• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS RISIKO PRODUKSI PEMBENIHAN IKAN LELE

6.1. Identifikasi Sumber Risiko Produksi

Sumber risiko produksi pada usaha pembenihan ikan menurut Dewiaji (2011), Saputra (2011), Ferdian (2011) dan Sahar (2010), yaitu kualitas induk, kualitas pakan, kualitas air, suhu air, cuaca, kanibalisme, hama, penyakit, dan sumber daya manusia. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan di lokasi pembenihan ikan lele sangkuriang pada Saung Lele, tidak semua sumber risiko terdapat pada kegiatan usaha Saung Lele atau dikategorikan sebagai sumber risiko yang dihadapi oleh Saung Lele. Sumber risiko produksi seperti kualitas induk, kualitas pakan, cuaca, dan sumber daya manusia tidak dikategorikan sebagai sumber risiko produksi karena beberapa pertimbangan yaitu sebagai berikut : a. Kualitas induk akan mempengaruhi hasil produksi yang apabila kualitas induk

yang digunakan berkualitas buruk baik itu jantan atau betina, maka akan menyebabkan fekunditas (jumlah telur) yang dihasilkan sedikit, ýþÿlzation

rate (derajat pembuahan) dan hatching rate (derajat penetasan yang rendah, serta benih yang berkualitas buruk (pertumbuhan yang lambat, pergerakan yang pasif atau daya tahan yang buruk sehingga rentan kematian). Faktor- faktor tersebut dapat menyebabkan SR benih bernilai rendah. Kualitas induk lele Sangkuriang yang buruk yaitu induk yang afkir (berumur lebih dari 5 tahun), induk yang sakit atau luka, dan induk yang belum matang gonad secara sempurna. Namun berdasarkan identifikasi, kualitas induk tidak termasuk dalam sumber risiko produksi pada kegiatan usaha pembenihan di Saung Lele karena induk yang digunakan berumur 2-3 tahun dan berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Subang. Selain itu induk yang digunakan untuk pemijahan adalah induk yang matang gonad secara sempurna. Induk yang belum siap pijah atau yang sudah dipijahkan, memiliki waktu 9-10 bulan untuk pemeliharaan kembali hingga matang gonad. Pada saat pemeliharaan, pakan yang diberikan kepada induk adalah pakan buatan dan pakan racikan yang bertujuan untuk mematangkan gonad induk lele

Sangkuriang sehingga mampu menghasilkan telur, larva dan benih yang berkualitas baik, dengan pertumbuhan yang cepat dan daya tahan yang kuat. b. Kualitas pakan menjadi salah satu masalah dalam risiko produksi, namun tidak

dikategorikan kedalam sumber risiko produksi yang ada pada Saung Lele. Hal tersebut dikarenakan kualitas pakan yang buruk tidak memberikan dampak langsung terhadap kematian benih namun memberikan kontribusi atas terjadinya sumber risiko produksi. Kualitas pakan yang buruk dapat menghambat pertumbuhan benih, namun tidak menyebabkan kematian secara langsung. Selain itu, kualitas pakan yang buruk seperti halnya pakan alami yang tidak bersih atau pakan buatan yang sangat mudah larut dapat menyebabkan kualitas air yang buruk sehingga dapat menyebabkan kematian benih. Namun walau demikian, kematian benih tersebut bukan disebabkan oleh kualitas pakan yang buruk, namun kualitas air yang buruk yang disebabkan oleh kualitas pakan yang buruk. Pada saung lele, kualitas pakan yang diberikan memiliki kadar protein yang tinggi yaitu pakan alami berupa cacing sutera yang memiliki kadar protein 57 persen dan pakan buatan berupa pelet jenis tepung yang memiliki kadar protein sebesar 40 persen.

c. Suhu air dapat dikategorikan sebagai sumber risiko produksi. Berdasarkan peneliti sebelumnya, perubahan suhu air yang drastis dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian. Pada penelitian kali ini, suhu air yang dimaksud adalah perubahan suhu air 50 C secara drastis ke dalam kualitas air agar tidak terjadi pembahasan yang tumpang tindih. Hal ini dikarenakan suhu air adalah bagian dari kualitas air yaitu parameter fisika.

