• Tidak ada hasil yang ditemukan

ILMU MUKASYAFAH

Dalam dokumen 1-tawasul.pdf (Halaman 101-110)

ILMU MUKASYAFAH

Ilmu yang sedang diuraikan di atas adalah bagian dari ―Ilmu Mukasyafah‖8. Suatu pemahaman yang kedudukannya di dalam ‗rasa‘ (hati) bukan di dalam rasio(akal). Ilmu pengetahuan yang sangat luas dan bahkan tidak terbatas, bagaikan samudera yang tidak bertepi. Karena luasnya ilmu ini, maka di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sanggup ditampilkan dengan bahasa tulisan kecuali hanya dengan perumpamaan atau i'tibar.

Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa untuk memindahkan pengetahuan dari orang yang satu kepada orang yang lain membutuhkan suatu alat, dan sarana tersebut adalah bahasa. Sedangkan bahasa itu juga membutuhkan uraian dan penjelasan serta bukti-bukti dan dalil-dalil. Namun bagaimana halnya terhadap suatu tontonan misalnya—yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terlintas dalam benak siapapun. Bagaimana cara untuk menerangkan dan menguraikannya? Maka tidak ada cara lain kecuali dengan perumpamaan atau i'tibar. Al-Qur'an banyak

8

Ilmu yang mempelajari seluk beluk hati, apabila kinerja hati itu tumpul, berarti hatinya bodoh sehingga membutuhkan belajar. Sedangkan apabila kinerja hatinya tak terarah, berarti hatinya telah buta sehingga membutuhkan obat dan terapi bagi kebutaan hati. Di situlah ilmu mukasyafah menempatkan diri.

mencontohkan perihal tersebut, bahkan Allah  telah memerintah hamba-Nya untuk beri'tibar dengan firman-Nya:

―Beri'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan‖. (QS.al-Hasyr; 59/2)

Manusia hanya mampu beri'tibar dengan mengutip dalil-dalil naqliyah saja, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits tanpa mampu bertanya bagaimana atau berusaha minta penjelasan lagi kepada siapapun secara aqliyah. Ketika seorang hamba membaca isyaroh dari Allah  tentang hal yang ghaib tersebut melalui tamsil, maka mereka hanya mampu menampilkan tamsil itu dengan apa adanya. Allah  dalam hal ini hanya memberikan tamsil kepada hamba-Nya, agar mereka dapat memahami dan membayangkan terhadap sesuatu yang ditamsilkan itu sekedarnya saja sesuai kesanggupan imajinasinya yang terbatas.

Namun dalam kaitan ilmu mukasyafah ini yang terpenting ialah: ―Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhah melalui seluruh „amalan lahir‟, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya, bagaimana dengan itu seorang hamba berhasil mendapatkan futuh atau terbukanya matahati sehingga dapat mengetahui sesuatu yang semestinya samar bagi

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 103

orang lain, dengan pengetahuan itu hatinya menjadi semakin bertakwa kepada Tuhannya, itulah yang disebut „amalan batin‟. Adapun amalan batin yang derajatnya paling tinggi adalah Ma'rifatullah atau mengenal Allah . Jadi, ilmu mukasyafah itu bukan ilmu yang didapat dari membaca tulisan atau mendengar ucapan tetapi dihasilkan dari buah mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah.

Oleh karena ilmu mukasyafah adalah buah ilmu dan amal, maka cara mendapatkannya hanya dengan jalan beribadah kepada Allah . Itulah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya: ―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami‖ (QS.alAnkabut (29)69). Dengan hidayah yang telah dijanjikan tersebut, seorang hamba akan mendapatkan apa yang diharapkan dalam pelaksanaan ibadah yang dijalani atau thariqah. Buah toriqoh itu berupa cinta dan ma‘rifat kepada Tuhannya yang menghantarkan mereka kepada keridlaanNya baik di dunia maupun di akherat nanti.

Hal itu seperti yang tersirat dalam munajat yang mereka panjatkan pada setiap kali mereka melaksanakan wirid yang telah diistiqamahkan: “Wahai Tuhan kami, hanya Engkau tujuan kami dan ridla-Mu yang kami cari, maka berilah kami Ma‟rifat dan cinta kepada-Mu”. Artinya; Ma‘rifat dan Cinta itu

akan menjadi landasan amal ibadah untuk menggapai ridla Allah, sedangkan guru mursyid yang ditawasuli dijadikan sebagai pembimbing perjalanan agar perjalanan itu terjaga dari tipudaya setan.

Walhasil: Yang dimaksud Wasilah ibarat ―fasilitas‖ yang diberikan kepada seorang hamba yang sedang melaksanakan ibadah agar dengan ibadah tersebut dia sampai kepada yang dimaksud atau do‘a-do‘anya mendapatkan ijabah dariNya. Seseorang hamba akan mendapatkan ‗fasilitas ibadah‖ bilamana ibadah tersebut mereka laksanakan dengan ikhlas serta bertawasul kepada guru-guru Mursyid secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah .

Seorang penya‘ir tua berpuisi: H A T I

Ketika telah bertemu Dan cinta sudah menyatu Maka sekat dan hijab menjadi sirna

Jarak dan waktu tidak berguna Bagaikan laut ketika telah terbelah

Dan jalan setapak sudah terbuka Maka dua kekasih

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 105

Ma'iyah yang pertama yaitu di alam dunia merupakan sebab-sebab yang harus dibangun, sebagai perwujudan amal atau usaha yang harus dimulai sendiri oleh manusia. Sedangkan Ma'iyah yang berikutnya—di alam

barzah dan di hari akherat, adalah balasan dari amal yang sudah dijanjikan.

