• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS UTANG INTERNASIONAL

Utang bagi NSB bukan lagi membantu dalam pembangunannya bahkan menjadi beban. Beban utang ini disebabkan karena : pertama, Utang yang diterima lebih banyak dinyatakan dalam bentuk mata uang asing dan bukan dalam bentuk mata uang dalam negeri sehingga rentan terhadap fluktuasi di pasar moneter internasional. Kedua, kebanyakan utang yang diterima oleh NSB dalam bentuk US$, sedangkan jumlah US$ yang tersedia dipasar internasional relatif lebih sedikit dari mata uang asing lainnya seperti Yen, Deutschmark atau poundsterling sehingga NSB mengalami kesulitan dalam memperoleh US$.

Untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat utang membebani suatu negara dapat kita lihat dari beberapa aspek. Aspek tersebut yaitu:

1. Tingkat Debt service Ratio, yaitu perbandingan antara pembayaran bunga plus cicilan utang terhadap penerimaan ekspor suatu negara. Sehingga contoh tingkat DSR Brazil dan korea selatan pada tahun 1982 masing-masing sebesar 81% dan 2,2%. Ini berarti Brazil menggunakan 81% dari ekspornya untuk membayar utangnya sedangkan Korea selatan hanya 2,2%. Menurut pengalaman di banyak negara batas aman untuk DSR adalah 20%.

2. Persentase utang terhadap GNP (debt to GNP ratio). Meskipun secara absolut jumlahnya kecil, tetapi jika persentase terhadap GNP relatif besar, hal ini akan memberatkan negara tersebut.

Kedua indikator tersebut dalam penggunaannya tergantung dari permasalahan yang dihadapai oleh masing-masing negara. Berdasarkan Tabel. 1 terlihat bahwa

sebagian besar utang terserap oleh negara-negara di wilayah Amerika latin dan Karibia serta Asia Tenggara. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah alasan apa yang mendasari negara-negara tersebut untuk meminjam uang/utang?

Tabel. 1. Konsentrasi Utang Tahun 1982 (% terhadap total utang)

Negara %

Sub-Sahara Afrika Asia Tenggara Amerika latin dan Karibia

Afrika Utara dan Timur Tengah

10,8 26,8 51,3

11,1

Sebagaimana diketahui untuk membangunan suatu negara diperlukan adanya dana yang cukup untuk membiayai kegiatan investasi. Di sisi lain negara-negara tersebut tidak mampu menyediakan dana yang cukup. Ketidakmampuan ini antara lain disebabkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut.

1) Kurangnya tabungan dalam negeri ( saving-investment gap )

Kekurangan tabungan ini tidak lain karena rendahnya tingkat pendapatan penduduk di samping sistem keuangan yang belum memadai.

2) Kurangnya kemampuan untuk menghasilkan devisa ( foreign exchange )

Untuk melakukan transaksi perdagangan internasional diperlukan devisa, sementara kemampuan NSB dalam menghasilkan devisa masih rendah.

Kedua faktor itulah yang pada akhirnya mendorong NSB untuk meminjam dana dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing dan bukan mata uang domestik. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan tingkat bunga pinjaman yang tinggi, rendahnya harga barang-barang ekspor yang dihasilkan oleh NSB (sebagian penghasil bahan mentah), dan rendahnya tingkat permintaan terhadap produk-produk NSB. Faktor-faktor tersebut semakin mempersulit bagi NSB untuk membayar utangnya.

2. Penyebab Timbulnya Krisis Utang.

Benih-benih krisis sebenarnya sudah mulai terlihat pada periode 1974-1979. Saat itu terjadi peningkatan pinjaman internasional yang luar biasa, yang sebagian disebabkan oleh lonjakan harga minyak pada tahun 1974 dan kebutuhan mengejar pertumbuhan ekonomi. NICs terutama Mexico, Brazil, Venezuela, Argentina memang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata negara berkembang. Namun, rekor pertumbuhan ekonomi tersebut didukung terutama oleh strategi pembangunan yang semakin outward-looking. Mereka menggenjot ekspor dan impor barang modal secara agresif, serta mengundang bantuan luar negeri secara berlebihan. Hanya sayangnya struktur industri mereka kebanykan masih mengandung komponen impor yang tinggi.

Ketika terjadi lonnjakan harga minyak yang kedua tahun 1979, keadaan mulai berbalik dengan mulai meningkatnya tingkat bunga Internasional secara drastis. Yang terakhir ini disebabkan oleh kebijakan stabilisasi ekonomi di negara maju, dan penurunan penerimaan ekspor negara berkembang akibat kombianasi turunya pertumbuhan ekonomi di negera maju dan penurunan harga ekspor komoditi primer lebih dari 20 persen, di tambah lagi dengan kewajiban membayar bunga dan cicilan utang luarr negeri di masa lampau dan mulai jatuh tempo pinjaman komersial. Di banyak NSB, keadaan ini diperparah dengan modal yang terbang ke luar negeri (capital flight) dan defisit transaksi berjalan (current account) yang substansial.

Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis utang dapat ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri.

3. Manajemen Krisi Utang.

Pendekatan yang digunakan dalam menangani krisis uang ini adalah pendekatan case-by case, artinya kebijakanyang diterpkan disetiap Negara tidak selalu sama. Perbedaan tersebut didasarkan atas komposisi jenis utangnya. Adapun jenis utang yang dimaksud di sini adalah utang pemerintah dengan utang komersial. Utang komersial biasanya tingkat bunganya lebih tinggi dibandingkan utang pemerintah, di samping itu tenggang waktu pengembaliannyaoun lebih pendek. Manajemen yang diterpkan dalam krisis utang, baik terhadap utang pemerintah maupun utang komersial, diwujukan dalam kebijakan penjadwalan kembali utang. Hanya jenis kebijakannya berbeda antara penjadwalan kembali untuk utang swasta dengan penjadwalan kembali untuk utang komersial.

