KABUPATEN NIAS
TESIS
Oleh
FILINA BAEHA 087024013
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
KABUPATEN NIAS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan ( MSP)
pada Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh FILINA BAEHA
087024013/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS
Nama mahasiswa : FILINA BAEHA
Nomor Induk Mahasiswa : 087024013
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA) (Drs. Amru Nasution, M.Kes)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA Anggota : 1. Drs. Amru Nasution, M. Kes
2. Drs. Kariono, M.Si
IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2010 Penulis,
perikanan dan penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu Kabupaten Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.
Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key
informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin
usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara
purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan
tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan
tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.
and fish catching permit at integrated permit service agent in sustainable resources management in Nias Regency
The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.
The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.
dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul
”Implementasi Pelayanan Publik bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan
di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya
Berkelanjutan Kabupaten Nias”.
Tesis ini disusun guna memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk meraih
Gelar Strata Dua (S-2) pada Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
Penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sjahril Pasaribu, DTM, H.
Sp(K)A.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairudin Nisa B, M,Sc
3. Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Prof. Dr. M. Arif
Nasution, MA
4. Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Agus Suriadi,
bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian Tesis ini.
6. Bapak Drs. Amru Nasution, M. Kes, selaku Dosen Pembimbing II, dengan
ketulusan hati, penuh kesabaran dan waktu dalam memberikan bimbingan,
saran-saran demi pengembangan dan penyempurnaan Tesis ini
7. Dosen-dosen penguji, Bapak Drs. Husni Thamrin Nasution, M.Si dan Bapak
Kariono, M.Si, atas saran dan masukan dalam penyempurnaan Tesis ini
8. Segenap Bapak-bapak dan Ibu Dosen, atas ilmu pengetahuan yang penulis
peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Magister Studi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara
9. Para Pegawai atau staf Studi Pembangunan, kak Dina, bu Nisa, bang Iwan, Dade
dan Tika, terimakasih atas waktu dan masukan, motivasi yang diberikan selama
perkuliahan di Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara
10. Bapak Binahati B. Baeha, SH (Bupati Nias) dan keluarga, yang telah
memberikan semangat dan dukungan penuh, baik moril maupun material, juga
keluarga besar Baeha dan sanak family yang telah memberikan motivasi dalam
menyelesaikan Tesis ini
11. Pemerintah Kabupaten Nias dan masyarakat atas dukungan penuh, baik moril
maupun material sehingga perkuliahan ini dapat selesai
12. Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias, Bapak
dan doa mama, cinta kasih yang sangat besar dan Mulya, pengorbanan dan
kesabaranMu, sehingga mengantarkan dan memampukan saya meniti dan
menyelesaikan pendidikan ini sampai dengan selesai
14. Abang dan kakak yang kusayangi, atas doa dan dukungan yang diberikan
sehingga Tesis ini dapat selesai
15. Seseorang yang kusayangi, D.H, atas doa dan waktunya yang selalu setia
menemaniku dalam suka maupun duka. Gagasan dan ide-idenya dalam
penyelesaian Tesis ini
16. Rekan-rekan mahasiwa/i Angk. XIII, yang telah banyak memberikan saran dan
dukungan atas penyempurnaan dan penyelesaian Tesis ini.
Penulis,
I. IDENTITAS DIRI
Nama : FILINA BAEHA, SE
Tempat/Tgl. Lahir : Tumori Nias, 15 Juni 1983
Alamat : Jl. Simpang Afulu, Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Utara
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Jabatan : Staf Bagian Keuangan Setda Kabupaten Nias Pangkat/Golongan : Penata Muda/IIIa
Alamat Kantor : Jl. Ononamolo I Lot, Kec. Gunungsitoli Kab. Nias
II. PENDIDIKAN
1. SD Inpres Sitolubanua Kec. Lahewa 1989-1995
2. SLTP.N.1 Lahewa 1995-1998
3. SMU.N.1 Lahewa 1998-2001
4. STIE PEMBNAS Gunungsitoli 2002-2006
III. RIWAYAT PEKERJAAN
KATA PENGANTAR... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.4. Kerangka Berpikir ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Implementasi Kebijakan ... 10
2.2. Konsep Pelayanan Publik... 19
2.3. Kualitas Pelayanan ... 23
2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik 30
2.5. Perizinan ... 35
2.5.1 Perizinan Terpadu ... 37
2.6. Pembangunan Berkelanjutan ... 39
2.6.1 Pengertian dan Jenis Sumber Daya Alam ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3.1. Jenis Penelitian ... 43
3.2. Defenisi Konsep ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47
4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Nias ... 47
4.1.2. Identifikasi Bidang Usaha Potensial ... 48
4.1.3. Kondisi dan Potensi Perikanan Kabupaten Nias... 50
4.2. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias ... 53
4.2.1. Kebijakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias ... 74
4.3. Analisis Implementasi Pelayanan Perizinan Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di BPPT Kabupaten Nias ... 77
4.4. Deskripisi Hasil Penelitian ... 86
4.5. Analisis Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan dalam pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan ... 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128
5.1. Kesimpulan ... 128
5.2. Saran ... 130
1. Jenis Perizinan di BPPT Kabupaten Nias ... 57
2. Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias 64
3. Retribusi yang dibayarf oleh pengurus izan... 69
4. Matriks implementasi perizinan di BPPT Kabupaten Nias Menurut Grindle ... 84
5. Gambaran Karakteristik Informan ... 85
6. Matriks Realita Pelayanan di BPPT Kabupaten Nias ditinjau dari Pendekatan Proses ... 102
7. Target dan Realisasi Retribusi Izin Usaha Perikanan Berdasarkan Perda No.15 Tahun 2002... 115
8. Target dan Realisasi Penerimaan Daerah dari Penjualan Hasil Laut Kabupaten Nias berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2002 ... 116
Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.
Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key
informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin
usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara
purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan
tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan
tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.
management in Nias Regency
The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.
The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.
1.1.Latar Belakang
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah
memberi sinyal dan warna baru dalam penyelenggaraan tata Pemerintahan di
Indonesia. Salah satu esensi dari desentralisasi adalah perbaikan pelayanan publik,
berarti Pemerintahan yang dekat dengan rakyat, tanggap, responsif dan konsisten
dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Dalam Undang-undang ini
diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah, seperti pada pasal 1 ayat 5 yaitu
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, otonomi daerah bermakna
untuk memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada masyarakat dalam
mencapai kesejahteraan.
Seiring dengan perubahan zaman dan kondisi masyarakat yang semakin
dinamis, Pemerintah terus menata sistem Pemerintahannya menuju ke arah
demokratisasi dan peningkatan pelayanan publik, dimana wujud konkritnya adalah
diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI N0. 24 Tahun
2006) menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk
sebuah badan pelayanan perizinan dengan tujuan memaksimalkan pelayanan dan
pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen
dilakukan dalam satu tempat”.
Secara umum masyarakat selalu menginginkan agar pelayanan yang diberikan
oleh birokrasi Pemerintah Daerah dilakukan dengan baik, yaitu tepat, berarti apa yang
diberikan atau dilaksanakan benar-benar mengenai apa yang dibutuhkan. Cepat,
berarti pemenuhan dilakukan dengan cepat dan tidak menyita waktu yang lama, serta
tidak berbelit-belit. Murah, bahwa masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari
pemerintah daerah dapat diperoleh dengan biaya yang seminimal mungkin. Ramah,
artinya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah daerah kepada
masyarakat yang dilayaninya senantiasa mengutamakan kesopanan, sehingga
masyarakat merasa benar-benar dihargai harkat dan martabatnya sebagai warga
negara. Hal ini terlihat bahwa masyarakat tidak hanya memandang kualitas pelayanan
dari segi hasil (out-put) saja, tetapi juga bagaimana proses pemberian pelayanan yang
diterima.
Salah satu tugas utama dari aparatur adalah melayani masyarakat. Namun
pada kenyataannya komitmen aparatur Pemerintah dalam memberikan pelayanan
publik masih relatif rendah atau masih jauh dari harapan. Hal ini terutama dalam
proses izin usaha yang banyak dihadapi dalam ketidakpastian. Tanpa disadari bahwa
perizinan merupakan salah satu kunci sukses kreatifitas dan kearifan Pemerintah
Daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi Daerah serta meningkatkan PAD. Sudah
berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja.
Masih sering dijumpai pelayanan aparatur dengan prosedur berbelit-belit,
diskriminasi, lamban, tidak adanya kepastian waktu ditambah dengan perilaku
aparatur yang cenderung cuek serta adanya indikasi pungutan liar dan kolusi, korupsi
dan nepotisme. Banyak pengguna jasa Pemerintah sering dihadapkan pada begitu
banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi, (Dwiyanto
2005:8).
Kondisi tersebut di atas bukan hanya retorika belaka. Banyak penelitian yang
mengatakan bahwa Indonesia salah satu Negara dengan proses perizinan paling
kompleks, lama dan korup di Asia (Rustina 2008), dan lebih buruk dari Vietnam dan
Thailand dengan peringkat 133 dari jumlah Negara di Dunia. Birokrasi perizinan
yang rumit menyebabkan 80% keluhan pelaku usaha domestik baik formal maupun
informal.
Selanjutnya survey dan riset yang dilakukan oleh para akademisi dan praktisi,
menunjukkan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur Pemerintah
masih jauh yang diharapkan. Studi Bank Dunia (world bank) di 5 (lima) Propinsi dan
Kabupaten/Kota di Indonesia, Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan timur, Jakarta
dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa rata-rata waktu untuk memperoleh tanda
daftar perusahaan (TDP), surat izin perdagangan (SIUP), mencapai 107 hari dengan
biaya mencapai Rp. 931.000. situasi ini membuat peringkat daya tarik investasi
Merujuk instruksi dari Pemerintah Pusat, melalui Permendagri Nomor 24
tahun 2006 serta fenomena dan tuntutan masyarakat Kabupaten Nias yang semakin
dinamis, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Nias sebagai salah satu daerah otonom
ikut andil dalam menjawab tuntutan dan harapan masyarakat dalam pelayanan publik.
Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) berdasarkan
Peraturan Daerah NO.10 Tahun 2007, yang operasionalnya telah dimulai pada
tanggal 3 agustus 2007. Namun setelah adanya PP. 41 tahun 2007 tentang struktur
perangkat daerah maka seiring dengan itu pula Pemerintah Kabupaten Nias merubah
nama BPTSP menjadi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias.
