• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modeling of urban forest for the amelioration of micro climate in Palu City

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modeling of urban forest for the amelioration of micro climate in Palu City"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK

AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU

FATIMAH AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)

FATIMAH AHMAD, Modeling of Urban Forest for the Amelioration of Micro Climate in Palu City. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, ENDES N. DAHLAN, SOBRI EFFENDY and RACHMAN KURNIAWAN.

ABSTRACT

Climate characteristic of Palu city is very specific, which is indicated by high air temperature and low precipitation. The objectives of research are : (1) to analyze the dynamics of changes in area and distribution of land cover types in Palu, (2) to analyze the relationships between dynamics of greenery open space area, temperature distribution, and the role and needs of urban forest to improve microclimate in Palu, (3) to develope dynamics model system of urban forest for micro climate amelioration, (4) to formulate policies that can be recommended for the development of urban forest in Palu. The research was carried out based on field survey, questionnaire, and expert judgement. GIS and Arcview approaches for spatial dynamic analysis, to develop dynamics model system of urban forest using program powersim studio expert 2005 version, to formulate policies that can be recommended for the development of the urban forest using policy analysis with AHP. The results obtained are: (1) for 13 years from 1997 up to 2010 was found that greenery open spaces have decreased from 80.4 % to 78.8 %, (2) the increasing greenery open spaces will decrease the maximum of air temperatur, significantly. The regression is Y = -0.1203 X + 39.51 with R2 = 0.503, (3) Based on the model simulation, it is predicted that the urban forest will be decreased in the future, (4) Base on results of AHP, it’s known that needs of settlement is the priority factor, government is the priority actor, environmental sustainability is the priority purpose and to improvement of regulation and the provision of green open spaces and plants were the priority strategy of development of the urban forest in Palu.

(5)

RINGKASAN

FATIMAH AHMAD. Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, ENDES N. DAHLAN, SOBRI EFFENDY, dan RACHMAN KURNIAWAN.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang bahwa rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah kota dalam bentuk ruang terbuka hijau dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah. Kondisi geografis Kota Palu mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota. Selain itu dari Rencana Tata ruang Ruang Wilayah Kota Palu (RTRWK) diketahui bahwa luas RTH yang ada saat ini baru berkisar 3.25% atau kurang lebih 1280.5 ha. Sedangkan rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai sekurang-kurangnya 30% dari luas wilayah kota untuk pengembangan hutan kota pemerintah baru mengalokasikan lahan seluas 100 ha dan kebun raya seluas 200 ha. Jika hanya dilakukan penambahan sebesar 300 ha maka luas hutan kota baru mencapai 0.81% dari luas total wilayah sedangkan UU No.63 tahun 2002 mensyaratkan bahwa suatu kota minimal memiliki hutan kota 10% dari luas total wilayah, berarti masih perlu penambahan kurang lebih 9% .

Upaya ameliorasi iklim mikro dengan penataan hutan kota merupakan salah satu bagian dari peningkatan kualitas lingkungan perkotaan. Dalam kajian tersebut upaya ameliorasi iklim dikaji dengan sistem dinamis dengan mempertimbangkan aspek biofosik, aspek sosial dan aspek kebijakan. Dengan interaksi ketiga aspek tersebut, maka dapat disusun model hutan kota beserta rumusan kebijakannya.

Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu; (2) menganalisis hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu, serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu; (3) membangun model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu; (4) merumuskan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota di Kota Palu.

(6)

yang digunakan untuk menganalisis perubahan luasan dan jenis tutupan lahan di Kota Palu adalah pengolahan citra Landsat TM dan ETM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Pengolahan citra Landsat TM dan ETM meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi penutupan lahan, uji akurasi untuk hasil klasifikasi penutupan lahan. Langkah-langkah dalam melakukan interpretasi citra, metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro dilakukan dengan tabulasi dan analisis statistik yang dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MS. Excel dan Minitab 14. Metode yang digunakan untuk membangun model dinamik hutan kota adalah analisis sistem dinamik dan AME yang dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Powesim 2005E, model pengembangan hutan kota terdiri atas tiga sub-model, yaitu (1) sub model suhu udara; 2) sub-model luasan hutan kota; dan (3) sub model populasi penduduk. Sedangkan dalam merumuskan kebijakan digunakan dengan analisis kebijakan AHP dengan menggunakan perangkat lunak CDP 3.04.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan presentase luas RTH, dimana dari tahun 1997 hingga 2010 terjadi penurunan dari 80.4% menjadi 78.8%. Sedangkan berdasarkan analisis citra secara spasial dalam bentuk peta diperoleh sebaran distribusi penutupan RTH tahun1997 menyebar di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kota Palu, sedang pada tahun berikutnya hingga 2010 di pusat kota hanya didominasi oleh lahan terbangun.

Hubungan dinamik perubahan luasan RTH dan distribusi suhu dapat dilihat pada persamaan linier berikut Y= 39.511 – 0.1203X dengan R2 sebesar 0.503. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum yaitu semakin rendah prosentase RTH hutan menyebabkan suhu udara maksimum meningkat. Nilai suhu maksimum senilai 35.7oC berada pada tutupan lahan berbentuk pemukiman. Secara umum pada wilayah pemukiman mayoritas adalah tutupan lahan non vegetasi. Sedangkan, nilai suhu minimum terdapat pada wilayah hamparan terbuka senilai 28.3oC. Hamparan terbuka merupakan kawasan yang terdiri dari vegetasi rendah atau rerumputan yang luas. Hasil pengukuran kelembaban nisbi udara (RH) maksimum pada semua titik pengamatan tertinggi pada tutupan lahan terbuka yaitu sebesar 61 % dan terendah pada tutupan lahan pemukiman sebesar 49%. Ruang terbuka hijau dalam hal ini hutan kota dalam mengameliorasi iklim selain menurunkan suhu udara juga berperan meningkatkan kelembaban udara.

(7)

terhadap jumlah penduduk dengan menurunkan laju pertumbuhan sebesar 1% pertahun, luas Hutan dilakukan penambahan 2% pertahun yang hasilnya akan mempertahankan suhu udara maksimum pada akhir tahun simulasi Tahun 2040 yaitu 36.5oC (Suhu aktual 35.7oC penambahan suhu berkisar 0.8oC selama 30 tahun).

Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pembangunan hutan Kota Palu adalah kebutuhan pemukiman dengan bobot 0.30 dengan aktor utamanya adalah pemerintah sebagai penyusun kebijakan bobot 0.33, dimana tujuan kebijakan utamanya adalah kelestarian lingkungan dengan bobot sebesar 0.3, sedangkan untuk alternatif utama dalam pengembangan hutan kota di Kota Palu adalah penyempurnaan peraturan dan penyediaan ruang terbuka hijau dan pemilihan jenis tanaman.

