5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal
Analisis terhadap lingkungan internal pemerintah dan industri roti di Kota Bogor teridentifikasi beberapa faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan yang dapat mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Pratices di industri roti-kue di Kota Bogor. Analisis ini berdasarkan hasil depth interview
dengan para pakar/pelaku dan kajian literatur. Faktor-faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan dan kelemahan tercantum dalam Tabel 13.
Tabel 13 Faktor-faktor lingkungan internal No Faktor Lingkungan Internal
Kekuatan (Strenghts)
1 Lokasi Kota Bogor yang strategis menarik
2 Sektor industri makanan-minuman menjadi sektor basis perekonomian Bogor 3 Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 Dukungan sarana dan prasarana kota memadai 5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
6 Sumber keuangan daerah cukup baik
7 Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD
Kelemahan (Weakness)
1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan
2 Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan DFI masih terbatas 3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
4 Keterbatasan modal IKM
5 Media informasi/ publikasi masih terbatas
6 Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga kerja di IKM 7 Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan regular
5.1.1 Kekuatan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Lokasi Kota Bogor yang strategis
Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor dengan kondisi geografis yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya di Jabodetabek, serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara,
merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Lokasi yang berdekatan dengan ibu kota Jakarta juga memudahkan akses sumber informasi di pemerintahan pusat ibu kota seperti BPOM, Kementerian Perindustrian, Kementrian UKM, dan lainnya. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di pusat kota serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata Puncak - Cianjur menjadikan Kota Bogor sebagai salah satu alternatif pusat perbelanjaan, perdagangan dan wisata kuliner bagi masyarakat Kota Bogor dan sekitarnya.
Kota Bogor masih memberikan daya tarik yang besar bagi para wisatawan. Hal itu terlihat dari tingkat kunjungan wisatawan ke Kota Bogor di tahun 2011 yang mencapai 3.264.169 orang yang terdiri dari 3.112.414 wisatawan lokal dan 151.755 wisatawan mancanegara. Dengan demikian, kunjungan wisatawan tahun 2011 tumbuh sebesar 10,02% dibandingkan kunjungan wisatawan di tahun 2010 yang mencapai 2.967.426 orang (Bapeda, 2010). Tempat wisata di Kota Bogor yang menjadi tujuan para wisatawan diantaranya: Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Museum Zoologi, Museum Etnobotani, Prasasti Batu tulis, Danau Situgede, Taman Topi (Plaza Kapten Muslihat), Museum Tanah, Museum PETA, Museum Perjuangan, dan Wisata Air The Jungle.
Lokasi strategis menciptakan peluang pasar bagi produk industri IKM roti di Kota Bogor. Hal ini juga berdampak baik bagi perkembangan ekonomi industri roti di Kota Bogor.
2. Sektor industri makanan menjadi sektor basis perekonomian Bogor
Berdasarkan data BPS Kota Bogor, sektor kedua yang dominan dalam pembentukan PDRB Kota Bogor periode 2005-2009 adalah sektor industri pengolahan dengan laju 27,97 %. Pada sektor industri pengolahan, sub sektor dominan adalah sektor makanan, minuman dan tembakau dengan jumlah industri terbanyak. Berdasarkan data sensus industri tahun 2011, selama jangka waktu tahun 2005-2009 sektor makanan dan minuman menunjukan: 1) Peningkatan jumlah output terbesar dibanding sektor lain mencapai 595 juta rupiah; 2) Peningkatan nilai tambah dari 55,82 juta rupiah menjadi 435,07 juta rupiah (7,79 kali lipat).
Industri makanan dan minuman termasuk dalam kategori industri penggerak perekonomian Kota Bogor. Adapun ciri-ciri kelompok industri penggerak perekonomian antara lain: 1) Menggunakan bahan baku lokal (atau bahan baku yang mudah diperoleh; 2) Cara memproduksinya tidak sulit dikuasai oleh masyarakat setempat , karena berbasis talenta dan ketrampilan daerah ataupun kalau membutuhkan alih tehnologi akan mudah dilakukan atau tidak menuntut ketrampilan tinggi; 3) Sebagian besar produknya dapat diserap oleh pasar lokal/domestik, atau tidak memerlukan pemasaran yang sulit; 4) Mempunyai potensi untuk dikembangkan, apabila memungkinkan dikembangkan sebagai produk unggulan daerah (Bapeda, 2010).
3. Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
Pemerintah Kota Bogor telah memiliki laboratorium uji terakreditasi KAN (No akreditasi LP-443-IDN ) yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan yang beralamat di Jl. Kesehatan No. 3 Tanah Sareal Kota Bogor . Ruang lingkup yang dimiliki antara lain untuk pengujian kimia/fisika air dan air limbah, mikrobiologi makanan dan minuman, bahan tambahan/pengawet/pewarna makanan, hygiene dan sanitasi. Biaya pengujian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor No. 4 Tahun 2006.
