• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini akan mendeskripsikan dan menganalisis relasi gender pengrajin tas di Desa Tegalwaru yang mencakup: akses dan kontrol anggota rumahtangga pengrajin terhadap sumberdaya pada usaha kerajinan tas, pembagian kerja dan peranan serta pola pengambilan keputusan pada aspek pengeluaran kebutuhan rumahtangga, pembentukan rumahtangga dan kegiatan kemasyarakatan serta hubungannya dengan ideologi gender dalam masyarakat. Selain itu, bagian ini akan menjelaskan tentang budaya lokal dalam masyarakat pengrajin tas di Desa Tegalwaru.

Nilai atau norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus dalam masyarakat sendiri yang dibawa secara turun temurun dan dijadikan panutan setiap warganya. Oleh karena itu, ideologi gender akan mempengaruhi tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang secara terus menerus disosialisasikan (Saptari 1997) dalam Siwi (2004). Ideologi gender (atau ideologi-ideologi gender) digunakan untuk mengacu nilai maupun stereotipe tertentu yang menyangkut perempuan.

Lebih lanjut Saptari (1997) dalam Siwi (2004) menjelaskan bahwa ideologi tidak akan mempunyai pengaruh terhdadap peran sosial apabila tidak melalui internalisasi atau subyektivitas individu. Menurut Kroska dan Elman (2008) ideologi gender merupakan sikap mengenai peran, hak, dan tanggung jawab yang tepat antara wanita dan pria dalam masyarakat. Hubungan asimetris antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki superior dan perempuan inferior secara langsung atau tidak langsung ditumbuhkan oleh adanya konstruksi dikotomi gender yang tidak adil. Istilah kodrat, harkat dan martabat seringkali diungkapkan seakan-akan hanya milik perempuan. Dengan demikian sosialisasi kesetaraan gender dengan sendirinya tidak lepas dari kepedulian bolak-balik antara perempuan dan laki-laki, tetapi bukan dalam konteks ketergantungan atau pendominasian.

Ideologi gender akan berbeda-beda tergantung dimana konstruksi itu terbentuk. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keluarga tinggal (tempat tinggal), budaya pada masyarakatnya, serta kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan di lihat bagaimana ideologi dan hubungannya dengan relasi gender dalam segi akses, kontrol dan penempatan posisi di UKM KWBT Desa Tegalwaru. Hal ini digunakan untuk melihat keterhubungan keduanya dan sejauh mana diperlukan adanya sosialisasi pemahaman mengenai nilai dan peran gender dalam keluarga pengrajin tas.

Merujuk pada Gambar 5 menunjukkan bahwa responden telah mengalami perubahan cara pandang terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat sebanyak 90% responden menyatakan bahwa tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem sosial. Data juga menunjukkan bahwa sebanyak 10% responden memiliki pemahaman yang menganggap terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun telah terjadi perubahan ideologi gender dalam memandang relasi laki-laki dan perempuan, namun perubahan tersebut belum mendorong pada perubahan lebih lanjut, seperti dalam penempatan perempuan dalam struktur kelembagaan UKM, kontrol terhadap struktur kelembagaan UKM, akses terhadap struktur kelembagaan UKM dan relasi secara keseluruhan dalam UKM.

Ideologi Gender dan Akses, Kontrol Terhadap Struktur Kelembagaan UKM

Ideologi Gender dan Akses terhadap struktur kelembagaan UKM

Untuk melihat hubungan antara ideologi gender dan akses terhadap struktur kelembagaan UKM di Desa Tegalwaru maka ideologi gender responden terbagi menjadi dua kelompok pembagian yaitu tinggi dan rendah. Penentuan ini didasarkan pada analisis lapang dan pengolahan data sehingga didapatkan dua kelompok pembagian. Dasar penentuan ini adalah perhitungan rata-rata dari semua jawaban responden. Sedangkan akses terhadap struktur kelembagaan UKM terbagi menjadi tiga kategori, rendah, sedang dan tinggi. Secara lengkap tersaji pada Tabel 29 berikut ini.