Adalah sunnatullah yang sudah ditetapkan sejak zaman azali. Merupakan fasilitas yang sudah tersedia. Siapapun dapat

memasukinya, asal memiliki syarat-syarat yang mencukupi.

ertawasul dalam arti menghadirkan guru- guru ruhaniah di dalam perasaan secara ruhaniah, itu dilakukan disaat seorang salik sedang melaksanakan dzikir dan wirid yang diistiqomahkan, merupakan bagian pelaksanaan ibadah yang disebut oleh para Guru Mursyid Thariqah dengan istilah Robithoh atau pertalian ruhaniah antara seorang murid kepada ruhaniah Guru-guru Mursyidnya hingga sampai kepada Rasulullah . Bertawasul seperti itu, jika diibaratkan orang menempuh perjalanan, maka supaya perjalanan itu lebih terarah kepada yang dituju. Adapun bagi seorang salik, supaya perjalanan ibadah yang dilaksanakan itu lebih mendapatkan kemudahan, perlindungan dan pertolongan untuk sampai (wushul) kepada Allah .

Kalau orang bertanya, ―Bolehkah orang yang yang sedang shalat menghadap Allah  itu, disaat itu juga dia ingat atau bahkan membayangkan makhluk?‖ Jawabannya ―Bukankah di dalam pelaksanaan (bacaan) ―at-Tahiyyat‖, orang yang sedang shalat itu diperintah ingat kepada Rasulullah

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 107

 dan ‗Ibadillahish sholihin (hamba Allah yang sholeh) dengan berucap salam kepada mereka. Hal itu membuktikan bahwa hakekat tawasul itu adalah perintah Allah yang sudah dilaksanakan dan dicontohkan oleh Baginda Nabi saw. dan juga sudah dikerjakan oleh setiap orang yang mengerjakan sholat. Dengan Tawasul tersebut supaya intensitas rasional orang yang sedang beribadah lebih terkendali dalam jalur yang benar.

Hal itu disebabkan, karena ketika seorang hamba melaksanakan ibadah dengan pancaran spiritual yang penuh sehingga kekuatan emosional menjadi lemah, maka rasionalitas sering kali mengajak berjalan-jalan di padang hayalan. Bahkan kunci almari yang hilang beberapa hari yang lalu terkadang ditemukan di dalam shalat itu. Untuk itu, supaya rasionalitas tidak lari kesana kemari, maka intensitasnya dikendalikan dengan mengingat guru-guru ruhaniah yang membimbing perjalanan ibadah. Bukankah Rasulullah  juga telah bersabda yang artinya: ―Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku sedang mengerjakan shalat‖. Lalu kapan kita pernah melihat Rasul  mengerjakan shalat secara fisik, sehingga shalat beliau dapat dibayangkan dalam rasional kita? Oleh karena tidak dapat membayangkan shalat Rasul secara langsung, maka para salik tersebut membayangkannya melalui shalat guru-guru mursyid yang telah membimbingnya secara langsung. Dengan itu supaya pancaran

rasionalitas terarah kepada shalat Baginda Nabi . Inilah salah satu metode para guru mursyid dalam membimbing shalat dan ibadah murid-muridnya. Dengan cara yang demikian itu, shalat murid-muridnya dapat terarah kepada jalan kekhusyu‘an yang hakiki.

Kalau ada orang mengatakan bahwa perbuatan seperti itu adalah perbuatan syirik, itu disebabkan karena orang tersebut membayangkan makhluk padahal dia sedang menghadap kepada Allah , maka jawabannya ialah; ―Selama orang mengerjakan shalat yang terkadang hanya dilakukan sepuluh menit, dapatkah mereka tidak ingat apa-apa selain hanya kepada Allah ? Bukankah tidak ada yang sanggup melakukan?‖. Kalau demikian, apakah orang yang di dalam shalatnya ingat bisnis, ingat sandal yang diletakkan diteras masjid karena takut hilang, bahkan kadang shalatnya di Semarang pikirannya mengajak jalan-jalan ke Mekkah? Apakah yang demikian itu berarti mereka telah berbuat syirik? Kalau benar, siapakah di dunia ini yang tidak berbuat syirik di saat sedang mengerjakan shalat?. Sesungguhnya Tawasul adalah solusi yang evektif agar manusia mampu melaksanakan shalat dengan khusyu‘.

Manakala Tawasul diibaratkan mengendarai kendaraan yang dapat membawa orang yang sedang

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 109

beribadah sampai kepada tujuan dengan nyaman, maka jalan-jalan yang dilewati dengan Tawasul itu terdapat beberapa jalur pilihan: (1) Jalur SEBAGAI TEMAN YANG BAIK; (2) Jalur SEBAGAI SAKSI; (3) Jalur SALING MELEPAS RINDU; (4) Jalur JAMINAN DITERIMANYA TAUBAT; (5) Jalur SEBAGAI PENGAMAT; dan (6) Jalur JALUR WALAYAH.

Pilihan Jalur Tawasul:

(1) Jalur SEBAGAI TEMAN YANG BAIK (2) Jalur SEBAGAI SAKSI

(3) Jalur SALING MELEPAS RINDU (4) Jalur JAMINAN DITERIMANYA TAUBAT

(5) Jalur SEBAGAI PENGAMAT (6) Jalur JALUR WALAYAH.

Dalam dokumen 1-tawasul.pdf (Halaman 101-110)