STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA
MELALUI CARA BERPAKAIAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh: Eka Isabella NIM: 049114060
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA
MELALUI CARA BERPAKAIAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh: Eka Isabella NIM: 049114060
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
PEGANGAN DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI INI
v
! "#$%&
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,15 Februari 2010
Penulis,
Eka Isabella
vii
Studi tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta
Melalui Cara Berpakaian
Eka Isabella
ABSTRAK
Penelitian kualitatif deskriptif dengan paradigma representasi ini menggambarkan identitas diri dan sosial mahasiswa Yogyakarta melalui cara berpakaian mereka. Penelitian ini mengungkap bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dan apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mereka mengenai pakaian. Data diperoleh dengan memanfaatkan Jurnal Aktivitas Harian, wawancara semi terstruktur, dan observasi terhadap 28 orang mahasiswa yang menempuh kuliah di 10 universitas di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arti pakaian adalah kesopanan, kenyamanan, dan keunikan. Mahasiswa mempertimbangkan kesopanan pada saat di ruang publik, rasa nyaman pada saat di ruang pribadi, serta keunikan pada kedua ruang tersebut. Mereka mengakses informasi mengenai tren pakaian melalui media tetapi menirukan gaya pakaian dari orang di sekitarnya.
viii
A Study of Student Identity in Yogyakarta
from Their Cloth
Eka Isabella
ABSTRACT
This research aims to describe the self and social identity of Yogyakarta students by discovering the meaning of clothes and the source of information about clothes for them. This research uses qualitative-descriptive approach and social-representation paradigm. Data were collected by employing Daily Activity Journal, semi-structured interview, and observation on twenty eight students of ten universities in Yogyakarta. The result shows that the meaning of cloth for student is courtesy, comfort, and uniqueness. Students consider dressing for courtesy in public space, for comfort in private space, and for uniqueness in both private and public spaces. Furthermore, they get information of the fashion trend from the media but imitate the fashion style of people around them.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Santa Dharma:
Nama : Eka Isabella
Nomor Mahasiswa : 049114060
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA MELALUI CARA BERPAKAIAN
berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Yogyakarta, 15 Februari 2010
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul Studi tentang Identitas Mahasiswa di
Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada
orang-orang yang telah menginspirasi peneliti selama kuliah dan melakukan penelitian
ini :
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan dan dosen pembimbing skripsi
yang telah dengan tulus merelakan energi, waktu, dan fasilitas secara total dalam
membimbing dan membagikan ilmu kepada peneliti.
2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik
peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan Ibu.
3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. dan Romo Dr. A. Priyono Marwan,
S.J. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan
memberikan masukan yang berharga untuk penelitian ini.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pendidik dan panutan
bagi peneliti.
5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik,
Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu peneliti selama studi, Matur
xi
6. Teman-teman yang telah bersedia dengan tulus menjadi responden penelitian.
7. Papa Tjok Fen Djiou/Moses Taufan, yang selalu mengajarkan peneliti untuk
bertanggungjawab atas pilihan hidup dan selalu menekankan identitas pada peneliti
sebagai anak bangsa ini. Dad, You are my hero.
8. Mama Tjen Fuk Tjhin/Ignata Noni, sumber energi hidupku, karya nyata kasih
Allah di dunia yang telah meletakkan sebuah hati dalam diriku. Semangat,
ketekunan, keterbukaan, dan keyakinan pada Allah yang dikobarkan pada peneliti
inilah yang selalu membuat peneliti bertahan hingga hari ini.
9. Kakak-kakak peneliti -Ce Yin, Ko Paulus, Kocem, Kocit, Ce Yun, Ce Nia, Ko
Agus- teladan hidupku yang selalu mengajarkan peneliti kerja keras, pilihan hidup,
dan ketulusan dalam mencintai. Being your little sister is a bless for me.
10. Sr. Francesco, CB, sosok pembimbing yang selalu mengajarkan kesetiaan dan
kedisiplinan dalam melayani.
11. Suster-suster FCJ, Rm. John, SJ, yang telah membimbing peneliti untuk
menemukan tujuan, azas dan dasar dari hidup ini.
12. Keluarga besar Magis 08 & 09 Jogja, saudara seperjuangan peneliti dalam
menemukan arti dari hidup. Perziarahan hidup kita masih panjang kawan.
AMDG!!!
13. Linda Santoso dan Martinus Budi Gunawan, saudara-saudara yang telah membuat
xii
14. Emerita Setyowati dan Agung Priaji… teman-teman peneliti dalam menikmati
petualangan hidup. Let’s get our future!!!
15. Keluarga besar TAMAN CEMARA, -Urut dari yang paling kecil sampai yang
paling bohai- Loli kecil, Alma Merah Marun, Tiw-tiw Witiw, Arya, Lucky, Dik
Shinta, Widyawati Ari Oke serta teman-teman Empat Pejuang, Mba Nana, Wira,
Githa, dan Iin. Kawan. Akhir-akhir ini hidup kita emang jadi berbeda, tapi saya
bahagia karena hidup ini menjadi bersemangat bersama teman-teman. Ada lagi,
Oom Troy dan Mba Chigie… terima kasih karena telah memberi warna dalam
kehidupan keluarga TAMAN CEMARA.
16. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu
peneliti.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.A. Latar Belakang ... 1
I.B. Rumusan Masalah ... 7
I.C. Tujuan Penelitian ... 8
I.D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. TINJAUAN TEORI ... 10
II.A. Identitas dan Pakaian ... 10
II.A.1. Teori Identitas ... 10
II.A.1.a. Landasan Teori Identitas ... 10
II.A.1.b. Pengertian Identitas ... 13
xiv
II.A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia ... 17
II.A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas ... 21
II.A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa ... 23
II.A.5. Representasi Sosial ... 24
II.B. Konteks Penelitian ... 29
II.B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian ... 29
II.B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta ... 33
II.B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta ... 37
II.C. Kerangka Penelitian ... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40
III.A. Jenis Penelitian ... 40
III.B. Subjek Penelitian ... 42
III.C. Batasan Istilah ... 44
III.D. Alat Pengumpulan Data ... 45
III.D.1. Penelitian Pendahuluan ... 45
III.D.2. Metode Pengumpulan Data ... 46
III.D.3. Format Jurnal Aktivitas Harian ... 48
III.E. Analisis Data ... 48
III.F. Pertanggungjawaban Keabsahan Data ... 51
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
IV.A. Pelaksaan Penelitian ... 52
IV.A.1. Tahap Survei Pra-Penelitian ... 52
IV.A.2. Tahap Penentuan Responden Penelitian ... 53
IV.A.3. Tahap Pengambilan Data ... 54
IV.B. Hasil Penelitian ... 56
IV.B.1. Data Demografi Responden ... 56
IV.B.2. Analisa Data ... 58
xv
IV.B.2.a.i. Arti pakaian pada mahasiswa berdasarkan hasil
wawancara... 58
IV.B.2.a.ii. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian ... 59
IV.B.2.a.iii. Konteks mahasiswa mengenakan pakaian berdasarkan ruang dan alasannya ... 77
IV.B.2.b. Sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai berpakaian ... 79
IV.B.2.c. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berpakaian ... 81
IV.B.2.c.i. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian .... 81
IV.B.2.c.ii. Konteks mengenakan pakaian ... 83
IV.B.2.c.iii. Jenis pakaian ... 84
IV.B.2.c.iv. Merk pakaian ... 85
IV.C. Skema Hasil Penelitian ... 88
IV.C.1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya ... 88
IV.C.2. Penjelasan Skema Penelitian ... 89
IV.D. Pembahasan ... 94
IV.D.1. Identitas Orang Muda Berdasarkan Gaya Berpakaiannya ... 94
IV.D.1.a. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Ibadah ... 95
IV.D.1.b. Kepantasan dan Kesopanan di Kampus ... 96
IV.D.1.c. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kondangan ... 97
IV.D.2. Identitas Diri Merupakan Suatu Kesatuan dengan Identitas Sosial 100 IV.D.3. Ekspresi Berpakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 102
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105
V.A. Kesimpulan ... 105
V.B. Saran ... 107
V.C. Keterbatasan Penelitian ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 108
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sejarah Perkembangan Pakaian di Indonesia ... 13
Tabel 2. Contoh Salah Satu Halaman Jurnal Aktivitas Harian ... 48
Tabel 3. Identitas Responden Penelitian ... 56
Tabel 4. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara ... 58
Tabel 5. Arti dan Alasan Mengenakan Pakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian .... 59
Tabel 6. Arti Pakaian Berdasarkan Hasil Wawancara ... 60
Tabel 7. Arti Nyaman Berdasarkan Hasil Wawancara ... 62
Tabel 8. Arti Norma Berdasarkan Hasil Wawancara... 65
Tabel 9. Arti Mengekspresikan Diri Berdasarkan Hasil Wawancara ... 67
Tabel 10. Tempat yang Penting bagi Mahasiswa dalam Mengenakan Pakaian ... 69
Tabel 11. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ... 73
Tabel 12. Jenis Pakaian dan Artinya ... 75
Tabel 13. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Pakaian ... 76
Tabel 14. Sumber Informasi Mahasiswa Mengenai Cara Berpakaian ... 79
Tabel 15. Orang yang Dibayangkan ... 79
Tabel 16. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara ... 81
Tabel 17. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin dari Data Jurnal Aktivitas Harian ... 82
Tabel 18. Ruang dan Makna Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83
Tabel 19. Jenis Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 84
Tabel 20. Merek Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin... 85
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 39
Gambar 2. Konteks Mahasiswa Mengenakan Pakaian
Berdasarkan Jurnal Aktivitas Harian ... 78
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ringkasan Proses Pengambilan Data ... 115
Lampiran 2. Ringkasan Aktivitas dan Barang yang Mengekspresikan Responden . 118 Lampiran 3. Respon Alasan Berpakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian ... 121
Lampiran 4. Tempat yang Penting dalam Mengenakan Pakaian ... 126
Lampiran 5. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ... 129
Lampiran 6. Jenis Pakaian Atasan dan Alasan Mengenakannya ... 134
Lampiran 7. Jenis Pakaian Bawahan dan Alasan Mengenakannya ... 140
Lampiran 8. Sumber Informasi Mengenai Pakaian ... 144
Lampiran 9. Orang yang Dibayangkan Memiliki Gaya Pakaian yang Sama ... 145
Lampiran 10. Merk Pakaian yang Dikenakan Responden ... 156
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini identitas orang muda sebagai orang Timur semakin meluntur karena meniru gaya hidup yang ditawarkan oleh media (Rakhmat, 2005). Giddens (1991) mengartikan gaya hidup sebagai praktek rutinitas yang dapat terekspresi dalam kebiasaan berpakaian, makan, cara bertindak dan pergaulan yang disenangi untuk mengalami perjumpaan dengan orang lain. Dalam gaya hidup, penampilan luar adalah segalanya (Ibrahim, 2007). Lebih lanjut Ibrahim mengatakan bahwa penampilan lebih penting daripada hal-hal substansial, seperti nilai-nilai atau norma yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pakaian menjadi aspek penting dalam gaya hidup. Tren mode pakaian yang ditawarkan media sering dipandang kurang pantas untuk budaya Timur. Celana hipster yang memperlihatkan celana dalam, baju you can see yang memperlihatkan kulit lengan, serta rok atau celana pendek yang memperlihatkan paha, dll. Hal ini seringkali meresahkan masyarakat karena dipandang melenceng dari nilai-nilai lokal budaya Timur.
bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern (Ibrahim, 2005). Media massa memegang peranan yang besar dalam mentransfer informasi, pesan-pesan, sistem nilai, norma-norma sosial, budaya, pemikiran dan sebagainya secara cepat ke dalam ruangan dan pikiran masyarakat Indonesia saat ini. Dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan, Budiman (2002) mengemukakan bahwa muatan nilai-nilai, norma, pola kultural, moral dan etika yang ditransferkan dalam komunikasi melalui media massa bukanlah berasal dari budaya lokal Indonesia, melainkan budaya global, budaya masyarakat lain dari seluruh dunia.
yang ditanamkan media dipandang menjadi penyebab merosotnya martabat masyarakat dan merusak nilai-nilai budaya yang tinggi (Budiman, 2002).
Fenomena gaya hidup dengan mengutamakan penampilan luar dan budaya material seperti yang ditawarkan oleh media, daripada aturan atau norma-norma yang ada dalam masyarakat juga tidak lepas dari kehidupan mahasiswa di Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian berikut ini: pertama, hasil penelitian Liestyasari (2005), seorang peneliti antropologi, tentang Kaum Muda dan Konsumsi Identitas pada 8 orang muda di Yogyakarta yang berumur 19-22 tahun, berstatus mahasiswa dan karyawan menemukan bahwa identitas diri merupakan hal yang penting bagi orang muda di Yogyakarta. Salah satu cara mereka menampilkan identitasnya sebagai orang muda adalah dengan melakukan praktek konsumsi gaya hidup. Penampilan dan citra diri juga menjadi sangat penting bagi orang muda di Yogyakarta. Citra diri menjadi penting bagi orang muda agar diterima oleh orang lain. Bagi mereka, penampilan dan citra diri secara implisit mengandung arti sebagai usaha pencapaian identitas diri yang kemudian diwujudkan melalui konsumsi pakaian, kosmetika, sampai perawatan tubuh. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa mereka mengadopsi atau meniru gaya hidup, dandanan, dan pakaian artis muda yang ada di televisi maupun iklan dalam membetuk identitas diri mereka.
televisi dengan penyimpangan nilai dan perilaku seseorang. Salah satu kesimpulan dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa selera dan gaya hidup masyarakat semakin dipengaruhi oleh tontotan televisi terutama iklan. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dulu cukup dibeli di peken (sebutan untuk pasar tradisional), kini demi mode, tren, harus dicari di supermal, swalayan atau minimal supermarket. Jumlah waktu yang dihabiskan masyarakat Yogyakarta untuk menonton acara televisi tergolong tinggi yakni sehari rata-rata 3,5 jam (Perilaku Dipengaruhi Keseringan Nonton Televisi, 2002).