(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK

AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU

FATIMAH AHMAD

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada ujian tertutup : Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng Dr.Ir. Bambang Sulistyantara,M.Agr

(11)

Judul Disertasi : Pemodelan Hutan Kota Untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu

Nama : Fatimah Ahmad

NRP : P062070211

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Dr. Ir. Endes N. Dahlan M.S.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si. Dr. Rachman Kurniawan, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, disertasi dengan judul Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu dapat diselesaikan. Disertasi ini bertujuan merumuskan arahan kebijakan pembangunan hutan kota di Kota Palu terkait dengan upaya ameliorasi iklim mikro.

Dengan segala rasa hormat dan trima kasih yang setinggi-tingginya kepada YM Ayahanda Sayyidi Syekh Kiyai Haji Amiruddin KY Bin Khoir Hasyim Alkholidi, yang senantiasa membimbing kalbu kami agar menjadi manusia yang berpribudi luhur serta selalu sabar dan rendah hati dalam menjalani hidup dan kehidupan. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S., sebagai ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Endes N. Dahlan, M.S.; Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si.; dan Dr. Rachman Kurniawan, M.Si., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini; Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf yang telah memberikan dukungan, serta pelayanan akademik; Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB. Demikian pula para dosen dan staf akademik yang telah memberikan bantuan akademik bagi penulis dalam menempuh pendidikan Doktor; Para narasumber dari akademisi, tokoh masyarakat , yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk berdiskusi dengan penulis sebagai pakar dalam analisis data kebijakan. dan ikut serta memberikan saran atas kesempurnaan penulisan disertasi. Kepada Suami tercinta,anak-anakku,mertua,adik,ipar, serta seluruh keluarga dan kerabat , rekan-rekan mahasiswa ,yang selalu memberi dukungan, doa dan semangat sampai hari ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran, dan kritik dalam rangka perbaikan disertasi ini. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung pandang pada tanggal 21 Februari 1962 sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara dari ayah H. Andi Ahmad Rahman (almarhum) dan ibu Hj. Siti Andi Djuhrah (almarhumah). Penulis menikah dengan DR. H. Mahrus Aryadi, M.Sc. saat ini kami dikaruniai tiga orang anak yaitu Andi Nugrah Maulid, Andi Ismi Maulani dan Andi Muhammad Ramadhani Arafat.

(14)

DAFTAR ISI

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4.Tujuan Penelitian... 7

1.5.Manfaat Penelitian... 7

1.6.Kebaharuan Penelitian... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH)... 10

2.2 Hutan Kota ... 12

2.3 Iklim Mikro ... 15

2.4 Ameliorasi Iklim Mikro... 18

2.5 Model Pengembangan dan Analisis Sistem ... 19

2.6 Simulasi ... 23

2.7 Pemodelan Sistem Dinamik ... 25

III. METODOLOGI PENELITIAN... 27

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Jenis Data dan Alat... 28

3.3 Metode Penelitian... 29

3.3.1 Analisis Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan ... 29

3.3.2 Analisis Hubungan Perubahan Luas RTH dan Distribusi Suhu, Hubungan Jumlah Penduduk Dan Penggunaan Listrik, serta Peran dan Kebutuhan RTH di Kota Palu... 31

3.3.3 Membangun Model Hutan Kota di Kota Palu ... 35

3.3.4 Merumuskan Kebijakan yang Dapat Direkomendasikan untuk Pembangunan Hutan Kota di Kota Palu ... 40

IV. ANALISIS SITUASIONAL... 48

4.1 Gambaran Umum Kota Palu ... 48

4.2 Kondisi Penduduk Kota Palu ... 50

4.3 Perekonomian Kota Palu... 51

4.4 Kondisi Iklim Kota Palu ... 51

4.5 Kondisi Penggunaan Lahan di Kota Palu ... 54

4.6 Jenis Tanaman... 56

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 59

5.1 Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan Di Kota Palu... 59

(15)

Mikro di Kota Palu... 70

5.4 Hubungan Jumlah Penduduk dan Penggunaan Listrik Di Kota Palu... 72

5.5 Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro ... 74

5.1.1 Analisis Trend Sistem ... 75

5.1.2 Hasil Analisis Validasi... 78

5.1.3 Model Baseline Kota Palu ... 79

5.1.4 Penyusunan Skenario Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro ... 80

5.5.4.1 Skenario Pesimis... 83

5.5.4.2 Skenario Moderat... 85

5.5.4.3 Skenario Optimis ... 86

5.5.4.4 Rekomendasi Berdasarkan Hasil Simulasi Model ... 87

5.6 Rumusan Arahan Kebijakan Pembangunan Hutan Kota Di Kota Palu... 87

5.7 Analisis Kebijakan ... 92

VI. SIMPULAN DAN SARAN... 96

6.1 Simpulan ... 96

6.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA... 98

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Penelitian berkaitan hutan kota dan pemodelannya ... 8

Tabel 2. Luas RTH di Kota Palu menurut kecamatan tahun 2009 ... 11

Tabel 3. Luas RTH kota berdasarkan jumlah penduduk ... 11

Tabel 4. Jenis, sumber dan kegunaan analisis data... 28

Tabel 5. Lokasi pengambilan sampel iklim mikro ... 33

Tabel 6. Skala komparasi... 42

Tabel 7. Hasil transformasi matriks pendapat ... 43

Tabel 8. Kondisi angin di Kota Palu... 53

Tabel 9. Jenis-jenis tanaman di lokasi titik pengambilan sampel.... 56

Tabel 10. Luas jenis penutupan lahan tahun 1997–2010... 59

Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997– 2010 ... 60

Tabel 12. Luasan RTH Kota Palu ... 61

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka pikir model hutan kota untuk ameliorasi

iklim mikro ... 6

Gambar 2. Fungsi RTH perkotaan... 12

Gambar 3. Perbandingan metode pemecahan masalah (Grantet al., 1997) ... 22

Gambar 4. Tahap-tahap simulasi model (Siswosudarmoet al., 2001) ... 24

Gambar 5. Peta lokasi penelitian ... 27

Gambar 6. Rancang bangun penelitian ... 30

Gambar 7. Lokasi pengambilan contoh sampling ... 34

Gambar 8. Tahapan pendekatan sistem dalam penelitian... 36

Gambar 9. Diagram sebab akibat (causal loop diagram) pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu ... 38

Gambar 10. Diagram input-output (Black Box) Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu ... 39

Gambar 11. Struktur analisis hierark proses pengembangan model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro ... 47

Gambar 12. Rata-rata curah hujan bulanan di Kota Palu antara tahun 2000-2010 ... 52

Gambar 13. Jumlah hari hujan rata-rata di Kota Palu antara tahun 2000-2010 ... 52

