KAJIAN TERHADAP SANAD DAN MATAN HADIS
1. Ibnu Mājah
Telah disebutkan pada halaman 64.
2. ‘Abd al-Rahmān bin Bisyrī.
Telah disebutkan pada halaman 56.
Akan tetapi, karena hadīs tersebut diterima dari Mūsa bin ‘Abd al-‘Azīz, sedangkan pada penelitian sanad terdahulu yakni pada sanad Abū Dāwud ditemukan bahwa Mūsa bin ‘Abd al-‘Azīz berkualitas ḍa’īf sehingga menjadikan sanad yang diteliti berkualitas ḍa’īf. Dan karena sanad Ibnu Mājah merupakan sanad dan jalur
69
terakhir yang diteliti dan ditemukan berkualitas ḍa’īf, sehingga seluruh sanad hadīs tentang Ṣalāttasbīh juga berkualitas ḍa’īf.
B. KRITIK MATAN HADIS
Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadīs memiliki
kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam
hubungannya dengan kualitas hadīs. Oleh karena itu, menurut ulama hadīs bahwa suatu hadīs barulah dinyatakan berkualitas sahih, dalam hal ini shahīh lizātih, apabila sanad dan matan hadīs itu sama-sama berkualitas sahih.
Jadi, hadīs yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih, tidak dapat dinyatakan sebagai hadīs sahih. Meski begitu, dalam prakteknya, kegiatan
penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Itu berarti bahwa penelitian matan dianggap penting setelah sanad bagi matan tersebut diketahui kualitasnya, dalam hal ini memiliki kualitas sahih, atau minimal tidak termasuk parah (berat)
keḍa’īfannya. Bagi sanad yang berat keḍa’īfannya maka matan yang sahih tidak
akan menjadikan hadīs yang bersangkutan berkualitas sahih.
Terhindar dari syāz. dan ‘illat merupakan dua unsur yang harus dipenuhi untuk kesahihan matan. Meski begitu, dalam melakukan penelitian matan tidak secara ketat ditempuh langkah-langkah dengan membagi kegiatan penelitian menurut kedua unsur tersebut. Maksudnya, tidak menekankan bahwa langkah pertama harus meneliti syāz. dan langkah berikutnya meneliti ‘illat. Akan tetapi,
lebih mengacu pada tolok ukur penelitian matan yang telah dirumuskan oleh ulama hadīs. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Shalahuddīn al-Adabī bahwa matan hadīs yang maqbūl (diterima sebagai hujjah) haruslah: 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; 2( tidak bertentangan dengan hadīs
yang lebih kuat; 3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; 4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.86
Berikut ini ditelaah kualitas matan hadīs-hadīs tentang Ṣalāt tasbīh seperti
yang ditempuh pada kajian kualitas sanad, yakni berdasarkan klasifikasi hadīs
yang ada.
1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad
Suatu matan hadis tidak dianggap sahîh apabila sanadnya diragukan. Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan, bahwa penulis telah mendapati pada hadis di atas beserta mukharrij-nya telah diriwayatkan dalam keadaan bersambung, akan tetapi ada periwayat hadīs yang dipermasalahkan kualitasnya.
Pujian yang diberikan kepadanya sangat rendah. Sebaliknya celaan yang dilontarkan terhadap dirinya berperingkat tinggi. Maka cukup kuat alasan untuk memenangkan ketercelaan yang bersangkutan dari pada keterpujiannya. Sebagaimana Ibnu Shalah dan Jumhur Ushūliyyīn mengatakan bahwa jarh
didahulukan dari ta’dīl. Seandainya jumlah orang yang mena’dilkan lebih banyak
86
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 128-129.
71
dari yang menjarah dan orang yang menjarah itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak diketahui oleh orang yang
mena’dilnya. Sementara orang-orang yang mena’dilnya hanya faktor luar keadaan
seseorang. Dengan demikian orang yang memberi jarh mempunyai nilai tambah
bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat orang yang mena’dil.87
Hal ini pula yang terjadi pada penilaian terhadap Mūsa bin ‘Abd al
-‘Azīz. Yakni meskipun lebih banyak jumlah orang mena’dilnya akan tetapi tingkatan ta’dilnya rendah yakni lā ba’sa bih danshadūq itupun ditambah dengan kata siu al-hifzi. Sedangkan pendapat Ibnu Hibbān yang mengatakan siqah tidak dapat dijadikan patokan karena beliau termasuk orang yang tasahul. Sedangkan
jarh terhadap Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz meskipun lebih sedikit daripada orang yang
mena’dilnya, akan tetapi tingkat jarh yang dikemukakannya tinggi yakni munkar al-hadīs dan ḍa’īf. Maka pendapat yang menjarah lebih didahulukan dari pendapat yang menta’dil. Itu berarti bahwa Mūsā bin ‘Abd al-‘Azīz berkualitas
ḍa’īf. sehingga seluruh sanad hadīs tentang Ṣalāt tasbīh berkualitas ḍa’īf. maka hal ini dapat mempengaruhi ke-sahîh-an hadis tersebut.