Ketiga hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa anak muda di Yogyakarta mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas mereka. Mahasiswa merupakan bagian dari orang muda, oleh karena itu mereka juga mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas mereka. Mereka mengikuti gaya hidup yang mementingkan penampilan luar daripada nilai-nilai atau norma-norma yang ada di dalam masyarakat Timur. Konsumsi pakaian yang mereka lakukan dalam rangka mengekspresikan identitasnya, didasarkan pada tren yang ditawarkan media. Hal ini mengkhawatirkan masyarakat di Yogyakarta karena mahasiswa dipandang semakin meninggalkan budaya Timur dengan mengikuti budaya yang ditawarkan di media.
tersebut ditegur oleh tetangga, seorang bapak berusia 40-an tahun, ketika mengenakan kemeja yang letak kancingnya agak rendah bagian sehingga sehingga bagian lehernya terbuka agak lebar.
“Mbak itu nggak ada benik-nya ya? Mbok dikasih kancing tambahan. Nanti malah bikin laki-laki penasaran. Kalau laki-laki tu lebih suka ngeliat yang pakaiannya tertutup”
Contoh di atas ini menunjukkan bahwa ada kekuatiran dalam masyarakat bahwa mahasiswa meninggalkan nilai dan norma yang ada. Gaya berpakaian yang mini dan memperlihatkan bagian tubuh tertentu seperti perut, bahu, belahan dada, celana dalam, pusat, dan belahan di bokong bukanlah hal yang lazim dan dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat melakukan kontrol terhadap perilaku mahasiswa, khususnya dalam konteks mahasiswa dipandang berpakaian tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Kekuatiran masyarakat terhadap gaya berpakaian mahasiswa di Yogyakarta ini memang beralasan. Oleh karena itu, sebuah kajian tentang identitas mahasiswa di Yogyakarta penting untuk dilakukan.
1998). Sementara identitas sosial adalah kesadaran individu bahwa dirinya merupakan anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut (Hogg & Abram, 2001). Paradigma representasi sosial dipandang tepat untuk kerangka teoretis dalam penelitian karena penelitian representasi sosial meletakkan mahasiswa dalam ruang sosialnya sehingga memungkinkan peneliti mengungkapkan identitas mahasiswa sesuai dengan norma dan nilai masyarakat di mana mahasiswa tersebut berada.
Penelitian ini penting dilakukan karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual tentang identitas mahasiswa. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan pendekatan yang lebih tepat dalam memberi penilaian dan mendampingi orang muda pada umumnya, khususnya mahasiswa.
B. Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakainnya. Permasalahan penelitian ini akan dijawab melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk identitasnya?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kualitatif ini adalah mengungkap identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaiannya dengan menjawab pertanyaan bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk identitasnya serta apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai berpakaian.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini memberi wacana tambahan bagi ilmu-ilmu sosial secara umum, dan ilmu psikologi secara khusus, terutama Psikologi Sosial, Psikologi Budaya, dan Psikologi Pekembangan
a. Bagi Psikologi Sosial dan Budaya
Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai gaya hidup mahasiswa saat ini dari cara berpakaiannya
b. Bagi Psikologi Perkembangan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat pada Umumnya
Penelitian ini memberikan pemahaman yang kontekstual dan proposional mengenai identitas orang muda, khususnya mahasiswa dari gaya berpakaiannya sehingga masyarakat dapat memberikan pendampingan yang tepat bagi mereka.
b. Bagi Psikologi Industri
BAB II
TINJAUAN TEORI
Berikut ini merupakan landasan teori yang mendasari penelitian ‘Studi tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian’. Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai teori identitas yang lihat dari hasil konstruksi sosial, definisi pakaian dan sejarah perkembangannya di Indonesia, mahasiswa dan tugas perkembangannya, teori representasi sosial, serta konteks mahasiswa di Yogyakarta dalam mengenakan pakaian.
A. Identitas dan Pakaian
A.1. Teori Identitas
A.1.a. Landasan Teori Identitas
Dalam penelitian ini, teori identitas yang digunakan berakar pada teori self
William James. James (1890) memisahkan self menjadi dua aspek, yaitu I dan
Me. I menunjukkan aspek self yang secara aktif memahami, berpikir, atau melihat. I merupakan kesadaran individu bahwa dirinya sedang berpikir atau memahami dari suatu proses fisik atau psikis itu sendiri. Konsep I ini banyak digunakan oleh filsuf, sedangkan para ahli psikologi lebih banyak memberikan perhatian dari pemahaman sifat dasar dari Me. Istilah Me menunjukkan aspek self
sebagai obyek. Me menunjukkan segala macam cara orang berpikir tentang dirinya sendiri, ide-ide orang tentang siapa diri mereka dan seperti apa mereka (Brown, 1998). William James (1890) menggunakan istilah the empirical self
Adapun the empirical self ini memiliki tiga komponen, yaitu (1) material self, (2)
social self, (3) spiritual self. (1) Material Self
Material self berkaitan dengan obyek, orang, dan tempat yang menandakan kepemilikan (my atau mine) (James, 1890). Hubungan antara kepemilikan dengan
(2) Social Self
Social self menunjukkan bagaimana individu dianggap dan dikenal oleh lain (James, 1890). Pada dasarnya, social self mencakup berbagai posisi sosial yang individu emban dan peran sosial yang ia mainkan. Brown (1998) menyebutkan istilah social self ini sebagai identitas sosial. Setiap orang memiliki berbagai macam identitas sosial. Deaux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (dalam Brown, 1998) membedakan lima tipe identitas sosial, yaitu hubungan personal (seperti suami, istri); etnik/religi (orang Afrika-Amerika, muslim dll); afiliasi politis (demokrat, republik), stigmatisasi kelompok (kriminal, alkoholik); dan pekerjaan (artis, professor dll). Beberapa identitas tersebut merupakan identitas yang terberi (misalnya lahir sebagai laki-laki dll) dan beberapa identitas diperoleh (misalnya profesor, mahasiswa dll).
Masing-masing identitas tersebut akan disertai dengan serangkaian harapan dan perilaku spesifik. Oleh karena itu, James menekankan bahwa dalam hal ini bagaimana Individu berpikir tentang dirinya tergantung pada peran sosial yang kita mainkan. Individu akan memperlihatkan self yang berbeda ketika dalam situasi sosial yang berbeda.
(3) Spiritual Self
Konsep empirical self William James ini yang kemudian melandasi konsep identitas yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi lainya. Spiritual Self
dikembangkan menjadi identitas diri, dan social self dikembangkan menjadi identitas sosial. Sementara material self menjelaskan identitas diri dan sosial seseorang. Teori William James ini membahas mengenai identitas diri sekaligus identitas sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa William James meletakkan individu dalam konteks sosialnya dalam mengemukakan teori identitasnya. Oleh karena itu teori ini cocok digunakan sebagai landasan dalam penelitian representasi sosial. Hal ini dikarenakan paradigma representasi sosial meletakkan individu dalam konteks sosialnya, karena paradigma ini memandang bahwa keadaan psikologis individu merupakan hasil konstruksi dari masyarakat, apa yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita bereaksi (Walmsley, 2004). Berikut ini akan dijelaskan pengertian tentang identitas.