Tabel 29 Ideologi gender dan akses terhadap struktur kelembagaan UKM Ideologi

Gender

Akses terhadap struktur kelembagaan UKM

Total Rendah Sedang Tinggi

Rendah Jumlah 9 19 8 36 % 100,0 95,0 72,7 90,0 Tinggi Jumlah 0 1 3 4 % 0 5,0 27,3 10,0 Total Jumlah 9 20 11 40 % 100,0 100,0 100,0 100,0

Data pada Tabel 29 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara ideologi responden dan akses terhadap struktur kelembagaan UKM. Data diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pemahaman ideologi rendah masih menganggap perempuan ditempatkan pada akses yang rendah di kelembagaan UKM. Ideologi rendah menunjukkan bahwa dalam masyarakat tidak ada pembedaaan kerja antara laki-laki dan perempuan dalam struktur kelembagaan UKM. Ideologi rendah responden masih menujukkan bahwa akses yang diterima oleh responden baik laki-laki maupun perempuan berada pada skala sedang sebanyak 19 orang atau 95,0%. Sedangkan ideologi tinggi responden dan akses tinggi sebesar 27,3% atau sebanyak tiga orang.

Ideologi Gender dan Kontrol Terhadap Struktur Kelembagaan UKM

Untuk melihat hubungan antara ideologi dengan kontrol terhadap struktur kelembagaan UKM akan tersaji dalam Tabel 30.

Tabel 30 Ideologi dan kontrol dalam struktur kelembagaan UKM Ideologi Gender

Kontrol terhadap struktur kelembagaan

UKM Total

Rendah Sedang Tinggi

Rendah Jumlah 32 3 1 36 % 91,4 75,0 100,0 90,0 Tinggi Jumlah 3 1 0 4 % 8,6 25,0 0 10,0 Total Jumlah 35 4 1 40 % 100,0 100,0 100,0 100,0

Data pada Tabel 30 di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pemahaman ideologi gender rendah masih menganggap perempuan atau laki-laki ditempatkan pada kontrol yang rendah di kelembagaan UKM. Analisa di lapangan menunjukkan baik antara akses dan kontrol terhadap struktur dalam UKM, perempuan masih berada pada bagian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki

Ketidaksamaan ini disebabkan laki-laki lebih memiliki akses yang lebih besar dalam mengikuti pelatihan dan dalam beberapa hal. Oleh karena itu, perempuan memiliki akses dan kontrol yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Pekerja utama dalam pembuatan tas ini adalah suami/laki-laki. Perempuan/perempuan hanya bertugas membantu dan berkewajiban mengurusi kegiatan rumahtangga saja. Konstruksi budaya dalam masyarakat juga memiliki peranan dalam upaya pembagian akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari beberapa responden perempuan.

saya terima di pekerjaan ini sebagai apa aja mba, mau pengelem atau yang gunting-gunting aja karena memang keterampilan yang saya miliki ga sama sama yang laki-laki

miliki” (NN, perempuan 23 tahun).

selama ini yang ikut pelatihan dan musyawarah itu selalu laki-

laki mba, kita cuma terima aja apa yang laki-laki perintahin” (SW, perempuan 30 tahun).

“semua yang ngatur sudah laki-laki teh..” (M, perempuan 28 tahun).

perempuan memang ya harusnya di rumah aja, semua yang

ngatur ya laki-laki” (T, perempuan 35 tahun)

Hubungan antara Ideologi Gender dengan Penempatan Posisi dalam Struktur Kelembagaan UKM

Untuk melihat hubungan antara ideologi gender dengan penempatan posisi perempuan dan laki-laki dalam struktur kelembagaan UKM disajikan dalam Tabel 31 berikut.

Tabel 31 Ideologi gender dengan penempatan posisi dalam struktur kelembagaan UKM

Ideologi Gender

Posisi dalam Struktur Kelembagaan

UKM Total

Rendah Sedang Tinggi

Rendah Jumlah 29 6 1 36 % 87,9 100,0 100,0 90,0 Tinggi Jumlah 4 0 0 4 % 12,1 0,0 0,0 10,0 Total Jumlah 33 6 1 40 % 100,0 100,0 100,0 100,0

Data pada Tabel 31, menunjukkan bahwa responden yang memiliki pemahaman ideologi gender rendah masih menganggap perempuan ditempatkan pada posisi yang rendah di kelembagaan UKM. Penempatan posisi dalam struktur kelembagaan UKM di Desa Tegalwaru menunjukkan masih adanya ketimpangan antara penempatan posisi perempuan dan laki-laki dalam struktur kelembagaan UKM. Penempatan posisi tertinggi dalam UKM dan rumahtangga di tempati oleh laki-laki. Perempuan menempati urutan penunjang dalam setiap kegiatan baik dalam UKM secara keseluruhan maupun dalam rumahtangga.

