V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan
Berdasarkan analisis penginderaan jauh Kota Palu tahun 1997 – 2010 diketahui distribusi tutupan lahan terbagi atas lima jenis, yaitu hutan, semak/belukar, pertanian lahan kering, ruang terbangun dan lahan terbuka (Tabel 10). Dari data tersebut terlihat bahwa tutupan lahan dari tahun ke tahun mengalami perubahan baik dari segi fungsinya maupun luasannya.
Berdasarkan prosentasi berdasarkan sebaran luasan RTH yang berupa hutan dari tahun 1997 hingga 2010 terjadi penurunan sebesar 7 653,9 ha (19,4%), dan terjadi peningkatan luasan lahan semak/belukar 6 400,99 ha dan lahan terbangun sebesar 2 658,8 ha (6,73%). Begitu pula pada luas lahan terbuka, terjadi penurunan sebesar 2 019,32 ha (5,1%) (Tabel 10). Secara umum di Kota Palu mengalami penurunan ruang terbuka hijau sebesar 1,6%, sedangkan lahan non RTH meningkat pula sebesar 1,6% (Tabel 10).
Tabel 10. Luas jenis penutupan lahan pada tahun 1997-2010
Tahun Luas (hektar) Hutan Semak / Belukar Pertanian Lahan Kering Lahan Terbuka Ruang Terbangun Total 1997 19 300,15 5 468,45 7 007,01 4 786,09 2 937,59 39 503,55 2005 18 243,82 6 286,02 7 899,29 2 316,21 4 753,93 39 503,55 2006 17 937,71 5 802,61 9 060,99 1 922,83 4 783,46 39 503,55 2007 14 548,25 10 998,97 5 663,86 3 496,24 4 791,88 39 503,55 2008 14 394,29 10 379,03 7 663,32 2 190,89 4 876,87 39 503,55 2009 12 649,92 12 825,17 5 219,73 3 596,68 5 216,09 39 503,55 2010 11 646,25 11 869,44 7 628,67 2 766,77 5 596,42 39 503,55
Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan telah terjadi pembabatan hutan dan perubahan alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan presentase luas RTH hutan di Kota Palu. Keberadaaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap, 2005).
Menurut Canadarma dan Kristanto (2006), pengembangan tata guna lahan di kota besar dapat berdampak pada kualitas udara di perkotaan, di mana dengan pengembangan area terbuka hijau akan berdampak positif bagi kualitas udara di perkotaan, karena sedikitnya area terbuka hijau dan kapasitas resapan tanah meningkatkan emisi serta suhu udara.
Mather (1974) serta Weng dan Yang (2004), menjelaskan bahwa pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota serta peningkatan suhu udara. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa efek termal dari pembangunan perkotaan yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1997, menyebabkan luas pulau bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Oleh karenanya upaya untuk membangun hutan kota menjadi salah satu solusi dalam mengameliorasi kondisi iklim mikro.
Jenis tutupan lahan hutan, semak/belukar dan pertanian lahan kering digolongkan dalam kelompok RTH. Sedangkan jenis ruang terbangun dan lahan terbuka dikategorikan kedalam non-RTH (Tabel 11).
Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997–2010
Tahun
RTH Non RTH Luas Total
Luas (Ha) % Luas (Ha) % (Ha)
1997 31 775,61 80,4 7 723,68 19,6 39 503,55 2005 32 429,13 82,1 7 070,14 17,9 39 503,55 2006 32 801,31 83,0 6 706,29 17,0 39 503,55 2007 31 321,08 79,3 8 178,12 20,7 39 503,55 2008 32 436,64 78,1 7 067,76 17,9 39 503,55 2009 30 694,82 77,7 8 812,77 22,3 39 503,55 2010 31 144,36 78,8 8 363,19 21,2 39 503,55
Dalam Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa antara tahun 1997 hingga 2005 terjadi peningkatan luas RTH yaitu dari 80,4% menjadi 82,1%. Fenomena ini juga terjadi antara tahun 2005 – 2006. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan luasan pada pertanian lahan kering yang sebelumnya merupakan lahan terbuka. Pada tahun 2007 terjadi penurunan prosentase RTH yang disebabkan oleh penurunan luas lahan pertanian lahan kering sedang luas lahan terbuka meningkat. Sedang pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan prosentase RTH akibat peningkatan luas lahan terbangun untuk peruntukan pemukiman dan sarana infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifin (2006) bahwa pengembangan wilayah kota seringkali tidak sejalan dengan perluasan ruang terbuka. Bahkan dijumpai di mana-mana dengan semakin besarnya kota seringkali RTH jalan, taman-taman, pekarangan, kebun-campuran, lahan pertanian dan bantaran sungai justru menjadi korban. Luasannya menjadi berkurang karena telah beralih fungsi.