d. Cuaca adalah faktor yang memberikan kontribusi atas terjadinya sumber risiko produksi yaitu kualitas air (pH asam dan perubahan suhu lebih dari50C secara drastis), sehingga pada hasil penelitian ini tidak memasukan cuaca kedalam sumber risiko produksi. Hal tersebut dikarenakan cuaca tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun cuaca menyebabkan terjadinya sumber risiko produksi kualitas air (pH asam dan perubahan suhu lebih dari 50 C secara drastis) yang dapat menyebabkan kematian benih.

e. Menurut pimpinan saung lele dan beradasarkan hasil pengamatan peneliti, sumber daya manusia yang ada di Saung Lele terutama SDM pada bagian

produksi memiliki keterampilan yang baik dan tingkat disiplin yang tinggi sehingga sumber daya manusia atau tenaga kerja tidak dikategorikan sebagai sumber risiko produksi. Manajer produksi pada Saung Lele memiliki tingkat pendidikan S1 dalam ilmu perikanan dan menjalankan kegiatan pembenihan ikan lele sejak tahun 2009. Sedangkan karyawan atau tenaga kerja bagian produksi memiliki keterampilan karena telah menjalankan kegiatan pembenihan ikan lele sejak tahun 2002.

Setelah dilakukan identifikasi dari sembilan sumber risiko produksi pada perikanan, terdapat empat sumber risiko produksi yang dihadapi oleh Saung Lele yang dapat menyebabkan nilai derajat kelangsungan hidup (SR / ) benih lele sangkuriang berfluktuasi. Sumber risiko tersebut yaitu hama, penyakit, kualitas air dan kanibalisme. Identifikasi sumber risiko dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan. Hasil wawancara pemilik usaha dan tenaga kerja bagian produksi adalah informasi dan data mengenai SR benih dan penyebab kematian pada bulan Januari hingga November 2012. Sedangkan pengamatan atau observasi dilakukan pada bulan Desember 2012. Sumber risiko produksi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hama

Hama adalah organisme pengganggu yang dapat bersifat sebagai predator (pemangsa), perusak dan kompetitor (pesaing). Hama akan menyerang ikan bila berada pada lingkungan pemeliharaan. Hama yang berada dan sering menyerang benih di Saung Lele yaitu ucrit dan kini-kini. Hama ini bersifat predator atau pemangsa.

Ucrit merupakan larva kumbang air yang bersifat predator dengan memangsa larva dan benih lele hingga ukuran 2-3 cm. Bentuknya menyerupai kelabang. Nama umum dari ucrit adalah l l atau larva y . Ucrit memangsa benih dengan menangkap benih terlebih dahulu menggunakan taringnya. Kemudian benih ikan dilumpuhkan dengan menggunakan ujung ekor, sementara taringnya mulai memangsa benih ikan dengan cara sedikit demi sedikit merobek tubuh mangsanya dan menghisap darahnya. Ucrit lebih cenderung memangsa benih yang pergerakannya lemah atau pada saat padat tebar benih yang

tinggi, karena ucrit termasuk organisme perenang lambat sehingga tidak memburu dengan mengejar mangsanya. Namun dengan kondisi benih yang lemah dan padat tebar tinggi, memudahkan ucrit untuk menangkap mangsanya.

Kini-kini adalah larva capung yang bersifat predator bagi larva hingga benih berukuran 2-3 cm. Keadaan kini-kini dapat diindikatorkan dengan terdapatnya capung-capung yang berterbangan pada lingkungan pemeliharaan. Semakin banyak jumlah capung yang ada, maka semakin banyak pula populasi kini-kini. Kini-kini memiliki alat khusus berupa rahang yang kuat dan besar untuk menangkap mangsanya. Pergerakan kini-kini cukup cepat karena dilengkapi dengan tangan dan kaki serta alat bantu renang yang terdapat di bagian ekornya. Selain itu, kini-kini dapat melakukan penyamaran dengan bersembunyi di dasar kolam maupun dinding bak. Kini-kini memangsa benih dengan cara menghisap darah benih ikan.