Survey di lapangan menunjukkan meskipun dalam skala individu, masyarakat anggota UKM sudah menyatakan tidak ada pembedaan dalam hal penempatan posisi dalam pekerjaan, namun untuk tingkat sosial (UKM secara

keseluruhan), masih terdapat bias gender. Bias gender ini mengakibatkan posisi laki-laki berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Bias gender yang terjadi dalam masyarakat telah terjadi sejak awal pembentukan UKM di desa ini. Hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan dan akses antara laki- laki dan perempuan terhadap program-program penunjang keberhasilan UKM seperti pelatihan-pelatihan dan diskusi. Untuk hal ini, laki-laki memiliki peluang (akses) yang lebih besar dari perempuan, sehingga jelas terlihat bahwa keterampilan yang dimiliki laki-laki akan lebih baik daripada perempuan. Hal ini mengakibatkan posisi, akses, dan kontrol terhadap struktur kelembagaan UKM secara keseluruhan dari perempuan akan rendah.

“saya terima di pekerjaan ini sebagai apa aja mba, mau pengelem

atau yang gunting-gunting aja karena memang keterampilan yang saya miliki ga sama sama yang laki-laki miliki” (NN, perempuan 23 tahun).

“selama ini yang ikut pelatihan dan musyawarah itu selalu laki- laki mba, kita cuma terima aja apa yang laki-laki perintahin” (SW, perempuan 30 tahun).

pelatihan-pelatihan dan musyawarah memanga hanya beberapa

saja yang hadir, dan semua yang hadir itu adalah laki-laki. Karena memang laki-laki yang mengerti semuanya, baik masalah

pemilihan bahan, pembentukan pola, penjahitan sampai

pemasaran” (MN, laki-laki 38 tahun).

Pada usaha kerajinan tas ini, baik akses dan kontrol terhadap bahan baku semuanya dilakukan oleh laki-laki karena tahapan pengolahan bahan baku dan pembelian bahan baku umumnya dilakukan oleh semua meskipun dalam tahap pengerjaan di rumahtangga melalui campur tangan dari perempuan dan anggota rumahtangga yang lainnya. Bahan baku yang murah akan didapatkan jika membeli dalam stok yang banyak, oleh karena itu sebagian besar dari pengrajin membeli barang baku kepada salah satu anggota kelompok UKM agar memudahkan dalam pendperempuanbusian dan bisa mendapatkan harga yang murah jika dibandingkan dengan membeli sendiri di pasar baik wilayah Jakarta maupun Bogor.

Kegiatan pelatihan yang selama ini ada di masyarakat, dapat di akses laki-laki sebesar 100%. Hal ini disebabkan oleh kepemilikan usaha kerajina tas umumnya dimiliki oleh laki-laki sehingga partisipasi dalam pelatihan dapat diakses oleh suami. Kegiatan pelatihan ini difasilitasi oleh perusahaan yang pernah bekerja sama dengan desa ini dalam rangka pemenuhan kebutuhan perusahaan akan produk tas yang mereka produksi. Kegiatan pelatihan ini hanya berjalan beberapa kali semenjak UKM ini didirikan, oleh karena itu masyarakat yang pernah mengikuti pelatihan ini yang akhirnya mampu mengolah usaha kerajinan tas dan semua itu didominasi oleh laki-laki.

Tingginya kontrol laki-laki terhadap pelatihan didukung oleh akses yang dominan terhadap pelatihan sehingga keputusan mengikuti keputusan suami. Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap pelatihan karena tidak memiliki akses

untuk mengikuti pelatihan. Pada awalnya, pihak fasilitator tidak memperhitungkan keberadaan pengrajin perempuan dalam pengelolaan usaha ini sehingga terjadi kesenjangan akses pada pengrajin perempuan terhadap sumberdaya ini. Hal ini juga berlaku pada akses anggota UKM terhadap pemasaran komoditi dominan tetap dilakukan oleh laki-laki yaitu sebesar 100%. Anggapan bahwa pekerjaan perempuan identik dengan pekerjaan domestik mengakibatkan laki-laki saja yang dapat mengakses sumberdaya tersebut.

Pembagian Kerja

Pembagian kerja pada rumahtangga pengrajin tas di Desa Tegalwaru dapat di lihat berdasarkan curahan waktu dan tenaga kerja pada rumahtangga tersebut. Aktivitas sosial-ekonomi rumahtangga pengrajin dapat digolongkan menjadi tiga kategori: reproduktif, produktif dan sosial. Pengkategorian ini dapat menunjukkan peranan gender yang dilakukan anggota rumahtangga pengrajin.

