• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Sebaran Iklan Berdasarkan Kategori Produk Pangan

4.3.7 Iklan Pangan yang mengiklankan kata halal

berlebihan karena klaim tersebut tidak didukung oleh fakta. Sumarwan (2004) mengatakan bahwa iklan yang mengandung klaim-klaim statistik seperti ini acapkali berlebihan karena tidak didukung oleh data survey, berapa jumlah responden, nama kota asal responden, siapa yang melaksanakan survey dan waktu survey. Iklan seperti ini jelas sangat berlebihan dan cenderung mengelabui konsumen, tidak memberikan informasi yang benar dan hanya ingin menimbulkan kesan hebat, terbaik, terlaku, tanpa didukung oleh fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan

Tabel 13. Daftar iklan produk pangan yang mencantumkan klaim yang berlebihan

Nomor registrasi produk Jenis Klaim yang tertera pada iklan

Analisis klaim terhadap peraturan terkait (Pasal 9 ayat 1 poin j UU No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen)

Dep.Kes.RI SP.No.:

249/13.27/02 Suplemen & Vitamin “tidak perlu kuatir, aman!” Tidak diperbolehkan mencantumkan kata yang berlebihan seperti “aman”,”tidak mengandung risiko atau “tanpa efek samping”

MD 249913040197 Minuman “asli, tak tertandingi” Penggunaan kata superlatif “tak tertandingi” yang melebih-lebihkan keunggulan produk

POM SI 064552811 Suplemen &

Vitamin “best of science, best of nature” Penggunaan kata superlatif “best of science, best of nature” yang melebih-lebihkan keunggulan produk MD 227101004523 Bakery

(wafer)

“Melalui hasil riset yang dilakukan kepada ibu dan anak, 85% menyatakan pasti akan membeli produk ini”

Penggunaan klaim statistika yang tidak dijelaskan metodologinya

4.3.7 Iklan Pangan yang mengiklankan kata halal

Ketenangan konsumen dalam mengkonsumsi produk pangan adalah hak yang harus diperjuangkan. Termasuk dalam ketenangan ini adalah dalam hal pemenuhan syarat produk pangan atas aturan-aturan yang dikandung dalam agama yang dianut oleh konsumen. Secara khusus, halal adalah manifestasi hal tersebut di dalam agama Islam.

Di dalam pasal 10 PP RI No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan dinyatakan bahwa :

1. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.

45 2. Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari label.

Sedangkan PERMENKES No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Makanan-Minuman menyatakan bahwa kata halal tidak boleh diiklankan.

Sekilas seperti ada pertentangan antara kedua aturan ini. PERMENKES No. 386 tahun 1994 menyatakan pelarangan pencantuman kata halal di dalam iklan produk pangan, meski pada PP RI No. 69 Tahun 1999 produsen produk pangan boleh menyatakan halal produknya asalkan ia mampu mempertanggungjawabkan kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal tersebut pada label.

Titik letaknya permasalahannya adalah PERMENKES No. 386 tahun 1994 melarang pencantuman kata halal pada iklan, namun tidak mengaturnya dalam pelabelan. Sementara PP RI No. 69 Tahun 1999, yang lebih belakang disahkan menjadi produk hukum, tidak mengatur lebih jauh mengenai pencantuman kata halal pada iklan produk pangan. Padahal secara umum dapat disimpulkan bahwa dapat saja produsen mengklaim halal asalkan klaim itu dapat dipertanggungjawabkan, yang dalam hal ini telah mendapatkan izin dari LPPOM MUI.

Dari iklan yang diamati, pencantuman kata halal dalam iklan hanya delapan kasus ( 1,4%) dengan karakteristik klaim mencantumkan kata halal secara verbal. Masih dapat diperdebatkan apakah pencantuman logo halal LPPOM MUI dalam iklan apakah termasuk dalam pelanggaran ini atau tidak. Tetapi dalam penelitian ini pencantuman logo halal LPPOM MUI dikecualikan atau tidak termasuk pelanggaran kategori ini.

46

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Ditengah keterbukaan arus informasi saat ini pengawasan terhadap iklan pangan masih diperlukan, tidak hanya oleh otoritas terkait seperti BPOM saja akan tetapi juga oleh masyarakat dan bahkan oleh industri pangan itu sendiri sebagai bentuk self control.

