• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA MELALUI CARA BERPAKAIAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA MELALUI CARA BERPAKAIAN SKRIPSI"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA

MELALUI CARA BERPAKAIAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh: Eka Isabella NIM: 049114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA

MELALUI CARA BERPAKAIAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh: Eka Isabella NIM: 049114060

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PEGANGAN DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI INI

(6)

v

! "#$%&

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,15 Februari 2010

Penulis,

Eka Isabella

(8)

vii

Studi tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta

Melalui Cara Berpakaian

Eka Isabella

ABSTRAK

Penelitian kualitatif deskriptif dengan paradigma representasi ini menggambarkan identitas diri dan sosial mahasiswa Yogyakarta melalui cara berpakaian mereka. Penelitian ini mengungkap bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dan apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mereka mengenai pakaian. Data diperoleh dengan memanfaatkan Jurnal Aktivitas Harian, wawancara semi terstruktur, dan observasi terhadap 28 orang mahasiswa yang menempuh kuliah di 10 universitas di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arti pakaian adalah kesopanan, kenyamanan, dan keunikan. Mahasiswa mempertimbangkan kesopanan pada saat di ruang publik, rasa nyaman pada saat di ruang pribadi, serta keunikan pada kedua ruang tersebut. Mereka mengakses informasi mengenai tren pakaian melalui media tetapi menirukan gaya pakaian dari orang di sekitarnya.

(9)

viii

A Study of Student Identity in Yogyakarta

from Their Cloth

Eka Isabella

ABSTRACT

This research aims to describe the self and social identity of Yogyakarta students by discovering the meaning of clothes and the source of information about clothes for them. This research uses qualitative-descriptive approach and social-representation paradigm. Data were collected by employing Daily Activity Journal, semi-structured interview, and observation on twenty eight students of ten universities in Yogyakarta. The result shows that the meaning of cloth for student is courtesy, comfort, and uniqueness. Students consider dressing for courtesy in public space, for comfort in private space, and for uniqueness in both private and public spaces. Furthermore, they get information of the fashion trend from the media but imitate the fashion style of people around them.

(10)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Santa Dharma:

Nama : Eka Isabella

Nomor Mahasiswa : 049114060

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

STUDI TENTANG IDENTITAS MAHASISWA DI YOGYAKARTA MELALUI CARA BERPAKAIAN

berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan

royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Yogyakarta, 15 Februari 2010

Yang menyatakan,

(11)

x

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penelitian yang berjudul Studi tentang Identitas Mahasiswa di

Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan dari

berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada

orang-orang yang telah menginspirasi peneliti selama kuliah dan melakukan penelitian

ini :

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan dan dosen pembimbing skripsi

yang telah dengan tulus merelakan energi, waktu, dan fasilitas secara total dalam

membimbing dan membagikan ilmu kepada peneliti.

2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik

peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan Ibu.

3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. dan Romo Dr. A. Priyono Marwan,

S.J. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan

memberikan masukan yang berharga untuk penelitian ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pendidik dan panutan

bagi peneliti.

5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik,

Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu peneliti selama studi, Matur

(12)

xi

6. Teman-teman yang telah bersedia dengan tulus menjadi responden penelitian.

7. Papa Tjok Fen Djiou/Moses Taufan, yang selalu mengajarkan peneliti untuk

bertanggungjawab atas pilihan hidup dan selalu menekankan identitas pada peneliti

sebagai anak bangsa ini. Dad, You are my hero.

8. Mama Tjen Fuk Tjhin/Ignata Noni, sumber energi hidupku, karya nyata kasih

Allah di dunia yang telah meletakkan sebuah hati dalam diriku. Semangat,

ketekunan, keterbukaan, dan keyakinan pada Allah yang dikobarkan pada peneliti

inilah yang selalu membuat peneliti bertahan hingga hari ini.

9. Kakak-kakak peneliti -Ce Yin, Ko Paulus, Kocem, Kocit, Ce Yun, Ce Nia, Ko

Agus- teladan hidupku yang selalu mengajarkan peneliti kerja keras, pilihan hidup,

dan ketulusan dalam mencintai. Being your little sister is a bless for me.

10. Sr. Francesco, CB, sosok pembimbing yang selalu mengajarkan kesetiaan dan

kedisiplinan dalam melayani.

11. Suster-suster FCJ, Rm. John, SJ, yang telah membimbing peneliti untuk

menemukan tujuan, azas dan dasar dari hidup ini.

12. Keluarga besar Magis 08 & 09 Jogja, saudara seperjuangan peneliti dalam

menemukan arti dari hidup. Perziarahan hidup kita masih panjang kawan.

AMDG!!!

13. Linda Santoso dan Martinus Budi Gunawan, saudara-saudara yang telah membuat

(13)

xii

14. Emerita Setyowati dan Agung Priaji… teman-teman peneliti dalam menikmati

petualangan hidup. Let’s get our future!!!

15. Keluarga besar TAMAN CEMARA, -Urut dari yang paling kecil sampai yang

paling bohai- Loli kecil, Alma Merah Marun, Tiw-tiw Witiw, Arya, Lucky, Dik

Shinta, Widyawati Ari Oke serta teman-teman Empat Pejuang, Mba Nana, Wira,

Githa, dan Iin. Kawan. Akhir-akhir ini hidup kita emang jadi berbeda, tapi saya

bahagia karena hidup ini menjadi bersemangat bersama teman-teman. Ada lagi,

Oom Troy dan Mba Chigie… terima kasih karena telah memberi warna dalam

kehidupan keluarga TAMAN CEMARA.

16. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu

peneliti.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini

masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini

(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang ... 1

I.B. Rumusan Masalah ... 7

I.C. Tujuan Penelitian ... 8

I.D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN TEORI ... 10

II.A. Identitas dan Pakaian ... 10

II.A.1. Teori Identitas ... 10

II.A.1.a. Landasan Teori Identitas ... 10

II.A.1.b. Pengertian Identitas ... 13

(15)

xiv

II.A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia ... 17

II.A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas ... 21

II.A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa ... 23

II.A.5. Representasi Sosial ... 24

II.B. Konteks Penelitian ... 29

II.B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian ... 29

II.B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta ... 33

II.B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta ... 37

II.C. Kerangka Penelitian ... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

III.A. Jenis Penelitian ... 40

III.B. Subjek Penelitian ... 42

III.C. Batasan Istilah ... 44

III.D. Alat Pengumpulan Data ... 45

III.D.1. Penelitian Pendahuluan ... 45

III.D.2. Metode Pengumpulan Data ... 46

III.D.3. Format Jurnal Aktivitas Harian ... 48

III.E. Analisis Data ... 48

III.F. Pertanggungjawaban Keabsahan Data ... 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

IV.A. Pelaksaan Penelitian ... 52

IV.A.1. Tahap Survei Pra-Penelitian ... 52

IV.A.2. Tahap Penentuan Responden Penelitian ... 53

IV.A.3. Tahap Pengambilan Data ... 54

IV.B. Hasil Penelitian ... 56

IV.B.1. Data Demografi Responden ... 56

IV.B.2. Analisa Data ... 58

(16)

xv

IV.B.2.a.i. Arti pakaian pada mahasiswa berdasarkan hasil

wawancara... 58

IV.B.2.a.ii. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian ... 59

IV.B.2.a.iii. Konteks mahasiswa mengenakan pakaian berdasarkan ruang dan alasannya ... 77

IV.B.2.b. Sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai berpakaian ... 79