Sedangkan menurut data laporan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu (RTRWK) tahun 2010–2030 bahwa luas kawasan RTH di Kota Palu saat ini baru
mencapai kurang lebih 1 280,5 ha atau kurang lebih 3,25% dari luas total kota Palu yang luasnya 39 503,55 ha (Tabel 12. dan Gambar 17).
Tabel 12. Luasan RTH di Kota Palu
No. Jenis RTH Wilayah Luas (Ha) Persentase (%)
1. Taman Kota Kec. Palu Timur, Palu Selatan
dan Palu Barat 6 0,47
2. Hutan Kota Kec. Palu Timur, Palu Selatan
dan Palu Barat 122.53 9,57
3. Pemakaman Umum dan Taman Makam Pahlawan
Kec. Palu Timur, Palu Selatan
dan Palu Barat 76 5,94
4. Arboretum Kelurahan talise 95 7,42
5. Daerah Penyangga Tahura Kelurahan Poboya 22 1,72
6. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Barat 208 16,24
7. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Timur 135 10,54
8. Daerah Penyangga Hutan Kec. Palu Utara 327 25,54
9. Daerah Penyangga Kawasan
Industri Hilir Kec. Palu Timur 79 6,17
10. Daerah Penyangga Kawasan
Industri Hilir Kec. Palu Selatan 58 4,53
11. Daerah Penyangga Kawasan
Perkandangan Ternak Kec. Palu Selatan 95 7,42
12. Lapangan Terbuka Hijau
Kec. Palu Utara, Kec. Palu Timur, Kec. Palu Barat, dan Kec. Palu Selatan
60 4,69
Total 1 280,5 100.00
Sumber: RTRWK Kota Palu, 2010
Data tersebut menggambarkan kondisi RTH kota Palu cenderung belum terdistribusi merata menyebar di pusat perkotaan, terutama dari hasil penelitian bahwa wilayah pemukiman, pusat pertokoan dan perkantoran yang kondisi suhu udaranya yang paling tinggi yaitu 35,1 – 35,70C, hal tersebut disebabkan adanya indikasi terjadinya alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan di seluruh pelosok Indonesia tidak lepas dari dari pengaruh kapitalisme global. Tuntutan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi telah mengorbankan keseimbangan alam yang pada akhirnya menimbulkan bencana ekologis (Kompas, 2007). Lingkungan perkotaan sudah menjadi hal yang penting dan mendesak untuk dikelola secara baik karena pada saat ini hampir 50% populasi terkonversi di wilayah perkotaan, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 60% pada tahun 2030. Kondisi itu akan menimbulkan dampak besar terhadap tidak hanya pada aspek sosial dan ekonomi, namun tentu saja juga terhadap lingkungan (Barja, 2007).
Dalam penjelasan Arifin (2011) bahwa sejak akhir tahun delapan puluhan telah muncul kota-kota baru. Kota baru merupakan “satelite city” yang dibangun
di wilayah sub-urban dan mengelilingi kota utama. Di dalamnya terdapat berbagai fasilitas khususnya yang berkaitan dengan pemukiman atau properti. Hadirnya kota baru memberi beragam dampak salah satunya perubahan tata guna lahan dan penutupan lahan yang sangat cepat, hal tersebut menyebabkan munculnya kota baru sedikit banyak akan memberi efek dalam mewujudkan kota hijau. Kota hijau sendiri berusaha untuk menyediakan ragam ekosistem yang bisa dipertahakan dengan rasio yang lebih baik. Keterhubungan ekologis yang diharapkan kota hijau menuntut tingkat pemahaman komunitas masyarakat tentang keberlanjutan yang baik serta partisipasinya dalam gerakan hijau.
Berdasarkan analisis citra secara spasial dalam bentuk peta diperoleh sebaran distribusi penutupan RTH pada tahun 1997 yang disajikan pada Gambar 20 (a dan b) bahwa persentase RTH sebesar 80,4% menyebar di semua wilayah kecamatan yang ada di kota Palu hingga tahun 2006 sebesar 83% terlihat warna Hijau tua untuk RTH hutan, warna hijau muda untuk lahan pertanian dan warna kuning untuk lahan semak belukar , sedang pada tahun-tahun berikutnya Gambar
18 (c,d,e,f dan g ) di pusat kota hanya didominasi oleh lahan terbangun dan lahan terbuka terlihat padagambar peta berwarna merah dan coklat. Dengan kata lain
Hutan
Lahan Terbuka
Pertanian Lahan Kering
Ruang Terbangun
Semak Belukar