Gambar 14. Suhu maksimum, rata-rata, dan minimum bulanan Kota Palu antara tahun 2005–2010... 53

Gambar 15. Distribusi penggunaan lahan di Kota Palu... 55

Gambar 16. Ruang terbuka hijau di lokasi penelitian... 58

Gambar 17. Peta penggunaan lahan eksisting Kota Palu ... 62

Gambar 18. Peta penutupan lahan Kota Palu berdasarkan citra landsat band 5.4.2 ... 64

Gambar 19. Data suhu udara Kota Palu tahun 1997–2010... 65

(18)

Gambar 21. Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Palu ... 68

Gambar 22. Peta rencana luasan dan sebaran hutan kota di setiap Kecamatan di Kota Palu ... 69

Gambar 23. Suhu maksimum ... 70

Gambar 24 Kelembaban maksimum rata-rata ... 72

Gambar 25. Hubungan antara jumlah penduduk dan penggunaan listrik ... 73

Gambar 26. Hubungan antara penggunaan listrik dengan suhu ... 73

Gambar 27. Flow diagram hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro ... 74

Gambar 28. Hasil simulasi untuk trend luas tutupan lahan ... 75

Gambar 29. Hasil simulasi untuk trend suhu maksimum ... 76

Gambar 30. Hasil simulasi untuk trend jumlah penduduk ... 77

Gambar 31. Hasil simulasi untuk trend lahan terbangun... 77

Gambar 32. Hasil simulasi untuk trend pemakaian listrik... 78

Gambar 33. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan kondisi aktual ... 79

Gambar 34. AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan Simulasi ... 79

Gambar 35. Grafik modelbaselineKota Palu... 80

Gambar 36. Prediksi jumlah penduduk hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 ... 82

Gambar 37. Prediksi suhu maksimum hasil simulasi skenario sampai tahun 2040... 82

Gambar 38. Prediksi penggunaan listrik hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 ... 83

Gambar 39. Prediksi luas hutan kota hasil simulasi skenario sampai tahun 2040... 83

Gambar 40. Prediksi luas RTH hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 ... 84

Gambar 41. Grafik skenario pesimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun... 84

(19)

Gambar 43. Grafik skenario optimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk,

penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun... 86

Gambar 44. Nilai bobot prioritas pada level faktor ... 88

Gambar 45. Nilai bobot prioritas pada level aktor ... 89

Gambar 46. Nilai bobot prioritas pada level tujuan... 90

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data pengamatan iklim mikro... 104 Lampiran 2. Equation... 105 Lampiran 3. Hasil simulasi model skenario pesimis hutan kota untuk

Ameliorasi iklim mikro... 108 Lampiran 4. Hasil simulasi model skenario moderat hutan kota untuk

Ameliorasi iklim mikro... 109 Lampiran 5. Hasil simulasi model skenario optimis hutan kota untuk

Ameliorasi iklim mikro... 110 Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi... 111 Lampiran 7. Data suhu minimum harian Kota Palu tahun 2005 - 2010.... 112 Lampiran 8. Data suhu maksimum harian Kota Palu tahun 2005 –2010 . 118 Lampiran 9. Data suhu rata-rata Kota Palu tahun 2005–2010 ... 124 Lampiran 10. Daftar jenis tanaman lokal dan tanaman terpilih untuk

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah lingkungan perkotaan di Indonesia saat ini merupakan masalah yang belum terselesaikan, bahkan semakin sulit dalam mengidentifikasi skala prioritas dalam mengatasinya. Salah satu permasalahan lingkungan di perkotaan hampir di seluruh kota di dunia adalah issue pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim. Dalam dekade terakhir kualitas lingkungan yang semakin memburuk terutama yang diakibatkan oleh terjadinya pencemaran lingkungan yang diperburuk oleh makin berkurangnya luasan ruang terbuka hijau (RTH). Beragam aktivitas kota akan mempengaruhi perkembangan kota dan juga lingkungan perkotaan. Kebutuhan ruang di perkotaan merupakan masalah yang cukup penting, karena ruang kota terbatas, sementara kebutuhan terus meningkat (Susilo, 2006). Kegiatan perkotaan termasuk pembangunan pemukiman dalam skala besar menyebabkan terjadinya banyak perubahan mengenai pemanfaatan lahan.

(22)

Laju pertumbuhan penduduk Kota Palu relatif tinggi yaitu dari tahun 2000 sampai tahun 2010 mencapai 1,7% pertahun, sehingga kebutuhan akan pemukiman semakin tinggi pula. Dengan kondisi iklim dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui ketersediaan RTH. Menurut Arifin (2006) kenyamanan, keamanan dan keindahan lingkungan kota salah satu unsur pembentuknya adalah tersedianya RTH. Sementara dari hari ke hari RTH kota tampaknya kian menyusut, karena itu kota yang memiliki konsep kota hijau seharusnya mempertahankan keberadaan RTH-nya tidak hanya untuk taman-taman kota, lapangan olah raga, pemakaman, jalur hijau, tetapi juga bagi lahan pertanian dalam bentuk sawah, kebun buah, kebun campuran hingga pekarangan yang dapat didesain sebagai RTH (Arifin, 2011).

Dengan kondisi geografis yang telah diuraikan di atas, Kota Palu pada siang hari mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota.

Terdapat beberapa alasan pemilihan pembangunan hutan kota di Kota Palu antara lain adalah: hutan kota sebagai komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk), strukturnya meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis (Irwan, 2005). Selain itu berfungsi untuk ameliorasi iklim mikro (Dahlan, 2004) atau dapat pula berfungsi untuk menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban (Irwan, 2005).

(23)

dalam upaya mewujudkan Program pengembangan kota hijau (green city). Pentingnya peran RTH membuat kebijakan pembangunan daerah Pemerintah Kota Palu yang mengharapkan proporsi ruang terbuka hijau minimal 20% dari luas wilayah. Hutan kota merupakan satu dari sekian jenis RTH. Untuk mendukung upaya penurunan suhu dan peningkatan kelembaban udara (ameliorasi iklim mikro) dan mengoptimalkan perencanaan dan pembangunan hutan kota di Kota Palu, maka dipandang penting membuat suatu model hutan kota yang dapat berperan sebagai pengameliorasi iklim yang berfungsi maksimal.

Karakter umum lanskap kota adalah adanya penggunaan lahan yang sangat intensif karena lahan merupakan sumberdaya yang sangat mahal (Arifin, 2006). Selama ini dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan tata guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim (Susanti dan Teguh, 2006). Myrup (1969) yang disitasi oleh Effendy (2007) mengemukakan salah satu faktor terpenting yang mudah mengurangi panas dalam kota adalah bertambahnya permukaan dalam kota yang memungkinkan berlakunya proses penguapan (evaporasi). Penambahan luas permukaan bagi proses penguapan sampai 0,5 hektar dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 34,60C menjadi 26,20C.