2. Meneliti Matan yang Semakna
Mencermati susunan matan hadīs tersebut sebagaimana telah disajikan pada
bab kedua, tampak bahwa dari enam riwayat yang ada ditemukan mengandung
87
Mahmud Ali Fayyad, Manhāj al-Muhaddisīn fī Dhabt al-Sunnah, diterjemahkan oleh A.
Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka
beberapa hal, yakni perkataan tasbīh yang dimaksud untuk diucapkan pada tiap gerakan di dalam Ṣalāt adalah tasbīh dalam arti zikir. Karena lafal yang diucapkan bukan hanya lafal tasbīh ‘subhanallāh”, tetapi juga lafal hamdalah
“al-hamdulillāh”, lafal tauhid “lā ilāha illāllāh”, dan lafal takbir “Allāhu akbar”.
َرْ ا ُهاو ها ا َهلا و ِه ُدْمَ او ِها َناَ ْبُ
“Maka ucapkanlah subhānallāh, al-hamdulillāh, lā ilāha illallāh, dan allāhu akbar “
Di dalam hadīs yang sahih, dikatakan bahwa tasbīh yang dianjurkan untuk
diucapkan di dalam Ṣalāt adalah ketika rukuk dan sujud, yakni hadīs Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amr:
مل وبا اا و نع رابما نبا انر أ ا يلما يعاما نب و و بو وبأ ان نب يبرلا انثّدح
اا ر اع نب ب ع نع همع نع او ا نب و
" :
تل ن ام
"
،مي للا بر م اب حبس
88اا
َمَلَ َو ِهْيَلَع ُها َلَص ه و ر
:
مكعو ر اهاوللجا
" .
تل نامل
"
، لع ا بر م اب حبس
89اا
:
م دوج اهوللجا
.
90“Al-Rabi’ bin Nāfi’ Abū Tawbah dan Mūsābin ‘Ismāil menceritakan kepada
kami, Ibnu al-Mubārak memberitakan kepada kami, dari Mūsā, Abū Salamah Mūsābin Ayyūb berkata, dari pamannya dari ‘Uqbah bin ‘AFasabbih bismi
rabbika al-‘Azīm” (Maka bertasbīhlah kamu dengan nama Tuhanmu yang
Maha Besar) Rasulullah saw besabda: “Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.” Dan ketika turun firman Allah “sabbihisma Rabbika al-a’lā”
88 Qs. Al-Wā i ah : . 89 QS. Al-A lā : 1. 90
Abī Dāwud Sulayman bin al-Asy'as al-Sijistanī,. Sunan Abī Dāwud, kitab al-Azān bab mā Yaqūlu al-Rajul fī Rukū’ihī wa Sujūdihī, juz I )Bayrūt: Dar al-Fikr, 1994), .h. 239.
73
(Tasbīhkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi), Rasulullah bersabda: Jadikanlah tasbīh itu dalam sujudmu.”
Hadīs yang senada juga terdapat dalam Shahīh Muslim dan Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal:
ِلاَ نْب َنَأ نَع َ ْلَط يَأ نْب قَ ْ ِا ْنَع راَمَع نْب َ ِرْكِع يَث ْيِ َو انَث يَأ يَثّدَح ها دْبَع انثّدَح
َااَ
:
ااَ َن ِِِوُعْدُأ ااَمِلَ يْمِلَع ها اوُ َراَ تَلاَ َ َمَلَ َو ِهْيَلَع ُها َلَص َِنلا ِِا مْيَلُ ُأ ْا َءاَج
ْدَ َتلَلَ دَ اْوَ َ هّناَ َ َ َجاَح لَ َُُ اًرْشَع هن رِبْكَ و اًرْشَع هْنِ ْدِمَْا َو اًرْشَع َجوَ َع ها َِْْ ْيِبْسَ
تْلَلَ
.
91“’Abdullāh menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, Waki’ mencertitakan kepada kami, ‘Ikrimah menceritakan kepadaku, dari Ishāq bin Abī Thalhaṯ, dari Anas bin Mālik, ia berkata: Ummu Sulaym datang
kepada Nabi saw dan berkata Ya Rasulullah ajarilah aku beberapa kalimat yang dapat aku baca dalam doaku. Kemudian Rasulullah mengatakan
bertasbīhlah kepada Allah sepuluh kali, bertahmidlah sepuluh kali, dan
bertakbirlah sepuluh kali kemudian bermohonlah kepada Allah apa saja yang engkau kehendaki. Lantas Rasulullah mengatakan kerjakanlah.”
