• Tidak ada hasil yang ditemukan

SYAFA‟AT DI DUNIA

Dalam dokumen 1-tawasul.pdf (Halaman 70-81)

Orang yang bertawasul adalah orang hidup sedangkan orang yang diTawasuli—dalam hal ini Rasulullah , adalah orang yang sudah wafat. Jadi, yang dimaksud dengan bertawasul secara ruhaniah adalah melaksanakan ―Interaksi ruhaniah‖ antara orang yang masih hidup dengan orang mati. Tawasul tersebut dilakukan dengan tujuan untuk tercapainya kebersamaan dalam rasa dan nuansa secara ruhaniah di saat orang tersebut beribadah kepada Allah . Hal itu untuk meleksanakan dan menindaklanjuti perintah Allah  yang dinyatakan melalui firman-Nya:

―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang shiddiq‖. (QS.at-Taubah: 9/119)

Interaksi ruhaniyah tersebut adalah hal yang memang bisa dimungkinkan. Orang hidup dapat berinteraksi secara ruhaniyah dengan orang mati, karena kemungkinan itu telah dinyatakan Allah dengan firmanNya:

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 71

―Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang yang gugur di jalan Allah (mereka itu) mati, bahkan mereka (sebenarnya) hidup, akan tetapi kamu tidak bisa merasakan‖. (QS.al-Baqoroh: 2/154)

Oleh karena setiap orang yang melaksanakan perintah Allah  adalah ibadah dan setiap ibadah yang ikhlas pasti mendapatkan pahala, maka pahala pertama yang diberikan Allah  kepada orang yang melaksanakan tawasul secara ruhaniah tersebut adalah mendapatkan ‗rahasia syafa‘at‘ dari yang diTawasuli, yakni dari Rasulullah . Rahasia syafaat tersebut berupa kemudahan di dalam melaksanakan ibadah maupun penerimaan ibadah itu di sisiNya. Itulah wujud syafa‘at Nabi di dunia. Kedudukan syafa‘at di dunia itu kemudian menjadi sebab supaya dengan itu seorang hamba mendapatkan akibat yang baik yaitu syafa‘at di akherat.

Dengan berkat adanya syafa‘at di dunia tersebut, sehingga interaksi ruhaniyah antara seorang pengikut dengan yang diikuti dapat terkondisikannya, maka seorang salik terfasilitasi dapat merasakan manisnya beribadah karena ibadah tersebut dapat dilaksanakan dengan khusu‘. Ibadah itu adalah ibadah yang mampu menangkis segala tipu daya setan dan dorongan nafsu syahwat manusiawi serta aktifitas rasional yang melalaikan. Dengan yang demikian itu maka do‘a dan munajat seorang hamba mendapatkan ijabah dari Allah .

Sebagian besar orang mengartikan istilah ―Mati‖ di dalam ayat di atas terjebak secara leksikal yakni sebagai ―batas perpisahan‖ antara alam kehidupan dan alam kematian. Mereka mengira dengan mati itu, mereka akan dipisahkan dari apa-apa yang mereka cintai. Akibatnya, semua orang menghindari kematian. Padahal, meskipun kematian itu dihindari, apabila ajalnya sudah datang, sedikitpun mati itu tidak dapat diundur ataupun dimajukan. Sesungguhnya hakekat mati itu bukan batas antara kehidupan dan kematian, akan tetapi batas antara dua alam kehidupan. Yang satu kehidupan di alam dunia dan satunya kehidupan di alam barzah. Masing-masing dua alam itu sejatinya masih berkaitan dengan erat. Namun, oleh karena orang hidup di alam dunia tidak dapat merasakan kehidupan alam barzah, maka batas pergantian dua kehidupan itu dianggap sebagai terputusnya kehidupan atau mati.

Bagi orang-orang yang tidak percaya dengan kehidupan akherat, sehingga kehidupan dunianya hanya dirasakan sebagai kesenangan duniawi saja, maka saat matinya berarti mereka akan dipisahkan dengan segala yang dicintainya, dan sesudah matinya mereka akan dipenjarakan di dalam siksa kubur yang dahulu diingkari. Hal itu disebabkan, oleh karena kebebasannya sudah dihabiskan hanya untuk memperturutkan kemauan nafsu syahwat belaka,

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 73

maka di alam barzah kebebasan itu sudah tidak ada lagi baginya.

Adapun orang yang beriman dan beramal sholeh serta yakin dengan kehidupan akherat, sehingga kehidupan dunianya hanya dijadikan sebagai perladangan untuk hari akherat, maka setelah matinya, berarti mereka memasuki saat panennya. Di alam barzah mereka akan menuai apa-apa yang selama ini telah ditanam di dunia. Mereka akan memasuki kemerdekaan hidup karena selama di dunia kemauan nafsu sahwatnya selalu dipenjarakan oleh kepentingan kehidupan akherat. Di alam kemerdekan itu akan terbuka peluang bagi orang

yang mendapatkan kemerdekaan,—sebagai

sunnatullah yang sudah ditetapkan—mereka dapat bertemu dan berkomunikasi dengan teman-temannya yang hidup, hanya saja sebagian besar manusia yang hidup itu tidak dapat merasakan kehadiran mereka.