1.2. Perumusan Masalah

(24)

memberikan dampak terhadap makin meningkatnya suhu di luar ruangan, juga mengakibatkan meningkatnya penggunaan listrik serta bahan bakar.

Menurut Irwan (2005), keberadaan hutan kota yang merupakan unsur dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat berfungsi untuk menyerap panas, meningkatkan kelembaban. Agar fungsi hutan kota dapat dimaksimalkan, khususnya untuk menyerap panas dan meningkatkan kelembaban di Kota Palu, perlu dicari dan dikembangkan vegetasi yang sesuai dengan kondisi lingkungan Kota Palu serta efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban sehingga kesejukan dan kenyamanan dalam melakukan berbagai aktivitas dapat tercapai.

Berdasarkan pada informasi rencana tata ruang Kota Palu dan permasalahan lingkungan yang ada, maka terdapat empat permasalahan yang dikaji pada penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu? 2. Bagaimana hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu serta

peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu? 3. Bagaimana model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di

Kota Palu?

4. Bagaimana rumusan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota di Kota Palu?

1.3. Kerangka Pemikiran

(25)

diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk menjawab tantangan tersebut, namun perlu disesuaikan dengan karakteristik kota bersangkutan.

Dalam Peraturan menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2007 bahwa ruang terbuka hijau kawasan perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Salah satu jenis dari RTHKP adalah hutan kota.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Kondisi geografis yang telah diuraikan di atas, Kota Palu pada siang hari mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota.

(26)

Upaya ameliorasi iklim mikro dengan penataan hutan kota merupakan salah satu bagian dari peningkatan kualitas lingkungan perkotaan, karena tajuk hutan kota dapat menahan radiasi gelombang panjang dari matahari dalam bentuk radiasi infra merah yang memiliki energi termis yang tinggi. Suhu udara pada lingkungan dalam hutan kota lebih rendah 3 –50C daripada suhu udara di sekitar gedung bertingkat. Dalam kajian ini upaya ameliorasi iklim dikaji dengan sistem dinamis dengan mempertimbangkan aspek biofisik, aspek sosial dan aspek kebijakan. Dengan interaksi ketiga aspek tersebut, maka dapat disusun model hutan kota beserta rumusan kebijakannya.

(27)

Gambar 1. Kerangka pikir model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro

Alternatif Strategi Hutan Kota untuk Ameliorasi Analisis

Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan

Analisis Perubahan

Distribusi

Suhu

Analisis Jumlah Penduduk

Analisis Penggunaan

Analisis Hubungan

Luas RTH dan

Analisis Hubungan

Jumlah Penduduk

Model Sistem

Hutan Kota untuk Ameliorasi

Faktor

Aktor

Tujuan Pembangunan

PP No. 63 Tahun 2002 Kondisi Iklim dan

Kependudukan Kota Palu

• UU No. 26 Tahun 2007

• PP No. 15 Tahun 2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang

Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2007

(28)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu. 2. Menganalisis hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu

serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu.

3. Membangun model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu.

4. Merumuskan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota di Kota Palu.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kota Palu, dalam merumuskan kebijakan dan merancang perencanaan pembangunan hutan kota di Kota Palu. 2. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan

pengkajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan pemodelan hutan kota.

(29)

1.6. Kebaharuan Penelitian

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan hutan kota dan ameliorasi iklim mikro sepanjang penelusuran pustaka antara lain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penelitian berkaitan hutan kota dan pemodelannya

No. Peneliti Judul Tujuan Novelty

1. Sobri Effendy

(30)

No. Peneliti Judul Tujuan Novelty

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota, berupa kawasan, memanjang berupa jalur, bersifat terbuka tanpa bangunan. Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka memiliki elemen-elemen yaitu elemen keras dan elemen lunak. Elemen keras seperti perkerasan jalan dan bangunan, sedangkan elemen lunak berupa berbagai jenis tanaman. Ruang terbuka yang sebagian besar terdiri dari elemen lunak disebut Ruang Terbuka Hijau (Chusnan, 2011). Menteri dalam negeri dalam instruksinya No 1 tahun 2007, menyatakan Ruang Terbuka adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas dimana di dalam penggunaannya bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau ditekankan pada pemanfaatannya lebih bersifat hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman. Sedangkan menurut UU No. 26 tahun 2007, RTH adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di manapun keberadaannya memberikan fungsi yang kompleks. Secara fungsional RTH dapat dicirikan : (1) sebagai area perlindungan untuk ekosistem dan penyangga, (2) sebagai sarana menciptakan kesehatan dan kehidupan lingkungan, (3) sebagai sarana rekreasi masyarakat, (4) sebagai pengendali iklim mikro, (5) sebagai pengaman pencemaran, (6) sebagai pengendali tata air/pencegah erosi, (7) sebagai perlindungan plasma nutfah, dan (8) sebagai sarana kesadaran berlingkungan (Fadjar, 2006).

(32)

danTaman Raya seluas 5 789 ha. Sementara RTH alami pada kawasan budidaya adalah berupa Hutan Produksi Terbatas seluas 4 376 ha. Sebaran jenis RTH alami di Kota Palu dibuat berdasarkan per kecamatan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas RTH di Kota Palu menurut kecamatan tahun 2009

Sumber : BPS Kota Palu, 2010

Kebutuhan RTH di suatu wilayah bila didasarkan pada jumlah penduduknya, maka dapat diketahui rasionya (Tabel 3).

Kecamatan

Hutan Lindung

(Ha)

Taman Hutan Raya

(Ha)

Hutan Produksi Terbatas (Ha)

Jumlah Total (Ha)

Palu Barat 2 512,91 - - 2 512,91

Palu Selatan 899,88 1 535,24 - 2 435,12

Palu Timur 3 728,19 4 235,76 2 358,22 10 322,17

Palu Utara - - 2 017,77 2 017,77

(33)

Tabel 3. Luas RTH kota Palu berdasarkan jumlah penduduk

Sumber: BPS Kota Palu, 2010

Nurisjahet al (2005), menggunakan istilahurban green space atau Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, yang diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan. Fungsi RTH perkotaan adalah: fungsi ekologis, fungsi arsitektural, fungsi sosial dan fungsi ekonomi (Gambar 2).

No Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas RTH (Ha)

1 10 000 0,7

2 50 000 0,85

3 100 000 0,90

4 250 000 1,00

5 500 000 1,10

(34)

Sumber: Nurisjahet al(2005)

Gambar 2. Fungsi RTH perkotaan

RTH berkaitan dengan kenyamanan di mana pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga dengan adanya RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH (Effendy, 2007).

