• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Mahasiswa Berdasarkan Gaya Berpakaiannya

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Skema Hasil Penelitian

D.1. Identitas Mahasiswa Berdasarkan Gaya Berpakaiannya

D. Pembahasan

D.1. Identitas Mahasiswa Berdasarkan Gaya Berpakaiannya

Hasil penelitian pada mahasiswa yang berusia 18-23 tahun dan sedang kuliah di Yogyakarta ini menunjukkan bahwa mereka mengartikan pakaian ke dalam tiga hal, yaitu norma, kenyamanan, dan ekspresi diri. Dalam menentukan pilihan pakaiannya, mereka mengadopsi perkembangan mode dan tren yang ditawarkan media, tetapi dalam praktek sehari-hari mereka cenderung menyesuaikannya dengan norma yang ada di masyarakat. Mereka cenderung memperhatikan pakaiannya pada saat berada di ruang publik seperti tempat ibadah, kampus, tempat kondangan, tempat main, serta tempat kerja. Mereka cenderung mengikuti norma yang berlaku di masing-masing ruang sosial seperti tempat ibadah, kampus, dan tempat kondangan. Akan tetapi, mereka akan mengenakan pakaian yang nyaman dan mengekspresikan identitas saat mereka berada di ruang pribadi. Data bahwa mahasiswa selalu mempertimbangkan lingkungan sosial dalam memilih pakaiannya menunjukkan bahwa bagi mahasiswa keselarasan dengan lingkungan itu penting.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil objektivikasi pakaian pada mahasiswa adalah kesopanan dan kepantasan, kenyamanan, dan keunikan. Adapun yang dimaksud dengan objektivikasi adalah usaha untuk mengubah sebuah ide abstrak mengenai arti berpakaian menjadi sesuatu yang hampir konkret yang ada di dunia fisikal. Melalui proses objektivikasi inilah, ide-ide yang asing mengenai arti pakaian tersebut menjadi lebih konkret dan dikenal. Sedangkan yang dimaksud

dengan Anchoring adalah proses pengenalan informasi baru mengenai pakaian yang

dimiliki mahasiswa dikaitkan dengan suatu objek tertentu yang ada dalam pikiran

mahasiswa. Anchoring dalam penelitian ini adalah berupa tindakan mahasiswa dalam

mengenakan pakaian, yaitu berusaha tetap menonjolkan keunikan pribadinya, namun tetap menyesuaikan dengan ruang dan waktu. Mahasiswa mengekspresikan dirinya sesuai dengan tempat di mana dirinya ia berada.

Fakta bahwa mahasiswa selalu memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat dalam menentukan pakaiannya menunjukkan bahwa mereka masih berpegang teguh pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat saat ini, khususnya nilai agama dan nilai budaya. Mereka mempertimbangkan nilai-nilai hidup orang pada budaya Timur dalam menentukan pakaiannya, yaitu kepantasan dan kesopanan dalam rangka menghargai orang lain. Untuk saat ini, norma kesantunan dalam masyarakat adalah pakaian yang tertutup. Sementara pakaian yang terbuka diidentikkan dengan budaya Barat.

D.1.a. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Ibadah

Jika dilihat dari sejarah berpakaian dalam kultur kita, pada awalnya masyarakat Indonesia mengenakan pakaian yang terbuka (Nordholt, 2005). Masyarakat mulai menggunakan pakaian sebagai penutup tubuh dan mengenakan pakaian yang tertutup sejak mengenal agama, khususnya agama Islam dan Kristen (Lombard, 1996; Nordholt, 2005). Menurut van Dijk (2005), kedua agama ini memandang ketelanjangan adalah manifestasi luar dari kekafiran dan kemunduran. Masyarakat dipaksa supaya menutup tubuh mereka (Nordholt, 2005). Dalam Islam, pakaian