Tujuan pembentukan badan ini pada dasarnya sebagai wujud konkrit
Pemerintah Kabupaten Nias untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menyederhanakan birokrasi perizinan,
mempercepat waktu pelayanan serta mengurangi tahapan-tahapan dalam pelayanan
dan membina koordinasi yang lebih baik antara penyelenggara pelayanan dengan
pengguna jasa. Badan ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau
inovasi manajemen Pemerintahan di Daerah yang diharapkan mampu memberikan
hasil berupa produktivitas secara kualitas maupun kuantiítas. Dalam meningkat
pelayanan perizinan terpadu (BPPT) ini pada hakekatnya memberikan manfaat, baik
bagi Pemerintah maupun pelaku usaha dan masyarakat;
1. Menyederhanakan birokrasi. Adanya BPPT membuat kerja birokrasi lebih
efisien dan efektif sehingga beban administrasi Pemerintah Daerah secara
keseluruhan menjadi berkurang. Adanya BPPT sangat memungkinkan untuk
mensentralisasi berbagai data yang menyangkut aktivasi masyarakat di
wilayah tersebut, sehingga beban pendataan di instansi lain berkurang dan
pemerintah daerah pun dapat menghindari terjadinya duplikasi kegiatan
pendataan yang tidak perlu.
2. Meningkatkan investasi di Daerah. Kemudahan yang diberikan BPPT akan
meningkatkan minat investor asing maupun domestik untuk menanamkan
modalnya di Daerah yang bersangkutan. Selama ini pelayanan dokumen yang
dibutuhkan investor telah menjadi alasan utama para pelaku untuk
menghentikan kegiatan usahanya atau memindahkannya ketempat lain.
3. Meningkatkan jumlah formalisasi usaha. Berdasarkan data Nasional jumlah
pelaku usaha yang memformalkan usahanya cenderung menurun. Kemudahan
usaha yang diberikan BPPT akan merangsang pelaku usaha untuk melakukan
formalisasi usahanya.
4. Meningkatkan pendapatan Daerah. Secara tidak langsung kemudahan
pelayanan perizinan juga berdampak positif terhadap pendapatan daerah
melalui mekanisme pajak dan retribusi.
5. Meningkatkan citra positif Pemda. Selama ini saluran komunikasi antara
saluran bagi pemda untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan
masyarakat.
Dari Sisi Dunia Usaha dan Masyarakat :
1. Terhindar dari biaya ekonomi tinggi. Pelaku usaha membutuhkan kepastian
dan legalitas hukum atas usaha yang dijalankannya sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Melalui BPPT pengurusan administrasi perizinan usaha menjadi
mudah dan murah. Hal ini membuat pelaku usaha terhindar dari pungutan liar
yang biasanya terjadi pada saat pengurusan izin.
2. Masyarakat memperoleh segala haknya sebagai warga negara, memperoleh
pelayanan publik yang lebih baik serta memberikan kepastian dan jaminan
hukum dari formalitas yang dimiiki
Adapun alasan penulis memilih implementasi bidang perizinan usaha
perikanan dan penangkapan ikan di Kabupaten Nias adalah dengan dasar
pertimbangan bahwa Kabupaten Nias merupakan daerah kepulauan sehingga sektor
perikanan mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan, baik ikan untuk
dikonsumsi maupun diperdagangkan. Ironisnya, meski potensi perikanan di
Kabupaten Nias sangat besar, namun karena lemahnya kebijakan pengawasan dan
pengendalian terhadap sumber daya kelautan serta perikanan yang ada, pencurian
ikan masih menjadi kendala program pembangunan perikanan di daerah ini. Belum
antara lain disebabkan terjadinya praktik-praktik pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan secara tidak bertanggung jawab, serta melanggar
peraturan sehingga terjadi kehilangan sumber daya yang cukup besar setiap tahunnya.
Eksploitasi potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi
dengan cara-cara penangkapan ikan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan
menjadi bumerang di belakang hari. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat
dan tujuan pengelolaan perikanan berdasarkan UU NO 31/2004 tentang Perikanan
adalah “untuk menjaga sumberdaya ikan agar tetap lestari dan tercapainya manfaat
yang optimal dan berkelanjutan dimana sistem perizinan menjadi istrumen
pengendalian yang utama”.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan
mengetahui bagaimana penerapan pelayanan publik dalam pengurusan izin usaha
perikanan dan penangkapan ikan di Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias. Untuk
menemukan jawabannya maka penulis akan melakukan penelitian yang dituangkan
dalam judul “Implementasi pelayanan publik bidang izin usaha perikanan dan
penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu dalam pengelolaan sumber
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Pelayanan
Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan di Kabupaten Nias.?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan surat
penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias
melalui pendekatan proses
2. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan
penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias
melalui pendekatan dampak
1.4.Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Secara praktis, sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Nias, khususnya
BPPT Kabupaten Nias dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat dalam bidang perizinan.
3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan
kemampuan berfikir melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan taor-teori
yang penulis peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas
2.1. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan,
perwujudan dalam tindak nyata. Sedangkan implementasi kebijakan adalah cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Untuk melaksanakan program pembangunan, Pemerintah menuangkannya ke
dalam berbagai kebijakan. Konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli
sangat bervariatif bentuknya, sebagaimana Dunn (1994) mengemukakan bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan Pemerintah untuk dilakukan
atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not todo) guna
menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.
