• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara umum, faktor internal yang mempengaruhi pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta, ada dua jenis faktor yang menjadi kekuatan dan faktor yang menjadi kelemahan dalam pemasaran. Faktor yang menjadi kekuatan merupakan faktor internal yang bila berkembang dengan baik akan memperkuat posisi tawar pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang, sedangkan faktor kelemahan meruapakan faktor internal yang bila tidak dikontrol dengan baik atau dibiarkan terlalu bebas dapat menghambat kegiatan pemasaran produk olahan hasil perikanan tersebut. Terkait dengan ini, maka perimbangan faktor kekuatan dan kelemahan ini akan menentukan posisi atau kondisi pengelolaan internal dari pemasaran produk olahan hasil perikanan saat ini di DKI Jakarta. Tabel 5 menyajikan hasil indentifikasi kelompok faktor internal yang mempengaruhi pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta.

Tabel 5 Kelompok faktor internal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta

Faktor Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan :

Kekompakan pelaku pemasaran

produk 0.14 4 0.56

Kemampuan modal mandiri 0.12 3 0.36

Keawetan produk 0.09 3 0.27

Penguasaan jaringan pemasaran 0.11 3 0.33

Keterampilan pengemasan produk

yang dipasarkan 0.06 3 0.18

Kemampuan pengadaan alat bantu

pemasaran secara mandiri 0.04 4 0.16

Kelemahan :

Kontinuitas produksi 0.16 1 0.16

Keseragaman ukuran fisik produk 0.09 2 0.18

Konflik antar pelaku pemasaran

produk olahan 0.05 2 0.1

Peralatan distribusi/transportasi

pemasaran 0.1 2 0.2

Penanganan produk reject di pasar 0.04 2 0.08

Total 1 2.58

Pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan ikan umum dari rumah tangga nelayan (RTN). Oleh karena anggota RTN, maka kekompokkan yang terjadi diantara pelaku pemasaran produk olahan ikan asin dan pindang ini sangat kental (rating = 4, sangat tinggi). Kekompakkan ini merupakan faktor internal yang sangat mempengaruhi kegiatan pemasaran produk yang dilakukan nelayan (bobot = 0,14, atau 14% dari total peran semua faktor internal). Meskipun pada kondisi tertentu keuntungan yang didapat tidak bagus misalnya, tetapi mereka tetap semangat, karena sedikit banyak keuntungan akan dinikmati bersama. Kondisi ini terjadi pada beberapa sentra produk olahan hasil perikanan DKI Jakarta, seperti di Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara.

Modal kerja termasuk faktor internal yang juga penting bagi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asing

dan pindang di DKI Jakarta. Secara umum pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan DKI Jakarta termasuk keluarga nelayan/masyarakat kecil dan menengah yang mempunyai peralatan pengolah sederhana dan dapat memasarkan produknya secara mandiri, meskipun terkadang dalam jumlah terbatas. Kemampuan modal kerja mereka umumnya relatif sama dengan pelaku pemasaran produk perikanan lainnya di tanah air, yang dari segi jumlah masih termasuk kecil (DKP, 2008). Kalaupun ada pelaku pemasaran dengan modal besar, umumnya dalam skala perusahaan atau pemilik pabrik/usaha olahan di lokasi, namun secara rata-rata berdasarkan populasi, pelaku pemasaran produk perikanan di DKI Jakarta dengan basis di Jakarta Utara mempunyai kemampuan pemodalan mandiri yang baik (rating = 3/tinggi). Terkait dengan ini, maka dukungan modal kerja ini terhadap pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang ini perlu dipertahankan. Secara umum, kemampuan mereka dalam pemodalan selama ini telah banyak membantu pengembangan usaha pemasaran produk olahan hasil perikanan yang dilakukan.

Keawetan produk merupakan faktor internal penting dalam mendukung ketahanan produk dipasaran dan secara jangka panjang mendukung keberlanjutan pemasaran produk ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Kepentingan pengelolaan pemasaran terhadap faktor internal ini diduga mencapai 9% (bobot 0,09) dari 11 faktor/komponen dalam kelompok faktor internal. Selama ini, pelaku pemasaran produk olahan Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara memanfaatkan teknik pengeringan alami (matahari) yang cukup untuk mempertahankan keawetan produk yang dipasarkan. Sedangkan ikan pindang mengandalkan ramuan bumbu pindang (garam, rempah-rempah) dan kadar air minimal untuk mempertahankan keawetan ikan pindang yang dihasilkan (DKPP DKI Jakarta, 2009). Teknik pengeringan/pengawetan ini sangat membantu pemasaran produk olahan ikan asin dan pindang, sehingga ketahanannya lebih lama (rating = 3/tinggi). Penguasaan jaringan pemasaran juga menjadi kekuatan penting dalam pemasaran

produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Semakin banyak tahu perilaku konsumen ibu kota dan lokasi yang banyak konsumsi produk olahan hasil perikanan, maka pemasaran produk berkembang pesat (bobot = 0,11). Hal ini banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Disamping dipasarkan di lokasi terdekat, mereka juga mengirim produknya ke pasar potensial di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor, dan Bekasi baik dengan tujaun pasar trasional maupun swalayan (rating = 2/tinggi).