Ucrit dan kini-kini umumnya memangsa larva ikan saat umur 1-7 hari. Jika terdapat masing-masing 10-15 ekor hama tersebut dalam satu kolam, dapat mengakibatkan kematian larva dan benih hingga 15.000 ekor. Kematian terbanyak pada larva dan benih di Saung Lele yang diakibatkan hama ucrit dan kini-kini terjadi pada bulan Juni hingga September dengan tingkat kematian 30 45 % dari total kematian. Pada Saung Lele, kematian yang disebabkan oleh hama yaitu sebanyak 138.816 ekor dari jumlah benih awal yaitu 2.054.250 ekor. Kematian tersebut adalah kematian yang terjadi sejak Januari November 2012.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Desember 2012 di lokasi penelitian, ditemukan 3 ekor hama ucrit dan 1 ekor hama kini-kini. Jumlah kematian benih yang terjadi pada bulan Desember 2012 yang disebabkan oleh hama yaitu 2.335 ekor dari jumlah benih awal yaitu 186.750 ekor.

2. Penyakit

Wadah dan media pemeliharaan yang berkualitas buruk akan memicu timbulnya penyakit. Penyakit yang menyerang benih ikan lele di Saung Lele cenderung diakibatkan oleh bakteri dan jamur. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah Motile Aeromonas Septicemea (MAS) atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit bercak merah. Penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri

Aeromonas hydrophila. Sedangkan jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada benih lele adalah jamurSapolegniadan jamurAchyla.

Bakteri Aeromonas hydrophila ini dikenal sebagai bakteri yang bersifat oportunis, yaitu jarang menyerang pada ikan yang sehat tetapi dapat menginfeksi pada saat sistem pertahanan tubuh ikan sedang menurun akibat stres. Stres ikan akan muncul pada saat penanganan yang kurang baik kepadatan yang terlalu tinggi, nutrisi yang tidak memadai dan kualitas air yang buruk. Benih yang terserang penyakit ini dapat menunjukkan gejala antara lain kematian mendadak, berkurangnya nafsu makan, gerakan berenang yang tidak normal (berputar-putar di atas permukaan air), insang pucat, pembengkakan tubuh atau luka-luka pada tubuh ikan dan pemborokan mata. Kematian benih yang disebabkan karena penyakit MAS dalam satu kolam dapat mencapai Mortalitas rate 80 95% dan dalam kurun waktu yang singkat sekitar 1 2 minggu.

Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya menyerang benih lele yang dalam kondisi terluka. Kedua jamur ini bisa menyerang telur, larva, benih dan lele dewasa. Gejala serangan jamur dapat diketahui dari tumbuhnya serabut seperti kapas di telur dan larva. Pada benih lele dan lele berukuran dewasa, serabut seperti kapas ini tumbuh di kulit, mulut, dan kumis. Gejala lele yang terserang jamur terlihat seing berputar-putar saat berenang. Kematian benih yang disebabkan karena jamur dalam satu kolam dapat mencapai Mortalitas rate 5 20%. Kematian terbanyak pada benih di Saung Lele yang diakibatkan penyakit terjadi pada bulan Maret hingga Mei dengan tingkat kematian 40 45 % dari total kematian. Pada Saung Lele, kematian yang disebabkan oleh penyakit yaitu sebanyak 149.471 ekor dari jumlah benih awal yaitu 2.054.250 ekor. Kematian tersebut adalah kematian yang terjadi sejak Januari November 2012.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Desember 2012 di lokasi penelitian, penyakit yang menyebabkan kematian pada benih yaitu penyakit yang disebabkan oleh jamur. Jumlah kematian benih yang terjadi pada bulan Desember 2012 yang disebabkan oleh penyakit yaitu 1.410 ekor dari jumlah benih awal yaitu 186.750 ekor.

3. Kualitas Air (pH Asam dan Perubahan Suhu Air lebih dari 50 C secara Drastis)

Air adalah media yang digunakan dalam pemeliharaan ikan. Kualitas air didefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran tertentu. Namun kualitas air yang buruk dapat menyebabkan kematian larva atau benih yang dapat merugikan suatu usaha. Kematian larva atau benih yang terjadi di Saung Lele yaitu disebabkan kandungan pH air yang rendah atau dibawah 5. Selain pH yang asam, kematian juga dapat disebabkan karena perubahan suhu lebih dari 50 C secara drastis dalam waktu yang singkat. Perubahan suhu lebih dari 50C yang drastis tidak hanya menyebabkan kematian, namun juga menghambat laju pertumbuhan benih ikan. Kematian benih yang disebabkan oleh perubahan suhu dalam satu kolam dapat mencapai Mortalitas rateyaitu 5 40 %.