IV.B.2.c. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berpakaian ... 81

IV.B.2.c.i. Arti dan alasan mahasiswa mengenakan pakaian .... 81

IV.B.2.c.ii. Konteks mengenakan pakaian ... 83

IV.B.2.c.iii. Jenis pakaian ... 84

IV.B.2.c.iv. Merk pakaian ... 85

IV.C. Skema Hasil Penelitian ... 88

IV.C.1. Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaiannya ... 88

IV.C.2. Penjelasan Skema Penelitian ... 89

IV.D. Pembahasan ... 94

IV.D.1. Identitas Orang Muda Berdasarkan Gaya Berpakaiannya ... 94

IV.D.1.a. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Ibadah ... 95

IV.D.1.b. Kepantasan dan Kesopanan di Kampus ... 96

IV.D.1.c. Kepantasan dan Kesopanan di Tempat Kondangan ... 97

IV.D.2. Identitas Diri Merupakan Suatu Kesatuan dengan Identitas Sosial 100 IV.D.3. Ekspresi Berpakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 102

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

V.A. Kesimpulan ... 105

V.B. Saran ... 107

V.C. Keterbatasan Penelitian ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sejarah Perkembangan Pakaian di Indonesia ... 13

Tabel 2. Contoh Salah Satu Halaman Jurnal Aktivitas Harian ... 48

Tabel 3. Identitas Responden Penelitian ... 56

Tabel 4. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara ... 58

Tabel 5. Arti dan Alasan Mengenakan Pakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian .... 59

Tabel 6. Arti Pakaian Berdasarkan Hasil Wawancara ... 60

Tabel 7. Arti Nyaman Berdasarkan Hasil Wawancara ... 62

Tabel 8. Arti Norma Berdasarkan Hasil Wawancara... 65

Tabel 9. Arti Mengekspresikan Diri Berdasarkan Hasil Wawancara ... 67

Tabel 10. Tempat yang Penting bagi Mahasiswa dalam Mengenakan Pakaian ... 69

Tabel 11. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ... 73

Tabel 12. Jenis Pakaian dan Artinya ... 75

Tabel 13. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Pakaian ... 76

Tabel 14. Sumber Informasi Mahasiswa Mengenai Cara Berpakaian ... 79

Tabel 15. Orang yang Dibayangkan ... 79

Tabel 16. Arti Pakaian pada Mahasiswa Berdasarkan Hasil Wawancara ... 81

Tabel 17. Arti Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin dari Data Jurnal Aktivitas Harian ... 82

Tabel 18. Ruang dan Makna Mengenakan Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83

Tabel 19. Jenis Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 84

Tabel 20. Merek Pakaian Berdasarkan Jenis Kelamin... 85

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 39

Gambar 2. Konteks Mahasiswa Mengenakan Pakaian

Berdasarkan Jurnal Aktivitas Harian ... 78

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ringkasan Proses Pengambilan Data ... 115

Lampiran 2. Ringkasan Aktivitas dan Barang yang Mengekspresikan Responden . 118 Lampiran 3. Respon Alasan Berpakaian dari Data Jurnal Aktivitas Harian ... 121

Lampiran 4. Tempat yang Penting dalam Mengenakan Pakaian ... 126

Lampiran 5. Alasan Berpakaian Berdasarkan Ruang dan Waktu ... 129

Lampiran 6. Jenis Pakaian Atasan dan Alasan Mengenakannya ... 134

Lampiran 7. Jenis Pakaian Bawahan dan Alasan Mengenakannya ... 140

Lampiran 8. Sumber Informasi Mengenai Pakaian ... 144

Lampiran 9. Orang yang Dibayangkan Memiliki Gaya Pakaian yang Sama ... 145

Lampiran 10. Merk Pakaian yang Dikenakan Responden ... 156

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini identitas orang muda sebagai orang Timur semakin meluntur karena meniru gaya hidup yang ditawarkan oleh media (Rakhmat, 2005). Giddens (1991) mengartikan gaya hidup sebagai praktek rutinitas yang dapat terekspresi dalam kebiasaan berpakaian, makan, cara bertindak dan pergaulan yang disenangi untuk mengalami perjumpaan dengan orang lain. Dalam gaya hidup, penampilan luar adalah segalanya (Ibrahim, 2007). Lebih lanjut Ibrahim mengatakan bahwa penampilan lebih penting daripada hal-hal substansial, seperti nilai-nilai atau norma yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pakaian menjadi aspek penting dalam gaya hidup. Tren mode pakaian yang ditawarkan media sering dipandang kurang pantas untuk budaya Timur. Celana hipster yang memperlihatkan celana dalam, baju you can see yang memperlihatkan kulit lengan, serta rok atau celana pendek yang memperlihatkan paha, dll. Hal ini seringkali meresahkan masyarakat karena dipandang melenceng dari nilai-nilai lokal budaya Timur.

(21)

bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern (Ibrahim, 2005). Media massa memegang peranan yang besar dalam mentransfer informasi, pesan-pesan, sistem nilai, norma-norma sosial, budaya, pemikiran dan sebagainya secara cepat ke dalam ruangan dan pikiran masyarakat Indonesia saat ini. Dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan, Budiman (2002) mengemukakan bahwa muatan nilai-nilai, norma, pola kultural, moral dan etika yang ditransferkan dalam komunikasi melalui media massa bukanlah berasal dari budaya lokal Indonesia, melainkan budaya global, budaya masyarakat lain dari seluruh dunia.

(22)

yang ditanamkan media dipandang menjadi penyebab merosotnya martabat masyarakat dan merusak nilai-nilai budaya yang tinggi (Budiman, 2002).

Fenomena gaya hidup dengan mengutamakan penampilan luar dan budaya material seperti yang ditawarkan oleh media, daripada aturan atau norma-norma yang ada dalam masyarakat juga tidak lepas dari kehidupan mahasiswa di Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian berikut ini: pertama, hasil penelitian Liestyasari (2005), seorang peneliti antropologi, tentang Kaum Muda dan Konsumsi Identitas pada 8 orang muda di Yogyakarta yang berumur 19-22 tahun, berstatus mahasiswa dan karyawan menemukan bahwa identitas diri merupakan hal yang penting bagi orang muda di Yogyakarta. Salah satu cara mereka menampilkan identitasnya sebagai orang muda adalah dengan melakukan praktek konsumsi gaya hidup. Penampilan dan citra diri juga menjadi sangat penting bagi orang muda di Yogyakarta. Citra diri menjadi penting bagi orang muda agar diterima oleh orang lain. Bagi mereka, penampilan dan citra diri secara implisit mengandung arti sebagai usaha pencapaian identitas diri yang kemudian diwujudkan melalui konsumsi pakaian, kosmetika, sampai perawatan tubuh. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa mereka mengadopsi atau meniru gaya hidup, dandanan, dan pakaian artis muda yang ada di televisi maupun iklan dalam membetuk identitas diri mereka.

(23)

televisi dengan penyimpangan nilai dan perilaku seseorang. Salah satu kesimpulan dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa selera dan gaya hidup masyarakat semakin dipengaruhi oleh tontotan televisi terutama iklan. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dulu cukup dibeli di peken (sebutan untuk pasar tradisional), kini demi mode, tren, harus dicari di supermal, swalayan atau minimal supermarket. Jumlah waktu yang dihabiskan masyarakat Yogyakarta untuk menonton acara televisi tergolong tinggi yakni sehari rata-rata 3,5 jam (Perilaku Dipengaruhi Keseringan Nonton Televisi, 2002).