Keterampilan dalam pengemasan produk juga berperan besar bagi kelangsungan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang. Selama ini, pelaku pemasaran di sekitar PPS Nizam Zachman, Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara umumnya akan membungkus ikan asin yang dihasilkan setelah benar-benar kering, dan untuk ikan asin ukuran besar akan dipotong lebih kecil untuk menurunkan kadar airnya dan membungkusnya ke dalam kotak karton sehingga penampilannya lebih menarik (rating = 3/tinggi). Perhatian terkait pengemasan ini juga terjadi pada ikan pindang. Untuk ikan pindang ukuran besar dan sedang dibungkus daun pisang dan ikan pindang ukuran kecil dikemas dalam anyaman bambu. Menurut DKPP DKI Jakarta (2009), teknis pengemasan ini dipilih supaya ikan pindang tidak lengket/nempel satu sama lain yang dapat mengurangi penampilan produk.

Pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang ini umumnya dapat menyiapkan alat bantu pemasaran secara manidiri, seperti anyaman bambu untuk wadah, alat ukur/takar, peralatan pikul produk, dan lainnya. Kemampuan pengadaan alat bantu pemasaran secara mandiri ini, memberi keuntungan bagi pelaku pemasaran tersebut untuk biaya operasional. Selama ini pelaku pemasaran ini hanya tinggal membeli bahan yang diperlukan, seperti bambu, rotan, tali rapia, dan lainnya. Menurut Moeljanto (1996), pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan, umumnya terbiasa memperbaiki sendiri alat pendukung pemasaran yang yang rusak/robek di saat santai. Di DKI Jakarat hal ini

terjadi, dimana bila ada waktu senggang, beberapa di antara pengolah/pedagang ikan menyibukkan diri dengan membuat alat bantu pemasaran baru baik untuk kepentingan sendiri maupun dijual kemudian (rating = 4/sangat tinggi). Dukungan faktor internal ini terhadap pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan ini di DKI Jakarta mempunyai skor sekitar 0,16.

Kontinuitas produksi selama ini sering menjadi menjadi kelemahan utama dari pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan hasil di DKI Jakarta. Selama ini, produk ikan asin dan pindang umumnya diproduksi pada musim puncak (banyak ikan), sedangkan pada musim lainnya, terutama paceklik tidak banyak. Hal ini tentu kurang baik untuk memperluas pemasaran produk, padahal kontinuitas penting untuk kestabilan pememuhan pemintaan produk di pasaran (bobot = 0,16). Praktek penyediaan produk olahan hasil perikanan yang hanya banyak pada musim puncak (banyak ikan) telah berlangsung lama di lokasi dan sering dianggap hanya sebagai bentuk pengalihan diwaktu harga ikan segar turun di musim puncak (rating = 1). Hal ini perlu dicari jalan keluar yang tepat, sehingga pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan lebih baik, apalagi sentra kegiatan ini sangat dekat pasar potensial Ibukota Jakarta.

Keseragaman ukuran fisik produk olahan yang dijual pelaku pemasaran hasil perikanan juga termasuk rendah di DKI Jakarta, dan juga menjadi kelemahan serius dalam pengelolalaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Selama ini, produk yang diasinkan umumnya berasal dari ikan segar yang kondisinya kurang baik dan ikan segar tujuan ekspor yang tidak masuk size. Kondisi ini tentu membuat ukuran ikan yang telah diasinkan dan dipindang tersebut lebih beragam dari umumnya ikan hasil perikanan rating = 2/biasa).

Konflik internal merupakan faktor internal yang juga menjadi kelemahan dalam pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta. Beberapa konflik yang pernah terjadi di lokasi, seperti perebutan tempat mangkal, konflik tentang perbedaan harga jual untuk

menarik minat pembeli, dan lainnya (DKPP DKI Jakarta, 2009). Sampai saat ini ada yang berhasil diselesaikan dengan baik, dan ada yang belum karena sifatnya berulang (rating = 2/biasa). Oleh karena kondisi ini, maka dukungan terkait penanganan konflik ini perlu ditingkatkan, sehingga pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta lebih baik lagi.

Peralatan distribusi/transportasi pemasaran juga tidak dimiliki oleh kebanyakan pelaku pemasaran hasil perikanan di DKI Jakarta, meskipun punya kemampuan dalam penyediaan peralatan pendukung yang dibuat manual. Hal ini menjadi kelemahan pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan selama ini di DKI Jakarta, dan belum dapat dipecahkannya karena kontinyuitas produk yang dipasarkan juga kurang stabil (rating = 2/biasa). Penanganan produk reject masih kurang baik dilakukan oleh pelaku pemasaran hasil perikanan ini. Radawati (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ikan asin yang sudah berjamur dengan yang bagus sering disatukan oleh pelaku pemasaran perikanan supaya tetap dijual. Padahal hal ini kurang bagus dan justru mempercepat jamuran ikan asin lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada ikan pindang, dimana ikan pindang sudah lama sering satukan dengan ikan pindang baru, padahal tetesan airnya dapat mempercepat membusuknya ikan pindang baru. Namun demikian, hal ini sudah mulai berkurang dalam dua tahun terakhir (rating = 2/biasa), setelah ada penyuluhan dari instansi terkait akan dampak pembusukan bagi produk lainnya dan citra produk yang jelek di konsumen. Penyuluhan ini perlu dilakukan lebih intensif, sehingga pemahaman dan keterampilan pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan tentang penanganan produk reject lebih baik.