Wilayah Perkotaan

Ruang Terbangun

Ruang Terbuka

Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Ruang Terbuka Non-Hijau

Fungsi Intrinsik Fungsi Ekstrinsik

Fungsi Ekologis

Fungsi Arsitektura

(35)

2.2 Hutan Kota

Definisi hutan kota menurut hasil rumusan Rapat Teknis Hutan Kota di Jakarta pada bulan Februari 1991 bahwa hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhan pepohonan di wilayah perkotaan, baik di tanah negara maupun di tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau (RTH) pepohonan serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota (Dahlan, 2004).

Menurut Fakuara (1987) hutan kota diartikan sebagai suatu tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga tidak harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada berbagai penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan bentuk dan luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah kriteria lingkungan. Hal ini berkaitan dengan manfaat penting hutan kota berupa manfaat lingkungan yang terdiri atas konservasi mikroklimat, keindahan, serta konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli, 2004). Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 1 ayat (2) hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Departemen Kehutanan (2002), mengungkapkan ada dua pendekatan yang dipakai dalam menerapkan luas hutan kota yaitu :

(36)

2) perhitungan per kapita (berdasarkan jumlah penduduk); atau 3) berdasarkan isu utama yang muncul.

5. Pendekatan kedua yaitu semua area yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah area untuk hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu enklave(bagian) yang ada dalam suatu hutan kota.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan hutan kota yang memiliki beraneka ragam manfaat diantaranya adalah sebagai ameliorasi iklim mikro yang diharapkan dapat menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Kehadiran pohon dalam lingkungan kehidupan manusia, khususnya di perkotaan memberikan nuansa kelembutan tersendiri. Perkembangan kota yang lazimnya diwarnai dengan aneka rona kekerasan, dalam arti harfiah ataupun kiasan, sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen alamiah seperti air (baik yang diam-tenang maupun yang bergerak-mengalir) dan aneka tanaman (mulai dari rumput, semak hingga pohon) (Budihardjo, 1993).

Berdasarkan letaknya, hutan kota dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu hutan kota permukiman, hutan kota industri, hutan kota wisata/ rekreasi, hutan kota konservasi dan hutan kota pusat kegiatan (Irwan, 2005). Menurut bentuknya, Dahlan (2004) membagi dalam lima bentuk, yaitu: jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya/ hutan raya/ kebun binatang dan hutan lindung. Sedangkan fungsi dari hutan kota, menurut Fandeli (2004) antara lain adalah: a) identitas kota; b) nilai estetika; c) penyerap karbondioksida (CO2); d) pelestarian

(37)

perkotaan yang memiliki satu atau dua kawasan industri yang menghasilkan limbah sehingga diperlukan beberapa jenis tanaman yang mampu menyerap polusi dari limbah tersebut; 3) Tipe rekreasi dan keindahan, maksudnya adalah rekreasi di alam terbuka, yang bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, agar siap menghadapi tugas baru; 4) Tipe pelestarian Plasma Nutfah, yaitu hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan dan melakukan perlindungan serta pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah adalah (a) sebagai tempat koleksi plasma nutfah, khususnya vegetasi secaraex-situ dan (b) sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan; 5) Tipe perlindungan, yaitu hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Hutan kota juga dibangun didaerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai; 6) Tipe pengaman yaitu jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan.

Liu dan Li (2011), mengungkapkan bahwa hutan kota memainkan peran penting dalam mengurangi pengaruh perubahan iklim dengan mengurangi karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Hal tersebut merupakan hasil dari penelitian Liu dan

kawan-kawan pada hutan kota di Shenyang kota industri berat di timur laut China. Sedangkan hasil penelitian Yangetal(2009), ditemukan bahwa hutan kota memiliki kemampuan potensial untuk menghilangkan polusi udara dari atmosfer.

2.3 Iklim Mikro

(38)

Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas antropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non kota. Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.

Data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim (Susanti dan Harjana, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan iklim kota dengan menggunakan model simulasi, salah satu faktor terpenting yang mudah mengurangi panas dalam kota adalah bertambahnya permukaan air dalam kota yang memungkinkan berlakunya proses penguapan atauevaporasi(Myrup, 1969). Berdasarkan hasil simulasi, penambahan luas permukaan bagi proses penguapan dari 0.0 sampai 0,5 ha dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 34,60C ke 26,20C. Implikasi kesimpulan ini adalah bahwa taman, air mancur, jalur hijau dan pohon di tepi jalan mempunyai kesan yang lebih baik daripada hanya sebagai penghias kota belaka, karena turut memberikan kesan sejuk dalam kota.

(39)

konstruksi bangunan kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan. Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunan-bangunan yang tinggi.

Kondisi bentang alam dimana suatu kota berada, akan memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara jelek, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi. Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shadetetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi.

(40)

yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0°C dengan kelembaban 66-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1°C dengan kelembaban 62-78%.

3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3–32,1°C dengan kelembaban 62 -78%.

Kehadiran tumbuhan atau vegetasi sangat diperlukan diperkotaan mengingat tumbuhan hijau akan menjaring CO2dan melepas O2kembali ke udara

melalui proses fotosintesis tumbuhan yang terjadi apabila ada sinar matahari dan dibantu oleh enzim, yaitu suatu proses dimana zat-zat anorganik H2O dan CO2

oleh klorofil diubah menjadi zat organik, karbohidrat serta O2 (Irwan, 2005).

Setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini mempersenyawakan sekitar 150 000 juta ton CO2dan 25 000 juta ton hydrogen dengan membebaskan 400 000 juta ton

oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450 000 juta ton zat-zatorganik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang

dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Diuraikan pula berdasarkan penelitian Kramer & Kozlowski (1970); Federer (1970) yang dikutip dari Grey dan Deneke (1976) bahwa tumbuhan juga disebut air conditioning (AC) alami karena sebatang pohon dapat menguapkan 400 liter sehari dalam proses evapotranspirasi, setara dengan 5 AC yang berkapasitas 2500 kcal/jam yang beroperasi selama 20 jam/hari. Pepohonan, semak-belukar dan rerumputan dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi.

(41)

disejuk-nyamankan, karena suhu dan kelembaban mempengaruhi kekuatan fisik, aktivitas dan mental seseorang (Dahlan, 2004).

2.4 Ameliorasi Iklim Mikro

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu hutan kota sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh hutan kota adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3 – 100C lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah tersebut (Forest Service Publications, 2003).

Elemen-elemen pokok iklim adalah penyinaran matahari, suhu udara, aliran udara, dan kelembaban, semuanya mempengaruhi kenyamanan hidup manusia dan penghuni lainnya di bumi (Grey dan Deneke, 1978). Berkat kemajuan teknologi, manusia dapat mengatur suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara dalam ruangan tertutup tetapi belum mampu mengatur iklim di ruang terbuka. Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi manusia melalui pengaturan suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara. Pohon-pohon dapat menahan dan menyaring sinar matahari, menjinakkan arus angin, menguapkan air dan mengurangi penguapan air tanah. Dengan demikian di bawah tajuk hutan kelembaban tinggi dan evaporasi lebih rendah.