merupakan sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk mengartikan pakaian yang bersih yang memancarkan keindahan, berukuran panjang dan tidak jarang (menutup aurat), bertudung kepala (Ismail, 1993). Sementara dalam agama Kristen, khususnya katolik, saat akan merayakan Misa, umat diharapkan untuk mempersiapkan dirinya selayaknya untuk orang mau pergi ke pesta atau undangan seseorang yang dihormati, yaitu Tuhan sendiri. Saat Misa, setiap orang diwajibkan untuk berperilaku pantas, termasuk berpakaian sopan, rapi, dan bersih (Saunders, 1999). Jenis pakaian seperti celana pendek, kaos oblong, celana ketat, dan baju tanpa lengan dipandang tidak pantas untuk dikenakan di gereja. Pengaruh dari kedua agama masih sangat kuat dan terbawa hingga saat ini. Mahasiswa-mahasiswa yang menjadi responden penelitian ini memperhitungkan nilai-nilai kepantasan sesuai dengan nilai agama. Hal ini tampak dari kecenderungan mereka memperhatikan pakaiannya didominasi ketika mereka beribadah dengan mempertimbangkan ketertutupan, kerapian, dan kebersihan.

D.1.b. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kampus

Pertimbangan kedua setelah tempat ibadah adalah kampus. Nilai kepantasan di kampus terekspresi dalam pakaian yang rapi dan formal, di mana mahasiswa dituntut untuk mengartikan pakaian tertutup yang berkerah, celana panjang yang tidak sobek, serta tidak mengenakan sandal jepit. Aturan kampus ini bertujuan untuk membiasakan mahasiswa supaya terbiasa mengenakan pakaian yang rapi dan formal seperti halnya dalam dunia kerja. Hal ini tampak lebih jelas dalam aturan berpakaian di prodi profesi. Mereka di tuntut untuk berpenampilan rapi, formal dan profesional,

seperti yang dilakukan oleh salah satu responden mahasiswa profesi Apoteker, ia wajib mengenakan dasi, kemeja lengan panjang, celana kain hitam, dan sepatu pantofel setiap kali kuliah. Artinya universitas itu mempersiapkan anak didiknya untuk diterima oleh dunia kerja. Hal ini berlaku hampir di semua universitas, kecuali universitas yang bernafaskan Islam, seperti UII dan UIN. Mahasiswa di kedua untiversitas tidak hanya diwajibkan untuk mengenakan pakaian pantas, tapi juga diwajibkan mengenakan busana muslimah, khususnya pada mahasiswi. Mahasiswi wajib mengenakan baju panjang, menutup pantat, tidak memperlihatkan aurat, tidak ketat, dan jilbab (Keputusan Rektor UIN…, 2005; Hanifah, 2009). Artinya, universitas ini tidak hanya menyiapkan mahasiswa terjun ke dunia kerja, melainkan juga menyiapkan mahasiswanya untuk masuk ke masyarakat yang sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.

D.1.c. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kondangan

Kemudian, pertimbangan ketiga adalah tempat kondangan (pernikahan, acara keluarga). Di mana nilai kepantasannya adalah pakaian yang formal, tertutup, dan rapi. Ruang sosial yang ketiga ini mengekspresikan nilai-nilai masyarakat yang sangat mementingkan keselarasan dengan sosial. Artinya, bagaimana mahasiswa berpakaian mencerminkan cara dia menghargai orang lain. Hal ini tergambar dari

ungkapan ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana yang artinya bahwa

antara jiwa dan raga perlu perhatian khusus, agar dirinya mendapat perhormatan dari orang lain (Purwadi, 2007). Jika ia mengenakan pakaian yang tidak pantas, ia dipandang tidak menghargai orang yang mengundang. Hal ini menunjukkan bahwa

mahasiswa yang menjadi responden penelitian ini menghayati nilai-nilai yang ada di masyarakat Timur, khususnya nilai hormat, nilai rukun, dan nilai toleransi yang dihidupi masyarakat Jawa di mana lokasi penelitian ini dilakukan.