Adapun mengenai matan hadīs tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imām Tirmizi menganggap bahwa hadīs tersebut membahas tentang Ṣalāt tasbīh sehingga beliau meletakkannya dalam bab Ṣalāt tasbīh. Akan tetapi, dalam syarh Tirmīzī, al-Irāqī mengatakan bahwa hadīs tersebut hanya membicarakan
91
Muslim al-Naisabūrī, Al-Imām Abī Husaīn Muslim ibn al-Hajjāj al-Qushairi. Shahih Muslim,, juz I )Bayrūt: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 418. Al-Imām Ahmad ibn Ibn Hanbal,. Al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid III )Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 120.
tentang tasbīh sesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Juga karena lafaz-lafaz
dalam hadīs tersebut tidak sesuai dengan lafaz-lafaz Ṣalāt tasbīh.92
Setelah membandingkan redaksi kedua matan hadīs di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa kandungan keduanya sama, yakni sama-sama berbicara tentang permintaan Ummu Sulaym kepada Rasulullah saw. Untuk diajari kalimat yang dapat
ia baca dalam Ṣalāt, kemudian Rasulullah saw menyuruh untuk bertasbīh, bertahmid,
dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali baru kemudian mengucapkan doa. Dengan kenyataan tersebut, dengan didukung oleh asbāb wurūd93
dapat
ditegaskan bahwa hadīs Ummu Sulaym berbicara tentang tasbīhsesudah Ṣalāt, bukan tentang Ṣalāt tasbīh. Hal tersebut juga sesuai dengan kebiasaan masyarakat ketika selesai Ṣalāt,yakni duduk bertasbīh baru kemudian dilanjutkan dengan berdoa.
Sehingga meskipun hadis yang kedua sahih tetapi tidak dapat mendukung hadis yang pertama. Dengan demikian hadis yang pertama tidak mendapat pendukung. Dengan begitu, hadis tersebut tetap berkualitas daif dan juga tidak memenuhi kaidah kesahihan matan hadis,
92
Al-I ā al-Hāfiz Abā al-Ulā Muha ad Abd al-‘ah ā ib Abd al-‘ahī al -Muba akfū ī, Tuhfat al-Ahwaz bi Sya h Jā i’ al-Ti īzī juz II Bay ūt: Dā al-Fikr, t.th.), h. 509.
93
Menurut asbāb wurūdnya, hadis tersebut berbicara tentang tasbih sesudah salat. Lihat Al-Sya īf Ib āhī Muha ad bi Ka āl al-Dī al-Syahī bi Ha zah al-Husayn al-Ha afī al-Di asy ī,
Al-Bayā wa al-Ta’ īf fī Asbāb Wu ūd al-Hadīs al-Sya īf, juz I Cet. I; Bay ūt: Al-Maktabah al-Il iyyah, 1982), h. 167.
75
Berdasarkan kajian tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa hadis-hadis yang dipahami oleh masyarakat sebagai dalil untuk melaksanakan salat tasbih berkualitas daif, baik dari segi sanad ataupun matannya.
Kendati demikian hadis daif tersebut memenuhi syarat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl yang cukup berlandaskan hadis daif. Oleh karena itu, Ibn Qudamah berkata bahwa jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena salatnawāfil dan fadāil al-a’māl tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis sahih.
76
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis meneliti otentitas dan kritik hadis tentang salat tasbih, setelah ditelusuri, ternyata data yang diperoleh menunjukkan bahwa hadis-hadis tentang Ṣalāt tasbīh berada pada kitab dan bab yang berbeda dengan
yang ditunjukkan di dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadis
al-Nabawī berdasarkan klasifikasi riwayat yang ada yang terkait dengan masalah tersebut yaitu terdapat dalam enam riwayat dari tiga mukharrij, yaitu Abū Dāwud, al-Tirmizī dan Ibnu Mājah. Tercantum ada nama sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadīs tersebut, yakni al-Ansārī, ‘Abdullāh bin ‘Amr, Ibnu ‘Abbās dan Abī Rāfi’. Itu berarti bahwa sanad yang dikritik mendapat dukungan berupa syāhid, begitu pula pada periwayat-periwayat sesudahnya ditemukan dukungan berupa muttabi’.
Adapun Setelah melakukan penelitian sanad penulis berkesimpulan bahwa hadis tentang salat tasbih berkualitas daif demikian pula dengan matannya.
Kendati demikian salat tasbīh tersebut memenuhi syarat dapat dijadikan sebagai fadāil al-a’māl karena cukup berlandaskan hadis daif.
77
B. Saran-Saran
Kedudukan Hadis Nabi Saw. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Untuk itu penulis menghimbau sebagai berikut :
Agar pembaca dapat menindak lanjuti penelitian kualitas sanad dan matan terhadap hadis-hadis yang beredar di masyarakat yang hal itu sudah menjadi amaliyah kaum muslimin. Dengan tujuan memberikan perhatian yang penuh terhadap hadis, agar pengetahuan, pemahaman dan pengamalan hadis di masyarakat dapat tersebar dengan baik.
Akhirnya kepada Allah Swt. Penulis berharap agar skripsi ini menjadi titik sumber pengetahuan dan inspirasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
78