• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Individu Pengrajin Tas

Karakteristik individu responden merupakan hal-hal spesifik dari responden yang dipaparkan untuk memberi gambaran kondisi responden. Karakteristik yang digali terdiri dari umur, tingkat pendidikan, lama mengikuti UKM, dan jenis kelamin. Pada penelitian ini, responden berjumlah 40 orang yang terdiri atas 20 pengrajin tas laki-laki dan 20 pengrajin tas perempuan.

Umur

Seluruh responden pada penelitian ini tergolong umur produktif, yaitu 15- 64 tahun dan sudah menikah. Pada penelitian ini, umur terendah responden adalah 21 tahun sedangkan umur tertinggi mencapai 60 tahun. Mengutip pendapat Havinghurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), umur dewasa dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu dewasa awal (18-29 tahun), dewasa pertengahan (20- 50 tahun), dan dewasa tua (50 tahun keatas).

Berdasarkan Tabel 10, sebaran umur responden dominan berada pada kategori umur dewasa sedang (30-50 tahun). Tingginya partisipasi responden pada kategori umur ini sesuai dengan salah satu tugas perkekembangan pada masa ini yaitu berusaha mencapai dan mempertahankan suatu tingkat kehidupan ekonomi, menstabilkan perekonomian rumahtangga melalui sektor usaha tersebut. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam penelitian ini adalah sama, yakni 50% untuk laki-laki dan 50% perempuan dengan jumlah 40 responden penelitian.

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur di Desa Tegalwaru Tahun 2012 Umur Laki-laki (L) % Perempuan (P) % Jumlah Total (jiwa) % 20-31 1 2,5 14 35,0 15 37,5 32-42 11 27,5 6 15,0 17 42,5 ≥ 42 8 20,0 8 20,0 Total 40 100

Sebaran umur terbesar kedua berada pada kategori umur dewasa awal (20-31) yaitu 35,0% untuk responden perempuan dan 2,5% untuk responden laki- laki. Hal yang menarik untuk dikaji pada kategori umur ini adalah motif utama keterlibatan perempuan dalam membuat kerajinan tas disebabkan dorongan untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan membantu pekerjaan suami. Sebaran

umur terendah berada pada kategori dewasa tua (50 tahun ke atas). Hal yang menarik untuk dikaji pada sebaran umur ini adalah jumlah responden yang berusia diatas 50 tahun semuanya berjenis kelamin laki-laki dan terdapat responden yang berumur 67 tahun. Jika dikaitkan dengan ketentuan BPS dalam Rusli (1996), umur responden tersebut tidak tergolong dalam usia produktif kerja (15-64 tahun).

Pendidikan Formal

Pada Tabel 11, pendidikan formal responden sebagian besar tergolong sedang karena persentase responden yang tamat SD dan tamat SMP mencapai 87,5%. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi orang tua yang tergolong lemah sehingga tingkat pendidikan formal responden umumnya rendah. Hal ini diduga masih terdapat anggapan bahwa tanggung jawab seseorang diidentikkan dengan mendapatkan penghasilan sendiri dan tidak memerlukan tingkat pendidikan formal yang tinggi dalam pembuatan produk tas serta kurangnya kemampuan ekonomi keluarga dalam menyekolahkan putra-putri mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Tabel 11 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Tegalwaru Tahun 2012

TingkaPen- didikan Laki- laki % Perempuan % Jumlah Total (jiwa) % Rendah (tidak tamat SD) 0 0 2 5,0 2 5,0 Sedang (SD-tamat SMP) 17 42,5 18 45,0 35 87,5 Tinggi (tamat SMA-ke atas) 3 7,5 3 7,5 Total 40 100

Berdasarkan jenis kelaminnya, tingkat pendidikan formal responden laki- laki dan perempuan pada taraf pendidikan SD-SMP memiliki derajat yang sama. Namun pada tingkat SMA-keatas, hanya responden laki-laki saja yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di jenjang tersebut. Responden perempuan secara keseluruhan memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah, sedangkan responden laki-laki tergolong beragam. Hal ini diduga masih terdapat subordinasi yang memposisikan tingkat pendidikan formal rendah bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terlihat dengan adanya pernyataan responden yang menegaskan bahwa perempuan tidak perlu menempuh

pendidikan formal yang lebih tinggi karena tugas utama perempuan setelah tamat sekolah adalah mengurusi keluarga dan rumahtangga (pekerjaan reproduktif) berikut pernyataan responden tersebut:

