• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Program LARASITA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

4. Implementasi Kebijakan Program LARASITA

Dalam setiap perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi, maka tidak akan banyak berarti. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian implementasi menurut para ahli.

Pengertian pelaksanaan kebijakan, dikemukakan oleh Syukur Abdullah (1987: 10), adalah :

“Suatu rangkaian tindak lanjut, setelah sebuah rencana dan kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah strategi maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program ataupun kebijaksanaan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula”.

Adapun definisi Pelaksanaan (Implementasi) menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983; 61) sebagaimana yang dikutip dalam buku Leo Agustino (2006;139), yaitu :

“Pelaksanaan (implementasi) kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yangingin dibatasi, menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.

Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002; 102) membatasi pelaksanaan (Implementasi) sebagai :

“Tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarhakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya”.

Elmore (1978) juga mengidentifikasikan komposisi utama dalam implementasi yang efektif sebagai berikut.

Elmore identified four main igredients for effective implementation 1. clearly specified tasks and objectives that accurately reflect the intent of policy; 2. A management plan that allocates tasks and performances standarts to sub unit , 3.an objective means of measuring sub unit performance; and 4. A system of management controls and social sanctions sufficient to hold subordinates accountable for their performance. Failures of implementation are, by definition, lapses of planning, specification and control.” (Paudel, 2009:45-46, vol XXV) (Elmore mengidentifikasi empat komposisi utama implementasi yang efektif: 1.Penentuan kejelasan tugas dan tujuan yang secara akurat mencerminkan maksud dari kebijakan; 2. Sebuah rencana manajemen yang mengalokasikan tugas dan pertunjukan standarts ke sub bagian 3. tujuan berarti mengukur sub unit kinerja, dan 4. Sebuah sistem pengendalian manajemen dan

sanksi sosial yang cukup untuk menahan bawahan bertanggung jawab atas kinerja mereka. Kegagalan implementasi, menurut definisi, penyimpangan perencanaan, spesifikasi dan kontrol).

Secara lebih rinci, Scott Fritzen mengidentifikasikan masalah dalam implementasi dalam 6 hal diantaranya policy design, inter-organizational communication and enforcement activities, characteristics of the implementing agencies/disposition of implementers, implementation outputs and outcomes/impacts, policy learning, dan action environment (Fritzen, 2003:6-7).

Lebih lanjut Fritzen menjelaskan mengenai kerangka konseptual untuk mengidentifikasi kendala implementasi sebagai berikut.

The conceptual framework presented here is a way of structuring inquiry into observed implementation patterns of a particular

policy. It incoporates some elements of both classically “top

-down” and “bottom up” approaches. The framework can be used

to identify specific implementation constraints (as the top- down model stresses), but focuses much attention onto the institutional environment at the local level and the dynamic impacts (often unpredicted) of implementation.

(Kerangka konseptual yang disajikan di sini adalah cara penataan penyelidikan pola pelaksanaan diamati kebijakan tertentu. Ini terdiri dari beberapa kedua unsur pendekatan klasik yaitu " top-down" dan “bottom up”. Kerangka ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kendala implementasi spesifik (sebagai model

top-down tekanan), tetapi berfokus banyak perhatian ke lingkungan kelembagaan di tingkat lokal dan dampak dinamis (sering terjadi ketidakpastian implementasi).

Fritzen memberikan penjelasan bahwa implementasi memiliki dampak yang dinamis dan sering tidak terduga, dalam penekanan implementasi kebijakan top-down dalam perhatian khusus terhadap lingkungan institusi.

Dalam bukunya yang berjudul Implementing Public Policy yang diterbitkan tahun 1980, Edwards III menyatakan bahwa proses implementasi sebagai :

“…the state of policy making between the establishment of a

policy (such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the promulgation of a regulatory rule) and the consequences of the

policy for the peple whom it effect.” (Edwards, 1980 : 1)

(....pembuatan kebijakan adalah antara pendirian kebijakan (seperti tindakan legislasi, eksekusi, dan keputusan yudisial) dan konsekuensi kebijakan bagi masyarakat terdampak)

Implementasi menurut Edwards, diartikan sebagai tahapan dalam proses kebijaksanaan yang berada diantara tahapan penyusunan kebijaksanaan dan hasil atau konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan itu (output, outcome). Yang termasuk aktivitas implementasi menurutnya adalah perencanaan, pendanaan, pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan, negosiasi dan lain-lain.

