• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan

Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata. Sedangkan implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Untuk melaksanakan program pembangunan, Pemerintah menuangkannya ke dalam berbagai kebijakan. Konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli sangat bervariatif bentuknya, sebagaimana Dunn (1994) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not todo) guna menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Anderson (1975) mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan sejumlah aktor Pemerintah dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan. Selanjutnya memberikan definisinya bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sementara Jones (1977), menekankan kebijakan publik terdiri dari komponen-kompenen:

1) Goal atau tujuan yang diinginkan

2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan

3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,

membuat rencana, melaksanakan dan mengevalusi program 5) Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak).

Untuk dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn (1944) mengatakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu:

1. Menetapkan agenda kebijakan (agenda setting) 2. Merumuskan kebijakan (policy formulation)

3. Mengadopsi kebijakan (policy adoption)

4. Pelaksanaan/implementasi kebijakan (policy implementation) 5. Penilaian dan evaluasi kebijakan (policy assesment and evaluation).

Dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas, dapat dipahami bahwa kebijakan publik merupakan suatu yang abstrak dan tidak memberikan out comes terhadap tujuan organisasi Pemerintahan, bilamana tidak diwujudkan dalam karya nyata. Artinya implementasi merupakan instrumen kunci dalam mewujudkan kebijakan yang telah dirumuskan. Implementasi adalah tahapan yang mutlak dilakukan dalam proses kebijakan publik secara sistematis (public policy process). Pelaksanaan atau implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 448) ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya). Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:

a. Tujuan yang akan dicapai

b. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan. c. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

e. Strategi pelaksanaan.

Menurut Edward III, dalam Nugroho (2003), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

b. Sumber daya (Resources) c. Sikap pelaksana (Disposition) d. Komunikasi (Communication)

Pelaksanaan Kebijakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan dan mengerahkan segenap sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini pengawasan atau monitoring dapat dilakukan. Tahapan implementasi atau pelaksanaan kebijakan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dan disahkan dengan membentuk dan memberikan kewenangan atau otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program ataupun proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Setiap kebijakan apakah itu menyangkut program atau proyek yang telah dirumuskan dan ditetapkan senantiasa diikuti oleh pelaksanaan atau implementasi yang merupakan penerjemahan terhadap apa yang telah dirumuskan dalam perencanaan pembangunan.

Dalam hal ini, implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.

Dalam proses kebijakan publik, suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar dapat merealisasikan dampak atau tujuan yang dinginkan. Dunn (1998: 24-25) menganjurkan bahwa setiap tahapan proses kebijakan publik dari tahapan penyusunan agenda (agenda setting) sampai evaluasi kebijakan (policy evaluation), termasuk dalam hal ini adalah tahapan implementasi kebijakan (policy implementation), perlu dilakukan analisis. Analisis dalam hal ini tidaklah sama dengan proses evaluasi kebijakan. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah: lebih baik perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaannya salah atau bias, dari pada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini memberi arti penting kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implementasi yang tepat bagi proyek pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah teragregasi berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat melalui implementasi.

Tahjan dalam Nugroho (2003), menekankan bahwa unsur-unsur penting yang mutlak dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah;

a. Unsur pelaksana; artinya ada implementator kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, pelaksana operasional, pengawasan atau penilaian b. Adanya program yang dilakukan, artinya rencana bersifat komprehensif,

kesatuan. Seperti prosedur, metode, standar pelayanan dan besaran biaya atau sumber daya.

c. Kelompok sasaran (Target Group) artinya sasaran yang dikehendaki dan standar waktu dalam mencapai sasaran tersebut

Model yang lain adalah model kerangka analisis implementasi (A Frame For

Implementation Analisys) yang diperkenalkan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983)

Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel,yaitu:

1. Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resources dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel dependent, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atau kebijakan

yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Model yang ketiga adalah model Hoogwood dan Gun (1980). Menurut kedua pakar ini untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:

1. Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar. 2. Untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk

sumber daya waktu gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan dengan

feasibility (kemampuan untuk melaksanakan) dari implementasi kebijakan.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan publik adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya maupun sumber aktor. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang

handal. Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang ditanggulangi.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi asumsinya, semakin sedikit hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan.

6. Hubungan saling ketergantungan kecil asumsinya jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan berjalan dengan efektif, apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektifitas implementasi kebijakan.

Model yang berikutnya disusun oleh Elmore (1989), Benny Hjern & David O Porter (1981). Model ini dimulai mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat di dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri, implementasi kebijakan atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan.

Grindle dalam Winarno (2002), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah ditransformasikan,

maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup:

1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu konteks implementasinya adalah:

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Dari beberapa teori tentang faktor-faktor keberhasilan implementasi pelayanan di atas ini, maka penulis sependapat dengan teori Grindle, dalam Winarno (2002), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Berdasarkan teori di atas, maka dalam mengetahui implementasi pelayanan perizinan terpadu di BPPT dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias, maka penulis membuat indikator-indikator dengan melihat dari pendekatan proses dan dampak, yakni sebagai berikut :

b. Proses pelayanan yang lebih sederhana

c. Menghindari pengurusan biaya yang lebih besar 2. Pendekatan Dampak

a. Kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang perikanan b. Meminimalisir pelanggaran

c. Pengembangan Investasi.

Dokumen terkait