• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan Dan Penangkapan Ikan Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Kabupaten Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan Dan Penangkapan Ikan Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan Kabupaten Nias"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN NIAS

TESIS

Oleh

FILINA BAEHA 087024013

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

(2)

KABUPATEN NIAS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan ( MSP)

pada Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh FILINA BAEHA

087024013/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS

Nama mahasiswa : FILINA BAEHA

Nomor Induk Mahasiswa : 087024013

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA) (Drs. Amru Nasution, M.Kes)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA Anggota : 1. Drs. Amru Nasution, M. Kes

2. Drs. Kariono, M.Si

(5)

IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG IZIN USAHA PERIKANAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA BERKELANJUTAN KABUPATEN NIAS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2010 Penulis,

(6)

perikanan dan penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu Kabupaten Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key

informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin

usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara

purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan

tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan

tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.

(7)
(8)

and fish catching permit at integrated permit service agent in sustainable resources management in Nias Regency

The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.

The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.

(9)

dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul

”Implementasi Pelayanan Publik bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan

di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya

Berkelanjutan Kabupaten Nias”.

Tesis ini disusun guna memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk meraih

Gelar Strata Dua (S-2) pada Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas

Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari berbagai

pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sjahril Pasaribu, DTM, H.

Sp(K)A.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.

Chairudin Nisa B, M,Sc

3. Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Prof. Dr. M. Arif

Nasution, MA

4. Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan, Bapak Agus Suriadi,

(10)

bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian Tesis ini.

6. Bapak Drs. Amru Nasution, M. Kes, selaku Dosen Pembimbing II, dengan

ketulusan hati, penuh kesabaran dan waktu dalam memberikan bimbingan,

saran-saran demi pengembangan dan penyempurnaan Tesis ini

7. Dosen-dosen penguji, Bapak Drs. Husni Thamrin Nasution, M.Si dan Bapak

Kariono, M.Si, atas saran dan masukan dalam penyempurnaan Tesis ini

8. Segenap Bapak-bapak dan Ibu Dosen, atas ilmu pengetahuan yang penulis

peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Magister Studi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara

9. Para Pegawai atau staf Studi Pembangunan, kak Dina, bu Nisa, bang Iwan, Dade

dan Tika, terimakasih atas waktu dan masukan, motivasi yang diberikan selama

perkuliahan di Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

10. Bapak Binahati B. Baeha, SH (Bupati Nias) dan keluarga, yang telah

memberikan semangat dan dukungan penuh, baik moril maupun material, juga

keluarga besar Baeha dan sanak family yang telah memberikan motivasi dalam

menyelesaikan Tesis ini

11. Pemerintah Kabupaten Nias dan masyarakat atas dukungan penuh, baik moril

maupun material sehingga perkuliahan ini dapat selesai

12. Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias, Bapak

(11)

dan doa mama, cinta kasih yang sangat besar dan Mulya, pengorbanan dan

kesabaranMu, sehingga mengantarkan dan memampukan saya meniti dan

menyelesaikan pendidikan ini sampai dengan selesai

14. Abang dan kakak yang kusayangi, atas doa dan dukungan yang diberikan

sehingga Tesis ini dapat selesai

15. Seseorang yang kusayangi, D.H, atas doa dan waktunya yang selalu setia

menemaniku dalam suka maupun duka. Gagasan dan ide-idenya dalam

penyelesaian Tesis ini

16. Rekan-rekan mahasiwa/i Angk. XIII, yang telah banyak memberikan saran dan

dukungan atas penyempurnaan dan penyelesaian Tesis ini.

Penulis,

(12)

I. IDENTITAS DIRI

Nama : FILINA BAEHA, SE

Tempat/Tgl. Lahir : Tumori Nias, 15 Juni 1983

Alamat : Jl. Simpang Afulu, Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Utara

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Jabatan : Staf Bagian Keuangan Setda Kabupaten Nias Pangkat/Golongan : Penata Muda/IIIa

Alamat Kantor : Jl. Ononamolo I Lot, Kec. Gunungsitoli Kab. Nias

II. PENDIDIKAN

1. SD Inpres Sitolubanua Kec. Lahewa 1989-1995

2. SLTP.N.1 Lahewa 1995-1998

3. SMU.N.1 Lahewa 1998-2001

4. STIE PEMBNAS Gunungsitoli 2002-2006

III. RIWAYAT PEKERJAAN

(13)

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.4. Kerangka Berpikir ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Implementasi Kebijakan ... 10