George Edwards III (1980), menjelaskan tentang implementasi sebagai : “... the key issue of policy is the lack of attention toward public

policy’s implementation,it is stated strongly that without an

effective implementation, the decision of policymakers will not be successfully carried out. Hence, Edward suggested to put attention toward four key issues: communication, resource, disposition of

attitudes, and bureaucratic structures.” (Nugroho, 2012:191) (...isu utama kebijakan adalah kurangnya perhatian terhadap implementasi kebijakan publik. Ditegaskan dengan kuat bahwa tanpa implementasi efektif, keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil diwujudkan. Oleh karena itu Edwards menekankan untuk memperhatikan empat isu utama, yaitu komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi)

Keempat variabel tersebut adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap pelaksana, dan struktur birokrasi, yang keseluruhannya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi.

a. Komunikasi. Ada tiga hal dalam komunikasi ini yang perlu mendapatkan

perhatian, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.

1) Transmisi. Sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan harus disalurkan pada pejabat yang akan melaksanakannya. Seringkali masalah transmisi terjadi manakala pelaksana tidak menyetujui kebijakan (disposisi) tersebut dengan mendistorsikan perintah kebijakan atau bahkan menutup komunikasi yang diperlukan. Masalah transmisi juga terjadi manakala kebijakan yang akan diimplementasikan harus melalui struktur birokrasi yang berlapis atau karena tidak tersedianya saluran komunikasi yang memadai (sumberdaya).

2) Kejelasan (Clarity). Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat diimplementasikan sebagaimana yang telah diputuskan. Namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Ada berbagai alasan yang menyebabkan sebuah kebijakan tidak dirumuskan secara jelas, diantaranya adalah sebagai berikut :

a) kerumitan dalam pembuatan kebijakan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, sehingga mereka cenderung menyerahkan detil pelaksanaannya pada bawahan;

b) adanya opisisi dari masyarakat atas kebijakan tersebut;

c) kebutuhan mencapai konsensus antara tujuan yang saling bersaing saat merumuskan kebijakan tersebut;

d) kebijakan baru yang para perumusnya belum terlalu menguasai masalah (tentang ini sering dikatakan sebagai upaya untuk menghindar dari tanggung jawab);

e) biasanya terjadi pada kebijakan yang menyangkut aturan hukum. 3) Konsistensi. Implementasi yang efektif selain membutuhkan komunikasi

yang jelas, juga yang konsisten. Proses transmisi yang baik namun dengan perintah yang tidak konsisten akan menyebabkan membingungkan pelaksana. Banyak hal yang bisa menyebabkan arah kebijakan menjadi tidak konsisten seperti beberapa hal berikut.

a) kompleksitas kebijakan yang harus dilaksanakan;

b) kesulitan yang biasa muncul saat memulai implementasi sebuah kebijakan baru;

c) kebijakan memiliki beragam tujuan dan sasaran, aau kadang karena bertentangan dengan kebijakan yang lain;

d) banyaknya pengaruh berbagai kelompok kepentingan atas isu yang dibawa oleh kebijakan tersebut.

b. Sumberdaya. Sumberdaya yang diperlukan dalam implementasi menurut

Edwards III adalah :

1) Staff, yang jumlah dan skills (kemampuannya) sesuai dengan yang dibutuhkan;

2) Informasi.Informasi berbeda dengan komunikasi. Yang diperlukan di sini adalah informasi yang terkait dengan bagaimana melaksanakan kebijakan tersebut (Juklak-Juknis) serta, dan data yang terkait dengan kebijakan yang akan dilaksanakan;

3) Kewenangan. Kewenangan yang dibutuhkan dan harus tersedia bagi implementor sangat bervariasi tergantung pada kebijakan apa yang harus dilaksanakan. Kewenangan tersebut dapat berwujud: membawa kasus ke meja hijau; menyediakan barang dan jasa; kewenangan untuk memperoleh dan menggunakan dana, staf, kewenangan untuk meminta kerjasama dengan badan pemerintah yang lain.