Kematian benih yang disebabkan pH asam terjadi pada bulan-bulan musim hujan. Ciri-ciri media pemeliharaan dengan pH asam yaitu air mulai banyak buih yang berbusa dan bila dicium agak berbau, benih ikan mulai banyak yang terapung dengan moncong tegak ke atas dan pergerakannya yang pasif, tubuh benih lele berwarna pucat, dan mulai mulai banyak kematian benih. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan pH asam pada media pemeliharaan adalah : 1) sumber air yang digunakan memiliki nilai pH asam, 2) sisa pakan yang tidak termakan sehingga mengendap pada dasar air dan semakin bertambah setiap pemberian pakan, 3) respirasi ikan dan feses dari hasil metabolisme ikan, 4) air hujan yang turun ke kolam pemeliharaan, sehingga media pemeliharaan menjadi asam karena air hujan yang terjadi saat ini memiliki kandungan pH berkisar 4,46 - 6,38. Kematian benih yang disebabkan oleh pH asam dalam satu kolam dapat mencapaiMortalitas rate5 40 %. Kematian terbanyak pada benih di Saung Lele yang diakibatkan kualitas air terjadi pada bulan Oktober hingga Januari dengan tingkat kematian 35 65 % dari total kematian. Pada Saung Lele, kematian yang disebabkan oleh kualitas air (pH asam dan perubahan suhu secara drastis) yaitu sebanyak 201.064 ekor dari jumlah benih awal yaitu 2.054.250 ekor. Kematian tersebut adalah kematian yang terjadi sejak Januari November 2012.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Desember 2012 di lokasi penelitian, jumlah kematian benih yang terjadi pada bulan Desember 2012 yang disebabkan oleh kualitas air (pH asam dan perubahan suhu secara drastis) yaitu 30.877 ekor dari jumlah benih awal yaitu 186.750 ekor.

4. Kanibalisme

Kanibalisme adalah perilaku dimana suatu mahluk hidup memakan mahluk hidup sejenis lainnya. Ikan lele termasuk hewan yang bersifat kanibalisme. Kanibalisme dapat terjadi apabila dalam satu wadah pemeliharaan terdapat keragaman ukuran benih. Benih lele yang berukuran besar dapat memangsa benih yang berukuran kecil. Kanibalisme terjadi tidak hanya karena keragaman ukuran, namun juga karena kualitas benih. Biasanya benih yang berkualitas baik (lincah dan aktif) akan memangsa benih yang berkualitas buruk (pasif), walaupun ukuran badan benih yang kanibal lebih kecil dari benih yang dimangsa. Kanibalisme juga dapat disebabkan oleh padat tebar yang terlalu tinggi. Padat tebar yang tinggi mengakibatkan ruang gerak ikan terbatas dan tingkat persaingan makanan dan oksigen menjadi tinggi. Kondisi tersebut menjadi pemicu munculnya sifat kanibal untuk saling memangsa. Selain itu, penyebab kanibalisme yang paling besar adalah kurangnya ketersediaan pakan yang ada pada wadah pemeliharaan. Kurangnya ketersediaan pakan menyebabkan benih ikan berada pada kondisi lapar sehingga dapat menjadi kanibal.

Kanibalisme sering terjadi pada saat musim hujan. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan pasokan pakan alami berupa cacing sutera pada musim tersebut. Keterlambatan dalam melakukan sortir juga dapat memicu tingginya tingkat kanibalisme. Kematian benih yang disebabkan oleh kanibalisme dalam satu kolam dapat mencapai Mortalitas rate 5 50 %. Kematian terbanyak pada benih di Saung Lele yang diakibatkan kanibalisme terjadi pada bulan Oktober hingga Februari dengan tingkat kematian 40 60 % dari total kematian.

Pada Saung Lele, kematian yang disebabkan oleh kanibalisme yaitu sebanyak 130.670 ekor dari jumlah benih awal yaitu 2.054.250 ekor. Kematian tersebut adalah kematian yang terjadi sejak Januari November 2012.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Desember 2012 di lokasi penelitian, jumlah kematian benih yang terjadi pada bulan Desember 2012 yang disebabkan oleh kanibalisme yaitu 12.803 ekor dari jumlah benih awal yaitu 186.750 ekor.

Dokumen terkait