A.1.b. Pengertian Identitas
Identitas sosial adalah kesadaran individu memiliki perasaan sama dengan anggota kelompok lainnya (kita) (Hogg & Abrams, 2001; Worchel, dkk., 1998). Namun, identitas sosial juga mengacu pada suatu perbedaan, perbedaan kelompok kita dengan kelompok lainnya (mereka) (Worchel, dkk., 1998). Identitas sosial mencakup berbagai posisi sosial yang individu emban dan peran sosial yang ia mainkan (Brown, 1998). Setiap peran sosial tersebut memiliki harapan perilaku spesifik, sehingga individu memperlihatkan diri yang berbeda pada situasi sosial yang berbeda. Individu menyadari perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut (Abrams & Hogg, 1990). Identitas sosial bersifat inklusif karena individu melepaskan kediriannya (I) dan mengkategorikan dirinya dalam suatu unit sosial (we/kita) (Hogg & Abrams, 2001).
A.1.c. Pembentukan Identitas
Konsep identitas yang digunakan adalah identitas diri dan identitas sosial yang merupakan hasil konstruksi dari masyarakat. Identitas terbentuk dari konstruksi di dalam, bukan di luar diskursus (Hall & du Gay, 1996). Hal ini berarti bahwa pendekatan konstruksi sosial melihat bahwa identitas merupakan hasil konstruksi melalui interaksi individu dengan lingkungan sosial, dan bukan merupakan suatu hal yang terberi (Berger & Luckman, 1967; Burr, 2002). Identitas bukan merupakan sesuatu yang stabil, melainkan dinamis dan terus berkembang hingga sepanjang hidup individu (Brym & Lie, 2007; Kashima, Foddy, & Platow, 2002). Setiap kali individu mengkristalisasi identitasnya, ia akan mempertahankannya dalam waktu tertentu, kemudian memodifikasinya, dan bahkan membentuk kembali melalui interaksi sosial (Berger & Luckman, 1967). Pada pendekatan ini, diri individu dipandang bukan sebagai suatu kesatuan yang pasif ditentukan oleh pengaruh luar dalam membentuk identitasnya (Giddens, 2003), melainkan secara aktif membentuk identitasnya melalui diskursus sosial.
berasal dari diri seseorang, melainkan hasil dari dialektika antara individu dengan dunia sosialnya yang terdiri dari bahasa dan simbol-simbol yang kasat mata (Burr, 2003).
Pembentukan identitas melalui proses identifikasi dimana individu memasukkan dan menggabungkan atribut orang lain, dan mentransformasikan ke dalam dirinya secara tidak sadar (Woodward, 2002). Pada hal ini, identitas dapat saja dibentuk oleh institusi yang dominan, akan tetapi bila individu tidak menginternalisasi pengalamannya dan memaknai hal yang diinternalisasikan, maka identitas tidak akan terbentuk (Castells, 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsep identitas bukan merupakan hasil persepsi individu terhadap dunia kenyataan semata, melainkan sebagai hasil kerja sistem internalisasi yang mengutamakan interaksi antara diri individu dan lingkungan sosialnya.
A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001), pakaian diartikan sebagai barang apa yang dipakai seperti baju, celana, dan sebagainya (KBBI, 2001). Pada semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, melainkan merupakan kode-kode yang memiliki makna. Berdasarkan hasil studi literaturnya terhadap pakaian di Indonesia, van Dijk (2005) mengatakan bahwa pakaian adalah suatu penanda yang paling jelas diantara sekian banyak penanda penampilan luar, dengan apa orang membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu. Pakaian mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, dan religius. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa pakaian menggambarkan perubahan sosial dan politik dalam bangsa ini.
tinggal di daerah tertentu. Pakaian menjadi penanda latar belakang kedaerahan seseorang dan status seseorang dalam masyarakatnya. Dengan demikian, akan lebih mudah mengontrol masing-masing suku dan meminimalisir terjadi pengintegrasian.
senioritas pemakai. Sandal, yang pada era Soekarno sangat popular di kalangan dosen dan guru-guru, dilarang untuk digunakan karena diidentikkan dengan pengikut ‘PKI’.
Pada tahun 2008, UU Pornografi disahkan (Akhirnya RUU Pornografi Disahkan, 2008). RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. UU ini dipandang mengancam keberagaman dan keunikan suku di Indonesia serta mendeskriditkan perempuan (UU Pornografi Perlu Uji Materi, 2008). Isi UU ini menunjukkan bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah dengan demikian perlu ditetapkan UU untuk mengatur cara berpakaian, khususnya pada perempuan.
Pakaian di Indonesia telah mengalami proses yang panjang. Berikut ini merupakan tabel ringkasan sejarah perkembangan pakaian di Indonesia:
Tabel 1
Kolonialisasi Belanda melarang orang Indonesia mengenakan pakaian Barat
Pemaparan perkembangan sejarah berpakaian di Indonesia ini menggambarkan bahwa pakaian di Indonesia telah mengalami proses kesejarahan yang panjang. Proses ini menunjukkan bahwa sejak semula pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tapi menunjukkan identitas diri bangsa ini. Dalam semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi memiliki makna simbolik sebagai ekspresi dan deskripsi diri secara eksternal dalam membangun identitas diri (Giddens, 1991). Dalam penelitian ini, definisi pakaian sebagai barang apa yang dipakai untuk menutup tubuh seperti baju, celana, jaket, rok, baju terusan, sarung, tank-top, dll.
A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas
Pakaian merupakan ekspresi identitas seseorang karena saat seseorang memilih pakaian baik di rumah maupun di toko berarti ia mendefinisikan dan mendeskripsikan dirinya sendiri (Nordholt, 2005). Bagaimana hubungan pakaian dengan identitas diri? Davis, dalam bukunya Fashion, Culture, and Indentity
usianya. Hasilnya, identitas individu selalu fluktuatif dan hal ini sering kali menyebabkan kecemasan atau perasaan tidak aman. Oleh karena itu, individu membutuhkan pakaian untuk membantunya mengekpresikan perubahan identitas tersebut. Pakaian membantu individu mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain, bagaimana dirinya ingin dilihat, dan dengan siapa dirinya ingin berelasi (Davis, 1992).
Di samping mengekspresikan diri, pakaian juga mengekspresikan identitas sosial seseorang. Pakaian menunjukkan latar belakang keadaan sosial seseorang seperti budaya, agama, kelas sosial, etnik atau ras, dsb. Jenis dan gaya pakaian sangat tergantung pada konteks pemakaiannya, di mana, bersama siapa, pada kesempatan apa individu tersebut memakainya (Davis, 1992) karena pakaian merupakan kulit sosial seseorang (Nordholt, 2005). Dalam berpakaian, orang tidak sepenuhnya bebas mengenakan pakaian karena akan selalu ada kaedah-kaedah tertentu yang mengatur individu dalam berpakaian. Oleh karena itu, pakaian bukan semata-mata pilihan individu, melainkan merupakan hasil negosiasi individu dengan masyarakat sosialnya.