4) Fasilitas. Kendati implementor telah memiliki jumlah staf yang memadai, telah memahami apa yang diharapkan darinya dan apa yang harus dilaksanakan, juga telah memperoleh kewenangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan, namun tanpa fasilitas fisik yang memadai, implementasi juga tidak akan efektif. Fasilitas fisik ini beragam tergantung pada kebutuhan kebijakan : ruang kantor, komputer.

c. Disposisi. Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap

kebijakan atau program yang harus mereka laksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat dan komitmen yang tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Terdapat tiga unsur utama yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yaitu:

1) Kognisi yaitu seberapa jauh pemahaman pelaksanaan terhadap kebijakan. Pemahaman terhadap tujuan kebijakan sangatlah penting bagi aparat pelaksana lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif. Ketidakmampuan administratif dari pelaksana kebijakan yaitu ketidakmampuan dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang disampaikan oleh masyarakat dapat menyebabkan pelaksanaan suatu program tidak efektif.

2) Arahan dan tanggapan pelaksanaan, hal ini meliputi bagaimana penerimaan, ketidakberpihakan maupun penolakan pelaksana dalam menyikapi kebijaksanaan.

3) Intensitas respon atau tanggapan pelaksana. Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi tindakan-tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi dan kepentingan pribadi yang ingin mereka capai. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan terdapat suatu kemungkinan dari pelaksana untuk membelokkan apa yang sudah ditentukan demi kepentingan pribadinya, sehingga dengan sikap pelaksana tersebut dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya.

d. Struktur birokrasi. Struktur Birokrasi adalah mekanisme kerja yang dibentuk

untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya

diantara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu institusi. Ia juga mengingatkan bahwa adakalanya fragmentasi diperlukan manakala implementasi kebijakan memerlukan banyak program dan melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya.

Kajian dalam penelitian ini mengaplikasikan teori implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Edwards III. Teori ini dipakai karena konstruksi teoritik Edwards III didorong oleh 2 pertanyaan terkait faktor yang mendukung keberhasilan kebijakan dan yang menghambat keberhasilan kebijakan. Entry point

yang dipakai oleh Edwards III memiliki relevansi langsung dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

Berdasarkan teori implementasi Edwards III, implementasi Program LARASITA dapat dianalisis dalam konstruksi sebagai berikut :

Variabel komunikasi mencakup ; 1) keterbukaan informasi tentang kebijakan. 2) akurasi penyedia layanan Program LARASITA dalam memberi kemudahan publik untuk melakukan interaksi baik internal maupun eksternal. 3) Pelaksanaan komunikasi berdasarkan TUPOKSI. 4) Kejelasan informasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya perbedaan persepsi. 5) keakuratan penyampaian kebijakan sehingga bisa dijalankan secara bertanggung jawab.

Variabel sumber daya mencakup : kepegawaian, keuangan, kewenangan, dan sarana prasarana. Berkaitan dengan akurasi sumber daya Pelayanan dalam Program LARASITA, sehingga publik dapat langsung beraspirasi kepada pihak yang berkompeten. Kemudahan akses publik terhadap dalam layanan Program

LARASITA sesuai kemanfaatannya. Pengelolaan sumber daya dalam Program LARASITA secara tepat guna serta renstra sumber daya dan laporannya.

Variabel disposisi/sikap mencakup; 1) kesiapan untuk melakukan evaluasi baik internal maupun eksternal. 2) akurasi kewenangan sehingga tidak menciptakan overlapping yang dapat membingungkan publik. 3) perilaku menjunjung tinggi kewenangan. 4) pemahaman terhadap TUPOKSI sehingga bisa melaksanakan program dan kegiatan secara bertanggung jawab.

Variabel struktur brokrasi mencakup : 1) Tersampaikannya informasi tentang SOP kepada publik seluas-luasnya sebagai acuan bagi terjadinya interaksi antara birokrasi dengan publik. 2) Akurasi pelaksanaan SOP sehingga program dan kegiatan dapat berjalan sesuai dengan alur yang ada dan dapat memperlancar pelaksanaan program dan kegiatan. 3) Penempatan TUPOKSI sebagai baseline

penyusunan SOP sebagai acuan pelaksanaan program dan kegiatan. 4) Kejelasan SOP sehingga dapat meminimalisir kerancuan-kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dan 5) Renstra, laporan evaluasi diri, dan laporan akuntabilitas.

Dokumen terkait