• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Skema Hasil Penelitian

C. 1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya

C. Skema Hasil Penelitian

C. 1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya

Gambar 3. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya

Masyarakat ƒ Agama ƒ Institusi Pendidikan ƒ Masyarakat (keluarga, orang sekitar) Trend Pakaian Bahasa & Komunikasi

ƒ Media Identitas Mahasiswa ƒ Gender Identitas Sosial Budaya Perempuan Laki-laki ƒ Nilai Agama- kesopanan/kepantasan ƒ Nilai Masyarakat- keselarasan/harmoni

ƒ Nyaman Fungsi Fisik ƒ Nyaman Fungsi Visual ƒ Ekspresi Diri ƒ Norma ƒ Nyaman Fungsi Sosial Identitas Diri

C.2. Penjelasan Skema Hasil Penelitian

Skema kerangka penelitian (gambar 1) dan skema hasil penelitian (gambar 3) menunjukkan 3 faktor yang menentukan bagaimana gambaran identitas mahasiswa di Yogyakarta dari cara berpakaiannya. Ketiga faktor tersebut adalah media, budaya, dan masyarakat. Pada faktor media, landasan teori dan data hasil penelitian menunjukkan hal yang sama bahwa cara berpakaian mahasiswa dipengaruhi oleh tren

yang ditawarkan dalam media. Faktor budaya yang menentukan secara eksplisit

muncul dari data penelitian adalah nilai dan norma yang berlaku dalam pada agama berupa kesopanan dan kepantasan, serta norma dan nilai masyarakat berupa keselarasan atau harmoni, dan perbedaan gender. Sementara dalam landasan teori nilai-nilai dan norma yang ada hanya nilai dan norma masyarakat secara umum yaitu keharmonisan dan keselarasan sosial. Pada faktor masyarakat, ada sedikit perbedaan sebagaimana diasumsikan dalam landasan teori dengan data hasil penelitian. Pada landasan teori pemerintah berpengaruh dalam menentukan pakaian masyarakatnya, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada data responden yang

mengungkapkan bahwa pemerintah berpengaruh terhadap cara berpakaian

mahasiswa. Adapun faktor masyarakat yang mempengaruhi cara berpakaian institusi agama, institusi pendidikan, masyarakat sekitarnya, serta teman sebayanya. Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai skema hasil penelitian ini:

1. Media

Berdasarkan landasan teori maupun data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa cara berpakaian mahasiswa salah satunya dipengaruhi oleh

Media. Media memberikan informasi misi mengenai model berpakaian yang terbaru atau tren kepada mahasiswa. Mahasiswa mengakses informasi dari televisi, majalah, dan internet mengenai tren pakaian yang berkembang saat ini. Mereka menirukan tips-tips berpakaian yang ditawarkan media untuk mengekspresikan identitasnya melalui berpakaian.

2. Budaya

Budaya dalam penelitian representasi sosial ini dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma budaya yang muncul dari data adalah nilai dan norma agama yaitu kesopanan dan kepantasan, nilai masyarakat yaitu harmoni, serta gender. Faktor budaya yang pertama, cara berpakaian mahasiswa di Yogyakarta dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku dalam agama, yaitu kesopanan dan kepantasan. Mereka menghayati nilai dan norma ini dalam cara berpakaian mereka terutama saat sedang menjalankan ibadah dengan mengenakan pakaian yang sopan dan pantas dihadapan Tuhan saat beribadah. Hal ini terekspresi dari cara mereka mengenakan pakaian yang bersih dan wangi saat sholat, mengenakan pakaian yang bagus atau terbaik saat berada di gereja dan vihara, atau mengenakan pakaian adat saat ke pure. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih sangat memperhatikan nilai dan norma agama yang mereka hayati.

Faktor budaya yang kedua, nilai dan norma masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa di Yogyakarta masih berpegang teguh pada nilai yang dihidupi masyarakat yaitu keselarasan sosial atau harmoni. Hal ini tampak dari cara berpakai yang masih mencerminkan prinsip hidup yang menentukan perilaku

masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, yaitu prinsip rukun dan hormat (Magnis-Suseno 2001). Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dan keselaran dalam masyarakatnya. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa di Yogyakarta masih mempertimbangkan prinsip rukun dan hormat ini dalam mengekspresikan identitasnya dalam berpakaian. Mereka menjaga keharmonisan dan keselarasan dalam masyarakat dengan berpakaian yang sopan, pantas, rapi, dan resmi pada acara-acara tertentu dalam masyarakat, seperti saat kondangan. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa, responden penelitian, selalu berusaha untuk menjadi keselarasan yang sudah ada dalam masyarakat.

