.192.319.203.725 Rp 1.089.449.119.203 Hutang jangka panjang - setelah dikurangi

bagian yang jatuh tempo dalam satu tahun:

Hutang sewa guna usaha 117.414.613 269.277.335

Kontraktor dan pemasok 16.231.782.890

Jumlah hutang jangka panjang Rp 16.349.197.503 Rp 269.277.335

a. Pinjaman Sindikasi (EBCI)

Pada tanggal 29 Juli 1996, EBCI memperoleh fasilitas pinjaman sebesar AS$ 43 juta (“Fasilitas”) dari suatu sindikasi bank yang dipimpin oleh HSBC Investment Bank Asia Limited, cabang Singapura sebagai agen. Fasilitas ini dibagi menjadi fasilitas berjangka sebesar AS$ 21,5 juta dan fasilitas revolving sebesar AS$ 21,5 juta. Dana dari fasilitas berjangka digunakan untuk membiayai kembali pinjaman dan melunasi sebagian pinjaman EBCI yang telah ada, sedangkan dana dari fasilitas revolving akan digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja EBCI secara umum. Pelunasan fasilitas berjangka ini akan jatuh tempo dalam waktu enam puluh (60) bulan sejak tanggal pencairan dana. Pada tanggal 8 April 1999, EBCI dan suatu sindikasi bank yang dipimpin oleh HSBC Investment Bank plc, cabang Singapura, sebagai agen pengganti HSBC Investment Bank Asia Limited, cabang Singapura, setuju untuk merestrukturisasi persyaratan perjanjian fasilitas awal (“original facility agreement”) dengan perjanjian pengganti (“amendment agreement”). Dengan perjanjian pengganti, saldo fasilitas revolving dikonversi menjadi saldo fasilitas berjangka, sehingga jumlah saldo fasilitas sebesar AS$ 37.625.000 akan dilunasi dalam cicilan triwulanan mulai bulan Februari 2001 dan berakhir pada bulan November 2005. Sebagai bagian dari restrukturisasi, EBCI memperoleh fasilitas pembiayaan usaha dengan jumlah keseluruhan sebesar AS$ 18.600.000. Fasilitas tersebut dijamin oleh, antara lain, piutang, persediaan, aktiva bergerak, tanah, asuransi, escrow account serta jaminan pribadi dari Sudiharto Sridjaja, Hadiran Sridjaja dan Hadisan Sridjaja, dan dikenakan suku bunga sebesar 3% di atas SIBOR.

Perjanjian pinjaman ini mewajibkan EBCI untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan, ekuitas setara atau lebih besar dari Rp 100 miliar serta pemilikan Perusahaan dan Keluarga Sridjaja, baik secara langsung atau tidak langsung, masing-masing sekurang-kurangnya 75% dari modal ditempatkan EBCI dan sekurang-kurangnya 51% dari modal ditempatkan Perusahaan. Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, EBCI tidak memenuhi rasio keuangan dan ekuitas yang disyaratkan, serta pemilikan Keluarga Sridjaja, baik secara langsung atau tidak langsung, hanya sebesar 38,8% dari modal ditempatkan Perusahaan. Lebih lanjut, EBCI tidak dapat membayar cicilan pokok pinjaman sebesar AS$ 2.575.000 yang telah jatuh tempo pada tahun 2001 dan triwulan pertama tahun 2002 sesuai dengan perjanjian pinjaman yang ada dan bunga yang telah jatuh tempo sejak tahun 2001. Kejadian tersebut merupakan pelanggaran perjanjian pinjaman, yang memberikan hak kepada sindikasi bank untuk menyatakan seluruh jumlah hutang tersebut jatuh tempo dan dilunasi dengan segera. Pada tanggal 29 April 2002, tidak ada pembebasan secara formal untuk melaksanakan haknya (pada saat pelanggaran perjanjian pinjaman) telah diperoleh dari sindikasi bank. Dengan demikian, pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman bank jangka panjang tersebut diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar pada neraca konsolidasi.

Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman adalah sebesar AS$ 37.625.000 (masing-masing setara dengan Rp 391.300.000.000 dan Rp 361.011.875.000).

b. Pinjaman dari Fasilitas Kredit Investasi (PWD)

Fasilitas kredit investasi yang diperoleh PWD dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, cabang Singapura pada tanggal 26 Maret 1990, mempunyai jumlah maksimum sebesar AS$ 15.664.650 dan dikenakan suku bunga sebesar 10% per tahun pada tahun 2001 dan antara 10% sampai dengan 13% per tahun pada tahun 2000. Pelunasan saldo pinjaman kredit investasi tersebut telah beberapa kali dijadwal ulang, terakhir pada bulan November 1998, dimana saldo pinjaman kredit investasi kembali dijadwal ulang untuk dilunasi dalam enam belas (16) kali cicilan triwulanan yang sama besar sebesar AS$ 75.000 yang dimulai pada triwulan keempat tahun 1998 dan cicilan terakhir sebesar AS$ 4.650 pada triwulan keempat tahun 2002. Fasilitas ini dijamin, secara pari pasu, dengan persediaan, aktiva bergerak dan tidak bergerak, hak atas tanah, bangunan, mesin dan peralatan pabrik, dan hasil klaim asuransi.

PWD tidak dapat membayar cicilan pokok pinjaman sebesar AS$ 1.050.000 yang telah jatuh tempo sejak triwulan keempat tahun 1998 sampai dengan triwulan pertama tahun 2002 sesuai dengan perjanjian pinjaman yang ada dan bunga yang telah jatuh tempo sejak tahun 1999. Kejadian tersebut merupakan pelanggaran perjanjian pinjaman, yang memberikan hak kepada kreditur untuk menyatakan seluruh jumlah hutang tersebut jatuh tempo dan dilunasi dengan segera. Pada tanggal 29 April 2002, tidak ada pembebasan secara formal untuk melaksanakan haknya (pada saat pelanggaran perjanjian pinjaman) telah diperoleh dari kreditur. Dengan demikian, saldo pinjaman bank jangka panjang tersebut diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar pada neraca konsolidasi.

Pada bulan Maret 2000, BNI telah mengalihkan pinjaman tersebut kepada BPPN. Dengan demikian, proses restrukturisasi pinjaman yang sedang berjalan diatur selanjutnya dengan BPPN. Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman adalah sebesar AS$ 1.204.650 (masing-masing setara dengan Rp 12.528.360.000 dan Rp 11.558.616.750).

c. Pinjaman dari Fasilitas Kredit Investasi dan IDC (ENG)

Pada tanggal 19 Desember 1995, ENG memperoleh fasilitas kredit investasi dan IDC (Interest During Construction) dari BNI dengan jumlah maksimum masing-masing sebesar AS$ 28.700.000 dan AS$ 2.000.000 untuk membiayai pembangunan Pabrik Alkyd Resin, Synthetic Latex, Unsaturated Polyester Resin dan Plasticizers (DOP). Fasilitas-fasilitas ini dijamin oleh aktiva bergerak dan tidak bergerak, hak atas tanah, bangunan, alat pengangkutan, mesin dan peralatan pabrik, hasil klaim asuransi, jaminan perusahaan dari EBCI dan IMG, serta jaminan pribadi dari Sudiharto Sridjaja, Jasin Sridjaja dan Hadiran Sridjaja. Penarikan fasilitas ini dikenakan suku bunga sebesar 10% per tahun pada tahun 2001 dan antara 10% sampai dengan 13% per tahun pada tahun 2000. Fasilitas kredit investasi dilunasi dalam dua puluh lima (25) kali cicilan triwulanan yang tidak sama besar yang dimulai pada bulan September 1997 dan berakhir pada bulan September 2003, sedangkan fasilitas IDC dilunasi dalam sepuluh (10) kali cicilan triwulanan yang sama besar yang dimulai pada bulan September 1997 dan berakhir pada bulan Desember 1999.

Perjanjian kredit investasi mewajibkan ENG untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan. Lebih lanjut diwajibkan bahwa jumlah pengeluaran proyek untuk pembangunan pabrik kimia ENG akan dibiayai oleh hutang (bank) dan ekuitas (pembiayaan sendiri) masing-masing dengan perbandingan 60% dan 40%. Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, ENG tidak dapat memenuhi persyaratan rasio keuangan serta tidak dapat membayar cicilan pokok pinjaman sebesar AS$ 19.850.000 yang telah jatuh tempo sejak tahun 1998 sampai dengan triwulan pertama tahun 2002 sesuai dengan perjanjian pinjaman yang ada dan bunga yang telah jatuh tempo sejak tahun 1998. Kejadian tersebut merupakan pelanggaran perjanjian pinjaman, yang memberikan hak kepada kreditur untuk menyatakan seluruh jumlah hutang tersebut jatuh tempo dan dilunasi dengan segera. Pada tanggal 29 April 2002, tidak ada pembebasan secara formal untuk melaksanakan haknya (pada saat pelanggaran perjanjian pinjaman) telah diperoleh dari kreditur. Dengan demikian, saldo pinjaman bank jangka panjang tersebut diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar pada neraca konsolidasi.