(42)

dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton (Koto, 1991). Yoyo (1987) mendapatkan bahwa daerah penghijauan di Jakarta dengan sistem jalur suhu rata-rata siang hari hanya menurun 0,3-1,40C, sedangkan penghijauan dengan sistem populasi dapat menurunkan suhu udara siang hari dari 0,8-1,70C.

Ameliorasi iklim merupakan proses perbaikan iklim, sehingga diharapkan saat siang hari suhu tidak terlalu tinggi dan saat malam hari suhu tidak terlalu rendah di beberapa daerah tertentu. Sedangkan ameliorasi iklim mikro, berkaitan dengan perbaikan suhu pada tempat atau lokasi terbatas. Sebagai contoh, ameliorasi iklim mikro di hutan kota, berarti perbaikan suhu di sekitar hutan kota.

2.5 Model Pengembangan dan Analisis Sistem

Analisis sistem adalah sebagai metode penelitian dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan penyajian suatu sistem dengan menggunakan metode ilmiah, sehingga dapat dibentuk sebuah konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan serta menentukan strategi dan teknik pengambilan kebijakan. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai aplikasi metode ilmiah untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik-teknik untuk mempelajari, menggunakan dan membuat prediksi tentang sesuatu yang komplek, yang biasanya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematik dan statistik dengan komputer (Grantet al., 1997).

(43)

termasuk dalam operation research, suatu metode yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan.

Sistem sebagai seperangkat elemen yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Zubair, 1994). Sistem merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Dalam analisis seringkali hubungan ini dirancang menjadi lebih sederhana dalam bentuk model yang diartikan sebagai gambaran abstrak suatu sistem dunia nyata di mana hubungan antar elemen dinyatakan dalam bentuk hubungan sebab akibat.

Ide dasar permodelan dalam analisis sistem adalah menghubungkan fenomena dunia nyata dalam bentuk operasi matematik. Dengan demikian, model dapat merupakan suatu simbol yang merepresentasikan secara matematis suatu situasi yang diidealisasikan yang mempunyai ciri struktur penting dari dunia nyata. Dengan model, akan dapat lebih dipahami dan menjelaskan fenomena alam, dan dibawah kondisi yang sama dapat dipakai untuk menduga perilaku sistem.

Pendekatan sistem keras merupakan metode yang diawali dengan penerimaan dasar tujuan dengan pendefinisian yang benar dan spesifikasi masalah (Clayton dan Radcliffe, 1996). Metode sistem lunak (Methodology Soft System/MSS) adalah sistem pelatihan yang dipolakan untuk suatu sistem komplek yang didominasi manusia Checkland (1989).

Analisis sistem mengandung pengertian tentang cara pengorganisasian data dan teori secara logika berkenaan dengan perilaku sistem ke dalam model, menguji model untuk tujuan validasi dan pengembangan model, dan menggunakan model untuk menduga perilaku sistem di masa mendatang (Hartisari, 2005).

(44)

melakukan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, strategi dan teknik (Zubair 1994).

Tahapan pendekatan sistem meliputi: (1) Evaluasi kelayakan; (2) Pemodelan abstrak; (3) Rancangan implimentasi; (4) Implimentasi; dan (5) Operasi sistem. Evaluasi kelayakan menyangkut penurunan seperangkat alternatif sistem yang layak, yang mampu memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan. Dari alternatif sistem terpilih dirancang suatu model guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat. Penemuan peubah-peubah erat kaitannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Pencirian secara detail sistem dan atau strategi pengelolaan yang didesain dalam fase pemodelan dilakukan dalam rancangan implimentasi. Pada tahap implimentasi diberikan eksistensi fisik bagi sistem yang diinginkan. Operasi sistem merupakan sarana uji bagi kecukupan sistem. Tahap ini seringkali menunjukkan kelemahan-kelemahan yang memerlukan pengkajian kembali melalui modifikasi.

Esensi dari analisis sistem tidak hanya terletak pada kumpulan teknik kuantitatifnya, tetapi lebih pada strategi pemecahan masalah-masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara matematis ataupun statistik (Gambar 3).

Gambar 3. Perbandingan metode pemecahan masalah (Grantet al., 1997).

Banyak

Data

Sedikit

Banyak data

Pemahaman rendah

Banyak data

Pemahaman tinggi

Sedikit data

Pemahaman rendah

Sedikit data

Pemahaman tinggi

Analisis sistem dan simulasi

(45)

Pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Sebuah pengetahuan karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan urutan yang sesuai. Sebuah seni karena pemodelan mencakup bagaimana menuangkan persepsi manusia atau dunia nyata dengan segala keunikannya.

Tahapan pemodelan yang berbasis komputer (Purnomo, 2005), masih terbatas pada hard system dan berbasis komputer, dengan fase-fase sebagai berikut:

5. Identifikasi isu, tujuan dan batasan;

6. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow), diagramcase, diagram klas dan diagram sekuens;

7. Spesifikasi model, yaitu merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu;

8. Evaluasi model, yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada dan perlu;

9. Penggunaan model, yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau kebijakan, mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda ke depan.

2.6 Simulasi

Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa.

(46)

peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan (Siswosudarmo et. al.,2000). Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Penyusunan konsep: gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami, antara lain dengan jalan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, berhubungan dan saling berketergantungan.

b. Pembuatan model: model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik

c. Simulasi: simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar unsur dengan memasukan data atau informasi untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.

d. Validasi hasil simulasi: hal ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Struktur internal masalah dapat dipahami secara lebih rinci dengan memahami perilaku dan kecenderungannya. Pemahaman ini berguna untuk memperoleh solusi yang terbaik mengenai masalah yang dihadapi dalam manajemen dan memperkirakan kecenderungan keadaan di masa mendatang.

(47)

adalah bagaimana model tersebut bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemodelan yang dilakukan.

Penelitian ini akan mengikuti tahapan-tahapan simulasi model seperti pada Gambar 4. dan tentunya disesuaikan dengan kondisi aktual yang ada pada saat penelitian, baik kondisi lapangan maupun teknologi yang tersedia, sehingga diharapkan dapat memaksimalkan hasil penelitian yang dilaksanakan.

Gambar 4. Tahap-tahap simulasi model (Siswosudarmoet al.,2001)

2.7 Pemodelan Sistem Dinamik

Menurut Hartrisasi (2007), sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Sistem dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan-balik terhadap input. Sebaliknya pada sistem tertuutp, output memberikan umpan balik terhadap input. Sistem terbuka tidak menyediakan sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi

Gejala Proses

Model Penyusunan Konsep

Pembuatan Model

Simulasi

(48)

membutuhkan faktor dari luar (ekternal), sedangkan pada sistem tertutup sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi dapat dilakukan secara internal.