Pengujian di laboratorium dibutuhkan dalam membuktikan pemenuhan persyaratan pada penerapan GMP seperti pengujian kualitas air yang digunakan sesuai standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002; pengujian cemaran mikroba dan kimia sesuai Peraturan Kepala Badan POM RI No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan; pengujian laboratorium untuk memeriksa status kesehatan pekerja.
4. Memiliki dukungan sarana dan prasarana kota memadai
Kota Bogor telah memiliki kualitas dan jaringan air bersih (PDAM) yang cukup baik untuk mendukung operasional industri roti dalam pemenuhan sumber air untuk proses produksi . Baku mutu air minum yang dipersyaratkan dalam penerapan GMP harus memenuhi standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002. Tingkat pelayanan Air minum oleh PDAM Tirta Pakuan melalui sambungan langsung (SR) pada tahun 2008 sebesar 98,72% (RPJMD Kota Bogor, 2010-2014).
Data Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (tahun 2008) menunjukan jaringan jalan Kota Bogor sepanjang 783,412 km yang dalam kondisi baik sekali sepanjang 255,046 km dan kondisi baik sepanjang 428,222 km. Di Kota Bogor terdapat satu stasiun, empat terminal kendaraan umum yaitu terminal Baranangsiang, terminal Merdeka, terminal Bubulak dan terminal Laladon. Aksesbilitas jalan dan kereta api di Kota Bogor yang cukup baik menghubungkan dengan wilayah eksternal mendukung potensi pemasaran industri roti.
Jaringan listrik di Kota Bogor tersedia cukup baik dimana jumlah pelanggan dan daya tersambung setiap kecamatan hampir merata, yang paling rendah di Bogor Timur (Tabel 14). Jaringan listrik yang baik mendukung bagi kegiatan produksi IKM roti.
Tabel 14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan di Kota Bogor tahun 2008
No Kecamatan Jumlah Langganan Daya Tersambung 1 Bogor Selatan 34.580 32.387.551 2 Bogor Timur 16.932 23.743.271 3 Bogor Utara 29.403 25.612.646 4 Bogor Tengah 23.004 50.527.466 5 Bogor Barat 35.833 28.448.908 6 Tanah Sareal 30.728 22.811.799 170.480 183.531.641
Sumber : Kota Bogor dalam Angka BPS ( 2008)
5. Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT oleh pemerintah daerah Kota Bogor
Sejak tahun 2010 pemerintah daerah Kota Bogor melalui Dinas Kesehatan Bogor telah menetapkan kebijakan untuk melakukan pembebasan biaya pendaftaran SP-PIRT sebesar Rp.300.000,-. Hal ini meringankan bagi IKM roti untuk memperoleh SP-PIRT, dimana SP-PIRT merupakan jaminan tertulis yang diberikan oleh Walikota terhadap pangan produksi IRTP yang telah memenuhi persyaratan antara lain GMP. Tata Cara untuk memperoleh SP-PIRT diatur dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
6. Sumber keuangan daerah cukup baik
Sumber penerimaan pemerintah daerah Kota Bogor berasal dari bagian pendapatan asli daerah , bagian dana perimbangan dan pendapatan lain yang syah. Pendapatan asli daerah Kota Bogor tahun 2011 mencapai Rp. 127.4888.089.831, - ; dana perimbangan mencapai Rp. 659.141.536.834,- dan dana pendapatan lain yang yang syah mencapai Rp. 56.121.435.000,-. Total sumber penerimaan pemerintah daerah Kota Bogor mencapai Rp. 842.751.061.665 (Tabel 15). Sumber penerimaan daerah menjadi modal bagi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah termasuk dalam pembiayaan kegiatan Dinas Kesehatan maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan terkait penyuluhan dan pengawasan IKM . Hal ini menjadikan iklim yang kondusif mendukung pemerintah daerah dalam melaksanakan program kerjanya.