Tabel 32 Pembagian Kerja pada 40 Rumahtangga Pengrajin Tas di Desa Tegalwaru 2012

Aktivitas Sosial Ekonomi

Tenaga Kerja

Waktu Total Jam per Bulan Total (Jam) L P H/M/B Jam L P Reproduktif Menyiapkan makanan √ H 2 60 60 Mencuci pakaian dan piring √ H 1,5 45 45 Menyetrika pakaian √ M 2 8 8 Mengasuh anak √ H 1 60 60 Membersihkan rumah √ H 30 30 Belanja kebutuhan rumahtangga √ H 0,25 9 9 Produktif Kegiatan usaha kerajinan tas √ H 8 192 192 Sosial Gotong royong √ M 2 8 8 Pengajian √ √ M 2 8 8 8 Arisan √ M 0,5 2 1 Rapat di Desa √ B 2 2 2 Ronda malam √ B 2 2 2 Jumlah (jam) 212 222

Keterangan : L = Laki-laki; P = Perempuan

Curahan waktu kerja perempuan dominan pada aktivitas reproduktif. Tingginya curahan waktu perempuan pada kegiatan reproduktif disebabkan oleh nilai budaya yang menganggap perempuan “cocok” bekerja pada kegiatan tersebut. Pada rumahtangga pengrajin perempuan, umumnya kegiatan memasak dilakukan oleh anak perempuan sehingga tidak harus memikirkan pekerjaan tersebut. Curahan waktu perempuan sebagian besar digunakan untuk menyiapan makanan (menyediakan bahan hingga menyajikan menu makanan) dan mengasuh anak. Adapun keterlibatan laki-laki dan anak laki-laki yaitu pada kegiatan membersihkan rumah. Hal ini jarang dilakukan laki-laki karena umumnya laki- laki fokus mengerjakan pembuatan tas.

Aktivitas produktif yang dimaksud merupakan kegiatan yang dilakukan pengrajin tas untuk mendapatkan penghasilan uang atau sejenisnya. Kegiatan produktif yang dilakukan meliputi: (1) mempersiapkan alat dan bahan baku, (2) pengolahan bahan baku, (3) pembentukan pola, (4) pengeleman dan penjemuran bahan baku, (5) penjahitan, serta (6) finishing/penyelesaian. Usaha kerajinan tas ini umumnya dimiliki dan dikelola oleh laki-laki sehingga pada aktivitas ini dilakukan oleh laki-laki meskipun terdapat perempuan yang berprofesi sebagai pengrajin. Sama halnya dengan studi Hasanudin (2009) pada industri kerajinan gerabah di Desa Anjun, laki-laki terlibat dalam aktivitas produktif dan perempuan dalam kegiatan reproduktif.

Aktivitas sosial diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat sekitar tempat tinggal anggota pengrajin. Curahan waktu pada aktivitas ini dominan dilakukan oleh laki-laki.

Analisis Keberhasilan Kerajinan Tas UKM KWBT

Dalam pengelolaan sebuah usaha kecil menengah seperti UKM Kampoeng Wisata Bisnis Tegalwaru, sangat dibutuhkan pelaku-pelaku yang memiliki kemampuan dan tanggungjawab yang besar dalam mengelola UKM tersebut. Dari sudut pandang kelembagaan, manajemen UKM pada prinsipnya terbentuk dari dua unsur yaitu: anggota dan pengurus. Karakteristik UKM menurut Tambunan (2002) antara lain: padat karya (keterampilan sedang), sumberdaya lokal, teknologi tepat guna, serta fleksibel. Sejak awal berdiri, usaha ini dominan dikelola oleh laki-laki. Kondisi ini disebabkan perempuan yang kurang memiliki akses, kontrol, dan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Keberhasilan usaha kecil dan menengah dalam mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitarnya tidak terlepas dari beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha kecil dan menengah (berdasarkan peringkat) seperti dikutip dari Jurnal pengkajian koperasi dan UKM Tahun 2006, antara lain disajikan dalam Tabel 33 di bawah ini.

Tabel 33 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Kecil dan Menengah

No Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Modal Ketersediaan bahan baku

2. Tenaga Kerja Kondisi ekonomi

3. Teknologi peralatan Keamanan

4. Pemasaran Sarana dan prasarana

5. Inovasi Kondisi sosial ekonomi

6. Manajemen usaha Fasilitas ekonomi

Berdasarkan Tabel 33 di atas, menunjukkan bahwa modal merupakan rangking pertama yang mempengaruhi upaya peningkatan kapasitas usaha kecil dan menengah. Hasil di lapangan menunjukkan, para pengrajin yang memiliki modal besar yang mampu mengendalikan usaha kerajinan tas ini. Modal yang dimiliki oleh para pengrajin berasal dari pinjaman baik perbankan maupun pemodal yang datang dari kota. Para pengrajin yang memngalami kesulitan dalam permodalan memiliki beberapa permasalahan dan berdampak pada peningkatan UKM diantaranya: (1) sulitnya meningkatkan kapasitas usaha, (2) sulitnya melakukan perluasan pasar, (3) sulit dalam melakukan peningkatan mutu dan kualitas produk, serta (4) sulit dalam melakukan peningkatan kemampuan tenaga kerja. Hingga saat ini, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perluasan modal belum banyak dilakukan.