Perjanjian penjadwalan kembali pada utang pemerintah biasanya dilakukan

melalui perantara “Club Paris” yang dibentuk oleh beberapa Negara Eropa pada tahun

1956. Tujuan pembentukan dari Organisasi ini adalah untuk membantu NSB yang mengalami kesulitan dalam pembayaran kembali utamg-utangnya. Bentuk perjanjian

penjadwalan kembali untuk utang-utang pemerintah berupa perpanjangan tenggang waktu pengembalian, pengurangan tingkat bunga pinjaman, pengunduran waktu pengembalian, keringanan utang termasuk diantaranya penghapusan utang itu sendiri. Bentuk perjanjian kembali untuk utang-utang komersial berupa:

1. Bridging loan, yaitu pinjaman sementara yang diberikan untuk membiayai masa krisis hingga diperoleh dana baru dari IMF atau bank-bank komersial lainya. Pinjaman ini biasanya dijamin oleh pemerintah USA atau Bank for Internasional Settlement (BIS).

2. Paket kebijakan IMF yaitu pelaksanaan paket kebijakan yang telah ditetapkan IMF sebelum perjanjian penjadwalan kembalian disetujui oleh kedua pihak.

3. Penundaan pembayaran dengan mengenakan tingkat bunga tertentu. Pihak peminjam dapat menunda pembayaran utang pokoknya dan hanya membayar bunganya saja, hanya tingkat bunga yang diterapkan lebih tin ggi dari tingkat bunga yang berlaku di pasar.

4. Pemberian pinjaman baru dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar.

Untuk mengatasi kecenderungan net transfer yang negatif , beberapa NSB melaksanakan beberapa kebijakan sebagai berikut:

1. Melakukan devaluasi terhadap nilai tukar uang domestic

Devaluasi berakibat pada naiknya harga barang-barang impor, sedangkan barang- barang ekspor relatif lebih murah. Kebijakan ini diharapkan mampu menyeimbangkan neraca pembayaran dengan menurunkan impor dan meningkatkan ekspor.

2. Pembatasan ekspansi kredit

Kebijakan ini diharapkan mampu membatasi supalai uang. Keterbatasan dana yang ada di masyarakat diharapkan akan menurunkan permaintaan masyarakat terutama permintaan atas barang-barang impor. Di samping itu kebijakan ini akan menurunkan tingkat inflasi.

3. Menurunkan defisit dalam anggaran pemerintah, terutama penurunan pengeluaran pemerintah.

4. Penghapusan subsidi harga, terutama pada barang-barang publik.

Keempat kebijakan diatas dalam jangka pendek telah berhasil mendorong terciptanya surplus dalam transaksi berjalan sehingga memungkinkan bagi NSB untuk membayar utang nya. Di sisi lain, kebijakan tersebut memerlukan biaya tersendiri, yaitu biaya social ekonomi serta turunya tingkat pertumbuhan perekonomian. Untuk

memecahkan masalah tersebut diperlukan solusi lain untuk mengatasi krisis utang internasional.

4. Solusi Krisis Utang Internasional.

Krisis Utang luar negeri pada hakekatnya adalah krisis likuiditas di suatu negara, dan bukan masalah insolvensi. Indikator utama adanya krisis adalah tingginya DSR (debt-service ratio) yang biasanya di atas rata-rata negara berkembang sekaligus juga mengalami kesulitan ekspor. Cakupan krisis ini, menurut Thirwall, pada dasarnya dapat dikategorikan dua (Shahadan & Idris, 1987 : Bab 1): Pertama, sejumlah kecil negara miskin yang tergantung pada ekspor komoditas primer, khususnya di afrika, di mana bank komersial tidak terlibat. Kedua, sejumlah negara yang meminjam dari sistem perbankan komersial dengan tingkat bunga mengambang ( floating rate of interest), sementara pada waktu bersamaan pasar ekspornya baru anjlok. Dengan demikian, krisis utang luar negeri sebenarrnya mencakup tidak hanya krisis negara pengutang, tapi juga krisis sistem perbankan internasional (komersial) dan krisis ekonomi dunia karena berakibat arus pinjaman internasional menjadi menciut.

Dalam forum internasional, negara donor dan negara pengutang saling menyalahkan (sachs, 1989 : Bab 1). Negara donor cenderung menuding krisis utang akibat kesalahan kebijakan negara pengutang. Pinjaman dihamburkan untuk menutup inefisiensi perusahaan negara, atau dilarikan oleh oknum penguasa ke luar negeri (capital flight). Sementara negara pengutang berpendapat munculnya krisis disebabkan oleh naiknya suku bunga internasional pada awal 1980-an. Meraka menyalhkan kebijakan makro negara donor, terutama kebijakan fiskal Amerika Serikat. Pemerintah di negara pengutang lebih jauh berpendapat bahwa diperlukan

semacam “penyesuaian” dengan cara pembayaran kembali utang mereka diperingan

(debt relief).

Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan mendasar yang hendak dicapai oleh NSB adalah bagaimana mengurangi utangnya secara substantif serta tersedianya dana untuk membiayai proses pembangunannya. Ada tiga solusi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu:

1. Melaksanakan pembangunan dangan sebagian dananya berasal dari utang luar negeri, meskipun kebijakan ini akan memperpanjang masa krisis selama investasi yang ditanamkan belum memberikan hasil.

2. Mengubah sistem keuangan internasional yang memungkinkan bagi NSB untuk lebih mengontrol negara industri dan bank-bank swasta.

BAB.XII. HUTANG LUAR NEGERI DAN PEMBIAYAAN

Dokumen terkait