Tabel 15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011
No Jenis Penerimaan Nilai
1 Bagian Pendapatan Asli daerah 127.488.089.831
1.1 Pajak Daerah 66.504.761.353
1.2 Restribusi Daerah 34.681.146.445 1.3 Bagian Laba Usaha Daerah 15.137.968.088
1.4 Penerimaan lain-lain 11.164.213.945
2. Bagian dana Perimbangan 659.141.536.834
2.1Bagi Hasil Pajak 129.983.594.372
2.2Bagi Hasil Bukan Pajak 18.704.027.015
2.3Dana Alokasi Umum 426.093.607.000
2.4Dana Alokasi Khusus (DAK) 9.756.700.000 2.5 Bagi Hasil Pajak & Bantuan Keuangan dari Propinsi 74.603.608.447 2.5.1 Bagi hasil Pajak Propinsi 74.603.608.447 2.5.2 bantuan Keuangan dari Propinsi -
3 Lain–lain Pendapatan yang syah 56.121.435.000
3.1 Hibah 2.999.965.000
3.2 Pendapatan lainnya 53.121.470.000
Jumlah Penerimaan 842.751.061.665
Sumber : Kota Bogor dalam Angka, BPS (2011)
7. Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD
Pemerintah Kota Bogor telah menyelenggarakan pertemuan rutin lintas satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program kerja rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), misalnya dalam urusan ketahanan pangan dengan indikasi kegiatan peningkatan distribusi,
mutu dan ketersediaan masyarakat maka terdapat jaringan koordinasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UKM .
5.1.2 Kelemahan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah yang mengacu ke Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah ditetapkan pemerintah melalui Badan Perencanaan Nasional (Bapenas). Bapenas telah menghimbau RAN-PG agar diacu oleh seluruh pemerintah daerah dalam penanganan masalah pangan-gizi untuk dijabarkan dalam Rencana Aksi Pangan- Gizi Daerah. RAN-PG yang berlaku saat ini RAN-PG tahun 2011-2015. RAN-PG disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi (1) perbaikan gizi masyarakat; (2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan pangan; (4)perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan dan gizi. Salah satu strategi kebijakan peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dilakukan melalui peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan dengan indikator capaian seperti tercantum dalam Tabel 16.
Adapun misi dalam RPJMD Kota Bogor tahun 2010-2014 yang terkait dalam peningkatan mutu keamanan pangan pada IKM tercantum pada misi 1 yaitu ”Mengembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada kegiatan jasa perdagangan” dengan strategi meningkatkan nilai tambah produk industri kecil menengah dan strategi meningkatkan distribusi, mutu dan ketersediaan bahan pangan . Namun belum ada stategi yang mengacu secara spesifik ke program / indikator RAN-PG.
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan, baru tahap pengkajian penyusunan rencana induk perdagangan dan perindustrian Kota Bogor yang dilakukan pada tahun 2011.
Tabel 16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015
No Program Indikator
1 Pengawas Obat dan Makanan Proporsi makanan yang memenuhi syarat 2 Pengawasam Produk dan Bahan
Berbahaya
Prosentase makanan yang mengandung cemaran bahan berbahaya yang dilarang
3 Inspeksi dan Sertifikasi Makanan ‐ Prosentase sarana produksi makanan MD yg memenuhi GMP terkini
‐ Prosentase sarana produksi makanan bayi dan anak yg memenuhi GMP terkiniuhi standar GRP/GDP ‐ Prosentase penjualan makanan yang meme 4 Peningkatan jumlah dan
kompetensi tenaga penyuluh dan pengawas
- Jumlah tenaga penyuluh keamanan (PKP) - Jumlah tenaga pengawas Kab/Kota (FDI) 5 Bimbingan teknis pada industri
rumah tangga pangan (IRTP)
- Jumlah penyusunan Modul Penerapan Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produk
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi Penerapan Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan implementasi CPPB pada IRTP
- Monitoring dan verifikasi CPPB pada IRTP - Monitoring dan verifikasi BinTek pada kantin
sekolah Sumber : Bappenas (2011)
Sedangkan secara nasional telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025 sebagaimana dinyatakan dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007; Kebijakan Pembangunan Industri Nasional melalui Peraturan Presiden 28 Tahun 2008; penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); dan Rencana Strategis Kementrian Perindustrian tahun 2010-2014. Rencana strategis tersebut perlu diacu dalam Rencana Strategis Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Arah kebijakan industri 2005-2025 seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 antara lain : 1) Pembangunan industri diarahkan mewujudkan industri berdaya saing baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan Industri Kecil dan Menengah; 2) Menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif, yang, antara lain, sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi), sarana dan prasarana teknologi, prasarana
pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas, serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri. Indikator kinerja urusan perindustrian yang telah ditetapkan dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dan Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan hanya mencakup jumlah industri kecil dan menengah (IKM) dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah IKM yang memanfaatkan teknologi tepat guna .