(24)

Ketiga hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa anak muda di Yogyakarta mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas mereka. Mahasiswa merupakan bagian dari orang muda, oleh karena itu mereka juga mengikuti tawaran yang ada di media dalam membentuk identitas mereka. Mereka mengikuti gaya hidup yang mementingkan penampilan luar daripada nilai-nilai atau norma-norma yang ada di dalam masyarakat Timur. Konsumsi pakaian yang mereka lakukan dalam rangka mengekspresikan identitasnya, didasarkan pada tren yang ditawarkan media. Hal ini mengkhawatirkan masyarakat di Yogyakarta karena mahasiswa dipandang semakin meninggalkan budaya Timur dengan mengikuti budaya yang ditawarkan di media.

(25)

tersebut ditegur oleh tetangga, seorang bapak berusia 40-an tahun, ketika mengenakan kemeja yang letak kancingnya agak rendah bagian sehingga sehingga bagian lehernya terbuka agak lebar.

“Mbak itu nggak ada benik-nya ya? Mbok dikasih kancing tambahan. Nanti malah bikin laki-laki penasaran. Kalau laki-laki tu lebih suka ngeliat yang pakaiannya tertutup”

Contoh di atas ini menunjukkan bahwa ada kekuatiran dalam masyarakat bahwa mahasiswa meninggalkan nilai dan norma yang ada. Gaya berpakaian yang mini dan memperlihatkan bagian tubuh tertentu seperti perut, bahu, belahan dada, celana dalam, pusat, dan belahan di bokong bukanlah hal yang lazim dan dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat melakukan kontrol terhadap perilaku mahasiswa, khususnya dalam konteks mahasiswa dipandang berpakaian tidak sesuai dengan norma dan nilai masyarakat. Kekuatiran masyarakat terhadap gaya berpakaian mahasiswa di Yogyakarta ini memang beralasan. Oleh karena itu, sebuah kajian tentang identitas mahasiswa di Yogyakarta penting untuk dilakukan.

(26)

1998). Sementara identitas sosial adalah kesadaran individu bahwa dirinya merupakan anggota dari suatu kelompok tertentu, yang meliputi kesadaran akan perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut (Hogg & Abram, 2001). Paradigma representasi sosial dipandang tepat untuk kerangka teoretis dalam penelitian karena penelitian representasi sosial meletakkan mahasiswa dalam ruang sosialnya sehingga memungkinkan peneliti mengungkapkan identitas mahasiswa sesuai dengan norma dan nilai masyarakat di mana mahasiswa tersebut berada.

Penelitian ini penting dilakukan karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual tentang identitas mahasiswa. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan pendekatan yang lebih tepat dalam memberi penilaian dan mendampingi orang muda pada umumnya, khususnya mahasiswa.

B. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakainnya. Permasalahan penelitian ini akan dijawab melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk identitasnya?

(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian kualitatif ini adalah mengungkap identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaiannya dengan menjawab pertanyaan bagaimana mahasiswa mengartikan pakaian dalam rangka membentuk identitasnya serta apa sumber informasi yang membentuk pengetahuan mahasiswa mengenai berpakaian.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini memberi wacana tambahan bagi ilmu-ilmu sosial secara umum, dan ilmu psikologi secara khusus, terutama Psikologi Sosial, Psikologi Budaya, dan Psikologi Pekembangan

a. Bagi Psikologi Sosial dan Budaya

Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai gaya hidup mahasiswa saat ini dari cara berpakaiannya

b. Bagi Psikologi Perkembangan

(28)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat pada Umumnya

Penelitian ini memberikan pemahaman yang kontekstual dan proposional mengenai identitas orang muda, khususnya mahasiswa dari gaya berpakaiannya sehingga masyarakat dapat memberikan pendampingan yang tepat bagi mereka.

b. Bagi Psikologi Industri

(29)

BAB II

TINJAUAN TEORI

Berikut ini merupakan landasan teori yang mendasari penelitian ‘Studi tentang Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian’. Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai teori identitas yang lihat dari hasil konstruksi sosial, definisi pakaian dan sejarah perkembangannya di Indonesia, mahasiswa dan tugas perkembangannya, teori representasi sosial, serta konteks mahasiswa di Yogyakarta dalam mengenakan pakaian.

A. Identitas dan Pakaian

A.1. Teori Identitas

A.1.a. Landasan Teori Identitas

Dalam penelitian ini, teori identitas yang digunakan berakar pada teori self

William James. James (1890) memisahkan self menjadi dua aspek, yaitu I dan

Me. I menunjukkan aspek self yang secara aktif memahami, berpikir, atau melihat. I merupakan kesadaran individu bahwa dirinya sedang berpikir atau memahami dari suatu proses fisik atau psikis itu sendiri. Konsep I ini banyak digunakan oleh filsuf, sedangkan para ahli psikologi lebih banyak memberikan perhatian dari pemahaman sifat dasar dari Me. Istilah Me menunjukkan aspek self

sebagai obyek. Me menunjukkan segala macam cara orang berpikir tentang dirinya sendiri, ide-ide orang tentang siapa diri mereka dan seperti apa mereka (Brown, 1998). William James (1890) menggunakan istilah the empirical self

(30)

Adapun the empirical self ini memiliki tiga komponen, yaitu (1) material self, (2)

social self, (3) spiritual self. (1) Material Self

Material self berkaitan dengan obyek, orang, dan tempat yang menandakan kepemilikan (my atau mine) (James, 1890). Hubungan antara kepemilikan dengan

(31)

(2) Social Self

Social self menunjukkan bagaimana individu dianggap dan dikenal oleh lain (James, 1890). Pada dasarnya, social self mencakup berbagai posisi sosial yang individu emban dan peran sosial yang ia mainkan. Brown (1998) menyebutkan istilah social self ini sebagai identitas sosial. Setiap orang memiliki berbagai macam identitas sosial. Deaux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (dalam Brown, 1998) membedakan lima tipe identitas sosial, yaitu hubungan personal (seperti suami, istri); etnik/religi (orang Afrika-Amerika, muslim dll); afiliasi politis (demokrat, republik), stigmatisasi kelompok (kriminal, alkoholik); dan pekerjaan (artis, professor dll). Beberapa identitas tersebut merupakan identitas yang terberi (misalnya lahir sebagai laki-laki dll) dan beberapa identitas diperoleh (misalnya profesor, mahasiswa dll).

Masing-masing identitas tersebut akan disertai dengan serangkaian harapan dan perilaku spesifik. Oleh karena itu, James menekankan bahwa dalam hal ini bagaimana Individu berpikir tentang dirinya tergantung pada peran sosial yang kita mainkan. Individu akan memperlihatkan self yang berbeda ketika dalam situasi sosial yang berbeda.

(3) Spiritual Self

(32)

Konsep empirical self William James ini yang kemudian melandasi konsep identitas yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi lainya. Spiritual Self

dikembangkan menjadi identitas diri, dan social self dikembangkan menjadi identitas sosial. Sementara material self menjelaskan identitas diri dan sosial seseorang. Teori William James ini membahas mengenai identitas diri sekaligus identitas sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa William James meletakkan individu dalam konteks sosialnya dalam mengemukakan teori identitasnya. Oleh karena itu teori ini cocok digunakan sebagai landasan dalam penelitian representasi sosial. Hal ini dikarenakan paradigma representasi sosial meletakkan individu dalam konteks sosialnya, karena paradigma ini memandang bahwa keadaan psikologis individu merupakan hasil konstruksi dari masyarakat, apa yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita bereaksi (Walmsley, 2004). Berikut ini akan dijelaskan pengertian tentang identitas.