Pada bulan Maret 2000, BNI telah mengalihkan pinjaman tersebut kepada BPPN. Dengan demikian, proses restrukturisasi pinjaman yang sedang berjalan diatur selanjutnya dengan BPPN. Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman adalah sebesar AS$ 28.950.000 (masing-masing setara dengan Rp 301.080.000.000 dan Rp 277.775.250.000).

d. Pinjaman dari Fasilitas Kredit Investasi dan IDC (AG)

Pada tanggal 23 September 1997, AG memperoleh fasilitas kredit investasi dan IDC dari BNI dengan jumlah maksimum masing-masing sebesar AS$ 74.198.000 dan AS$ 7.751.000 untuk membiayai pembangunan pabrik kimia Polyvinyl Alcohol (“PVA”) dan Acetic Acid (“AA”). Pinjaman tersebut mempunyai jangka waktu sebelas (11) tahun termasuk tenggang waktu tiga tahun dan dilunasi dalam dalam tiga puluh dua (32) kali cicilan triwulanan yang dimulai pada triwulan pertama tahun 2001. Berdasarkan perjanjian kredit, 35% dari bunga yang jatuh tempo akan dibayar kepada BNI dan sisanya sebesar 65% akan ditangguhkan sebagai IDC. Fasilitas ini dikenakan suku bunga sebesar 10% per tahun pada tahun 2001 dan antara 10% sampai dengan 13% per tahun pada tahun 2000, dan dijamin dengan hipotek pertama atas hak atas tanah, bangunan, mesin dan peralatan pabrik dengan jumlah maksimum sebesar AS$ 85.000.000, kendaraan, hasil klaim asuransi dan jaminan perusahaan dari Perusahaan.

AG tidak dapat membayar cicilan pokok pinjaman sebesar AS$ 3.890.000 yang telah jatuh tempo pada tahun 2001 dan triwulan pertama tahun 2002 sesuai dengan perjanjian pinjaman yang ada dan bunga yang telah jatuh tempo sejak tahun 1999. Kejadian tersebut merupakan pelanggaran perjanjian pinjaman, yang memberikan hak kepada kreditur untuk menyatakan seluruh jumlah hutang tersebut jatuh tempo dan dilunasi dengan segera. Pada tanggal 29 April 2002, tidak ada pembebasan secara formal untuk melaksanakan haknya (pada saat pelanggaran perjanjian pinjaman) telah diperoleh dari kreditur. Dengan demikian, pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman bank jangka panjang tersebut diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar pada neraca konsolidasi.

Pada bulan Maret 2000, BNI telah mengalihkan pinjaman tersebut kepada BPPN. Dengan demikian, proses restrukturisasi pinjaman yang sedang berjalan diatur selanjutnya dengan BPPN. Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo pinjaman adalah sebesar AS$ 31.751.000 (masing-masing setara dengan Rp 330.210.400.000 dan Rp 304.650.845.000).

Selama proses restrukturisasi dengan BPPN (sejak bulan Maret 2000), tingkat suku bunga yang digunakan oleh PWD, ENG dan AG untuk menghitung beban bunga adalah sebesar 10% per tahun untuk pinjaman dalam mata uang Dolar AS (lihat Catatan 11). Pada tanggal 29 April 2002, proses restrukturisasi pinjaman PWD, ENG dan AG dengan BPPN masih berlangsung.

e. Hutang Sewa Guna Usaha

Pada tanggal 12 Desember 1996, berdasarkan perjanjian penjualan dan penyewaan kembali (sale-and-leaseback), PWD menjual Pabrik PA II di Gresik kepada suatu sindikasi penyewa, dengan PT ABN Amro Finance Indonesia (“ABN Amro”) sebagai agen, sebesar AS$ 37.600.000 dan menyewanya kembali dengan perjanjian sewa selama tiga tahun dengan pelunasan terakhir pada bulan Juni 1999. Transaksi tersebut mengakibatkan kerugian sebesar AS$ 6.313.176 yang ditangguhkan dan diamortisasi selama sisa taksiran masa manfaat aktiva sewa guna usaha yang bersangkutan. PWD mempunyai hak opsi untuk membeli aktiva yang disewa tersebut pada akhir periode sewa.