2. Jumlah dan keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan dan tenaga pengawas pangan masih terbatas
Penyelenggara penyuluhan keamanan pangan dikoordinasikan oleh WaliKotac.q. Dinas Kesehatan Kota melalui tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) yang diberi tugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada industri. Tenaga Pengawas Pangan Kota(District Food Inspector/DFI) diberi tugas untuk melakukan pengawasan keamanan pangan IRTP dalam rantai pangan. Kriteria tenaga PKP dan DFI dalah pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki Sertifikat kompetensi dari Badan POM dan ditugaskan oleh WaliKota c.q. Dinas Kesehatan Kota.
Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor hanya memiliki 4 tenaga PKP yang aktif bertugas, dimana 3 orang tersebut juga merangkap sebagai tenaga Pengawas Pangan Kota (DFI). Jika dibandingkan dengan jumlah industri kecil-menengah pangan keseluruhan tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 1.366 industri maka tenaga tersebut belum memadai. Mengingati tugas sebagai PKP dan DFI tersebut masih merangkap tugas-tugas lain terkait pengawasan obat, farmasi dan kesehatan. Latar belakang pendidikan yang dimiliki 4 tenaga PKP/ DFI semuanya adalah sarjana Farmasi. Hal ini menjadikan dukungan kompetensi PKP/DFI terutama dalam hal keamanan pangan, tehnologi dan proses industri pangan terbatas. Jumlah dan dukungan kompetensi tenaga PKP/DFI juga akan mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices di industri IKM roti di Kota Bogor.
3. Tingkat komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
Berdasarkan hasil depth interview dengan petugas PKP/DFI serta petugas pembina indusrti pangan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, salah satu faktor yang menyebabkan industri IKM roti-kue di Kota Bogor belum menerapkan Good Manufacturing Practices adalah kurangnya komitmen dan
dukungan dari pimpinan/pemilik IKM . Walaupun IKM telah mendapat penyuluhan dan pembinaan intensif dari pemerintah bila tanpa diikuti komitmen dan dukungan dari pimpinan/pemilik IKM menyebabkan penerapannya berhenti. Hal serupa ditemukan pada penelitian Wilcock et al. (2011) bahwa prioritas pertama yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SME’s yaitu komitmen manajemen puncak.
Selain itu kendala lain yang timbul selama pembinaan adalah sulitnya mengubah budaya kerja/perilaku dari tenaga kerja IKM kearah yang sesuai dengan aturan dalam Good Manufacturing Practices seperti budaya mencuci tangan, penggunaan masker, sarung tangan dan tutup kepala. Faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan pekerja adalah sikap kepimpinan dan komitmen manajemen terhadap program dan juga pelatihan yang tepat ( Wilcock et al., 2011).
4. Keterbatasan modal IKM
Industri pangan roti di Kota Bogor bila dikelompokkan berdasarkan interval / range investasi Rp. 50 juta, mayoritas berada pada nilai investasi di bawah Rp. 50 juta berjumlah 36 industri (78,3%) lihat Tabel 12 sebelumnya. Secara umum modal dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk menerapkan Good Manufacturing Practices membutuhkan dukungan dana seperti perbaikan fasilitas bangunan, penyediaan alat kerja, training dan lain-lain. Penelitian Karaman et al. (2012) menemukan bahwa biaya (46,4%) dan ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik (35,7%) merupakan penghalang utama untuk mengadopsi program prasyarat (PRPs) pada pabrik susu Aydın.
5. Media dan tehnologi informasi/penerbitan publikasi masih terbatas
Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor belum mempunyai media informasi/ publikasi/panduan yang diterbitkan dalam mendukung program penerapan Good Manufacturing Practices. Bahan materi diberikan kepada pemilik IKM pada saat mengikuti penyuluhan dan masih terbatas dalam bentuk slides, belum dalam bentuk audio visual. Belum ada modul atau panduan penerapan prinsip-prinsip keamanan pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produknya yang telah dibuat oleh pemerintah Kota Bogor. Tata cara dan informasi, data base industri yang memperoleh SP-PIRT belum secara aktif dipublikasikan termasuk dalam website Dinas Kesehatan.
6. Keterbatasan pemahaman aspek keamanan pangan tenaga kerja di IKM
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT yaitu sebanyak 497 maka sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan keseluruhan di Kota Bogor tahun 2011 sebanyak 1.335 industri. Hal tersebut menandakan masih banyak industri kecil yang belum paham terhadap aspek keamanan pangan. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu kurangnya pengetahuan tentang HACCP.
7. Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler
Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor Hk.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga Lampiran 1 butir g bahwa Bupati/ WaliKota cq. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan monitoring (pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT yang telah diterbitkan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Sampai saat ini industri yang telah mendapatkan SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Kota Bogor belum seluruhnya dilakukan monitoring (pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT 1 (satu) kali dalam setahun. Hal ini sangat terkendala dengan jumlah tenaga pengawas /DFI yang terbatas.