Model merupakan penyederhanaan sistem, hal ini disebabkan sistem sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya (Hartrisari, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa model disusun untuk beberapa tujuan, antara lain: pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, prediksi dan menunjang pengambilan keputusan.

Menurut Kakiay (2004) penggunaan model dan simulasi mempunyai keuntungan: 1) Menghemat waktu; 2) Dapat merentang-luaskan waktu; 3) Dapat mengawasi sumber-sumber yang bervariasi; 4) Mengoreksi kesalahan-kesalahan perhitungan; 5) Dapat dihentikan dan dijalankan kembali; 6) Besaran konstanta sistem dapat diubah-ubah untuk melihat pengaruhnya. Sedangkan kelebihan penggunaan model dan simulasi menurut Levin, et. al., (2002) adalah satu-satunya metode uji-coba yang tersedia karena pada lingkungan yang sesungguhnya sulit dilakukan uji-coba dan sulit diamati. Model yang dibangun harus mirip sistem nyata. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji verifikasi dan validasi model. Uji verifikasi adalah proses pemeriksaan apakah logika operasional model sudah sesuai dengan logika. Melalui uji verifikasi dapat dilakukan pemeriksaan apakah program komputer yang sudah disusun menghasilkan simulasi data yang sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan uji validasi merupakan uji dari model yang telah dibuat yang bersifat konseptual, sebagai sebuah representasi dari dunia nyata.

(49)
(50)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah administrasi Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah yang terletak di 1190 52’ 21,3” – 1200 57’ 24,2” Bujur Timur

dan 0035’ 13” –0053’ 24” Lintang Selatan (Gambar 5). Sumber : Bappeda Kota Palu, 2010

Gambar 5. Peta lokasi penelitian

(51)

3.2. Jenis Data dan Alat

Jenis data yang telah diambil dan sumber data penelitian ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jenis, sumber dan kegunaan analisis data

Jenis Data Sumber Kegunaan Analisis

Citra Landsat-7 ETM+ Kota Palu

path114row61 tahun 2005-2010

USGS (melalui BIOTROP) Mengetahui dinamika penutupan lahan 2. Dinas tata ruang kota Palu 3. BMKG Kota Palu

4. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja

5. Dinas Tata Ruang Kota Palu

Mengetahui sebaran RTH

Dalam penelitian ini alat dan bahan yang digunakan antara lain:

1. Thermo-Hygrometer, 2. Meteran dan anemometer,

(52)

4. Kamera digital, danvoice recording, 5. Kuestioner

6. Peta

Beberapa perangkat lunak yang digunakan untuk kebutuhan analisis data yaitu: ArcView 3.3, ERDAS imagin 8.5, CDP 3.04, perangkat lunak sistem dinamik yaitu Powersim Studio 2005,Minitab 14,Excel.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian dibagi dalam beberapa tahap kegiatan sesuai dengan tujuan Penelitian. Tahapan kegiatan, tujuan penelitian, metode penelitian dan analisis data, serta output penelitian secara ringkas disajikan pada Gambar 6 berikut:

3.3.1 Analisis Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan.

a. Metode Pengumpulan Data

Data primer yang didapatkan dalam penelitian ini adalah peta sebaran fungsi lahan, perubahan suhu, kecepatan arah angin dan kelembaban. Sedangkan data sekunder adalah data sosial seperti jumlah penduduk, dan data konsumsi listrik di Kota Palu.

b. Metode Analisis Data

(53)
(54)
(55)

3.3.1 Analisis Hubungan Perubahan Luas RTH dan Distribusi Suhu, Hubungan Jumlah Penduduk dan Penggunaan Listrik, serta Peran dan Kebutuhan RTH di Kota Palu.

a. Metode Pengumpulan Data

Pengukuran Suhu dan kelembaban udara di sembilan titik pengambilan sampling. Pengukuran dilakukan secara serentak, pada pukul 10.00 WITA dan masing-masing titik dilakukan pengukuran ulangan sebanyak 6 kali. Selain melakukan pengamatan langsung, dilakukan juga proses pengumpulan data citra dengan cara mengunduh diwebsite USGS melalui BIOTROP , analisis citra time series 1997-2010. Jenis penutupan lahan dan lokasi pengambilan contoh sampling disajikan dalam Tabel 5 dan Gambar 7.

b. Metode Analisis Data

Analisis perubahan penutupan lahan dilakukan dengan kegiatan pengolahan citra Landsat TM dan ETM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Pengolahan citra Landsat TM dan ETM meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi penutupan lahan, uji akurasi untuk hasil klasifikasi penutupan lahan. Untuk analisis distribusi suhu tidak dilakukan karena citra lansat yang ada rusak sehingga analisis suhu tidak valid untuk itu digunakan data BMKG series thn 1997-2010. Langkah-langkah dalam melakukan interpretasi citra dilakukan berdasarkan langkah-langkah berikut:

b.1. Koreksi Geometrik Citra Landsat

(56)

proses analisis. Adapun langkah-langkah pengkoreksian citra adalah sebagai berikut:

o Koreksi geometrik citra menggunakan titik ikat medan (GCP) pada citra Landsat yang akan dikoreksi dengan peta atau citra acuan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah citra tahun series 1997-2010 yang telah terkoreksi (proses georeferensi dari citra ke citra). Dari citra yang akan dikoreksi diambil koordinat filenya, dan citra acuan diambil koordinat lintang dan bujur pada lokasi yang sama.

o Pencarian harga error dari titik kontrol agar dapat diketahui tingkat kesalahan pengolahan, dengan harga error maksimum 0,1.

o Jika error mendekati 0,5 maka dapat dilakukan koreksi dengan interpolasi nearest neighbours.

b.2 Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan daerah penelitian. Pada penelitian ini citra yang telah terkoreksi dipotong dengan peta Batas Administratif Kota Palu yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Palu.

b.3. Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing yang menggunakan training sample. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan Band 5, 4, dan 2. Adapun langkah yang dilakukan adalah:

o Pengambilan Sampel

(57)

o Proses Klasifikasi

Klasifikasi dilakukan terhadap hasil sampling dengan menggunakan metode pengkelas kemiripan maksimum (maximum like hood classification). Metode klasifikasi pengkelas kemiripan maksimum yaitu metode mempertimbangkan kemiripan spektral dengan spektral maksimum suatu objek yang dominan akan dimasukkan menjadi satu kelas dan jika nilai spektralnya jauh dari maksimum akan dimasukkan ke dalam kelas lain. Pada proses klasifikasi ini akan diperoleh citra kelas penutupan lahan dan presentase penutupan lahan dari masing-masing kelas.

