• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Iklim Mikro

Iklim mikro menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007, adalah keberadaan ekosistem setempat yang mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat sehingga temperatur menjadi terkendali, termasuk radiasi matahari dan kecepatan angin.

Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas antropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non kota. Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor- faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor- faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.

Data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim (Susanti dan Harjana, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim kota dengan menggunakan model simulasi, salah satu faktor terpenting yang mudah mengurangi panas dalam kota adalah bertambahnya permukaan air dalam kota yang memungkinkan berlakunya proses penguapan atauevaporasi(Myrup, 1969). Berdasarkan hasil simulasi, penambahan luas permukaan bagi proses penguapan dari 0.0 sampai 0,5 ha dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 34,60C ke 26,20C. Implikasi kesimpulan ini adalah bahwa taman, air mancur, jalur hijau dan pohon di tepi jalan mempunyai kesan yang lebih baik daripada hanya sebagai penghias kota belaka, karena turut memberikan kesan sejuk dalam kota.

Setiap material permukaan (baik vegetasi maupun bangunan) mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan (Susanti dan Harjana, 2006). Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang datang diserap oleh suatu kota. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk

konstruksi bangunan kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan. Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunan-bangunan yang tinggi.

Kondisi bentang alam dimana suatu kota berada, akan memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara jelek, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi. Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shadetetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi.

Jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang (Robinette, 1983). Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Suhu adalah tingkat energi kinetik gerakan molekul benda, makin cepat gerakan molekul, makin tinggi suhunya. Berdasarkan hasil penelitian oleh Wenda (1991), yang telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor

yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0°C dengan kelembaban 66-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1°C dengan kelembaban 62-78%.

3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3–32,1°C dengan kelembaban 62 - 78%.

Kehadiran tumbuhan atau vegetasi sangat diperlukan diperkotaan mengingat tumbuhan hijau akan menjaring CO2dan melepas O2kembali ke udara

melalui proses fotosintesis tumbuhan yang terjadi apabila ada sinar matahari dan dibantu oleh enzim, yaitu suatu proses dimana zat-zat anorganik H2O dan CO2

oleh klorofil diubah menjadi zat organik, karbohidrat serta O2 (Irwan, 2005).

Setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini mempersenyawakan sekitar 150 000 juta ton CO2dan 25 000 juta ton hydrogen dengan membebaskan 400 000 juta ton

oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450 000 juta ton zat-zatorganik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang

dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Diuraikan pula berdasarkan penelitian Kramer & Kozlowski (1970); Federer (1970) yang dikutip dari Grey dan Deneke (1976) bahwa tumbuhan juga disebut air conditioning (AC) alami karena sebatang pohon dapat menguapkan 400 liter sehari dalam proses evapotranspirasi, setara dengan 5 AC yang berkapasitas 2500 kcal/jam yang beroperasi selama 20 jam/hari. Pepohonan, semak-belukar dan rerumputan dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi.

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi dan lain-lain. Sebaliknya pada malam hari dapat lebihh hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (re-radiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983). Lingkungan perkotaan sangat perlu untuk

disejuk-nyamankan, karena suhu dan kelembaban mempengaruhi kekuatan fisik, aktivitas dan mental seseorang (Dahlan, 2004).

Dokumen terkait