Hal ini bila dilihat dari konteks penelitian di mana Yogyakarta yang menjadi lokus penelitian ini memiliki budaya yang dominan yaitu budaya Jawa serta sebagaian besar responden penelitian ini adalah etnis Jawa. Dalam buku Etika Jawa, Magnis-Suseno (2001) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa memiliki dua prinsip hidup, yaitu hormat dan rukun. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dan keselaran dalam masyarakatnya. Menurut Magnis-Suseno (2001), segala perilaku sosial seseorang beretnis Jawa ditentukan oleh prinsip-prinsip ini. Pada konteks penelitian ini, fakta bahwa mahasiswa selalu mempertimbangkan norma yang berlaku dalam masyarakat di samping kenyamanan dan ekspresi dari identitasnya dalam mengenakan pakaian, merupakan representasi dari upaya mahasiswa untuk menghidupi prinsip-prinsip hidup orang Jawa tersebut. Mereka menjaga keharmonisan dan keselarasan dalam masyarakat dengan berpakaian yang sopan, pantas, rapi, dan resmi. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa, responden penelitian, masih menghidupi nilai rukun, hormat, dan toleransi.

Hal ini senada dengan hasil penelitian Susetyo (2006), pada studi deskriptif pada 78 orang mahasiswa Jawa yang berusia 18-24 tahun dan berdomisili di Semarang. Susetyo meneliti tentang Identitas Sosial Orang Jawa dengan menggunakan angket identitas sosial orang Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa responden penelitiannya masih mempertimbangkan nilai rukun dan

hormat sebagai pertimbangan perilakunya. Hal ini tergambarkan dari perilaku yang senang menjaga harmoni, ramah, mudah bergaul, peduli pada lingkungan, menjunjung tinggi sopan santun, setia kawan, tenggang rasa, senang suasana tentram dan tenang, mudah bekerja sama dan menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung.

Usaha mahasiswa untuk menjaga keharmonisan dan keselarasan dalam masyarakat dalam caranya berpakaian merupakan cerminan kecerdasan mahasiswa dalam mengolah ’rasa’nya. Rasa merupakan kemampuan kognitif yang digunakan untuk mengenali realitas yang bersifat intuitif (Stange, 2009). Dalam masyarakat Jawa, kemampuan logika ’rasa’ merupakan hal yang mendasari orang berelasi dengan orang lain. Dalam penelitian ini, kepekaan mahasiswa untuk menyesuaikan gaya pakaiannya dalam masyarakat mengindikasikan bahwa mahasiswa masih tetap menggunakan logika ’rasa’nya. Di tengah tawaran mode dari media massa yang kuat, orang muda tetap berpegang pada kultur masyarakatnya.

Hasil penelitian ini menarik karena ternyata mahasiswa membentuk pengetahuan tentang berpakaiannya tidak semata-mata dari media seperti yang perkirakan orang dewasa ini. Sebaliknya, mahasiswa membentuk pengetahuan mengenai berpakaiannya melalui gagasan-gagasan budaya yang ada di masyarakatnya. Mereka menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai model dan sosok yang ditiru dalam menentukan gaya berpakaiannya, meskipun mereka mengakses media untuk memdapatkan informasi mengenai pakaian. Hal ini berarti bahwa dalam berpakaian mereka mengambil jarak dari apa yang mereka lihat di

media, dan mendekat perilakunya pada kenyataan hidupnya sehari-hari di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa identitas mahasiswa yang terekspresi dari cara berpakaiannya merupakan hasil konstruksi dari media dan orang-orang yang dijumpai dari pengalaman sehari-harinya. Namun, orang-orang di sekitarnya memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk identitas mahasiswa. Oleh karena itu, identitas diri mahasiswa merupakan hal yang tidak terpisahkan dari identitas sosial.

Dokumen terkait