2.2. Konsep Pelayanan Publik... 19

2.3. Kualitas Pelayanan ... 23

2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik 30

2.5. Perizinan ... 35

2.5.1 Perizinan Terpadu ... 37

2.6. Pembangunan Berkelanjutan ... 39

2.6.1 Pengertian dan Jenis Sumber Daya Alam ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Jenis Penelitian ... 43

3.2. Defenisi Konsep ... 43

(14)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Nias ... 47

4.1.2. Identifikasi Bidang Usaha Potensial ... 48

4.1.3. Kondisi dan Potensi Perikanan Kabupaten Nias... 50

4.2. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias ... 53

4.2.1. Kebijakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias ... 74

4.3. Analisis Implementasi Pelayanan Perizinan Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di BPPT Kabupaten Nias ... 77

4.4. Deskripisi Hasil Penelitian ... 86

4.5. Analisis Implementasi Pelayanan Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan dalam pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

5.1. Kesimpulan ... 128

5.2. Saran ... 130

(15)

1. Jenis Perizinan di BPPT Kabupaten Nias ... 57

2. Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias 64

3. Retribusi yang dibayarf oleh pengurus izan... 69

4. Matriks implementasi perizinan di BPPT Kabupaten Nias Menurut Grindle ... 84

5. Gambaran Karakteristik Informan ... 85

6. Matriks Realita Pelayanan di BPPT Kabupaten Nias ditinjau dari Pendekatan Proses ... 102

7. Target dan Realisasi Retribusi Izin Usaha Perikanan Berdasarkan Perda No.15 Tahun 2002... 115

8. Target dan Realisasi Penerimaan Daerah dari Penjualan Hasil Laut Kabupaten Nias berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2002 ... 116

(16)
(17)

Nias, melalui pendekatan proses dan dampak dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan Kabupaten Nias.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini, bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data maupun fakta yang ada di objek penelitian, kemudian diinterpretasikan serta dianalisis. Adapun informan kunci (key

informan) dalam penelitian ini adalah masyarakat yang secara khusus mengurus izin

usaha perikanan dan penangkapan ikan di badan perizinan terpadu Kabupaten Nias, sebanyak 8 (delapan) orang. Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara

purpusive sampling, yaitu pengambilan sampel secara cermat atau atas pertimbangan

tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti. Atau orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Teknik pengumpulan data yaitu melalui data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung pada objek penelitian dengan cara wawancara mendalam (indept interview), kepada masyarakat pengurus izin usaha perikanan dengan melakukan tanya jawab langsung dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun melalui alat bantu tulis dan

tape recorder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari BPPT Kabupaten Nias

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti profil badan perizinan terpadu, dasar pengukuran indeks kepuasan maksimum, alur kerja pelayanan, persyaratan izin usaha, dan standar pelayanan minimal (SPM). Teknik analisis data yaitu dengan cara mengumpulkan data yang telah dikumpul melalui wawancara mendalam dan diinterpretasikan serta dianalisis dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai.

(18)
(19)

management in Nias Regency

The research method applied by the writer in this research is a descriptive study by quantitative approach as a problem solving procedure by depict the subject and object of research based on the fact. Therefore, in this research the writer did not test the hypothesis but to describe the data and fact in the research object, and to interprete and analyze the data and fact. The key informan in this research are people who apply the fishery and fish cathmant business permit in integrated permit agency in Nias regency for 8 persons. The determining of informan by the purposive sampling, to take the sample carefly based on the certain consideration. Or the person who assume know the social situation. The data collection method are primary and secondary data. The primary data are collected to the research object directly by the indept interview specially to the people who apply the fishery and fish cathmant permit by direct interview or by ape recorder. The secondary data are data from integrated permit service agent of Nias regency that related to the studied object such as the profile of integratedpermit regency, measurement of maximum satis faction index, service work path, requirement of business permit and minimize service standard. The data aqnalysis method is by collecting the data through indept interview and interpreted and analyzed based on the theoretical review.

The results of research through process approach indicated that the exixtence of permit agency probide the contribution to the increasing of public service specially in increasing permit service quality thyat consist of easiness in processing of service type, the simplest service process, avoid the expensive cost. In impact aspect, there is a law enforcement and the business safety in fishery business, to increase the the origin reginal income of Nias regency, but in another hand, there is not a big impact significantly in minimize the the violence in the sea, damage of ecosystem and coastal degradation that caused by the foreign vessel and the lower of government supervision. In investment sector, it has not yet increase the interesting for investor to have invest in fishery caused by the natural disasters and geographical position of Nias regency that far from Province in air, sea and land transportation.