Anderson (1975) mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan
sejumlah aktor Pemerintah dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan.
Selanjutnya memberikan definisinya bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang
dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari
kebijakan itu adalah:
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi
bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat
negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu;
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Sementara Jones (1977), menekankan kebijakan publik terdiri dari
komponen-kompenen:
1) Goal atau tujuan yang diinginkan
2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevalusi program
5) Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak).
Untuk dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan
publik, Dunn (1944) mengatakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus
dilakukan yaitu:
1. Menetapkan agenda kebijakan (agenda setting)
3. Mengadopsi kebijakan (policy adoption)
4. Pelaksanaan/implementasi kebijakan (policy implementation)
5. Penilaian dan evaluasi kebijakan (policy assesment and evaluation).
Dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas, dapat dipahami bahwa
kebijakan publik merupakan suatu yang abstrak dan tidak memberikan out comes
terhadap tujuan organisasi Pemerintahan, bilamana tidak diwujudkan dalam karya
nyata. Artinya implementasi merupakan instrumen kunci dalam mewujudkan
kebijakan yang telah dirumuskan. Implementasi adalah tahapan yang mutlak
dilakukan dalam proses kebijakan publik secara sistematis (public policy process).
Pelaksanaan atau implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 448)
ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya).
Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat
berbagai aspek antara lain:
a. Tujuan yang akan dicapai
b. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan.
c. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
e. Strategi pelaksanaan.
Menurut Edward III, dalam Nugroho (2003), mengatakan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
b. Sumber daya (Resources)
c. Sikap pelaksana (Disposition)
d. Komunikasi (Communication)
Pelaksanaan Kebijakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah)
tertentu dengan memobilisasikan dan mengerahkan segenap sumber dana dan sumber
daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini pengawasan atau
monitoring dapat dilakukan. Tahapan implementasi atau pelaksanaan kebijakan
merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu
perundang-undangan ditetapkan dan disahkan dengan membentuk dan memberikan
kewenangan atau otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dari program ataupun proyek pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah. Setiap kebijakan apakah itu menyangkut program atau proyek yang
telah dirumuskan dan ditetapkan senantiasa diikuti oleh pelaksanaan atau
implementasi yang merupakan penerjemahan terhadap apa yang telah dirumuskan
dalam perencanaan pembangunan.
Dalam hal ini, implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dan
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan
Dalam proses kebijakan publik, suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar dapat merealisasikan dampak atau tujuan yang dinginkan.
Dunn (1998: 24-25) menganjurkan bahwa setiap tahapan proses kebijakan publik dari
tahapan penyusunan agenda (agenda setting) sampai evaluasi kebijakan (policy
evaluation), termasuk dalam hal ini adalah tahapan implementasi kebijakan (policy
implementation), perlu dilakukan analisis. Analisis dalam hal ini tidaklah sama
dengan proses evaluasi kebijakan. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah: lebih baik
perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaannya salah atau bias, dari pada
perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini memberi arti penting
kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implementasi yang tepat bagi proyek
pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah teragregasi berdasarkan
kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan
publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat melalui implementasi.
Tahjan dalam Nugroho (2003), menekankan bahwa unsur-unsur penting yang
mutlak dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah;
a. Unsur pelaksana; artinya ada implementator kebijakan yang terdiri dari penentuan
tujuan dan sasaran organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan
program, pengorganisasian, pelaksana operasional, pengawasan atau penilaian
b. Adanya program yang dilakukan, artinya rencana bersifat komprehensif,
kesatuan. Seperti prosedur, metode, standar pelayanan dan besaran biaya atau
sumber daya.
c. Kelompok sasaran (Target Group) artinya sasaran yang dikehendaki dan standar
waktu dalam mencapai sasaran tersebut
Model yang lain adalah model kerangka analisis implementasi (A Frame For
Implementation Analisys) yang diperkenalkan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983)
Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan
kedalam tiga variabel,yaitu:
1. Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan keragaman
objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur
proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat
pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan
yang mempengaruhi proses ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap
dan resources dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan
komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3. Variabel dependent, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima
tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk
disusunnya kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan
yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang
bersifat mendasar.
Model yang ketiga adalah model Hoogwood dan Gun (1980). Menurut kedua
pakar ini untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:
1. Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh
lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
2. Untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk
sumber daya waktu gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan dengan
feasibility (kemampuan untuk melaksanakan) dari implementasi kebijakan.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan
publik adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas
karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai sumber
yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya maupun sumber aktor.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang
handal. Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat
menyelesaikan masalah yang ditanggulangi.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi asumsinya, semakin sedikit
hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh
kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai
hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas
6. Hubungan saling ketergantungan kecil asumsinya jika hubungan saling
ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan berjalan dengan efektif,
apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas
yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektifitas implementasi
kebijakan.
Model yang berikutnya disusun oleh Elmore (1989), Benny Hjern & David O
Porter (1981). Model ini dimulai mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat di
dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas,
dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis
kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri,
implementasi kebijakan atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di
tataran bawah. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,
keinginan publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat
eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai
oleh masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba
kemasyarakatan.