A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa
Sarlito Sarwono mendefinisikan mahasiswa adalah orang yang menjalankan studi di Perguruan Tinggi. Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Perguruan Tinggi dan Departemen P dan K (Sarlito Wirawan Sarwono dan kawan-kawan, 1979), mendefinisikan mahasiswa sebagai golongan pemuda, umumnya berumur 18-30 tahun, yang secara resmi terdaftar pada salah satu perguruan tinggi dan aktif pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Pada penelitian ini mahasiswa didefinisikan sebagai orang muda yang berusia 18 sampai 23 tahun yang sedang menjalankan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Orang muda adalah golongan yang baru saja meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal. Pada tahap dewasa awal, pembentukan identitas menjadi penting karena pada masa ini perkembangan fisik, kognitif, dan sosial individu cukup matang sehingga mampu memilih dan mensintesiskan identitasnya pada masa kanak-kanak untuk membangun suatu jalan untuk menuju kematangan orang dewasa (Santrock, 2005). Pada masa ini, menurut Erikson (Larsen & Buss, 2005), orang muda berjuang untuk melepaskan dirinya dari orang tuanya, berhenti bersandar pada orang tuanya, dan memutuskan nilai-nilai apa yang akan dipegangnya dan apa tujuan yang ingin dicapainya di masa depan. Oleh karena itu pada masa ini kebutuhan mahasiswa untuk membentuk identitas menjadi lebih besar.
keluarga, pekerjaan, pendidikan, etnik atau ras, dan komunitas lainnya (Brym & Lie, 2007). Mereka mengembangkan identitas yang sesuai dengan kategori sosial di mana mereka tergabung, karena itu perilaku dan keyakinannya pun sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kategori sosial ini (Brym & Lie, 2007). Ketegori sosial ini terus berubah seiring perkembangan waktu, jadi orang muda pun terus berusaha mengikuti perkembangan tersebut. Dengan demikian, identitas orang muda pun fluktuatif, belum stabil, terus berkembang hingga sepanjang hidupnya (Brym & Lie, 2007; Kashima, Foddy & Platow, 2002; Santrock, 2005). Orang muda terus membangun identitas dirinya melalui diskursus sosial dan budaya di mana ia berada. Dengan demikian, identitas mahasiswa merupakan hasil konstruksi sosial dirinya dengan masyarakat di mana ia berada, khusus di wilayah Yogyakarta.
A.5. Representasi Sosial
Representasi sosial merupakan pikiran dan perasaan individu terhadap suatu objek dalam masyarakat yang diekspresikan dalam melalui kata-kata dan perilaku (Wagner, dkk., 1999). Teori representasi sosial ini merupakan kerangka konsep-konsep dan ide-ide psikologis secara sosial untuk mempelajari fenomena psikososial dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah kesepakatan di antara fenomena, dan terjadi karena adanya komunikasi antar anggota kelompok (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004). Inti dari paradigma ini adalah keyakinan bahwa keadaan psikologis terbentuk secara sosial dan apa yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita bereaksi (Walmsley, 2004).
Representasi sosial menekankan tentang bagaimana seseorang menginterpretasikan dan membuat dunianya berarti dan fokus pada proses komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999). Arti merupakan pemaknaan terhadap suatu pengalaman atau ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya. Arti terhadap dalam representasi sosial merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa arti tidak hanya berada pada level individu saja tetapi arti yang berada pada level masyarakat (Wagner, dkk., 1999).
kita pahami dengan cara tertentu. Dengan demikian, representasi sosial dilihat sebagai ciptaan sosial, bukan sesuatu yang dihasilkan oleh individu melalui proses imitasi dari hasil persepsinya.
Paradigma ini meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Dalam konsep ini, identitas diri merupakan representasi sosial yang dibentuk melalui pengalaman dan diartikan dalam ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya. Dalam hal ini perspektif representasi sosial akan banyak berbicara tentang bagaimana narasi tentang identitas diri saat ini terbentuk melalui distribusi pengetahuan sosial tentang identitas diri yang disebarluaskan melalui media massa. Paradigma ini menyediakan instrumen konseptual untuk analisis representasi sosial pada hasil yang terbentuk dari ide, imajinasi, dan simbol dalam
masyarakat dikenali dalam berbagai produk seperti diskursus atau ikon, peralatan materi,
dan praktik secara individual atau kolektif yang beredar dalam masyarakat, melalui
berbagai saluran komunikasi seperti percakapan, media, dan institusi formal.
Perspektif representasi sosial mengenal manusia sebagai makhluk berpikir yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada umumnya berpikir mengenai hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan kolektif masyarakat (Moscovici, 2001). Dengan demikian representasi sosial merefleksikan pemahaman pikiran awam (commonsense).
Moscovici (2001) berpendapat bahwa tujuan representasi sosial adalah untuk
sosial memiliki empat fungsi (Walmsley, 2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi pedoman, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsi orientasi mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Representasi juga menyediakan pembenaran atas perbedaan sosial antar kelompok, khususnya saat stereotip dan permusuhan terbukti.
Secara umum, menurut Moscovici (2001) penelitian representasi sosial melalui dua proses yaitu, objectivication (objektivikasi) dan anchoring
(penjangkaran). Objektivikasi merupakan usaha untuk mengubah sebuah ide abstrak menjadi sesuatu yang hampir konkret dan dengan demikian mengubah sesuatu yang ada di dalam bayangan semata menjadi sesuatu yang ada di dunia fisikal. Objektivikasi merupakan proses mengarahkan isi mental ke dalam realita, di mana objektivikasi ini yang membentuk sesuatu yang tidak familiar menjadi familiar. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif.
Anchoring merupakan usaha mengurangi ide-ide asing menjadi citra dan kategori biasa dan menjangkarkannya pada konteks yang dikenal (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004).Adapun tujuan anchoring adalah membuat yang tidak
menyatakan teori masyarakat dengan mengklasifikasikan apa yang belum terklasifikasi dan menamakan apa yang belum memiliki nama. Adapun yang dimaksud kategorisasi adalah proses memilih sebuah paradigma dari semua yang tersimpan dalam memori kita dan membangun sebuah hubungan positif ataupun negatif terhadapnya.
B. Konteks Penelitian
B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian
Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan tradisi yang masih sangat kuat (Subanar, 2007). Namun saat ini Yogyakarta tidak lepas dari arus perubahan perkembangan zaman (Subanar, 2007). Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei menunjukkan sebagian besar migran, termasuk para TKW asal Kulon Progo, Yogyakarta sebanyak 76,7 persen, cenderung memilih tinggal di luar negeri. Hal ini merupakan indikasi adanya pergeseran nilai yang dipakai sebagai pedoman hidup yakni dari nilai komunal menjadi nilai ekonomi (TKW Kulonprogo Lebih Suka Tinggal di Luar Negeri, 2001). Masyarakat Yogyakarta, cenderung mengejar kesempatan untuk mencari uang sehingga bisa mengikuti gaya hidup yang baru.
terlihat dari menjamurnya toko-toko yang menjual barang-barang yang mencerminkan gaya hidup materialis seperti pakaian serta alat-alat komunikasi. Kita dapat dengan muda menyaksikan para mahasiswa asyik mengerjakan tugas ataupun browsing internet di tempat-tempat nongkrong seperti kafe ataupun mall tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.