Neng, upami awewe tos tamat sakola mah tanggung jawabna

oge ukur nikah jeung patuh ka salaki.” (Bapak M, 42 tahun). (Neng, jika perempuan sudah tamat sekolah maka tanggung jawabnya setelah menikah adalah patuh kepada suaminya)

Pendidikan Nonformal

Pada penelitian ini, pendidikan nonformal responden diartikan dengan frekuensi keikutsertaan responden dalam pelatihan tentang pengembangan produk, peningkatan keterampilan dan kemampuan, baik dari segi desain maupun manajeman usaha tas. Pelatihan ini difasilitasi oleh Yayasan Kuntum Indonesia dan lembaga-lembaga pemerintahan yang datang memberikan pembekalan dan pelatihan kepada pengrajin di desa ini. Tabel 12 menjelaskan mengenai keikutsertaan pengrajin dalam musyawarah dan pelatihan keterampilan yang biasanya diadakan di desa ini.

Tabel 12 Sebaran responden dalam keikutsertaannya mengikuti pelatihan dan musyawarah anggota

Keikutsertaan dalam pelatihan dan

musyawarah

Laki-laki Perempuan Total

Jumlah (jiwa) % Jumlah (jiwa) % Jumlah (jiwa) % Tidak pernah 10 25,0 14 35,0 24 60,0 Hanya hadir 2 5,0 5 12,5 7 17,5 Hadir dan bertanya 2 5,0 1 2,5 3 7,5 Hadir, bertanya dan memberikan pendapat 6 30,0 0 0,0 6 15,0 Total 20 50 20 50 40 100

Berdasarkan Tabel 12, mayoritas responden tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan tentang pembuatan tas, yaitu sebanyak 24 responden atau sebesar 60,0%. Adapun motif ketidakikutsertaan responden pada pelatihan tersebut cukup beragam: (a) tidak diundang pelatihan, (b) memiliki skala usaha yang tinggi sehingga tidak diikutsertakan dalam pelatihan tersebut, (c) diundang pelatihan tetapi pengrajin tidak ingin mengikuti pelatihan tersebut karena menganggap sudah memiliki keterampilan membuat tas yang dipelajari sejak lama. Terdapat anggapan pengrajin yang mendapat akses terhadap pelatihan

tersebut adalah pengrajin yang usahanya tergolong sudah maju. Anggapan tersebut umumnya didipaparkan oleh pengrajin rumahtangga. Di samping itu, bantuan modal dan peralatan usaha mesin jahit, umumnya diakses oleh pengrajin yang tergolong skala usahanya tinggi atau memiliki kedekatan interpersonal dengan pihak pemberi modal.

Persentase responden perempuan yang tidak pernah mengikuti pelatihan dan musyawarah lebih tinggi (70,0%) dibandingkan dengan responden laki-laki yaitu sebesar (50,0%). Kegiatan pelatihan tentang kerajinan tas di Desa Tegalwaru sebagian besar dikepalai oleh laki-laki. Rendahnya akses perempuan terhadap pelatihan disebabkan karena pihak perempuan dianggap kurang mampu dan kurang bisa dalam proses pembuatan tas seperti membentuk pola dan menjahit tas yang sudah dibentuk. Hal ini disebabkan pula oleh jenis produk yang dibuat responden perempuan tergolong sederhana (seperti pengeleman, pengguntingan) sehingga terdapat anggapan tidak diperlukan pengembangan desain untuk kegiatan tersebut.

Persentase pelatihan dan musyawarah terbesar kedua tergolong ke dalam kategori sedang (mengikuti pelatihan dan musyawarah satu kali hingga tiga kali) yaitu sebesar 17,5%. Pada kategori ini, terdapat dua orang responden (5,0%) laki- laki yang hanya hadir ketika diadakan pelatihan, selebihnya hadir dan bertanya serta hadir, bertanya dan memberikan pendapat. Pada kategori keempat, dimana hadir, bertanya dan memberikan pendapat, tidak terdapat satu orang pun responden perempuan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya anggapan bahwa perempuan kurang memiliki kemampuan dalam memberikan pendapatnya (stereotipe gender).

Pelatihan yang diadakan dianggap hanya sebagai program dari pemerintah saja, bukan sebagai real need (kebutuhan nyata) untuk menunjang pengembangan usaha kerajinan tas. Sementara itu, hanya terdapat enam orang responden laki-laki yang tergolong memiliki tingkat pendidikan nonformal tinggi (mengikuti pelatihan, bertanya dan memberikan pendapatnya sebanyak 3 kali). Hal ini disebabkan oleh besarnya akses responden tersebut terhadap pelatihan.