Perjanjian penjualan dan penyewaan kembali mewajibkan PWD, antara lain, untuk mempertahankan “gearing ratio” tertentu dan pemilikan Perusahaan dan Keluarga Sridjaja, baik secara langsung atau tidak langsung, masing-masing sekurang-kurangnya 70% dari modal ditempatkan dan disetor penuh PWD dan sekurang-kurangnya 51% dari modal ditempatkan dan disetor penuh Perusahaan, dan Keluarga Sridjaja memegang kendali pada PWD.

Pada tanggal 8 Februari 2000, PWD mencapai kesepakatan dengan ABN Amro untuk merestrukturisasi saldo pinjamannya menjadi dilunasi dalam delapan (8) kali cicilan setengah tahunan yang tidak sama besar mulai tanggal 18 Juni 2000 dan berakhir pada tanggal 18 Desember 2003.

Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, PWD tidak memenuhi persyaratan gearing rasio dan pemilikan Keluarga Sridjaja, baik secara langsung atau tidak langsung, hanya sebesar 38,8% dari modal ditempatkan dan disetor penuh Perusahaan. Lebih lanjut, PWD tidak dapat membayar cicilan pokok pinjaman sebesar AS$ 4.890.375 yang telah jatuh tempo pada tahun 2001 dan 2000 sesuai dengan perjanjian pinjaman yang ada dan bunga yang telah jatuh tempo sejak tahun 1999. Sebagai akibat dari tidak terpenuhinya persyaratan pinjaman tersebut, PWD menerima surat somasi pertama dan kedua, masing-masing tanggal 22 Agustus 2000 dan 7 September 2000, dari Otto Hasibuan & Associates, selaku kuasa hukum dari ABN Amro, yang menyatakan bahwa PWD telah wanprestasi dan meminta PWD untuk melunasi seluruh pokok pinjaman dan bunga yang jatuh tempo atas hutang sewa guna usaha beserta penghentian penggunaan mesin-mesin yang disewa. Dengan demikian, pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, hutang sewa guna usaha jangka panjang tersebut diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar pada neraca konsolidasi. Pada tanggal 29 April 2002, PWD dan ABN Amro belum mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pada tanggal 31 Desember 2001 dan 2000, saldo hutang sewa guna usaha PWD kepada ABN Amro adalah sebesar AS$ 13.972.500 (masing-masing setara dengan Rp 145.314.000.000 dan Rp 134.066.137.500).

EBCI menyewa peralatan pembuangan air limbah dari PT Jaya Fuji Leasing Pratama dan kendaraan dengan sewa jangka panjang dari PT Bumiputera - BOT Finance. Pada tanggal 6 September 2000, perjanjian sewa guna usaha EBCI atas peralatan pembuangan air limbah sudah berakhir. Perusahaan dan AG mempunyai perjanjian sewa kendaraan jangka panjang masing-masing dengan PT ORIX Indonesia Finance dan PT Bumiputera - BOT Finance. ENG dan AG juga menyewa peralatan berat dari PT ORIX Indonesia Finance berdasarkan perjanjian sewa jangka panjang.

Pembayaran sewa berdasarkan perjanjian sewa guna usaha pada tanggal 31 Desember 2001 adalah sebagai berikut:

Untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember

2001 Rp 145.314.000.000

2002 640.325.000

2003 116.830.000

2004 5.410.000

Jumlah pembayaran minimum 146.076.565.000 Dikurangi bunga yang belum jatuh tempo ( 96.127.388 )

Jumlah hutang sewa guna usaha 145.980.437.612 Dikurangi bagian yang jatuh tempo dalam satu tahun ( 145.863.022.999 )

Hutang jangka panjang Rp 117.414.613

Perjanjian pinjaman pada umumnya memuat beberapa pembatasan tertentu yang mewajibkan Anak perusahaan, antara lain, untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan dan memperoleh persetujuan tertulis dari para pemberi pinjaman sebelum, antara lain, melakukan penggabungan usaha, konsolidasi, memperoleh dan memberi pinjaman, memperoleh dan menjual aktiva, melakukan investasi, membayar dividen, menjadi penjamin atau memberi jaminan, mengubah anggaran dasar, mengubah susunan komisaris dan direksi, serta melunasi hutang kepada para pemegang saham.

Dokumen terkait