A.1.b. Pengertian Identitas

(33)

Identitas sosial adalah kesadaran individu memiliki perasaan sama dengan anggota kelompok lainnya (kita) (Hogg & Abrams, 2001; Worchel, dkk., 1998). Namun, identitas sosial juga mengacu pada suatu perbedaan, perbedaan kelompok kita dengan kelompok lainnya (mereka) (Worchel, dkk., 1998). Identitas sosial mencakup berbagai posisi sosial yang individu emban dan peran sosial yang ia mainkan (Brown, 1998). Setiap peran sosial tersebut memiliki harapan perilaku spesifik, sehingga individu memperlihatkan diri yang berbeda pada situasi sosial yang berbeda. Individu menyadari perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut (Abrams & Hogg, 1990). Identitas sosial bersifat inklusif karena individu melepaskan kediriannya (I) dan mengkategorikan dirinya dalam suatu unit sosial (we/kita) (Hogg & Abrams, 2001).

(34)

A.1.c. Pembentukan Identitas

Konsep identitas yang digunakan adalah identitas diri dan identitas sosial yang merupakan hasil konstruksi dari masyarakat. Identitas terbentuk dari konstruksi di dalam, bukan di luar diskursus (Hall & du Gay, 1996). Hal ini berarti bahwa pendekatan konstruksi sosial melihat bahwa identitas merupakan hasil konstruksi melalui interaksi individu dengan lingkungan sosial, dan bukan merupakan suatu hal yang terberi (Berger & Luckman, 1967; Burr, 2002). Identitas bukan merupakan sesuatu yang stabil, melainkan dinamis dan terus berkembang hingga sepanjang hidup individu (Brym & Lie, 2007; Kashima, Foddy, & Platow, 2002). Setiap kali individu mengkristalisasi identitasnya, ia akan mempertahankannya dalam waktu tertentu, kemudian memodifikasinya, dan bahkan membentuk kembali melalui interaksi sosial (Berger & Luckman, 1967). Pada pendekatan ini, diri individu dipandang bukan sebagai suatu kesatuan yang pasif ditentukan oleh pengaruh luar dalam membentuk identitasnya (Giddens, 2003), melainkan secara aktif membentuk identitasnya melalui diskursus sosial.

(35)

berasal dari diri seseorang, melainkan hasil dari dialektika antara individu dengan dunia sosialnya yang terdiri dari bahasa dan simbol-simbol yang kasat mata (Burr, 2003).

Pembentukan identitas melalui proses identifikasi dimana individu memasukkan dan menggabungkan atribut orang lain, dan mentransformasikan ke dalam dirinya secara tidak sadar (Woodward, 2002). Pada hal ini, identitas dapat saja dibentuk oleh institusi yang dominan, akan tetapi bila individu tidak menginternalisasi pengalamannya dan memaknai hal yang diinternalisasikan, maka identitas tidak akan terbentuk (Castells, 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsep identitas bukan merupakan hasil persepsi individu terhadap dunia kenyataan semata, melainkan sebagai hasil kerja sistem internalisasi yang mengutamakan interaksi antara diri individu dan lingkungan sosialnya.

(36)

A.2. Pengertian Pakaian dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001), pakaian diartikan sebagai barang apa yang dipakai seperti baju, celana, dan sebagainya (KBBI, 2001). Pada semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, melainkan merupakan kode-kode yang memiliki makna. Berdasarkan hasil studi literaturnya terhadap pakaian di Indonesia, van Dijk (2005) mengatakan bahwa pakaian adalah suatu penanda yang paling jelas diantara sekian banyak penanda penampilan luar, dengan apa orang membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu. Pakaian mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, dan religius. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa pakaian menggambarkan perubahan sosial dan politik dalam bangsa ini.

(37)

tinggal di daerah tertentu. Pakaian menjadi penanda latar belakang kedaerahan seseorang dan status seseorang dalam masyarakatnya. Dengan demikian, akan lebih mudah mengontrol masing-masing suku dan meminimalisir terjadi pengintegrasian.

(38)

senioritas pemakai. Sandal, yang pada era Soekarno sangat popular di kalangan dosen dan guru-guru, dilarang untuk digunakan karena diidentikkan dengan pengikut ‘PKI’.

Pada tahun 2008, UU Pornografi disahkan (Akhirnya RUU Pornografi Disahkan, 2008). RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. UU ini dipandang mengancam keberagaman dan keunikan suku di Indonesia serta mendeskriditkan perempuan (UU Pornografi Perlu Uji Materi, 2008). Isi UU ini menunjukkan bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah dengan demikian perlu ditetapkan UU untuk mengatur cara berpakaian, khususnya pada perempuan.

(39)

Pakaian di Indonesia telah mengalami proses yang panjang. Berikut ini merupakan tabel ringkasan sejarah perkembangan pakaian di Indonesia:

Tabel 1

Kolonialisasi Belanda melarang orang Indonesia mengenakan pakaian Barat

(40)

Pemaparan perkembangan sejarah berpakaian di Indonesia ini menggambarkan bahwa pakaian di Indonesia telah mengalami proses kesejarahan yang panjang. Proses ini menunjukkan bahwa sejak semula pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tapi menunjukkan identitas diri bangsa ini. Dalam semua budaya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi memiliki makna simbolik sebagai ekspresi dan deskripsi diri secara eksternal dalam membangun identitas diri (Giddens, 1991). Dalam penelitian ini, definisi pakaian sebagai barang apa yang dipakai untuk menutup tubuh seperti baju, celana, jaket, rok, baju terusan, sarung, tank-top, dll.

A.3. Pakaian sebagai Ekspresi Identitas

Pakaian merupakan ekspresi identitas seseorang karena saat seseorang memilih pakaian baik di rumah maupun di toko berarti ia mendefinisikan dan mendeskripsikan dirinya sendiri (Nordholt, 2005). Bagaimana hubungan pakaian dengan identitas diri? Davis, dalam bukunya Fashion, Culture, and Indentity

(41)

usianya. Hasilnya, identitas individu selalu fluktuatif dan hal ini sering kali menyebabkan kecemasan atau perasaan tidak aman. Oleh karena itu, individu membutuhkan pakaian untuk membantunya mengekpresikan perubahan identitas tersebut. Pakaian membantu individu mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain, bagaimana dirinya ingin dilihat, dan dengan siapa dirinya ingin berelasi (Davis, 1992).

Di samping mengekspresikan diri, pakaian juga mengekspresikan identitas sosial seseorang. Pakaian menunjukkan latar belakang keadaan sosial seseorang seperti budaya, agama, kelas sosial, etnik atau ras, dsb. Jenis dan gaya pakaian sangat tergantung pada konteks pemakaiannya, di mana, bersama siapa, pada kesempatan apa individu tersebut memakainya (Davis, 1992) karena pakaian merupakan kulit sosial seseorang (Nordholt, 2005). Dalam berpakaian, orang tidak sepenuhnya bebas mengenakan pakaian karena akan selalu ada kaedah-kaedah tertentu yang mengatur individu dalam berpakaian. Oleh karena itu, pakaian bukan semata-mata pilihan individu, melainkan merupakan hasil negosiasi individu dengan masyarakat sosialnya.