Salah satu gejalanya perubahan wajah kota Yogyakarta adalah dengan hadirnya Ambarukmo Plaza. Kehadiran mal terbesar di Yogyakarta, bahkan di Jawa Tengah, ini telah mengubah gaya hidup masyarakat di Yogyakarta. Tempat ini telah menjadi ruang publik tempat berkumpulnya berbagai kalangan orang, menggantikan tempat-tempat rekreasi yang ada. Mal ini bahkan bukan sekedar tempat berbelanja atau nongkrong menghabiskan waktu senggang, tidak jarang mal juga sebagai tempat belajar individu atau kelompok mahasiswa. Mal Ambarukmo Plaza yang terletak di jalan utama di kota ini memiliki slogan secara tegas menyatakan diri sebagai simbol perubahan Yogyakarta dari kota budaya yang berpegang teguh pada tradisi menjadi kota yang modern dengan slogannya “Amplaz Dunia Modernnya Yogya’ atau ‘Nikmati Sensasi Belanja di Dunia Barunya Yogya’.
selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, dan “bersatu dalam maksud untuk membantu”. Rukun adalah keadaan ideal yang harus dipertahankan dalam suatu hubungan sosial. Dengan demikian, berlaku rukun berarti berusaha untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dan keresahan. Di sisi lain, prinsip ini bukanlah berarti untuk menciptakan kerukunan, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang dipandang sudah ada. Intinya, masyarakat Jawa menuntut seseorang selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan, tenang, dan rukun (Handayani & Novianto, 2004).
Prinsip kedua, prinsip hormat, berperan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Munurut prinsip ini, setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip ini didasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis ini berasal dari diri sendiri, oleh karena itu setiap orang wajib mempertahankannya dan membawa dirinya sesuai dengan kedudukan sosialnya dalam masyarakat.
hierarkis. Dua prinsip ini berkaitan erat untuk mengatur tindakan masyarakat agar tetap menjaga keselarasan. Oleh karena itu, individu dituntut untuk memiliki kemampuan menyadari kenyataan dalam masyarakat dan keadaan dirinya sendiri yang sesungguhnya sehingga dapat bertindak dengan tepat. Untuk sampai ke situ, individu harus memiliki kemampuan kognitif untuk mengenali aspek-aspek intuitif dalam kenyataan yang di dalam budaya Jawa dikenal sebagai ‘rasa’.
Rasa merupakan kemampuan kognitif yang digunakan untuk mengetahui realitas yang bersifat intuitif (Stange, 2009). Rasa dipandang sebagai alat atau unsur psikologi untuk memahami atau menangkap kebenaran-kebenaran dalam batiniah. Pada masyarakat Jawa, kemampuan logika ’rasa’ merupakan hal yang mendasari orang berelasi dengan orang lain. Rasa merupakan kata kunci untuk memahami bagaimana hubungan individu dengan orang lain. Ketika berpakaian ini, logika ’rasa’ sangat dibutuhkan supaya individu dapat menempatkan diri secara tepat dalam berpakaian.
Pada masyarakat Jawa, kepekaan untuk mengenakan pakaian secara tepat sangat dibutuhkan untuk menghargai orang lain. Hal ini tergambar dari ungkapan
berpakaiannya. Terutama dalam acara resmi, perhatian orang pertama kali tertuju pada apa yang dapat langsung kelihatan oleh mata (Purwadi, 2007). Oleh karena itu, ‘rasa’ sangat dibutuhkan dalam berpakaian untuk mengenali keadaan realitas yang sesungguhnya sehingga mahasiswa dapat berpakaian secara tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat di Yogyakarta saat ini.
B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar di mana mayoritas penduduknya adalah orang muda. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta (2008), penduduk Yogyakarta didominiasi oleh kelompok usia dewasa muda yaitu berumur 20-29 tahun sebesar 20,2% (BPS, Provinsi DIY, 2008). Adapun mahasiswa merupakan bagian dari orang muda yang ada di Yogyakarta. Mahasiswa di Yogyakarta tidak semuanya merupakan penduduk asli Yogyakarta, melainkan sebagian besar merupakan pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa inilah yang dipandang sebagai aktor yang merespon perubahan yang ada di masyarakat Yogyakarta (Subanar, 2007).
menjadi pilihan-pilihan lain menjadi tidak penting, dan bahkan mengandung resiko (Nordholt, 2002).
Pada era sebelum kemerdekaan, pakaian di Indonesia diatur oleh penjajah untuk mengontrol dan mendiskriminasi rakyat. Pada awal kemerdekaan, era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, pakaian diatur oleh pemerintah untuk kepentingan ekonomi politik (Nordholt, 2005). Pada saat ini, institusi formal seperti agama dan pendidikan yang lebih besar perannya dalam mengatur cara berpakaian orang muda, dibandingkan pemerintah.
Pakaian di Indonesia saat ini, secara umum merupakan hasil interaksi dari pakaian Indonesia, Islam, dan Barat, yang identik dengan agama Kristen (van Dijk, 2005). Kebiasaan orang Indonesia untuk menutup tubuhnya merupakan pengaruh dari budaya Arab yang identik dengan Islam dan Eropa yang diidentikkan dengan Kristen (Nordholt, 2005). Kedua agama ini memandang bahwa ketelanjangan merupakan manifestasi luar dari kemunduran dan kekafiran. Oleh karena itu, mereka saling bersaing untuk membudayakan orang Indonesia mengenakan pakaian yang tertutup. Islam masuk ke Indonesia dan menyakinkan masyarakat untuk mengganti pakaian mereka, sementara ekspansi Barat (Kristen) memaksa masyarakat dalam derajat tertentu untuk menutup tubuh mereka. Kedua proses ini telah mengubah penampilan masyarakat Indonesia menjadi sebagaimana yang kita lihat saat ini (Nordholt, 2005). Peran kedua agama ini dalam menentukan cara berpakaian orang Indonesia masih terasa hingga saat ini.
Pengaruhnya Islam pada di Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik saja, namun juga pada kebudayaan, khususnya pada busana. Pada agama Islam, pakaian tidak saja berfungsi melindungi tubuh dari cuaca, tetapi juga terkait dengan etika, sopan santun, dan hukum (Ismail, 1993). Di dalam Al Qur’an terdapat ajaran berbusana, yang intinya adalah pakaian sebagai simbol takwa kepada Allah, sarana untuk mendekatkan diri pada Allah saat masuk ke masjid, dan memiliki ukuran yang dapat menutupi keburukan atau kekurangan fisik serta tidak mengekspos perhiasan fisik (Ismail, 1993). Adapun ukuran dari kelengkapan pakaian dalam mendekatkan diri pada Allah, mengandung tiga unsur utama, yaitu, bersih yang memancarkan keindahan, berukuran panjang dan tidak jarang (menutup aurat), bertudung kepala. Ketiga hal ini berlaku baik kepada perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian, Islam menganjurkan umatnya untuk berhias diri, terutama saat ‘mendekatkan diri kapada Allah’ (Ismail, 1993) dan hal ini masih berlaku hingga saat ini.