(20)

1.1.Latar Belakang

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah

memberi sinyal dan warna baru dalam penyelenggaraan tata Pemerintahan di

Indonesia. Salah satu esensi dari desentralisasi adalah perbaikan pelayanan publik,

berarti Pemerintahan yang dekat dengan rakyat, tanggap, responsif dan konsisten

dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Dalam Undang-undang ini

diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah, seperti pada pasal 1 ayat 5 yaitu

otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, otonomi daerah bermakna

untuk memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada masyarakat dalam

mencapai kesejahteraan.

Seiring dengan perubahan zaman dan kondisi masyarakat yang semakin

dinamis, Pemerintah terus menata sistem Pemerintahannya menuju ke arah

demokratisasi dan peningkatan pelayanan publik, dimana wujud konkritnya adalah

diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI N0. 24 Tahun

2006) menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membentuk

sebuah badan pelayanan perizinan dengan tujuan memaksimalkan pelayanan dan

(21)

pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen

dilakukan dalam satu tempat”.

Secara umum masyarakat selalu menginginkan agar pelayanan yang diberikan

oleh birokrasi Pemerintah Daerah dilakukan dengan baik, yaitu tepat, berarti apa yang

diberikan atau dilaksanakan benar-benar mengenai apa yang dibutuhkan. Cepat,

berarti pemenuhan dilakukan dengan cepat dan tidak menyita waktu yang lama, serta

tidak berbelit-belit. Murah, bahwa masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari

pemerintah daerah dapat diperoleh dengan biaya yang seminimal mungkin. Ramah,

artinya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah daerah kepada

masyarakat yang dilayaninya senantiasa mengutamakan kesopanan, sehingga

masyarakat merasa benar-benar dihargai harkat dan martabatnya sebagai warga

negara. Hal ini terlihat bahwa masyarakat tidak hanya memandang kualitas pelayanan

dari segi hasil (out-put) saja, tetapi juga bagaimana proses pemberian pelayanan yang

diterima.

Salah satu tugas utama dari aparatur adalah melayani masyarakat. Namun

pada kenyataannya komitmen aparatur Pemerintah dalam memberikan pelayanan

publik masih relatif rendah atau masih jauh dari harapan. Hal ini terutama dalam

proses izin usaha yang banyak dihadapi dalam ketidakpastian. Tanpa disadari bahwa

perizinan merupakan salah satu kunci sukses kreatifitas dan kearifan Pemerintah

Daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi Daerah serta meningkatkan PAD. Sudah

(22)

berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja.

Masih sering dijumpai pelayanan aparatur dengan prosedur berbelit-belit,

diskriminasi, lamban, tidak adanya kepastian waktu ditambah dengan perilaku

aparatur yang cenderung cuek serta adanya indikasi pungutan liar dan kolusi, korupsi

dan nepotisme. Banyak pengguna jasa Pemerintah sering dihadapkan pada begitu

banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi, (Dwiyanto

2005:8).

Kondisi tersebut di atas bukan hanya retorika belaka. Banyak penelitian yang

mengatakan bahwa Indonesia salah satu Negara dengan proses perizinan paling

kompleks, lama dan korup di Asia (Rustina 2008), dan lebih buruk dari Vietnam dan

Thailand dengan peringkat 133 dari jumlah Negara di Dunia. Birokrasi perizinan

yang rumit menyebabkan 80% keluhan pelaku usaha domestik baik formal maupun

informal.

Selanjutnya survey dan riset yang dilakukan oleh para akademisi dan praktisi,

menunjukkan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur Pemerintah

masih jauh yang diharapkan. Studi Bank Dunia (world bank) di 5 (lima) Propinsi dan

Kabupaten/Kota di Indonesia, Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan timur, Jakarta

dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa rata-rata waktu untuk memperoleh tanda

daftar perusahaan (TDP), surat izin perdagangan (SIUP), mencapai 107 hari dengan

biaya mencapai Rp. 931.000. situasi ini membuat peringkat daya tarik investasi

(23)

Merujuk instruksi dari Pemerintah Pusat, melalui Permendagri Nomor 24

tahun 2006 serta fenomena dan tuntutan masyarakat Kabupaten Nias yang semakin

dinamis, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Nias sebagai salah satu daerah otonom

ikut andil dalam menjawab tuntutan dan harapan masyarakat dalam pelayanan publik.

