• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Ijarah

1. Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa, menyewa, kontrak atau

menjual jasa perhotelan dan lain-lain.13Ijarah menurut syara’ adalah suatu

bentuk akad atas kemanfaatan yang telah disengaja dan menerima

penyerahan, serta diperbolehkannya dengan penggantian yang jelas.14

Al-ijarah dapat diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah

sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang. 15

Berdasarkan definisi diatas ijarah adalah suatu perjanjian sewa menyewa atas barang yang dapat diambil manfaatnya dengan pembayaran sewa dalam jangka waktu tertentu.

2. Dasar Hukum Ijarah

Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Bin Aliyah, Hasan Al-Basri, Al-Qasyani,

13

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 228.

14

Muhammad Ali, Fiqih, (Bandar Lampung: AURA, 2013), 121.

15

Dimyauddin djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 153.

Nahrawi dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dikategorikan jual beli. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

a. Al-Qur‟an Surat Al-Qashash ayat 26 dan 27



















































































(

: صصقلا

62

-62

)

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (QS. Al-Qashash : 26-27)

b. As-Sunnah

ُهُقَرَع َّفِجَي ْنَأ َلْبَ ق ُهَرْجَأ َرْ يِجَلأْا اوُطْعَأ

)رمع نبا نع هجام نبا هاور(

Artinya: “Berikanlah upah pekerja sebelumkeringatnya kering”. (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)16

16

Dari ayat Al-Qur‟an dan hadis tersebut akad ijarah atau sewa menyewa hukumnya dibolehkan karena akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. Sejak zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum Islam, hal tersebut dikarenakan

masyarakat membutuhkan akad ini.17

Berdasarkan penjelasan tersebut jelas adanya hubungan dasar hukum ijarah dengan penelitian pelaksanaan sewa menyewa pada kolam pancing ditinjau dari perspektif fikih muamalah studi kasus kampung Pujokerto kecamatan Trimurjo Lampung Tengah dimana dalam sewa menyewa ini banyak dilakukan oleh masyarakatkarena dapat menguntungkan berbagai pihak, maka dari itu bentuk sewa menyewa merupakan muamalah yang disyari‟atkan dalam Islam. 3. Rukun dan Syarat Ijarah

a. Rukun Ijarah

Ijarah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh

ulama guna menentukan sahnya akad tersebut. 18 Menurut ulama

Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:

1) Aqid‟, yaitu mu‟jir (orang yang menyewakan) dan musta‟jir (orang yang menyewa),

2) Shighat akad, yaitu ijab dan qabul, 3) Ujrah (uang sewa atau upah),

17

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat., 320.

18

4) Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan

tenaga dari orang yang bekerja.19

Berdasarkan penjelesan tersebut berkaitan dengan penelitian pelaksanaan sewa menyewa pada kolam pancing ditinjau dari perpsektif fikih muamalah studi kasus kampung Pujokerto Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah dimana dalam sewa menyewa ini adanya kedua pihak yang melakukan akad sewa yaitu pihak yang menyewakan dan pihak penyewa, serta terdapat uang sewa yang diberikan oleh pihak penyewa dan adanya manfaat yang dapat diperoleh berupa objek barang tersebut.

b. Syarat Ijarah

Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:

1) Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah balig dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menurut mereka, al-ijarahnyatidak sah.

2) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.

3) Manfaat yang menjadi objek al-ijarahharus diketahui secara sempurna, sehinga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek al-ijarah tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan

menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa.

4) Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.

5) Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara‟. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempatuntuk ibadah mereka.

6) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikannya haji penyewa.

7) Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian.

8) Sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa

khamar dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad al-ijarah, karena kedua benda itu tidak bernilai dalam Islam.

9) Ulama hanafiyah mengatakan sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Misalnya, dalam sewa menyewa rumah. Jika sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka al-ijarah

seperti ini dibolehkan.20

4. Sifat dan Hukum Akad Ijarah a. Sifat Akad Al-ijarah

Para ulama fikih berbeda pendapat tentang sifat akad al-ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan untuk bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.

Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama hanafiyah, “Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad a-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad

tidak membatalkan al-ijarah.21

Berdasarkan penjelasan di atas berkaitan dengan penelitian pelaksanaan sewa menyewa pada kolam pancing ditinjau dari

20

Muhammad Ali, Fiqih., 232.

21

perspektif fikih muamalah studi kasus kampung Pujokerto Kecamatan Trimurjo Lampung Tengahdimana dalam melakukan akad sewa menyewa kedua pihak dapat membatalkan jika ada kerusakan atau cacat barang yang di sewakan.

b. Hukum Ijarah

Akibat hukum dari ijarah yang shahih adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi musta’jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat.

Dalam ijarah fasidah, apabila mus’tajirtelah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujratul mitsli). Menurut Hanafiyah, kewajiban membayar ujratul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijarah tersebut karena syarat yang fasid, bukan karena ketidakjelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaanya. Dalam hal ijarah fasidah karena dua hal yang disebutkan

terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh.22

Berdasarkan penjelasan di atas yang berkaitan dengan penelitian pelaksanaan sewa menyewa pada kolam pancing ditinjau dari perspektif fikih muamalah studi kasus kampung Pujokerto Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah dimana kedua pihak telah bersepakat, ketika dalam sewa menyewa tersebut terdapat kerusakan barang

22

namun pihak penyewa tetap diwajibkan untuk membayar upah sewa, karena adanya kesepakatan di awal.

5. Macam-macam Ijarah

Ada dua macam-macam ijarah yaitu:

a. Ijarah atas manfaat, disebut dengan sewa menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. b. Ijarah atas pekerjaan, disebut dengan upah mengupah. Dalam ijarah

bagian kedua ini objeknya adalah amal atau pekerjaan seseorang.23

Berdasarkan macam-macam ijarah tersebut maka yang berkaitan dengan penelitian pelaksanaan sewa menyewa pada kolam pancing ditinjau dari perspektif fikih muamalah studi kasus kampung Pujokerto Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah yaitu ijarah atas manfaat karena objek akadnya diambil dari manfaat suatu benda. 6. Berakhirnya Akad Ijarah

Ijarah merupakan suatu akad yang lazim, yaitu suatu akad yang tidak boleh ada pembatalan pada salah satu pihak, baik orang yang menyewakan barang atau penyewa, kecuali ada sesuatu hal yang menyebabkan ijarah itu batal yaitu:

a. Menurut ulama Hanafiyah berakhir dengan meninggalnya salah seorang dari dua orang yang berakad ijarah hanya hak manfaat, maka hak ini tidak dapat diwariskan karena warisan berlaku untuk benda yang dimiliki, sedangkan jumhur ulama berpendapat ijarah tidak boleh

23

karena kematian salah satu pihak yang berakad. Sifat akad ijarah adalah lazim (mengikat para pihak) seperti halnya dengan jual beli.Ijarah merupakan milik al-manfaah (kepemilikan manfaat) maka dapat diwariskan.

b. Pembatalan akad ijarah dengan iqalah, yaitu mengakhiri suatu akad dengan kesepakatan kedua belah pihak. Diantara penyebabnya adalah aib pada benda yang disewa yang menyebabkan hilang atau berkurangnya manfaat pada benda itu.

c. Sesuatu yang disewakan hancur, rusak, atau mati misalnya hewan sewaan mati, rumah sewaan hancur. Jika barang yang disewakan kepada penyewa musnah, pada masa sewa, perjanjian sewa itu gugur demi hukum dan menanggung resiko adalah yang menyewakan.

d. Waktu perjanjian akad ijarah telah habis, kecuali ada unsur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah sawah pertanianyang ditanami dengan tanaman padi, boleh ditangguhkan padinya dan dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang diberikan. Dalam hal ini ijarah belum dianggap selesai.24

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa berakhirnya akad ijarah ketika salah satu pihak yang melakukan akad wafat maka hak tersebut tidak boleh diwariskan, dimana dalam akad perjanjian dapat dibatalkan

24

ketika adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan sebab benda yang disewakan itu rusak.

Dokumen terkait