Jenis pakaian seperti celana pendek, kaos oblong, celana ketat, dan baju tanpa lengan dipandang tidak pantas untuk dikenakan di gereja. Dalam memutuskan pakaian apa yang akan dikenakan, hendaknya umat memikirkan bahwa “Aku berdandan untuk bertemu dengan Tuhan-ku dan untuk ambil bagian dalam misteri keselamatanku” (Saunders, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa Gereja berperan dalam mengatur cara berpakaian umatnya. Dengan demikian, cara berpakaian masyarakat di Indonesia di atur oleh institusi agama yang dianutnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam berpakaian, orang muda tidak bisa dengan bebas memilih pakaiannya sendiri. Melainkan ada ketentuan tertentu yang mengatur cara berpakaian mereka. Bagaimana jenis pakaian yang mereka kenakan tergantung pada ruang dan waktu di mana mereka berada.
B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta
Menurut ahli Sosiologi, Kenneth Kenniston, salah satu ciri orang muda adalah mampu mengambil keputusan dalam berbagai aspek hidupnya, termasuk dalam menentukan gaya hidupnya (Santrock, 2005). Gaya berpakaian yang digunakan orang muda adalah pilihan mereka dalam mengekspresikan identitas dirinya (Brym & Lie, 2007). Namun dalam berpakaian, mahasiswa tidak hanya mengekspresikan identitas pribadinya melainkan juga identitas sosialnya. Oleh karena itu, mereka tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihan pakaiannya, namun juga melibatkan orang lain dalam menentukan pilihan pakaiannya. Seseorang tidak bisa sepenuhnya bebas memilih pakaian yang ingin dikenakannya karena pasti setiap orang dibatasi oleh macam-macam kaedah sosial yang mengatur atau menyarankan cara berpakaian tertentu dalam konteks tertentu (Nordholt, 2005). Oleh karena itu, pakaian bukan semata-mata pilihan individu, melainkan merupakan hasil negosiasi individu dengan masyarakat sosialnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial dengan pendekatan
kualitatif deskriptif. Paradigma representasi merupakan konsep-konsep dan ide-ide
kerangka berpikir psikologi sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial
dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Paradigma ini meletakkan individu
dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004).
Penelitian representasi sosial bertujuan untuk mengungkap informasi mengenai
pengetahuan awam yang sudah ada supaya membuat yang tidak familiar menjadi
familiar (Walmsley, 2004). Oleh karena itu, hasil penelitian representasi sosial
diharapkan dapat berupa pengetahuan lokal, bukan penyesuaian teori. Teori
digunakan sebatas kerangka berpikir dalam melakukan penelitian, bukan sebuah
acuan untuk hasil akhir. Penggunaan paradigma representasi sosial dalam penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji indentitas diri individu dari pengalaman kesehariannya
sesuai dengan konteks norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya saat ini.
Definisi penelitian kualitatif menurut Creswell (2007) adalah proses pencarian
data untuk memahami masalah sosial yang diperoleh dari situasi yang alamiahnya.
sosial atau fenomena yang dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks
khusus dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Creswell, 2007; Moleong,
2005). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan pertanyaan yang luas dan umum
kepada responden, mengumpulkan pandangan secara detail berdasarkan kata-kata dan
kesan partisipan, kemudian menganalisis informasi tersebut untuk menentukan tema
utamanya dan mendeskripsikannya. Berdasarkan data tersebut, peneliti
menginterpretasikan makna informasi yang menggambarkan refleksi personal.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti dimungkinkan
untuk memperoleh pemahaman makna dan interpretasi pengalaman berpakaian orang
muda sehari-hari secara alamiah.
Penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat
deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat
populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2008). Penelitian bersifat deskriptif dapat
mengungkap situasi, setting, proses, hubungan, sistem, dan orang-orang secara alami
(Leedy & Ormrod, 2005). Dengan pendekatan ini, berbagai dimensi gejala-gejala
psikologi dapat digali dan diuraikan secara intensif (Suwignyo, 2002). Kekuatan dari
penelitian ini adalah pada kekayaan interpretasi data. Pendekatan ini menekankan
pada analisa data melalui pemetaan data ke dalam kategori-kategori yang dasar
pembentukannya jelas, sistematis, dan logis (Suwignyo, 2002). Bobot data pertama
ditentukan oleh kedalaman interpretasi dan pemaknaan data oleh peneliti, bukan mutu
harus memiliki kepekaan untuk mencatat, merekam, dan menangkap detil-detil fakta
diamati selama obeservasi dan kemampuan merefleksikan detil-detil fakta tersebut.
B. Subjek Penelitian
Penentuan responden penelitian dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik
sebagai berikut (Poerwandari 2005) :
1. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, tetapi pada kasus-kasus tipikal
sesuai kekhususan masalah penelitian
2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal
jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual
yang berkembang dalam penelitian
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada
kecocokan konteks
Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti menentukan responden penelitian
dengan menggunakan teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling
1. Teknik purposive sampling
Penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang ditentukan peneliti. Kriteria
tersebut antara lain:
a. Mahasiswa S1 yang kuliah di Yogyakarta
b. Berusia antara 18 – 25 tahun
2. Teknik Snowball Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan cara peneliti meminta
informasi kepada calon responden atau salah satu orang yang dikenal untuk
dihubungi dengan mahasiswa dari berbagai universitas yang bisa diminta untuk
menjadi responden penelitian. Setelah itu, peneliti meminta bantuan responden
penelitian untuk diperkenalkan kepada temannya untuk dijadikan responden
penelitian selanjutnya.
Penelitian ini melibatkan 28 orang mahasiswa yang kuliah di 10 universitas di
Yogyakarta berusia 18-23 tahun. Pertimbangan dalam penentuan sampel penelitian
orang muda adalah:
1. Ada keresahan pada kalangan orang tua di masyarakat bahwa orang muda
kehilangan identitas sebagai orang Timur dalam konteks berpakaiann
2. Mahasiswa adalah bagian dari orang muda yang berada pada tahap perkembangan
transisi dari masa remaja menuju masa dewasa awal. Pada tahap ini, mahasiswa
memiliki tugas perkembangan untuk membentuk identitas dirinya dan mulai
menyiapkan dirinya untuk masuk dalam masyarakat. Pakaian menjadi perhatian
khusus bagi orang muda karena pakaian menjadi sarana bagi orang muda untuk
mengekspresikan dirinya sekaligus menghubungkan dirinya dengan lingkungan
C. Batasan Istilah
Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian
Identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian adalah gambaran
identitas diri dan identitas sosial mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian.