Pembentukan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) berdasarkan

Peraturan Daerah NO.10 Tahun 2007, yang operasionalnya telah dimulai pada

tanggal 3 agustus 2007. Namun setelah adanya PP. 41 tahun 2007 tentang struktur

perangkat daerah maka seiring dengan itu pula Pemerintah Kabupaten Nias merubah

nama BPTSP menjadi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Nias.

Tujuan pembentukan badan ini pada dasarnya sebagai wujud konkrit

Pemerintah Kabupaten Nias untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai

dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menyederhanakan birokrasi perizinan,

mempercepat waktu pelayanan serta mengurangi tahapan-tahapan dalam pelayanan

dan membina koordinasi yang lebih baik antara penyelenggara pelayanan dengan

pengguna jasa. Badan ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau

inovasi manajemen Pemerintahan di Daerah yang diharapkan mampu memberikan

hasil berupa produktivitas secara kualitas maupun kuantiítas. Dalam meningkat

pelayanan perizinan terpadu (BPPT) ini pada hakekatnya memberikan manfaat, baik

bagi Pemerintah maupun pelaku usaha dan masyarakat;

(24)

1. Menyederhanakan birokrasi. Adanya BPPT membuat kerja birokrasi lebih

efisien dan efektif sehingga beban administrasi Pemerintah Daerah secara

keseluruhan menjadi berkurang. Adanya BPPT sangat memungkinkan untuk

mensentralisasi berbagai data yang menyangkut aktivasi masyarakat di

wilayah tersebut, sehingga beban pendataan di instansi lain berkurang dan

pemerintah daerah pun dapat menghindari terjadinya duplikasi kegiatan

pendataan yang tidak perlu.

2. Meningkatkan investasi di Daerah. Kemudahan yang diberikan BPPT akan

meningkatkan minat investor asing maupun domestik untuk menanamkan

modalnya di Daerah yang bersangkutan. Selama ini pelayanan dokumen yang

dibutuhkan investor telah menjadi alasan utama para pelaku untuk

menghentikan kegiatan usahanya atau memindahkannya ketempat lain.

3. Meningkatkan jumlah formalisasi usaha. Berdasarkan data Nasional jumlah

pelaku usaha yang memformalkan usahanya cenderung menurun. Kemudahan

usaha yang diberikan BPPT akan merangsang pelaku usaha untuk melakukan

formalisasi usahanya.

4. Meningkatkan pendapatan Daerah. Secara tidak langsung kemudahan

pelayanan perizinan juga berdampak positif terhadap pendapatan daerah

melalui mekanisme pajak dan retribusi.

5. Meningkatkan citra positif Pemda. Selama ini saluran komunikasi antara

(25)

saluran bagi pemda untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan

masyarakat.

Dari Sisi Dunia Usaha dan Masyarakat :

1. Terhindar dari biaya ekonomi tinggi. Pelaku usaha membutuhkan kepastian

dan legalitas hukum atas usaha yang dijalankannya sesuai dengan peraturan

yang berlaku. Melalui BPPT pengurusan administrasi perizinan usaha menjadi

mudah dan murah. Hal ini membuat pelaku usaha terhindar dari pungutan liar

yang biasanya terjadi pada saat pengurusan izin.

2. Masyarakat memperoleh segala haknya sebagai warga negara, memperoleh

pelayanan publik yang lebih baik serta memberikan kepastian dan jaminan

hukum dari formalitas yang dimiiki

Adapun alasan penulis memilih implementasi bidang perizinan usaha

perikanan dan penangkapan ikan di Kabupaten Nias adalah dengan dasar

pertimbangan bahwa Kabupaten Nias merupakan daerah kepulauan sehingga sektor

perikanan mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan, baik ikan untuk

dikonsumsi maupun diperdagangkan. Ironisnya, meski potensi perikanan di

Kabupaten Nias sangat besar, namun karena lemahnya kebijakan pengawasan dan

pengendalian terhadap sumber daya kelautan serta perikanan yang ada, pencurian

ikan masih menjadi kendala program pembangunan perikanan di daerah ini. Belum

(26)

antara lain disebabkan terjadinya praktik-praktik pemanfaatan dan pengelolaan

sumber daya kelautan dan perikanan secara tidak bertanggung jawab, serta melanggar

peraturan sehingga terjadi kehilangan sumber daya yang cukup besar setiap tahunnya.