Grindle dalam Winarno (2002), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan
maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat
implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup:
1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu konteks implementasinya adalah:
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Dari beberapa teori tentang faktor-faktor keberhasilan implementasi
pelayanan di atas ini, maka penulis sependapat dengan teori Grindle, dalam Winarno
(2002), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh
derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Berdasarkan teori di atas, maka dalam mengetahui implementasi pelayanan
perizinan terpadu di BPPT dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan
Kabupaten Nias, maka penulis membuat indikator-indikator dengan melihat dari
pendekatan proses dan dampak, yakni sebagai berikut :
b. Proses pelayanan yang lebih sederhana
c. Menghindari pengurusan biaya yang lebih besar
2. Pendekatan Dampak
a. Kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang perikanan
b. Meminimalisir pelanggaran
c. Pengembangan Investasi.
2.2. Konsep Pelayanan Publik
Secara sederhana, pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang atau jasa. Pelayanan
adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung
antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan
kepuasan pelanggan (Lukman 1999:6).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 mengatakan bahwa pelayanan publik
adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Lebih lanjut Lijan, (2006:6) menyatakan bahwa pelayanan publik adalah
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan peraturan dan
perundang-undangan
Berkaitan dengan tugas aparatur Pemerintahan terhadap masyarakat, hal ini
sangat jelas bahwa tugas utama Pemerintah adalah untuk melayani rakyat. Bila mana
kegiatan pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa tersebut tidak terpenuhi
kebutuhan penggunanya maka akan hilang kepercayaan pengguna jasa terhadap jasa
yang bersangkutan (organisasi publik/Pemerintah).
Dunn dalam Said (2004:17) mengatakan bahwa Pemerintah mempunyai
wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab
melayani kepentingan umum. Ini Berarti Pemerintah sebagai pemegang otoritas
penting dalam merumuskan kebijakan, tujuan serta langkah-langkah untuk menjawab
harapan masyarakat.
Lebih lanjut untuk mendapatkan sasaran pemberian pelayanan secara cepat
Macaulay dan Cook dalam Sadu (2003:48) menyarankan menggunakan pendekatan
S-M-A-R-T atau :
a. Specifik (spesifik)
b. Measurable (terukur)
c. Achievable (dapat dicapai)
d. Relevant (relevan)
e. Time-bound (keterkaitan dengan waktu)
“a service is an activity or series of activities of more less intangible nature the normally, but not necessarily, take place in interactions between customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems”.
(Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian dari aktivitas yang lebih kurang bersifat tak bisa diraba secara biasanya atau normal, tetapi tidak perlu, berlangsung dalam interaksi antara pelanggan dan para karyawan jasa atau layanan dan atau sumber daya secara fisik atau barang-barang dan atau system dari penyedia jasa atau layanan, yang mana disajikan sebagai suatu solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggan).
Pelayanan Umum dapat disebut berdaya guna dan berhasil guna apabila
masyarakat sebagai konsumen merasa puas. Tolok ukurnya adalah ada atau tidaknya
keluhan dari masyarakat menyangkut pelayanan yang diberikan. Mengacu pada
pengertian-pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam proses pelayanan kepada
masyarakat, pemerintah bertugas sebagai pelayan masyarakat sedangkan yang
dilayani adalah masyarakat, sehingga kedudukan pemerintah seharusnya lebih rendah
dibandingkan dengan masyarakat. Oleh karena itu jelas bahwa misi pemerintah dalam
memberikan pelayanan bukan profit oriented (mencari untung), melainkan sebagai
kewajiban yang harus diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Pemerintah harus tetap
memperlakukan setiap orang dengan adil dan tanpa memandang status sosial.
Pentingnya system pelayanan yang berkualitas dalam arti pelayanan
sederhana, mudah dan dilakukan secara wajar dan professional dan perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,
lainnya, maka kiranya setiap organisasi sistem terutama yang langsung berhadapan
dengan masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau kinerjanya
kepada masyarakat, selalu berfokus kepada pencapaian layanan, sehingga pelayanan
yang diberikan diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat.
Ratminto dkk, (2005:245) juga menjelaskan beberapa azas dalam
penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perizinan yang harus diperhatikan,
adalah sebagai berikut :
1 Empati dengan customer. Pegawai yang melayani urusan perizinan dari
instansi penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan
masyarakat pengguna jasa pelayanan.
2. Pembatasan prosedur. Prosedur harus dirancang sependek mungkin, dengan
demikian konsep one stop shop benar-benar diharapkan.
3. Kejelasan tata cara pelayanan. Tata cara pelayanan harus didesain
sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai
pengguna jasa pelayanan.
4. Minimalisasi persyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus
pelayanan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar
diperlukan.
5. Kejelesan kewenangan. Kewenangan pegawai yang melayani masyarakat
pengguna jasa harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan
6. Transparansi biaya. Biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin
dan setransparan mungkin.
7. kepastian jadwal dan durasi pelayanan. Jadwal dan durasi pelayanan juga
harus pasti, sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas dan tidak
resah
8. Minimalisasi formulir. Formulir-formulir harus dirancang secara efisien,
sehingga akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat
dipakai untuk berbagai formulir) Kejelasan hak dan kewajiban providers
dan customers. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik bagi providers
maupun bagi customers harus dirumuskan secara jelas dan dilengkapi
dengan sangsi serta ketentuan ganti rugi.
9. Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin
harus menghindarkan terjadinya keluhan.