Tenaga kerja yang dimiliki oleh para pengrajin di desa ini sangat terbatas. Rata-rata dari para pengrajin yang memiliki modal lebih besar memperkerjakan anggota keluarga (saudara) serta beberapa tetangga. Sedangkan bagi mereka yang memiliki modal kecil, memperkerjakan anggota keluarga inti (istri dan anak) guna membantu penyelesaian produksi.

Peran teknologi dalam peningkatan produktivitas UKM sangatlah besar. Penggunaan teknologi bagi masyarakat UKM di Tegalwaru masih sangat minim. Masyarakat mengandalkan mesin jahit khusus sebagai alat bantu dalam proses produksi tas. Tidak semua dari para pengrajin memiliki alat mesin ini, sehingga mereka hanya membuat pola dan melakukan pengeleman saja. Rendahnya teknologi yang digunakan umumnya disebabkan tidak adanya dana untuk memiliki serta rendahnya informasi dan pemahaman pengusaha akan teknologi yang berkembang dan tersedia di pasar.

Permasalahan utama di UKM KWBT juga disebabkakn oleh adanya pasar yang sulit ditembus. Kondisi ini terlihat dari ruang pasar uang dapat dimasuki oleh produk-produk UKM ini umumnya adalah pasar lokal dan hanya beberapa pengrajin yang dapat menembus pasar luar daerah (Jakarta dan sekitarnya). Situasi ini disebabkan terbatasnya akses media yang dapat digunakan sebagai modal pemasaran dan keterbatasan modal dari para pengrajin dalam memasarkan produknya. Ketersediaan bahan baku, kondisi sosial ekonomi serta fasilitas sosial yang ada di wilayah UKM Kampung Wisata Bisnis Tegalwaru ini menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan UKM. Keterbatasan modal pengrajin, kondisi ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi sedikit sehingga

tidak mampu menjangkau pasar yang lebih besar dengan permintaan konsumen yang beragam.

Untuk melihat hubungan antara relasi gender dan kenerhasilan yang di capai oleh UKM Kampung Wisata Bisnis Tegalwaru ini akan disajikan dalam Tabel 34 berikut.

Tabel 34 Relasi Gender dan Keberhasilan UKM KWBT

Relasi gender Keberhasilan Total

Rendah Sedang Tinggi

Rendah Jumlah 16 10 0 26 % 72,7 55,6 0,0 65,0 Sedang Jumlah 4 8 0 12 % 18,2 44,4 0,0 30,0 Tinggi Jumlah 2 0 0 2 % 9,1 0,0 0,0 5,0 Total Jumlah 22 18 0 40 % 100,0 100,0 0,0 100,0

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa relasi gender dalam UKM Kampoeng Wisata Bisnis Tegalwaru turut menentukan keberhasilan program (berkorelasi positif). Hal ini bisa dilihat pada relasi gender yang rendah dimana laki-laki cederung memiliki akses dan kontrol yang besar dibandingkan perempuan, keberhasilan program juga menunjukkan rendah dimana cenderung dinikmati oleh kaum laki-laki. Terlihat pada data yang menunjukkan sebanyak 22 respoden atau sebesar 55% yang UKM dominan dikuasai oleh laki-laki memiliki keberhasilan yang cenderung dinikmati oleh laki-laki yakni 16 responden atau sebanyak 72,7%.

Kondisi yang sama juga terjadi pada UKM dengan responden sedang, dimana sekitar 18 atau 45% respoden dengan relasi rendah menunjukkan keberhasilan sebanyak 10 responden atau 55,6% yang sedang. Artinya keberhasilan program cenderung dapat dinikmati oleh perempuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat relasi gender dalam UKM maka perempuan akan semakin banyak menikmati manfaat program

.

Keberhasilan program yang tinggi (laki-laki dan perempuan bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya UKM) belum di capai pada UKM Kampung Wisata Bisnis Tegalwaru ini. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya data yang menjelaskan keberhasilan yang tinggi dipengaruhi oleh relasi gender yang baik pula dalam masyarakat anggota UKM.

Dokumen terkait