(42)

A.4. Definisi dan Pembetukan Identitas Mahasiswa

Sarlito Sarwono mendefinisikan mahasiswa adalah orang yang menjalankan studi di Perguruan Tinggi. Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Perguruan Tinggi dan Departemen P dan K (Sarlito Wirawan Sarwono dan kawan-kawan, 1979), mendefinisikan mahasiswa sebagai golongan pemuda, umumnya berumur 18-30 tahun, yang secara resmi terdaftar pada salah satu perguruan tinggi dan aktif pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Pada penelitian ini mahasiswa didefinisikan sebagai orang muda yang berusia 18 sampai 23 tahun yang sedang menjalankan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Orang muda adalah golongan yang baru saja meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal. Pada tahap dewasa awal, pembentukan identitas menjadi penting karena pada masa ini perkembangan fisik, kognitif, dan sosial individu cukup matang sehingga mampu memilih dan mensintesiskan identitasnya pada masa kanak-kanak untuk membangun suatu jalan untuk menuju kematangan orang dewasa (Santrock, 2005). Pada masa ini, menurut Erikson (Larsen & Buss, 2005), orang muda berjuang untuk melepaskan dirinya dari orang tuanya, berhenti bersandar pada orang tuanya, dan memutuskan nilai-nilai apa yang akan dipegangnya dan apa tujuan yang ingin dicapainya di masa depan. Oleh karena itu pada masa ini kebutuhan mahasiswa untuk membentuk identitas menjadi lebih besar.

(43)

keluarga, pekerjaan, pendidikan, etnik atau ras, dan komunitas lainnya (Brym & Lie, 2007). Mereka mengembangkan identitas yang sesuai dengan kategori sosial di mana mereka tergabung, karena itu perilaku dan keyakinannya pun sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kategori sosial ini (Brym & Lie, 2007). Ketegori sosial ini terus berubah seiring perkembangan waktu, jadi orang muda pun terus berusaha mengikuti perkembangan tersebut. Dengan demikian, identitas orang muda pun fluktuatif, belum stabil, terus berkembang hingga sepanjang hidupnya (Brym & Lie, 2007; Kashima, Foddy & Platow, 2002; Santrock, 2005). Orang muda terus membangun identitas dirinya melalui diskursus sosial dan budaya di mana ia berada. Dengan demikian, identitas mahasiswa merupakan hasil konstruksi sosial dirinya dengan masyarakat di mana ia berada, khusus di wilayah Yogyakarta.

(44)

A.5. Representasi Sosial

Representasi sosial merupakan pikiran dan perasaan individu terhadap suatu objek dalam masyarakat yang diekspresikan dalam melalui kata-kata dan perilaku (Wagner, dkk., 1999). Teori representasi sosial ini merupakan kerangka konsep-konsep dan ide-ide psikologis secara sosial untuk mempelajari fenomena psikososial dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah kesepakatan di antara fenomena, dan terjadi karena adanya komunikasi antar anggota kelompok (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004). Inti dari paradigma ini adalah keyakinan bahwa keadaan psikologis terbentuk secara sosial dan apa yang kita representasikan tersebut menentukan bagaimana cara kita bereaksi (Walmsley, 2004).

Representasi sosial menekankan tentang bagaimana seseorang menginterpretasikan dan membuat dunianya berarti dan fokus pada proses komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999). Arti merupakan pemaknaan terhadap suatu pengalaman atau ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya. Arti terhadap dalam representasi sosial merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa arti tidak hanya berada pada level individu saja tetapi arti yang berada pada level masyarakat (Wagner, dkk., 1999).

(45)

kita pahami dengan cara tertentu. Dengan demikian, representasi sosial dilihat sebagai ciptaan sosial, bukan sesuatu yang dihasilkan oleh individu melalui proses imitasi dari hasil persepsinya.

Paradigma ini meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004). Dalam konsep ini, identitas diri merupakan representasi sosial yang dibentuk melalui pengalaman dan diartikan dalam ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya. Dalam hal ini perspektif representasi sosial akan banyak berbicara tentang bagaimana narasi tentang identitas diri saat ini terbentuk melalui distribusi pengetahuan sosial tentang identitas diri yang disebarluaskan melalui media massa. Paradigma ini menyediakan instrumen konseptual untuk analisis representasi sosial pada hasil yang terbentuk dari ide, imajinasi, dan simbol dalam

masyarakat dikenali dalam berbagai produk seperti diskursus atau ikon, peralatan materi,

dan praktik secara individual atau kolektif yang beredar dalam masyarakat, melalui

berbagai saluran komunikasi seperti percakapan, media, dan institusi formal.

Perspektif representasi sosial mengenal manusia sebagai makhluk berpikir yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada umumnya berpikir mengenai hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan kolektif masyarakat (Moscovici, 2001). Dengan demikian representasi sosial merefleksikan pemahaman pikiran awam (commonsense).

Moscovici (2001) berpendapat bahwa tujuan representasi sosial adalah untuk

(46)

sosial memiliki empat fungsi (Walmsley, 2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi pedoman, dan (d) fungsi pembenaran. Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsi orientasi mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Representasi juga menyediakan pembenaran atas perbedaan sosial antar kelompok, khususnya saat stereotip dan permusuhan terbukti.

Secara umum, menurut Moscovici (2001) penelitian representasi sosial melalui dua proses yaitu, objectivication (objektivikasi) dan anchoring

(penjangkaran). Objektivikasi merupakan usaha untuk mengubah sebuah ide abstrak menjadi sesuatu yang hampir konkret dan dengan demikian mengubah sesuatu yang ada di dalam bayangan semata menjadi sesuatu yang ada di dunia fisikal. Objektivikasi merupakan proses mengarahkan isi mental ke dalam realita, di mana objektivikasi ini yang membentuk sesuatu yang tidak familiar menjadi familiar. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif.

Anchoring merupakan usaha mengurangi ide-ide asing menjadi citra dan kategori biasa dan menjangkarkannya pada konteks yang dikenal (Moscovici, 2001; Walmsley, 2004).Adapun tujuan anchoring adalah membuat yang tidak

(47)

menyatakan teori masyarakat dengan mengklasifikasikan apa yang belum terklasifikasi dan menamakan apa yang belum memiliki nama. Adapun yang dimaksud kategorisasi adalah proses memilih sebuah paradigma dari semua yang tersimpan dalam memori kita dan membangun sebuah hubungan positif ataupun negatif terhadapnya.

(48)

B. Konteks Penelitian

B.1. Yogyakarta sebagai Lokasi Penelitian

Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan tradisi yang masih sangat kuat (Subanar, 2007). Namun saat ini Yogyakarta tidak lepas dari arus perubahan perkembangan zaman (Subanar, 2007). Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei menunjukkan sebagian besar migran, termasuk para TKW asal Kulon Progo, Yogyakarta sebanyak 76,7 persen, cenderung memilih tinggal di luar negeri. Hal ini merupakan indikasi adanya pergeseran nilai yang dipakai sebagai pedoman hidup yakni dari nilai komunal menjadi nilai ekonomi (TKW Kulonprogo Lebih Suka Tinggal di Luar Negeri, 2001). Masyarakat Yogyakarta, cenderung mengejar kesempatan untuk mencari uang sehingga bisa mengikuti gaya hidup yang baru.

(49)

terlihat dari menjamurnya toko-toko yang menjual barang-barang yang mencerminkan gaya hidup materialis seperti pakaian serta alat-alat komunikasi. Kita dapat dengan muda menyaksikan para mahasiswa asyik mengerjakan tugas ataupun browsing internet di tempat-tempat nongkrong seperti kafe ataupun mall tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.