2.3. Kualitas pelayanan.
Wyckof dalam Purnama (2006:19) memberikan pengertian kualitas layanan
sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan
tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Hal ini berarti apabila pelayanan
diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan
baik dan memuaskan. Sebaliknya, apabila pelayanan yang diterima rendah dari yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan akan dipersepsikan buruk. Inti dari penjelasan
untuk memenuhi atau bahkan melebihi harapan yang dituntut atau yang diinginkan
oleh pelanggan. Sedangkan Lebouf (1992:50) menyatakan bahwa ”Kualitas layanan
merupakan kemampuan suatu layanan yang diberikan oleh pemberi layanan dalam
memenuhi keinginan penerima layanan tersebut”.
Zeithaml, dkk dalam Sedarmayanti (2004:90) menyatakan bahwa tolok ukur
kualitas pelayanan dapat diukur oleh 10 (sepuluh) dimensi, yaitu:
1. Tangibles, terdiri dari fasilitas fisik, personil dan komunikasi.
2. Reliability, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab
terhadap mutu pelayanan yang diberikan.
4. Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan ketrampilan yang baik
oleh aparatur dalam memberi pelayanan.
5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan konsumen, serta mau mekakukan kontak atau hubungan pribadi.
6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai
bahaya dan resiko.
9. Communications, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,
keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.
10.Understanding the Customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui
kebutuhan pelanggan.
Dengan demikian organisasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, hendaknya selalu berfokus kepada pencapaian pelayanan sehingga
pelayanan yang diberikan diharapkan dapat diberikan untuk memenuhi pelanggan.
Menerapkan prinsip menyiapkan kualitas pelayanan sebaik mungkin, perlu dilakukan
untuk dapat menghasilkan kinerja secara optimal, sehingga kualitas pelayanan dapat
meningkat, dimana yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan membentuk
layanan yang dijanjikan secara tepat dan memiliki rasa taggung jawab terhadap mutu
pelayanan serta perhatian pada pelanggan. Disamping itu, untuk mewujudkan kualitas
pelayanan yang didasarkan pada sistem kualitas memiliki cara atau karakteristik
tertentu, antara lain dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh
manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus.
Gronroos dalam Purnama (2006:20) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga)
aspek pokok dalam menilai kualitas pelayanan, yaitu :
1. Outcome-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan hasil kinerja
layanan yang ditunjukan oleh penyedia layanan menyangkut
layanan memiliki sistem operasi, sumber daya fisik, dan pekerja dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah
konsumen secara profesional.
2. Process-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan proses
terjadinya layanan. Kriteria ini terdiri dari :
a. Sikap dan perilaku pekerja
b. Kendalan dan sifat dapat dipercaya
c. Tindakan perbaikan jika melakukan kesalahan
3. Image-related Criteria, yaitu reputasi dan kredibilitas penyedia layanan
yang memberikan keyakinan konsumen bahwa penyedia layanan mampu
memberikan nilai atau imbalan sesuai pengorbanannya.
Berdasarkan pada apa yang telah diutarakan, maka dapat diartikan bahwa
pada dasarnya kualitas pelayanan dapat meliputi beberapa aspek kemampuan yaitu
sebagai berikut :
Pertama, aspek sumber daya manusia. Kemampuan sumber daya manusia
terdiri dari ketrampilan, pengetahuan dan sikap. Bila ketrampilan pengetahuan dan
sikap diupayakan untuk ditingkatkan menjadi lebih profesional maka hal tersebut
akan mempengaruhi pelaksanaan tugas, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan
secara lebih profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.
Kedua, aspek sarana dan prasarana. Apabila pengelolaan atau pemanfaatan
tuntutan kebutuhan masyarakat pelanggan, maka hal tersebut akan menghasilkan
kualitas pelayanan yang lebih baik.
Ketiga, aspek prosedur yang dilaksanakan. Berkaitan dengan aspek prosedur
yang dilaksanakan, kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan
dapat diciptakan bila memperhatikan dan menerapkan ketepatan, kecepatan serta
kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan kuaitas pelayanan untuk menjadi
prima atau lebih baik dari sebelumnya.
Keempat, aspek jasa yang diberikan. Aspek jasa yang diberikan peningkatan
kualitas pelayanan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan
diharapkan dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dalam mendapat
informasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan sehingga pelayanan prima atau
pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan.
Beberapa karakteristik kualitas jasa menurut Nasir dalam Tjandra, dkk
(2005:137) sebagai berikut :
1. Ketepatan waktu pelayanan.
2. Aksebilitas dan kemudahan untuk mendapatkan jasa meliputi lokasi,
keterjangkauan waktu operasi (waktu pelayanan yang cukup memadai),
keberadaan pegawai pada saat konsumen memerlukan jasa publik)
3. Akurasi pendampingan/pelayanan jasa yang diberikan.
4. Sikap sopan santun karyawan yang memberikan pelayanan
6. Kondisi dan keamanan fasilitas yang digunakan oleh konsumen
7. Kepuasan konsumen terhadap karakteristik atau aspek-aspek tertentu dari jasa
publik yang diberikan
8. Kepuasan konsumen terhadap jasa publik secara keseluruhan
Kemudian dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Keputusan Nomor
KEP/25/M-PAN/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah.
Dalam keputusan tersebut ditetapkan 14 (empat belas) unsur yang relevan,
valid dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada sebagai dasar pengukuran
indeks kepuasan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan petugas Pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan
4. Kedisplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam
memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada
masyarakat.