Adapun identitas diri mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan
keunikan dirinya yang berbeda dengan orang lain melalui cara berpakaian. Sedangkan
identitas sosial mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan persamaan
dirinya dengan orang lain yang menunjukkan bahwa dirinya tergabung dalam
kelompok sosial tertentu, sehingga cara berpikir dan bertindaknya khususnya dalam
berpakaian tergantung pada di mana ia berada dan peran sosial apa yang sedang
dilakukannya.
Adapun mahasiswa dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai
23 tahun yang sedang menjalankan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di
Yogyakarta. Gaya hidup mahasiswa di Yogyakarta, termasuk cara berpakaiannya,
dipengaruhi oleh informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan
yang ada di masyarakat mencakup institusi pendidikan, agama, penerintah, serta
teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, bagaimana individu membangun identitas
dari cara berpakaian selalu berubah dan berkembang mengikut perkembangan
informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan yang ada di
masyarakat, dan praktek pengalaman berpakaian sehari-hari. Dengan demikian,
identitas mahasiswa dari cara berpakaiannya merupakan hasil konstruksi sosial di
D. Alat Pengumpulan Data
D.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data sementara yang
digunakan sebagai objek kajian penelitian dan menentukan alat yang tepat dalam
pengambilan data. Penelitian pendahuluan dilakukan pada 10 orang muda, mencakup
mahasiswa dan karyawan, yang rentang usianya 19 – 29 tahun. Metode yang
digunakan adalah jurnal aktivitas harian selama satu minggu dan pertanyaan “Apa arti
pakaian bagimu?”. Adapun jurnal ini berupa kolom-kolom yang instruksinya
meminta responden menuliskan aktivitas hariannya berdasarkan waktu, dimana,
bersama siapa, deskripsi pakaiannya, merk pakaian, tempat membeli, dan alasan
memakai pakaian. Dari hasil survei ini, peneliti mendapat gambaran bahwa
responden memaknai pakaian secara berbeda antara praktek dengan ide berpakaian.
Saat praktek, responden cenderung mencari yang nyaman dan mengikuti aturan yang
berlaku di sekitarnya, namun ketika ditanya arti pakaian, responden cenderung
mengungkapkan bahwa pakaian adalah cerminan identitas dirinya. Hasil penelitian
ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti untuk menentukan alat penelitian,
yaitu penelitian ini tidak cukup hanya menggunakan Jurnal Aktivitas Harian, namun
juga perlu dilakukan wawancara untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari
D.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
jurnal aktivitas harian, dilanjutkan dengan metode wawancara untuk melakukan
penggalian informasi yang lebih mendalam dari isi jurnal, dan observasi selama
proses pengambilan data.
D.2.a. Jurnal Aktivitas Harian
Ekplorasi kualitatif dilakukan dengan menggunakan Jurnal Aktivitas Harian.
Partisipan diminta untuk menuliskan aktivitasnya, tempat aktivitasnya, bersama
siapa, jenis pakaian yang dikenakan, merk pakaiannya, di mana ia membelinya, serta
alasan menggunakan pakain tersebut. Jurnal ini untuk melihat ekspresi berpakaian
orang muda berdasarkan pengalaman sehari-harinya dalam seminggu. Alat penelitian
ini memiliki tiga keuntungan, yaitu: pertama, dapat melihat ekpresi berpakaian
mahasiswa sesuai dengan konteks aktivitasnya, tempatnya, serta kelompok sosial
yang bersamanya sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang lebih
komprehensif. Kedua, dapat melihat alasan psikologis yang melandasi mahasiswa
mengenakan pakaian secara alami. Ketiga, dari isi jurnal dapat melihat perbandingan
antara kenyataannya dalam praktek berpakaian dengan pikiran individu mengenai
D.2.b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian diartikan sebagai sejenis percakapan yang khusus
karena telah direncanakan, disiapkan, dan dirancang dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan (Wengraf, 2001). Dalam wawancara, ada
pengetahuan-pengetahuan khusus yang perlu dipahami oleh pewawancara yang tidak dapat digali
dari metode pengambilan data lainnya. Percakapan dalam wawancara dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
(Moleong, 2005). Dalam penelitian ini, wawancara semi terstruktur dilakukan dengan
menggunakan panduan Jurnal Aktivitas Harian dari masing-masing responden.
Wawancara ini bertujuan untuk mengkonfirmasi apa yang telah partisipan tulis dalam
Jurnal Aktivitas Harian dan untuk menggali pengalaman-pengalaman unik responden
yang tertulis di jurnal.
D.2.c. Observasi
Tujuan dilakukan observasi untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna
yang ada berdasarkan perspektif orang yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005).
Observasi pada penelitian ini dilakukan untuk memahami pakaian yang sedang
dikenakan responden saat pengambilan data berlangsung berdasarkan konteks di
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif yang digunakan adalah
analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi
yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang
telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Penggunaan analisis tematik memungkinkan
kemudian dikuantitatifkan dengan menghitung frekuensi respon dan responden dari
pola-pola yang muncul tersebut. Penghitungan frekuensi ini bertujuan untuk
membantu peneliti melihat representasi orang muda terhadap topik penelitian.
Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut.
E.1. Pengorganisasian Data
Data yang sudah diperoleh akan diorganisasi secara rapi dan sistematis.
Pengorganisasian data dengan mengumpulkan data yang ada (jurnal dan wawancara)
dan catatan-catatan tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis datanya
masing-masing. Data pada Jurnal Aktivitas Harian diorganisasikan dengan meringkas
kolom-kolom yang ada pada jurnal. Tulisan yang berulang dan memberikan informasi yang
sama, diringkas menjadi satu. Kemudian peneliti mensistematiskannya dengan
mengelompokkannya masing-masing kolom tersebut sesuai dengan temannya
masing-masing. Pada data wawancara, pengorganisasian dilakukan dengan
menuliskannya dalam bentuk transkrip verbatim. Data observasi dicatat bersamaan
dengan transkrip wawancara.
E.2. Pengkodean Data
Pengkodean dilakukan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara
lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang arti pakaian
Pada Jurnal Aktivitas Harian, dari hasil ringkasan jurnal deskripsi pakaian
dikelompokkan dengan konteks pemakaiannya, dimana dan bersama siapa, serta
alasan pemakaiannya.
Pada data wawancara, transkrip diberi kode-kode atau catatan guna menemukan
tema-tema yang serupa dari hasil wawancara. Tema-tema yang serupa
dikelompokkan menjadi satu
E.3. Rekapitulasi Data
Data yang dikategorisasi diolah dengan cara mengelompokkannya berdasarkan
kategori yang sama, sehingga pola yang muncul pada data dapat terlihat. Kategori
yang muncul berupa arti pakaian, deskripsi pakaian dan konteks tempat
pemakaiannya, alasan memakai, sumber informasi mengenai pakaian.
Pada tahap ini, peneliti mengtabulasi jumlah frekuensi respon dan responden pada
setiap kategori yang muncul. Dengan demikian, peneliti dapat melihat intensitas dan
penyebaran responden dalam merepresentasikan pakaian.
E.4. Interpretasi Data
Interpretasi data dilakukan dengan melihat pola yang muncul dalam tema-tema