Dalam ayat tersebut difirmankan: Wa laakin la tasy‘uruun (َنوُزُعْشَت اَل ْهِكَلَو) yang artinya ―akan tetapi kamu tidak dapat merasakan‖, ini menunjukkan bahwa ―interaksi ruhaniah‖ tersebut benar-benar ada. Namun demikian, oleh karena sebagian manusia tidak dapat merasakannya, maka mereka memungkirinya. Adapun bagi sebagian orang yang dikehendaki, berkat latihan panjang yang terbimbing oleh guru-guru ahlinya, baik dengan

dzikir, fikir, mujahadah dan riyadhah, ketika latihan-latihan itu mampu membuahkan hasil dan menghidupkan ruhaniah, mampu melebur segala karat-karat dosa yang selama ini menutupi matahati, menyepuh karakter yang tak terpuji sehingga orang mendapatkan futuh atau terbukanya matahati yang ada di dalam dada, juga berkat syafa‘at dari para guru-guru Mursyid yang berhak menyampaikannya, dengan izin Allah  mereka dapat merasakan ―interaksi ruhaniah‖ itu secara langsung saat di dunia.

Itu adalah buah ibadah—sebagai syafa‘at yang diturunkan di dunia, ketika seorang hamba telah mampu meredam kemauan basyariah, dengan izin Allah , matahati yang ada di dalam dada dapat merasakan apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Allah  yang menciptakan sunnah-Nya, maka hanya Allah  pula Yang Maha Kuasa untuk menciptakan perubahan bagi seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Wa Allahu A‘lamu.

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 75

Syafa‘at yang telah menyelamatkan banyak orang yang terlanjur

mendapat siksa di Neraka

Jahanam, ternyata bukan langsung dari Rasulullah  , akan tetapi diterima melalui guru-guru Mursyidnya yang dahulu telah mempunyai kepedulian kuat kepada anak asuh dan murid-muridnya serta bersama-sama dalam melaksanakan ibadah dan pengabdian yang hakiki kepada Allah 

Itulah buah ibadah sebagai syafa‘at yang diturunkan di dunia, ketika seorang hamba telah mampu meredam kemauan basyariah, dengan izin Allah , matahati yang ada di dalam dada dapat merasakan apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala

Ketika sebagian besar kalangan mengartikan ―mati‖ sebagai batas perpisahan antara alam kehidupan (alam hayat) dengan alam kematian (alam maut). Yang satu hidup dengan bebas di dunia dan satunya mati, kembali menjadi tanah untuk selama-lamanya, sehingga sejak itu kedua alam itu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Tidak bisa saling memberikan kemanfaatan dan kegembiraan, tidak bisa saling berucap salam, sehingga segala ucapan sholawat dan salam kepada baginda Nabi  yang sudah wafat berarti sia-sia, mendo‘akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal dan tidak sampai, Tawasul dan ziarah kubur dianggap perbuatan syirik, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang kafir yang mereka lahirkan melalui pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhannya. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya:

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 77

―Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap

(hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?‖. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya‖. (QS. as-Sajadah: 32/10)

Sebagian teman seagama mengira, setelah orang mati, maka tidak ada lagi hubungan dengan orang-orang yang masih hidup di dunia,… selesai dan bahkan orang yang mati itu tidak dapat dido‘akan oleh siapapun kecuali oleh anaknya sendiri yang sholeh. Sedangkan bagi orang lain, sejak itu mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk saudaranya yang sudah mati tersebut, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas dari seluruh kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami yang demikian itu dari apa yang telah dinyatakan oleh sebuah Hadits Nabi  yang sangat masyhur yang artinya: ―Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo‘akan kepadanya‖. Oleh karena cara mengartikan hadits ini kadang-kadang dengan tujuan yang berlebih-lebihan, bahkan hanya untuk melampiaskan kebencian dan permusuhan, maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah.

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah  menyatakan ―terputus amalnya‖ (In qotho‘a ‗amaluhu) bukan ―terputus kemanfaatannya‖ (In qotho‘a Naf‘uhu). Kalau seandainya Nabi  mengatakan

terputus kemanfaatannya, maka benar bahwa orang yang sudah mati tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup tidak sampai kepada orang-orang yang sudah mati. Akan tetapi Rasul  mengatakan ―terputus amalnya‖, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati akan terputus amalnya. Sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup di dunia.

Jika teman-teman itu mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya maksud hadits itu adalah sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi menganjurkan supaya orang yang masih hidup mau mendo‘akan orang yang sudah mati, karena sejak saat itu, temannya yang sudah mati itu tidak dapat mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali dari tiga hal yang tersebut di atas. Itu pun, manakala orang yang sudah mati itu memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do‘a-do‘a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan di alam kubur. Keadaan itu seperti orang yang hidup di penjara menunggu kiriman dari keluarganya yang ada di luar. Seperti pasien yang mondok di rumah sakit merindukan temannya menjenguk.

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 79

Allah  telah memerintahkan agar seseorang mendo‘akan orang lain dengan firman-Nya:

―Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui‖.

(QS. at-Taubah: 9/103) Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa mendo‘akan orang lain, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, do‘a itu pasti akan sampai kepada yang dido‘akan, yaitu berupa ketenangan di dalam batin bagi orang yang dido‘akan. Bahkan (sudah dimaklumi) bahwa termasuk menjadi syarat syahnya shalat Jum‘at, khotib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

Bahkan pahala orang-orang yang sudah mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena tapak tilas perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh orang lain serta dari do‘a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang, karena saat itu segala

aktifitas kehidupan dunia sudah berakhir. Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya:

―Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan‖.

MENCARI JATI DIRI - Jilid 1 81

PERTEMUAN

Dalam dokumen 1-tawasul.pdf (Halaman 70-81)