o Uji Akurasi

Proses uji akurasi hanya dilakukan pada pengolahan penutupan lahan. Kegiatan uji akurasi digunakan untuk menilai seberapa besar kesesuaian

(58)

Tabel 5. Lokasi pengambilan sampel iklim mikro

Lokasi Waktu

Jenis Penutupan Lahan

Posisi Geografis

Elevasi Dpl (m) LS BT

1 Ngata Baru 10.00 Hutan Rakyat 00° 55 16,5 119° 57 16,5" 317

2 Palupi 10.00 Permukiman 00° 55 39,6 119° 51 43,6" 70

3 Bayoge 10.51 Kebun Campuran 00° 55 00,1 119° 57 17,0" 49

4

Hasanudin

Pertokoan 10.40 Pertokoan 00° 53 55,5 119° 52 21,3 38

5

Hasanudin Taman Kota

10.37 Taman Kota 00° 53 47,2 119° 52 06 37

6 Jl. Sudirman 10.33 Jalan Raya 00° 53 36,9 119° 52 11,3" 28

7 S.T.Q 10.05

Hamparan Tumbuhan

00° 52 07,9 119° 53 16,5" 90

8 Tondo 10.13 Industri 00° 49 12,5 119° 52 55,6" 22

(59)
(60)

3.3.3 Membangun Model Hutan Kota di Kota Palu

Sistem dinamik digunakan untuk mensimulasikan perilaku interaksi antar sistem yang menentukan tingkat keberlanjutan kota-kota yang ada yang ditentukan oleh variabel biofisik sosial ekonomi dan lingkungan. Metode ini digunakan untuk menganalisis kompleksitas permasalahan pembangunan infrastruktur terpadu melibatkan banyak pihak (stakeholders) dan komponen-komponen dalam sistem tersebut sangat kompleks meliputi aspek lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan.

Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem secara operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Eriyatno (2003), permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resource). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan beberapa tahapan secara sistematis dan terintegrasi, secara diagramatik disajikan pada Gambar 8. Lebih lanjut Eriyatno (2003) menjelaskan, prosedur analisis sistem meliputi beberapa tahapan diantaranya analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi.

a. Analisis Kebutuhan

(61)

semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap perilaku sistem yang akan terjadi.

Gambar 8. Tahapan pendekatan sistem dalam penelitian

b. Formulasi Masalah

Terjadinya konflik kepentingan antara para pemangku kebijakan, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dari masing-masing pemangku kebijakan dengan adanya pengaruh dari pemangku kebijakan yang lain.

Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, secara geografis terletak diantara 0,360-0’,560” LS dan 119,450-121’,10” BT, merupakan kota

tropis yang memiliki bentang alam dengan kondisi biofisik dan panorama alam yang khas, membentang pada bagian Utara Lembah Palu dan Pesisir Teluk Palu.

Mulai

Analisis Kebutuhan

Formulasi Permasalahan

Identifikasi Sistem

A

A

Pemodelan Sistem

Implementasi

Selesai

Memuaska

Memuaskan

(62)

Letak geografis dan kondisi lansekap yang sedemikian ini menyebabkan Kota Palu sebagai daerah bayang-bayang hujan dengan curah hujan terendah di Indonesia. Di sisi lain, adanya kawasan terbuka berupa lahan kering yang ada pada sebagian pesisir teluk juga telah berkontribusi menghasilkan emisi radiasi permukaan yang secara simultan dengan pergerakan udara dari permukaan air laut di Teluk Palu berperan menghasilkan suhu udara yang tinggi utamanya di kawasan perkotaan pada siang hari. Hal ini akan ditambah dengan permasalahan trend percepatan pertumbuhan penduduk perkotaan, peningkatan mobilisasi penduduk dan pembangunan industri yang tentunya akan berimbas pula terhadap kenaikan suhu udara di perkotaan

Kondisi Kota Palu telah mengalami tekanan dan ancaman yang disebabkan oleh aktivitas industri dan kendaraan bermotor serta aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ekologis terutama iklim mikro sebagai penyeimbang dan penyerap polusi.

c. Identifikasi Sistem

Parameter rancang sistem adalah parameter-parameter yang mempengaruhi input sampai menjadi (transformasi) output. Tiap-tiap sistem memiliki parameter rancangan tersendiri, yang dapat berupa lokasi fisik, ukuran dari sistem dan komponennya, ukuran fisik dari sistem, serta jumlah dan tipe komponen dari sistem. Parameter rancang sistem cenderung konstan karena hal ini tidak dapat diubah tanpa penggantian sumberdaya. Dalam beberapa hal mungkin diharapkan untuk mengubahnya selama sistem berjalan untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik apabila ada perubahan kondisi lingkungan.

(63)

Gambar 9. Diagram sebab akibat (causal loop diagram) pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu.

Luasan

Hutan Kota

Pembanguna n Hutan Kota

Lahan Terbangun

+

-Kebutuhan Hutan Kota

+

+

Penduduk/

Manusia

+

+

Lahan Terbuka

-SUHU

-RTH

Penggunaan Listrik

+

-Lahan Pengembangan

-+

Gambar

Tabel 2. Luas RTH di Kota Palu menurut kecamatan tahun 2009
Tabel 3. Luas RTH kota Palu berdasarkan jumlah penduduk
Gambar 2. Fungsi RTH perkotaan
Gambar 3. Perbandingan metode pemecahan masalah (Grant et al.,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi adalah dengan mengatur penggunaan lahan existing sesuai mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan

Untuk penambahan kawasan hutan kota bisa memanfaatkan lahan-lahan berupa jalur hijau di seluruh ruas jalan yang ada di wilayah kota, pekarangan perumahan dan

Vegetasi hutan kota sangat dipengaruhi oleh komposisi pohon yang di tanam dalam areal hutan tersebut, yang di maksud dengan pohon adalah tumbuhan yang berkayu yang

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengukuran karbon tersimpan (carbon stock) di kawasan hutan kota Pendopo Gubernur dapat disimpulkan bahwa dengan luasan 3,2

Lahan semak belukar mempunyai kapasitas infiltrasi dengan kategori sedang cepat, dan lahan hutan kota, pekarangan, dan tegalan mempunyai kapasitas infiltrasi dengan kategori

Namun demikian, terdapat berbagai persoalan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta, antara lain yaitu: (1) aspek teknis, seperti konsep dasar pemilihan jenis pohon hutan kota

Landmark in Kota Tua Jakarta Area left and Medan Kesawan Area right Source: courtesy of class 2018 Kota Tua Jakarta The urban dimensions can be scategorised as morphology,

Considering the urban risk and combined with extreme weather and climate change trends in Jakarta, then this paper aims to model the potential spatial distribution of areas in Jakarta