Pengalaman Bekerja (Lama mengikuti UKM)

Pada penelitian ini, pengalaman bekerja responden dilihat dari lamanya (dalam tahun) pengrajin memiliki usaha pembuatan tas. Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki pengalaman bekerja yang tergolong tinggi ( >5 tahun) sebanyak 27 responden atau sebesar 67,5%. Terdapat satu responden yang memulai usaha kerajinan tas ini pada tahun 1987. Pada kategori ini, persentase responden laki-laki lebih besar yaitu sebanyak 16 orang atau sekitar 40,0% dan responden perempuan sebanyak 11 orang atau sebesar 27,5%. Hal ini diduga disebabkan modal usaha yang dimiliki laki-laki dan perempuan hanya sebagai pembantu laki-laki dalam menjalanakan usaha ini.

Pada kategori pengalaman bekerja tinggi ini, baik responden perempuan maupun responden laki-laki memiliki derajat yang lama terhadap pengusahaan pembuatan tas. Kerajinan tas yang umumnya merupakan pekerjaan utama keluarga dilakukan secara turun temurun. Keahlian responden paling banyak terdapat pada bidang ini, dan tidak mengerjakan pekerjaan yang lainnya.

Meskipun demikian, persentase bekerja yang paling banyak dilakukan oleh laki- laki karena kemampuan yang dimilikinya dalam pengelolaan usaha ini lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan tanggung jawab laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Perempuan terlibat dalam usaha ini karena untuk menambah penghasilan rumahtangga dan membantu suami. Tabel 13 menjelaskan mengenai frekuensi lama mengikuti UKM bagi responden.

Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama mengikuti UKM di Desa Tegalwaru Tahun 2012

Lama mengi-kuti UKM (tahun)

Laki-laki % Perempuan % Jumlah Total (jiwa) % 0-2 2 5,0 1 2,5 3 7,5 3-4 2 5,0 8 20,0 10 24,0 ≥ 5 16 40, 0 11 27,5 27 67,5 Total 40 100

Persentase pengalaman bekerja terbesar kedua adalah responden yang memiliki pengalaman bekerja sedang (3-4 tahun) yaitu sebesar 10 responden. Responden perempuan lebih mendominasi yaitu sekitar 8 orang atau sebesar 20,0% dan responden laki-laki hanya sebanyak 2 orang atau sebesar 5,0%. Sisanya merupakan responden yang memiliki pengalaman bekerja rendah (0-2 tahun) yaitu sebesar 3 orang, dengan responden laki-laki sebanyak 2 orang (5,0%) dan perempuan sebanyak 1 orang (2,5%). Terdapat kecenderungan semakin tinggi pengalaman bekerja pengrajin, semakin banyak jumlah pengrajin.

Karakteristik Rumahtangga Jumlah Anggota Rumahtangga

Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama mengikuti UKM di Desa Tegalwaru Tahun 2012

Jumlah Anggota

Rumah- tangga

Laki-laki Perempuan Total

Jumlah (Jiwa) % Jumlah (Jiwa) % Jumlah % Rendah 11 55,0 19 95,0 30 75,0 Sedang 9 45,0 1 5,0 10 25,0 Total 20 100 20 100 40 100

Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa mayoritas jumlah anggota rumahtangga responden tergolong sedang (4-6 orang). Persentase jumlah anggota rumah tangga pada rumahtangga responden laki-laki sebesar 55,0% sedangkan pada rumahtangga responden perempuan sebesar 95,0%. Tingginya persentase pada kategori ini dipengaruhi oleh norma dalam masyarakat pengrajin yang beranggapan bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga, maka semakin tinggi dan semakin banyak pula rezeki yang akan mereka peroleh. Selain itu, semakin banyak anggota rumahtangga maka akan semakin banyak tenaga kerja yang akan mempermudah pembuatan tas. Pengenalan keluarga berencana (KB) di desa ini belum lama disosialisasikan, sehingga sebagian besar masyarakat masih memiliki anggapan seperti di atas. Pada kategori rumah tangga rendah (< 4 orang), persentase pada rumahtangga responden perempuan (5,0%) lebih kecil dibandingkan dengan persentase rumahtangga responden laki-laki (45,0%). Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa jumlah anggota rumahtangga responden laki-laki lebih beragam dibandingkan pada rumahtangga responden perempuan. Tabel 14 menggambarkan bahwa semakin banyak responden yang memiliki anggota rumahtangga, maka jumlah pekerja akan semakin banyak.

ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN

Dokumen terkait