Salah satu gejalanya perubahan wajah kota Yogyakarta adalah dengan hadirnya Ambarukmo Plaza. Kehadiran mal terbesar di Yogyakarta, bahkan di Jawa Tengah, ini telah mengubah gaya hidup masyarakat di Yogyakarta. Tempat ini telah menjadi ruang publik tempat berkumpulnya berbagai kalangan orang, menggantikan tempat-tempat rekreasi yang ada. Mal ini bahkan bukan sekedar tempat berbelanja atau nongkrong menghabiskan waktu senggang, tidak jarang mal juga sebagai tempat belajar individu atau kelompok mahasiswa. Mal Ambarukmo Plaza yang terletak di jalan utama di kota ini memiliki slogan secara tegas menyatakan diri sebagai simbol perubahan Yogyakarta dari kota budaya yang berpegang teguh pada tradisi menjadi kota yang modern dengan slogannya “Amplaz Dunia Modernnya Yogya’ atau ‘Nikmati Sensasi Belanja di Dunia Barunya Yogya’.

(50)

selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, dan “bersatu dalam maksud untuk membantu”. Rukun adalah keadaan ideal yang harus dipertahankan dalam suatu hubungan sosial. Dengan demikian, berlaku rukun berarti berusaha untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dan keresahan. Di sisi lain, prinsip ini bukanlah berarti untuk menciptakan kerukunan, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang dipandang sudah ada. Intinya, masyarakat Jawa menuntut seseorang selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan, tenang, dan rukun (Handayani & Novianto, 2004).

Prinsip kedua, prinsip hormat, berperan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Munurut prinsip ini, setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip ini didasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis ini berasal dari diri sendiri, oleh karena itu setiap orang wajib mempertahankannya dan membawa dirinya sesuai dengan kedudukan sosialnya dalam masyarakat.

(51)

hierarkis. Dua prinsip ini berkaitan erat untuk mengatur tindakan masyarakat agar tetap menjaga keselarasan. Oleh karena itu, individu dituntut untuk memiliki kemampuan menyadari kenyataan dalam masyarakat dan keadaan dirinya sendiri yang sesungguhnya sehingga dapat bertindak dengan tepat. Untuk sampai ke situ, individu harus memiliki kemampuan kognitif untuk mengenali aspek-aspek intuitif dalam kenyataan yang di dalam budaya Jawa dikenal sebagai ‘rasa’.

Rasa merupakan kemampuan kognitif yang digunakan untuk mengetahui realitas yang bersifat intuitif (Stange, 2009). Rasa dipandang sebagai alat atau unsur psikologi untuk memahami atau menangkap kebenaran-kebenaran dalam batiniah. Pada masyarakat Jawa, kemampuan logika ’rasa’ merupakan hal yang mendasari orang berelasi dengan orang lain. Rasa merupakan kata kunci untuk memahami bagaimana hubungan individu dengan orang lain. Ketika berpakaian ini, logika ’rasa’ sangat dibutuhkan supaya individu dapat menempatkan diri secara tepat dalam berpakaian.

Pada masyarakat Jawa, kepekaan untuk mengenakan pakaian secara tepat sangat dibutuhkan untuk menghargai orang lain. Hal ini tergambar dari ungkapan

(52)

berpakaiannya. Terutama dalam acara resmi, perhatian orang pertama kali tertuju pada apa yang dapat langsung kelihatan oleh mata (Purwadi, 2007). Oleh karena itu, ‘rasa’ sangat dibutuhkan dalam berpakaian untuk mengenali keadaan realitas yang sesungguhnya sehingga mahasiswa dapat berpakaian secara tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat di Yogyakarta saat ini.

B.2. Pakaian Mahasiswa di Yogyakarta

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar di mana mayoritas penduduknya adalah orang muda. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta (2008), penduduk Yogyakarta didominiasi oleh kelompok usia dewasa muda yaitu berumur 20-29 tahun sebesar 20,2% (BPS, Provinsi DIY, 2008). Adapun mahasiswa merupakan bagian dari orang muda yang ada di Yogyakarta. Mahasiswa di Yogyakarta tidak semuanya merupakan penduduk asli Yogyakarta, melainkan sebagian besar merupakan pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa inilah yang dipandang sebagai aktor yang merespon perubahan yang ada di masyarakat Yogyakarta (Subanar, 2007).

(53)

menjadi pilihan-pilihan lain menjadi tidak penting, dan bahkan mengandung resiko (Nordholt, 2002).

Pada era sebelum kemerdekaan, pakaian di Indonesia diatur oleh penjajah untuk mengontrol dan mendiskriminasi rakyat. Pada awal kemerdekaan, era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, pakaian diatur oleh pemerintah untuk kepentingan ekonomi politik (Nordholt, 2005). Pada saat ini, institusi formal seperti agama dan pendidikan yang lebih besar perannya dalam mengatur cara berpakaian orang muda, dibandingkan pemerintah.

Pakaian di Indonesia saat ini, secara umum merupakan hasil interaksi dari pakaian Indonesia, Islam, dan Barat, yang identik dengan agama Kristen (van Dijk, 2005). Kebiasaan orang Indonesia untuk menutup tubuhnya merupakan pengaruh dari budaya Arab yang identik dengan Islam dan Eropa yang diidentikkan dengan Kristen (Nordholt, 2005). Kedua agama ini memandang bahwa ketelanjangan merupakan manifestasi luar dari kemunduran dan kekafiran. Oleh karena itu, mereka saling bersaing untuk membudayakan orang Indonesia mengenakan pakaian yang tertutup. Islam masuk ke Indonesia dan menyakinkan masyarakat untuk mengganti pakaian mereka, sementara ekspansi Barat (Kristen) memaksa masyarakat dalam derajat tertentu untuk menutup tubuh mereka. Kedua proses ini telah mengubah penampilan masyarakat Indonesia menjadi sebagaimana yang kita lihat saat ini (Nordholt, 2005). Peran kedua agama ini dalam menentukan cara berpakaian orang Indonesia masih terasa hingga saat ini.

(54)

Pengaruhnya Islam pada di Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik saja, namun juga pada kebudayaan, khususnya pada busana. Pada agama Islam, pakaian tidak saja berfungsi melindungi tubuh dari cuaca, tetapi juga terkait dengan etika, sopan santun, dan hukum (Ismail, 1993). Di dalam Al Qur’an terdapat ajaran berbusana, yang intinya adalah pakaian sebagai simbol takwa kepada Allah, sarana untuk mendekatkan diri pada Allah saat masuk ke masjid, dan memiliki ukuran yang dapat menutupi keburukan atau kekurangan fisik serta tidak mengekspos perhiasan fisik (Ismail, 1993). Adapun ukuran dari kelengkapan pakaian dalam mendekatkan diri pada Allah, mengandung tiga unsur utama, yaitu, bersih yang memancarkan keindahan, berukuran panjang dan tidak jarang (menutup aurat), bertudung kepala. Ketiga hal ini berlaku baik kepada perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian, Islam menganjurkan umatnya untuk berhias diri, terutama saat ‘mendekatkan diri kapada Allah’ (Ismail, 1993) dan hal ini masih berlaku hingga saat ini.

(55)

Jenis pakaian seperti celana pendek, kaos oblong, celana ketat, dan baju tanpa lengan dipandang tidak pantas untuk dikenakan di gereja. Dalam memutuskan pakaian apa yang akan dikenakan, hendaknya umat memikirkan bahwa “Aku berdandan untuk bertemu dengan Tuhan-ku dan untuk ambil bagian dalam misteri keselamatanku” (Saunders, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa Gereja berperan dalam mengatur cara berpakaian umatnya. Dengan demikian, cara berpakaian masyarakat di Indonesia di atur oleh institusi agama yang dianutnya.

(56)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam berpakaian, orang muda tidak bisa dengan bebas memilih pakaiannya sendiri. Melainkan ada ketentuan tertentu yang mengatur cara berpakaian mereka. Bagaimana jenis pakaian yang mereka kenakan tergantung pada ruang dan waktu di mana mereka berada.