7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanandapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan mendapat pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta
saling menghargai dan menghormati.
10.Kewajaran biaya pelayanan, yaitu kejangkauan masyarakat terhadap
besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan
dengan biaya yang telah ditetapkan
12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13.Kenyamanan Lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan
yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman
14.Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga
masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap
resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik
Model NPM (New Public Management), pada dasarnya merupakan model
yang dikembangkan oleh para teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi
(model tradisional) yang dinilai kurang mampu beradaptasi dengan perubahan
lingkungan dalam memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan
dengan mengedepankan pendekatan manajerial.
NPM memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam organisasi
(inside the organization) dengan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan
Hughes (1994:2). Dokrin ini lebih jelasnya diungkapkan oleh Rhodes mengadopsi
pendapat Hood Hughes (1994,2) sebagai berikut : pertama, memfokuskan pada
kegiatan manajemen bukan pada aktivitas kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi;
kedua, pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang
berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases);
ketiga, menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out)
sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima, pola
Model NPM ini merupakan follow up dari teori dan gagasan yang
didengung-dengungkan oleh praktisi dan akademisi, dimana konsep administrasi menagement
sebelumnya adalah Good Governance atau pemerintahan yang baik dan bersih dan
Reinventing Goverment yaitu menata birokrasi dengan cara mengadopsi nilai-nilai
wira usaha dalam diri aparatur pemerintahan. David Osborne dan Ted Gaebler (1992,
13-22) sebagai pencetus Reinventing Government menawarkan suatu pendekatan
manajerial dari sisi lain dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi
menjadi bergaya wirausaha (entreprenuer government). Dengan karakteristik:
mendorong kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat,
mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada
masukan, digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien
(masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah
masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan
untuk membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi,
menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya
memfokuskan pada pengadaan perusahaan Negara, tetapi juga pada mengkatalisir
semua sektor pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela ke dalam tindakan untuk
memecahkan masalah masyarakatnya.
New Public Management mengedepankan prinsip efisensi dan efektifitas.
Pendekatan manajerial model NPM yang dikembangkan pertama kali oleh Hood ini
dan Rosenbloom atau entrepreneurial government istilah Osborne dan Gaebler,
walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama berupaya
mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. Dengan melakukan hal-hal
yang sebagaimana dikemukakan Owen E. Hughes (1994, 3)
Improving public management, reducing budgets, privatisations of public
enterprise seem universal; no-one now is arguing for or increasing the scope
of government or bureaucracy.
(meningkatkan menajemen publik, mengurangi anggaran, privatisasi
perusahaan dan usaha untuk meningkatkan birokrasi yang efisien).
Dari kedua teoritis di atas, memiliki tujuan yang sama pula, antara lain :
pertama, lebih memperhatikan pada hasil tujuan dan tanggung jawab personal
manajer; kedua, lebih mengutamakan pembentukan organisasi, personil, dan pekerja
dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga, membuat tujuan organisasi dan personil
yang jelas dan mudah diukur dengan menentukan indikatornya; keempat, staf senior
lebih memiliki komitmen politik (politically commited) pada pemerintah, tidak
partisan dan tidak netral benar; kelima, fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari
pada pelaksana; terakhir, pada fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan
privatisasi (Hughes, 1994, 58)
Istilah NPM yang berbeda antara para teoritis memang dimungkinkan,
kosong (putih) yang dapat digambar oleh siapa saja tentang apa saja yang disukai,
sehingga tidak ada satupun definisipun yang jelas tentang apa itu NPM, prosesnya
bahkan bagaimana NPM seharusnya.
Indeed, sometimes the new public management seems like an empty canvass : you can paint on it whatever you like. There is no clear or agreed definition of what the new public management actually is and not only is there controversy about what is, or what is in the process of becoming, but also what ought to be.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kultur yang dibangun
adalah kultur dengan nilai-nilai efisien, profesional dan menitik beratkan pada
kualitas pelayanan yang baik dan memuaskan pengguna (user) bukan sekedar
pelanggan (customer). Nilai kualitas pelayan yang baik merupakan visi yang
diwujudkan lebih lanjut dalam misi-misi yang menjadi dasar dalam memberikan
pelayan dengan kualitas yang baik. Struktur birokrasi publik menjadi ramping dan
lebih mendatar (flat), dengan spesialisasi yang makin kabur dan sangat desentralistis
serta cepat merespon perubahan lingkungan yang terjadi. Pembangunan sumber daya
birokrat diawali dengan proses rekrutmen dan pelatihan yang transparan dan terbuka
bagi siapa saja untuk terlibat didalamnya. Kepemimpinan pada model ini merupakan
kepemimpinan yang demokratis dan kepemimpinan transformasional di semua level
pimpinan mulai dari pimpinan di level atas sampai pada pemimpin di level bawah.