Eksploitasi potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi

dengan cara-cara penangkapan ikan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan

menjadi bumerang di belakang hari. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat

dan tujuan pengelolaan perikanan berdasarkan UU NO 31/2004 tentang Perikanan

adalah “untuk menjaga sumberdaya ikan agar tetap lestari dan tercapainya manfaat

yang optimal dan berkelanjutan dimana sistem perizinan menjadi istrumen

pengendalian yang utama”.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan

mengetahui bagaimana penerapan pelayanan publik dalam pengurusan izin usaha

perikanan dan penangkapan ikan di Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias. Untuk

menemukan jawabannya maka penulis akan melakukan penelitian yang dituangkan

dalam judul “Implementasi pelayanan publik bidang izin usaha perikanan dan

penangkapan ikan di badan pelayanan perizinan terpadu dalam pengelolaan sumber

(27)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Pelayanan

Publik Bidang Izin Usaha Perikanan dan Penangkapan Ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan di Kabupaten Nias.?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan surat

penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias

melalui pendekatan proses

2. Mengetahui implementasi pelayanan bidang izin usaha perikanan dan

penangkapan ikan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias

melalui pendekatan dampak

1.4.Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Secara praktis, sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Nias, khususnya

BPPT Kabupaten Nias dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik

kepada masyarakat dalam bidang perizinan.

(28)

3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan

kemampuan berfikir melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan taor-teori

yang penulis peroleh selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas

(29)

2.1. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan,

perwujudan dalam tindak nyata. Sedangkan implementasi kebijakan adalah cara agar

sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Untuk melaksanakan program pembangunan, Pemerintah menuangkannya ke

dalam berbagai kebijakan. Konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli

sangat bervariatif bentuknya, sebagaimana Dunn (1994) mengemukakan bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian pilihan tindakan Pemerintah untuk dilakukan

atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not todo) guna

menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Anderson (1975) mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan

sejumlah aktor Pemerintah dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan.

Selanjutnya memberikan definisinya bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang

dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari

kebijakan itu adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

(30)

3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi

bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan

tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat

negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan

sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan

pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sementara Jones (1977), menekankan kebijakan publik terdiri dari

komponen-kompenen:

1) Goal atau tujuan yang diinginkan

2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan

3) Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,

membuat rencana, melaksanakan dan mengevalusi program

5) Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak).

Untuk dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan

publik, Dunn (1944) mengatakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus

dilakukan yaitu:

1. Menetapkan agenda kebijakan (agenda setting)

(31)

3. Mengadopsi kebijakan (policy adoption)

4. Pelaksanaan/implementasi kebijakan (policy implementation)

5. Penilaian dan evaluasi kebijakan (policy assesment and evaluation).

Dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas, dapat dipahami bahwa

kebijakan publik merupakan suatu yang abstrak dan tidak memberikan out comes

terhadap tujuan organisasi Pemerintahan, bilamana tidak diwujudkan dalam karya

nyata. Artinya implementasi merupakan instrumen kunci dalam mewujudkan

kebijakan yang telah dirumuskan. Implementasi adalah tahapan yang mutlak

dilakukan dalam proses kebijakan publik secara sistematis (public policy process).

Pelaksanaan atau implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 448)

ialah proses atau perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya).

Program akan menunjang pelaksanaan karena di dalam program tersebut telah dimuat

berbagai aspek antara lain:

a. Tujuan yang akan dicapai

b. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan.

c. Aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

e. Strategi pelaksanaan.

Menurut Edward III, dalam Nugroho (2003), mengatakan bahwa keberhasilan

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

(32)

b. Sumber daya (Resources)

c. Sikap pelaksana (Disposition)

d. Komunikasi (Communication)

Pelaksanaan Kebijakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah)

tertentu dengan memobilisasikan dan mengerahkan segenap sumber dana dan sumber

daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini pengawasan atau

monitoring dapat dilakukan. Tahapan implementasi atau pelaksanaan kebijakan

merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu

perundang-undangan ditetapkan dan disahkan dengan membentuk dan memberikan

kewenangan atau otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas

dan dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu

penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui

aktivitas atau kegiatan dari program ataupun proyek pembangunan yang dilaksanakan

oleh pemerintah. Setiap kebijakan apakah itu menyangkut program atau proyek yang

telah dirumuskan dan ditetapkan senantiasa diikuti oleh pelaksanaan atau

implementasi yang merupakan penerjemahan terhadap apa yang telah dirumuskan

dalam perencanaan pembangunan.