B.3. Representasi Sosial Pakaian pada Mahasiswa di Yogyakarta

Menurut ahli Sosiologi, Kenneth Kenniston, salah satu ciri orang muda adalah mampu mengambil keputusan dalam berbagai aspek hidupnya, termasuk dalam menentukan gaya hidupnya (Santrock, 2005). Gaya berpakaian yang digunakan orang muda adalah pilihan mereka dalam mengekspresikan identitas dirinya (Brym & Lie, 2007). Namun dalam berpakaian, mahasiswa tidak hanya mengekspresikan identitas pribadinya melainkan juga identitas sosialnya. Oleh karena itu, mereka tidak sepenuhnya bebas menentukan pilihan pakaiannya, namun juga melibatkan orang lain dalam menentukan pilihan pakaiannya. Seseorang tidak bisa sepenuhnya bebas memilih pakaian yang ingin dikenakannya karena pasti setiap orang dibatasi oleh macam-macam kaedah sosial yang mengatur atau menyarankan cara berpakaian tertentu dalam konteks tertentu (Nordholt, 2005). Oleh karena itu, pakaian bukan semata-mata pilihan individu, melainkan merupakan hasil negosiasi individu dengan masyarakat sosialnya.

(57)

(58)
(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial dengan pendekatan

kualitatif deskriptif. Paradigma representasi merupakan konsep-konsep dan ide-ide

kerangka berpikir psikologi sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial

dalam masyarakat modern (Wagner, dkk., 1999). Paradigma ini meletakkan individu

dalam ruang sosialnya sehingga identitas sosial individu tersebut dapat diketahui

sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya (Walmsley, 2004).

Penelitian representasi sosial bertujuan untuk mengungkap informasi mengenai

pengetahuan awam yang sudah ada supaya membuat yang tidak familiar menjadi

familiar (Walmsley, 2004). Oleh karena itu, hasil penelitian representasi sosial

diharapkan dapat berupa pengetahuan lokal, bukan penyesuaian teori. Teori

digunakan sebatas kerangka berpikir dalam melakukan penelitian, bukan sebuah

acuan untuk hasil akhir. Penggunaan paradigma representasi sosial dalam penelitian

ini bertujuan untuk mengkaji indentitas diri individu dari pengalaman kesehariannya

sesuai dengan konteks norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya saat ini.

Definisi penelitian kualitatif menurut Creswell (2007) adalah proses pencarian

data untuk memahami masalah sosial yang diperoleh dari situasi yang alamiahnya.

(60)

sosial atau fenomena yang dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks

khusus dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Creswell, 2007; Moleong,

2005). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan pertanyaan yang luas dan umum

kepada responden, mengumpulkan pandangan secara detail berdasarkan kata-kata dan

kesan partisipan, kemudian menganalisis informasi tersebut untuk menentukan tema

utamanya dan mendeskripsikannya. Berdasarkan data tersebut, peneliti

menginterpretasikan makna informasi yang menggambarkan refleksi personal.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti dimungkinkan

untuk memperoleh pemahaman makna dan interpretasi pengalaman berpakaian orang

muda sehari-hari secara alamiah.

Penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat

deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2008). Penelitian bersifat deskriptif dapat

mengungkap situasi, setting, proses, hubungan, sistem, dan orang-orang secara alami

(Leedy & Ormrod, 2005). Dengan pendekatan ini, berbagai dimensi gejala-gejala

psikologi dapat digali dan diuraikan secara intensif (Suwignyo, 2002). Kekuatan dari

penelitian ini adalah pada kekayaan interpretasi data. Pendekatan ini menekankan

pada analisa data melalui pemetaan data ke dalam kategori-kategori yang dasar

pembentukannya jelas, sistematis, dan logis (Suwignyo, 2002). Bobot data pertama

ditentukan oleh kedalaman interpretasi dan pemaknaan data oleh peneliti, bukan mutu

(61)

harus memiliki kepekaan untuk mencatat, merekam, dan menangkap detil-detil fakta

diamati selama obeservasi dan kemampuan merefleksikan detil-detil fakta tersebut.

B. Subjek Penelitian

Penentuan responden penelitian dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik

sebagai berikut (Poerwandari 2005) :

1. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, tetapi pada kasus-kasus tipikal

sesuai kekhususan masalah penelitian

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal

jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual

yang berkembang dalam penelitian

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada

kecocokan konteks

Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti menentukan responden penelitian

dengan menggunakan teknik purposive sampling dan teknik snowball sampling

1. Teknik purposive sampling

Penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang ditentukan peneliti. Kriteria

tersebut antara lain:

a. Mahasiswa S1 yang kuliah di Yogyakarta

b. Berusia antara 18 – 25 tahun

(62)

2. Teknik Snowball Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan cara peneliti meminta

informasi kepada calon responden atau salah satu orang yang dikenal untuk

dihubungi dengan mahasiswa dari berbagai universitas yang bisa diminta untuk

menjadi responden penelitian. Setelah itu, peneliti meminta bantuan responden

penelitian untuk diperkenalkan kepada temannya untuk dijadikan responden

penelitian selanjutnya.

Penelitian ini melibatkan 28 orang mahasiswa yang kuliah di 10 universitas di

Yogyakarta berusia 18-23 tahun. Pertimbangan dalam penentuan sampel penelitian

orang muda adalah:

1. Ada keresahan pada kalangan orang tua di masyarakat bahwa orang muda

kehilangan identitas sebagai orang Timur dalam konteks berpakaiann

2. Mahasiswa adalah bagian dari orang muda yang berada pada tahap perkembangan

transisi dari masa remaja menuju masa dewasa awal. Pada tahap ini, mahasiswa

memiliki tugas perkembangan untuk membentuk identitas dirinya dan mulai

menyiapkan dirinya untuk masuk dalam masyarakat. Pakaian menjadi perhatian

khusus bagi orang muda karena pakaian menjadi sarana bagi orang muda untuk

mengekspresikan dirinya sekaligus menghubungkan dirinya dengan lingkungan

(63)

C. Batasan Istilah

Identitas Mahasiswa di Yogyakarta Melalui Cara Berpakaian

Identitas mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian adalah gambaran

identitas diri dan identitas sosial mahasiswa di Yogyakarta melalui cara berpakaian.

Adapun identitas diri mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan

keunikan dirinya yang berbeda dengan orang lain melalui cara berpakaian. Sedangkan

identitas sosial mahasiswa dilihat dari cara mahasiswa mengekspresikan persamaan

dirinya dengan orang lain yang menunjukkan bahwa dirinya tergabung dalam

kelompok sosial tertentu, sehingga cara berpikir dan bertindaknya khususnya dalam

berpakaian tergantung pada di mana ia berada dan peran sosial apa yang sedang

dilakukannya.