Model ini, juga diidentifikasikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1997,
10), sebagai berikut :
b. Mengkaji kembali apa yang seharusnya dilakukan dan dibiayai,
c. Perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan,
d. Mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai
biaya, seperti kontrak keluar, mekanisme pasar, dan pembebanan pada
pengguna,
e. Orientasi pelanggan (berbeda istilah dengan Ferlie yang menggunakan istilah
user), termasuk standard mutu yang eksplisit untuk pelayanan publik,
f. Benchmarking dan pengukuran kinerja
Intisari New Public Management (NPM) berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi warga adalah pemborosan”. Kalimat ini mengungkapkan bahwa
administrasi bukanlah tujuan akhir, dan hanya punya satu tugas, yakni memberikan
layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa Negara
pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang
merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayar pajak kepada
Negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai
pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak atas layanan
dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Jadi, Negara dilihat sebagai suatu
perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di
lain pihak, dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun dengan
kewajiban memberikan layanan dan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking
Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan warga,
memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikan layanan jasa
kepada warga. Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi
dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta
menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.
Perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public
Management) sebagai paradigma baru dalam upaya ‘mentransformasi birokrasi yang
kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang
fleksibel dan berorientasi pasar serta pengguna jasa atau masyarakat dalam bentuk
manajemennya (Hughes,1994,1).
2.5. Perizinan
Pada umumnya, birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang
menjadi kendala bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia. Masyarakat dan
kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh
pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, berbelit-belit, tidak transparan,
waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan
terutama berkaitan dengan biaya-biaya tidak resmi.
Pada saat hubungan antara Indonesia dengan IMF masih berjalan, Indonesia
dinilai selalu mematuhi program IMF. Namun, temyata pada semester I tahun 2002
persetujuan investasinya malah anjlok hingga 42% (empat puluh dua persen). Hal itu
birokrasi yang masih tidak efisien, aturan perburuhan yang belum jelas, serta
pelaksanaan otonomi daerah yang menghambat investasi.
Perizinan merupakan ujung tombak dari peran birokrasi Pemerintahan dalam
penataan investasi perlu diskenariokan dalam format desentralisasi perizinan
(decentralized licensing), yang dinilai sebagai salah satu altematif solusi efektlif
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut investasi.
Sehubungan sistem pemerintahan yang di desentralisasikan (decentralized
government). Desentralisasi perizinan merupakan format kebijakan pemerintahan
yang urgen sejalan dengan kebutuhan untuk menata sistem investasi sebagai pilar
utama perekomonian Indonesia. Dikaitkan dengan teori kebijakan publik, perizinan
merupakan bagian dari pendekatan command and control, yaitu pendekatan kebijakan
investasi dari sudut kewenangan regulasi Pemerintah.
Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku
usaha/kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun dalam daftar usaha.
Sedangkan Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah atau
peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan syah atau
diperbolehkan seseorang atau badan melakukan usaha atau kegiatan tertantu
(Permendagri N0. 24 Tahun 2006).
Berdasarkan defenisi tersebut di atas, berarti perizinan akan selalu berkaitan
investasi sebagai aktivitas obyek perizinan, mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: pemberi
izin (aparat perizinan), pelaku investasi (subyek perizinan), dan aktivitas investasi
(obyek perizinan). Ketiga aspek dalam perizinan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut; Pertama, pengawasan terhadap pemberi izin harus diberi makna kebutuhan
untuk membenahi kondisi birokrasi, dengan melakukan pengawasan secara intensif
dan efektif terhadap aparat pemerintahan. Konsep desentralisasi pemerintahan yang
menggeser kekuasaan pemerintahan dari Pusat ke Daerah, termasuk kewenangan
pengawasan terhadap aparat pemerintahan dari kekuasaan pengawasan pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah, merupakan upaya memfungsikan peran pengawasan
Badan-badan Pengawasan Daerah (Bawasda) yang dinilai lebih memperhatikan
permasalahan seputar birokrasi Daerah dibandingkan pengawasan pusat yang jauh
dari wilayah yang menjadi sasaran pengawasan.
2.5.1. Perizinan Terpadu
Pelayanan Perizinan Terpadu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan
non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke
tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Penyelengaraan pelayanan
terpadu merupakan perbaikan terhadap model Pelayanan Satu Atap yang sebelumnya
dilaksanakan. Pelayanan satu atap (PSA) tidak memberikan pelayanan paripurna
karena kewenangan penerbitan atau penandatanganan perizinan masih berada di
SKPD. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu yang bertujuan untuk melakukan
perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja
terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh
kelengkapannya.
Jangka waktu ini diharapkan bisa menjadi lebih cepat dengan adanya
teknologi yang dapat diterapkan dalam proses pelayanan perizinan seperti yang telah
dilakukan dibeberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Paradigma pelayanan
perizinan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pola pelayanan perizinan terpadu di Kabupaten Nias dimaksudkan untuk
mempermudah dan meningkatkan kualitas pelayanan. Program ini bertujuan untuk:
1. Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memproses satu jenis
pelayanan yang terkait dengan kewenangan instansi lain.
2. Mendapatkan pelayanan dengan memproses yang lebih sederhana dan
terkoordinasi dalam satu tempat.
3. Menghindari dari biaya pengurusan yang lebih besar karena mendapatkan
pelayanan dalam satu lokasi.
Perda juga meningkatkan nilai tambah stabilitas perizinan yang dikeluarkan
melalui satu titik pelayanan. Dengan demikian, perda merupakan upaya untuk
menjawab perkembangan dunia usaha di masa depan dengan cara yang lebih efisien
dari sisi biaya dan lebih efektif dari sisi waktu (Wibawa, 2007;10).
Manfaat lain dari pendekatan perda yang efektif adalah bahwa prosedur untuk