Faktor budaya yang ketiga, perbedaan gender. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata nilai-nilai perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki yang ada di masyarakat juga mempengaruhi cara berpakaian mahasiswa. Perbedaan gender dikarena konstruksi budaya patriarki (Kasiyan, 2008) yang ada di masyarakat Indonesia pada umumnya, dan khususnya masyarakat Jawa. Salah satu implikasinya adalah adanya pembagian kerja secara seksual, yaitu laki-laki berperan dalam sektor publik dan perempuan berperan dalam sektor domestik (Kasiyan, 2008). Dengan demikian, kebutuhan laki-laki untuk diterima secara publik di dalam masyarakat lebih besar dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan pakaiannya dengan norma, aturan, dan kepantasan atau kesopanan yang berlaku dalam masyarakat, sementara perempuan lebih memilih pakaian yang nyaman secara fungsi fisik dan visual, serta dapat mengekspresikan diri mereka.

3. Masyarakat

Masyarakat dalam penelitian ini adalah ruang sosial di mana mahasiswa tersebut tergabung. Pada faktor masyarakat, ada sedikit perbedaan antara apa yang diasumsikan dalam landasan teori dengan data hasil penelitian bahwa berdasarkan landasan teori diasumsikan bahwa pemerintah berperan dalam menentukan cara berpakaian masyarakat. Namun pada hasil penelitian, ternyata tidak ada data yang menyebutkan bahwa pemerintah berperan dalam menentukan pakaian mahasiswa. Hal ini menunjukkan pemerintah mengatur cara berpakaian pada masyarakat yang termuat dalam berbagai kebijakan seperti pengesahan UU Pornografi pada tahun 2008 (Akhirnya RUU Pornografi Disahkan, 2008) dan ketetapan presiden bahwa batik menjadi ikon nasional (Mada, Susilo, & Pandia, 2008). Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap gaya hidup mahasiswa saat ini, khususnya dalam mengekspresikan identitas diri dan sosialnya dari berpakaian. Ekspresi berpakaian mahasiswa lebih dipengaruhi oleh ruang sosial di sekitarnya, yang sering ia temui sehari-hari seperti media, institusi agama, institusi pendidikan, masyarakat, dan teman sebaya.

Hal yang menonjol dalam masyarakat yang mempengaruhi gaya berpakaian mahasiswa adalah institusi agama. Di mana agama-agama, khususnya agama Islam dan Kristen di Indonesia memang mengatur cara berpakaian umatnya. Kebiasaan orang Indonesia untuk menutup tubuhnya merupakan pengaruh dari budaya Arab yang identik dengan Islam dan Eropa yang diidentikkan dengan Kristen (Nordholt, 2005). Kedua agama ini memandang bahwa ketelanjangan merupakan manifestasi

luar dari kemunduran dan kekafiran (van Dijk, 2005). Pengaruh dari kedua agama masih sangat kuat dan terbawa hingga saat ini. Mahasiswa-mahasiswa yang menjadi responden penelitian ini memperhitungkan nilai-nilai kepantasan sesuai dengan nilai agama. Hal ini tampak dari kecenderungan mereka memperhatikan pakaiannya didominasi ketika mereka beribadah dengan mempertimbangkan ketertutupan, kerapian, dan kebersihan.

Ruang sosial lain yang mempengaruhi adalah institusi pendidikan. Hal ini dikarenakan institusi pendidikan memang menerapkan aturan berpakaian untuk mahasiswanya. Contohnya dengan adanya tulisan ‘Kaos oblong dan sandal jepit dilarang masuk kampus’ di wilayah kampus atau aturan mengenakan pakaian yang sesuai ajaran agama yang berlaku dalam kampus yang bernuansa keagamaan seperti mengenakan jilbab pada kampus yang bernuanasi Islami. Selain itu, kampus juga menetapkan jenis busana rapi dan sopan, yaitu pakaian yang rapi, bersepatu atau sepatu sandal; tidak memakai baju atau kaos tanpa lengan atau tanpa kerah; tidak berpakaian ketat dan rok mini bagi mahasiswa perempuan; dan tidak berpakaian dengan menggunkaan bahan yang tembus pandang/transparan. dan tidak menutupi sebagian besar muka/wajah.

Ruang sosial lain yang mempengaruhi cara berpakaian mahasiswa adalah ruang sosial dalam masyarakat yang non-formal seperti keluarga, orang-orang di sekitar, dan teman sebaya. Dalam sehari-hari, mahasiswa selalu bersinggungan dengan orang-orang yang ada dalam ruang sosial ini. Oleh karena itu, mereka menirukan apa yang dilihat dan diajarkan oleh orang-orang yang ada dalam ruang sosial ini.

D. Pembahasan

Dokumen terkait