Pengawasan yang dilakukan oleh pihak ketigasemacam PPPI, YLKI ataupun individu-individu yang telah mengerti terhadap aturan yang terkait masih juga diperlukan sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Sebagian besar iklan didominasi oleh iklan produk minuman (54,4%) serta produk suplemen makanan dan vitamin (27,15%). Urutan selanjutnya ditempati oleh iklan produk susu dan turunannya (5,9%), iklan produk lemak, minyak dan turunannya (5,4%). Kategori produk pangan yang tidak ditemukan iklannya pada pengamatan ini adalah 1) sayur, buah, dan turunannya, 2) confectionery, 3) ikan-ikanan dan turunannya, 4) telur dan turunannya, 5) snack, dan 6) pangan Komposit.

Dari hasil pemantauan iklan produk pangan kemasan yang beredar di koran harian Kompas, Republika, Koran Tempo, Pikiran Rakyat dan Radar Bogor diperoleh data iklan berjumlah 373 buah, 312 iklan diantaranya melanggar peraturan perundang-undangan (83,6%) dan hanya 61 iklan diantaranya yang benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan (16,4%). Total pelanggaran yang terjadi adalah sebanyak 576 pelanggaran dari total 312 iklan yang melanggar.

Kategori pelanggaran yang paling mendominasi adalah jenis iklan yang menyesatkan yaitu berjumlah 126 kasus (21,9%) menyusul iklan yang menjurus ke obat sebanyak 117 (20,3%), iklan produk olahan yang keterangan asal bahannya tidak benar sebanyak 110 kasus (19,1%), iklan yang keterangan produknya tidak lengkap sebanyak 75 kasus (13,0%), iklan suplemen yang menganjurkan dikonsumsi setiap saat/tanpa anjuran berolahraga sebanyak 70 (12,2%), klaim pangan fungsional yang tidak sesuai ketentuan sebanyak 37 (6,4%) dan iklan yang berlebihan sebanyak 12 kasus (2,1%).

Pada kategori minuman, kategori pelanggaran yang paling sering terjadi adalah iklan dengan kategori tidak benar atau menyesatkan. Hal ini dimungkinkan oleh karena varian iklan minuman yang tinggi dengan klaim-klaim yang begitu beragam pula. Kategori

47 suplemen dan vitamin dengan pelanggaran terbanyak yaitu menganjurkan untuk dikonsumsi di segala kondisi dan kategori susu dan turunannya dengan pelanggaran terbanyak yaitu iklan susu krim penuh yang tidak mencantumkan spot peringatan “tidak

cocok untuk bayi di bawah usia enam bulan”.

Khusus untuk iklan dengan klaim pangan fungsional maka pelanggaran yang terjadi dikarenakan klaim terhadap pangan fungsional tersebut belum terdaftar atau klaim-klaim terhadap pangan fungsional telah terdaftar namun isi klaim-klaim tidak sesuai yang digariskan atau klaim-klaim atas komponen pangan fungsional telah terdaftar namun komponen pangan fungsional tersebut tidak diperkenankan untuk mencantumkan klaim fungsi gizi ataupun klaim manfaat terhadap kesehatan.

5.2 Saran

1. Pemantauan swadaya masyarakat terhadap iklan pangan perlu untuk dilanjutkan dengan skala media cetak yang lebih luas dan waktu pengawasan yang lebih panjang untuk memperloleh data yang utuh dan mendapatkan contoh dari kategori produk dan kategori pelanggaran yang lebih beragam. Hal ini juga berguna untuk memperkuat fungsi pengawasan masyarakat dan edukasi terhadap masyarakat itu sendiri.

2. Dalam penelitian lebih lanjut perlu dianalisis pula iklan produk pangan non kemasan seperti iklan restoran, rumah makan cepat saji dan yang sejenisnya yang saat ini juga mulai berkembang pesat.

3. Khusus untuk analisis terhadap klaim pangan fungsional sangat diperlukan sekali kekinian

status komponen pangan fungsional yang telah disetujui oleh tim mitra bestari BPOM RI. 4. Sebagian pelanggaran iklan terjadi karena keterbatasan teknis periklanan produk pangan,

seperti luasan iklan yang tidak memungkinkan untuk mencantumkan spot peringatan pada produk susu. Untuk itu sebaiknya ada pengaturan yang lebih rinci dan kompatibel dengan kondisi-kondisi tersebut.

5. Pelarangan mengiklankan kata halal sebaiknya tidak diterapkan atau diperbolehkan sepanjang ada bukti pendukung bahwa produk tersebut halal, yang dalam hal ini mendapat persetujuan dari LPPOM-MUI. Pengiklanan bahwa suatu produk terjamin kehalalannya adalah penting mengingat hal tersebut menjamin ketenangan seseorang terhadap sesuatu yang diyakininya, yang dalam hal ini adalah syari’at islam.

48

Dokumen terkait