• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUTANG LUAR NEGERI DAN PEMBIAYAAN

1.

Modal Asing Dalam Pembangunan.

Sejarah mencatat, Negara yang tidak mempunyai tabungan dalam negeri yang cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, umumnya menutup kesenjangan pembiayaan dengan mencari sumber-sumber dari luar negeri. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila mengalir arus modal dari Negara industry ke Negara sedang berkembang (NSB).

Keseluruhan arus modal asing, sebagaimana ditunjukan oleh Gambar 1 dapat dibagi dalam modal yang tidak dan yang harus dibayar kembali (Pattisiana,1982:881- 899). Dalam kelompok arus modal yang pertama biasanya mengalir modal dari sektor pemerintah negara industri ke sektor yang sama di NSB, tanpa suatu ekspor modal balasan dari Negara tersebut. Sebaliknya dalam kelompok arus modal yang harus dibayar kembali terdapat arus balik berupa ekspor modal dari NSB, tergantung dari sumber arus modal tersebut, apakah ke sector pemerintah atau swasta di Negara industry. Yang pertama tadi meliputi pengertian kredit dan pembiayaan dari proyek- proyek pembangunan, yang terakhir adalah mengenai investasi langsung, investasi portofolio dan kredit ekspor.

2.

Motivasi Negara Donor.

Mungkin pertanyaan yang muncul adalah apa yang mendorong negara atau pinjaman luar negeri? Menurut pengalaman di banyak negara, sebagaiman disimpulkan oleh Ruttan (1989), setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi negara donor bersedia memberikan bantuan: Pertama, dilandasi kepentingan ekonomi dan strategis. Kedua, dilandasi tanggung jawab moral dari penduduk negara kaya kepada negara miskin.

Bagi negara donor, pemberian bantuan akan memperkuat ikatan keuangan antara negara donor dengan negara penerima bantuan. Misalnya, pembangunan infrastruktur seperti jaringan transportasi dan instalasi listrik di NSB akan menimbulkan permintaan akan peralatan baru, setidaknya mengganti peralatan yang telah usang,

dari negara donor. Hal seperti ini sering dijumpai pada bantuan-bantuan yang bersifat mengikat (tied aid). Hampir senada dengan itu, bantuan teknis untuk pembangunan penggilingan gandum dan industri pengolah bibit sering ditafsirkan sebagai peningkatan permintaan akan pangan dan bibit dari negara donor. Dengan kata lain, di satu sisi bantuan luar negeri dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi negara penerima bantuan, di sisi lain juga menimbulkan dampak perluasan permintaan barang dan jasa dari negara donor. Yang terakhir ini terbukti dari tingginya elastisitas permintaan akan impor barang dan jasa dari negara donor.

Dari sudut kepentingan politik dan geostrategik nampaknya tidak perlu diragukan ini terlihat, misalnya, bantuan pangan dan kerjasama ekonomi Amerika Serikat merupakan bagian intergral dan tidak terpisahkan dengan kebijakan luar negerinya. Rencana Marshall, yang membantu program pembangunan kembali Eropa Barat dan Jepang setelah Perang Dunia II, merupakan contoh betapa kentalnya kepentingan politik dan strategis untuk menangkis ekspansi ideologi komunis.

Tanggung jawab moral negara kaya kepada negara miskin dilandasi premis bahwa interdependensi ekonomi dan politik internasional berartimemperluas keadilan sosial dari lingkup nasional ke Internasional. Ini tercermin dari bantuan kepada negara berkembang yang harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) bagi sebagian besar rakyatnya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengangkat mereka dari jurang kemiskinan.

3.

Sumber-sumber Pembiayaan Pembangunan di Indonesia.

Sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan di Indonesia antara lain berasal dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Indonesia terutama daerah Khusus Ibukota dari modal asing. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam seperti Aceh, Riau, Kaltim, dan Papua akan dapat menggunakan Dana Bagi Hasil untuk membiayai belanja pembangunannya sedangkan bagi daerah-daerah miskin dan tidak memiliki SDA, belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah DAU dan DAK yang diterima pada tahun anggaran tertentu.

Dalam tahun anggaran 2001 sekitar 80% dari jumlah DAU digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah, bagian DAU untuk belanja pembangunan relative kecil sekali jumlahnya, sehingga diperlukan alternative sumber pembiayaan pembangunan.

4.

Struktur Pembiayaan Pembangunan.

Di saat Orde Baru berkuasa banyak utang luar negeri dibuat dengan dalih untuk membangun BUMN. Bantuan ini telah menginjeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devicit anggaran pembangunan dan devicit neraca pembayaran.

Tak dapat dipungkiri bahwa bantuan luar negeri telah berfungsi sebagai injeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devisit anggaran pembangunan dan devisit neraca pembayaran. Menunjukkan struktur pembiayaan pembangunan dimana peranan bantuan luar negeri pernah mencapai Iebih dari 50% pada Pelita I dan IV. Kendati peranan bantuan luar negeri semakin menurun pada tahun-tahun terakhir ini, persentasenya masih di atas 35%. Bahwa bantuan luar negeri di Indonesia telah berperanan penting dalam menutu devisit anggaran dan devisit transaksi berjalan kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi.

Dapat dikatakan dengan injeksi bantuan ini Indonesia telah dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan sementara, Indonesia mengalami fenomena debt-led growth. Sepanjang bantuan tersebut efektif dan tidak menjadi beban nampaknya ataupun tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun pada damawarsa 1980-an, agaknya cicilan pokok pinjaman harus mulai dibayar karena sudah jatuh tempo. Akibatnya, sejak tahun fiskal 1987/1988 total cicilan utang berikut bunganya menjadi lebih besar dibanding pinjaman baru setiap tahunnya. Hal inilah yang banyak dituding oleh para pengamat sebagai net resource transfers yang negatif. Ini belum termasuk pelarian modal ke luar negeri.

Sebuah penelitian memperkirakan nilai pelarian modal dari Indonesia secara akumulatif dari 1970-1987 mencapai US$ 11 milyar, atau kurang lebih sekitar sepertiga nilai utang luar negeri pada akhir 1987 (Mahyuddin, 1989). Bagi Indonesia, bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada. Namun, dibanding negara-negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban utang Indonesia masih relatif lebih ringan. Kendati debt service ratio (DSR), perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4% hingga 40,7% selama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnya melebihi penerimaan ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahun terakhir sampai 1990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman baru dan karena perubahan nilai tukar dollar AS terhadap Yen dan Mark Jerman sedangkan meningkatnya DSR karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjloknya harga minyak bumf dan komoditi primer lain, serta currency realignment (Djojohadikusumo, 1990).

BAB.XIII.

PERTUMBUHAN

EKONOMI

DALAM

Dokumen terkait