Adapun mahasiswa dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai

23 tahun yang sedang menjalankan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di

Yogyakarta. Gaya hidup mahasiswa di Yogyakarta, termasuk cara berpakaiannya,

dipengaruhi oleh informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan

yang ada di masyarakat mencakup institusi pendidikan, agama, penerintah, serta

teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, bagaimana individu membangun identitas

dari cara berpakaian selalu berubah dan berkembang mengikut perkembangan

informasi yang ada media, nilai-nilai budaya, serta aturan-aturan yang ada di

masyarakat, dan praktek pengalaman berpakaian sehari-hari. Dengan demikian,

identitas mahasiswa dari cara berpakaiannya merupakan hasil konstruksi sosial di

(64)

D. Alat Pengumpulan Data

D.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data sementara yang

digunakan sebagai objek kajian penelitian dan menentukan alat yang tepat dalam

pengambilan data. Penelitian pendahuluan dilakukan pada 10 orang muda, mencakup

mahasiswa dan karyawan, yang rentang usianya 19 – 29 tahun. Metode yang

digunakan adalah jurnal aktivitas harian selama satu minggu dan pertanyaan “Apa arti

pakaian bagimu?”. Adapun jurnal ini berupa kolom-kolom yang instruksinya

meminta responden menuliskan aktivitas hariannya berdasarkan waktu, dimana,

bersama siapa, deskripsi pakaiannya, merk pakaian, tempat membeli, dan alasan

memakai pakaian. Dari hasil survei ini, peneliti mendapat gambaran bahwa

responden memaknai pakaian secara berbeda antara praktek dengan ide berpakaian.

Saat praktek, responden cenderung mencari yang nyaman dan mengikuti aturan yang

berlaku di sekitarnya, namun ketika ditanya arti pakaian, responden cenderung

mengungkapkan bahwa pakaian adalah cerminan identitas dirinya. Hasil penelitian

ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti untuk menentukan alat penelitian,

yaitu penelitian ini tidak cukup hanya menggunakan Jurnal Aktivitas Harian, namun

juga perlu dilakukan wawancara untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari

(65)

D.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

jurnal aktivitas harian, dilanjutkan dengan metode wawancara untuk melakukan

penggalian informasi yang lebih mendalam dari isi jurnal, dan observasi selama

proses pengambilan data.

D.2.a. Jurnal Aktivitas Harian

Ekplorasi kualitatif dilakukan dengan menggunakan Jurnal Aktivitas Harian.

Partisipan diminta untuk menuliskan aktivitasnya, tempat aktivitasnya, bersama

siapa, jenis pakaian yang dikenakan, merk pakaiannya, di mana ia membelinya, serta

alasan menggunakan pakain tersebut. Jurnal ini untuk melihat ekspresi berpakaian

orang muda berdasarkan pengalaman sehari-harinya dalam seminggu. Alat penelitian

ini memiliki tiga keuntungan, yaitu: pertama, dapat melihat ekpresi berpakaian

mahasiswa sesuai dengan konteks aktivitasnya, tempatnya, serta kelompok sosial

yang bersamanya sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang lebih

komprehensif. Kedua, dapat melihat alasan psikologis yang melandasi mahasiswa

mengenakan pakaian secara alami. Ketiga, dari isi jurnal dapat melihat perbandingan

antara kenyataannya dalam praktek berpakaian dengan pikiran individu mengenai

(66)

D.2.b. Wawancara

Wawancara dalam penelitian diartikan sebagai sejenis percakapan yang khusus

karena telah direncanakan, disiapkan, dan dirancang dengan tujuan untuk

memperoleh pengetahuan (Wengraf, 2001). Dalam wawancara, ada

pengetahuan-pengetahuan khusus yang perlu dipahami oleh pewawancara yang tidak dapat digali

dari metode pengambilan data lainnya. Percakapan dalam wawancara dilakukan oleh

dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut

(Moleong, 2005). Dalam penelitian ini, wawancara semi terstruktur dilakukan dengan

menggunakan panduan Jurnal Aktivitas Harian dari masing-masing responden.

Wawancara ini bertujuan untuk mengkonfirmasi apa yang telah partisipan tulis dalam

Jurnal Aktivitas Harian dan untuk menggali pengalaman-pengalaman unik responden

yang tertulis di jurnal.

D.2.c. Observasi

Tujuan dilakukan observasi untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna

yang ada berdasarkan perspektif orang yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005).

Observasi pada penelitian ini dilakukan untuk memahami pakaian yang sedang

dikenakan responden saat pengambilan data berlangsung berdasarkan konteks di

(67)

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara

analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif yang digunakan adalah

analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi

yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang

telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Penggunaan analisis tematik memungkinkan

(68)

kemudian dikuantitatifkan dengan menghitung frekuensi respon dan responden dari

pola-pola yang muncul tersebut. Penghitungan frekuensi ini bertujuan untuk

membantu peneliti melihat representasi orang muda terhadap topik penelitian.

Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut.

E.1. Pengorganisasian Data

Data yang sudah diperoleh akan diorganisasi secara rapi dan sistematis.

Pengorganisasian data dengan mengumpulkan data yang ada (jurnal dan wawancara)

dan catatan-catatan tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis datanya

masing-masing. Data pada Jurnal Aktivitas Harian diorganisasikan dengan meringkas

kolom-kolom yang ada pada jurnal. Tulisan yang berulang dan memberikan informasi yang

sama, diringkas menjadi satu. Kemudian peneliti mensistematiskannya dengan

mengelompokkannya masing-masing kolom tersebut sesuai dengan temannya

masing-masing. Pada data wawancara, pengorganisasian dilakukan dengan

menuliskannya dalam bentuk transkrip verbatim. Data observasi dicatat bersamaan

dengan transkrip wawancara.

E.2. Pengkodean Data

Pengkodean dilakukan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara

lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang arti pakaian

(69)

Pada Jurnal Aktivitas Harian, dari hasil ringkasan jurnal deskripsi pakaian

dikelompokkan dengan konteks pemakaiannya, dimana dan bersama siapa, serta

alasan pemakaiannya.

Pada data wawancara, transkrip diberi kode-kode atau catatan guna menemukan

tema-tema yang serupa dari hasil wawancara. Tema-tema yang serupa

dikelompokkan menjadi satu

E.3. Rekapitulasi Data

Data yang dikategorisasi diolah dengan cara mengelompokkannya berdasarkan

kategori yang sama, sehingga pola yang muncul pada data dapat terlihat. Kategori

yang muncul berupa arti pakaian, deskripsi pakaian dan konteks tempat

pemakaiannya, alasan memakai, sumber informasi mengenai pakaian.

Pada tahap ini, peneliti mengtabulasi jumlah frekuensi respon dan responden pada

setiap kategori yang muncul. Dengan demikian, peneliti dapat melihat intensitas dan

penyebaran responden dalam merepresentasikan pakaian.

E.4. Interpretasi Data

Interpretasi data dilakukan dengan melihat pola yang muncul dalam tema-tema

Gambar

Tabel 1
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Tabel 2.
Tabel 3  Identitas Responden Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pola kayu bakar, yaitu hutan rakyat yang didominasi. oleh jenis pohon yang kayunya untuk

So the DRLMS adaptive algorithm has been proposed which can offers faster convergence rate by reutilizing available input and reference signal repeatedly in each

Dalam kehidupan remaja pada umumnya siswa sering jatuh kedalam permasalahan emosional seperti tidak memiliki kesadaran diri, pesrta didik tidak mampu mengenal dan

Disamping karena pengaruh tekanan dan temperatur, metamorfsme juga dipengaruhi oleh fuida, dimana fuida (H2O) dalam jumlah bervariasi di antara butiran mineral atau pori-pori

Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal

The information submitted under Article 7 by each Party included in Annex I shall be reviewed by expert review teams pursuant to the relevant decisions of the Conference of the

Kristanto (2008:75) Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya menjelaskan bahwa, “blockchart adalah suatu model logika data yang berfungsi untuk memodelkan masukan,

Habermas memperlihatkan kelemahan para pendahulunya, karena tidak hanya mengandaikan praksis sebagai ker ja, yang disebutnya „ tindakan rasional bertujuan’ , melainkan