Dalam hal ini, implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dan

salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan

(33)

Dalam proses kebijakan publik, suatu program kebijakan harus

diimplementasikan agar dapat merealisasikan dampak atau tujuan yang dinginkan.

Dunn (1998: 24-25) menganjurkan bahwa setiap tahapan proses kebijakan publik dari

tahapan penyusunan agenda (agenda setting) sampai evaluasi kebijakan (policy

evaluation), termasuk dalam hal ini adalah tahapan implementasi kebijakan (policy

implementation), perlu dilakukan analisis. Analisis dalam hal ini tidaklah sama

dengan proses evaluasi kebijakan. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah: lebih baik

perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaannya salah atau bias, dari pada

perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini memberi arti penting

kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implementasi yang tepat bagi proyek

pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah teragregasi berdasarkan

kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan

publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat melalui implementasi.

Tahjan dalam Nugroho (2003), menekankan bahwa unsur-unsur penting yang

mutlak dilakukan dalam implementasi kebijakan adalah;

a. Unsur pelaksana; artinya ada implementator kebijakan yang terdiri dari penentuan

tujuan dan sasaran organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan

program, pengorganisasian, pelaksana operasional, pengawasan atau penilaian

b. Adanya program yang dilakukan, artinya rencana bersifat komprehensif,

(34)

kesatuan. Seperti prosedur, metode, standar pelayanan dan besaran biaya atau

sumber daya.

c. Kelompok sasaran (Target Group) artinya sasaran yang dikehendaki dan standar

waktu dalam mencapai sasaran tersebut

Model yang lain adalah model kerangka analisis implementasi (A Frame For

Implementation Analisys) yang diperkenalkan oleh Mazmanian dan Sabatier (1983)

Duet Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan

kedalam tiga variabel,yaitu:

1. Variabel independent, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang

berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan keragaman

objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur

proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,

keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat

pelaksanaan dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan

yang mempengaruhi proses ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap

dan resources dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan

komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel dependent, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima

tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk

disusunnya kebijakan pelaksanaan, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan

(35)

yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang

bersifat mendasar.

Model yang ketiga adalah model Hoogwood dan Gun (1980). Menurut kedua

pakar ini untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:

1. Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh

lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.

2. Untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai, termasuk

sumber daya waktu gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan dengan

feasibility (kemampuan untuk melaksanakan) dari implementasi kebijakan.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijakan

publik adalah kebijakan yang kompleks dan menyangkut dampak yang luas

karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai sumber

yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya maupun sumber aktor.

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang

handal. Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat

menyelesaikan masalah yang ditanggulangi.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi asumsinya, semakin sedikit

hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh

kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijakan yang mempunyai

hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas

(36)

6. Hubungan saling ketergantungan kecil asumsinya jika hubungan saling

ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan berjalan dengan efektif,

apalagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas

yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektifitas implementasi

kebijakan.

Model yang berikutnya disusun oleh Elmore (1989), Benny Hjern & David O

Porter (1981). Model ini dimulai mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat di

dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas,

dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis

kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri,

implementasi kebijakan atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di

tataran bawah. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,

keinginan publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat

eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai

oleh masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba

kemasyarakatan.

Grindle dalam Winarno (2002), model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan

(37)

maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilan ditentukan oleh derajat

implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup:

1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pembuat kebijakan

5. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu konteks implementasinya adalah:

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Dari beberapa teori tentang faktor-faktor keberhasilan implementasi

pelayanan di atas ini, maka penulis sependapat dengan teori Grindle, dalam Winarno

(2002), mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh

derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Berdasarkan teori di atas, maka dalam mengetahui implementasi pelayanan

perizinan terpadu di BPPT dalam rangka pengelolaan sumber daya berkelanjutan

Kabupaten Nias, maka penulis membuat indikator-indikator dengan melihat dari

pendekatan proses dan dampak, yakni sebagai berikut :

(38)

b. Proses pelayanan yang lebih sederhana

c. Menghindari pengurusan biaya yang lebih besar

2. Pendekatan Dampak

a. Kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang perikanan

b. Meminimalisir pelanggaran

c. Pengembangan Investasi.

2.2. Konsep Pelayanan Publik

Secara sederhana, pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang atau jasa. Pelayanan

adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung

antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan

kepuasan pelanggan (Lukman 1999:6).

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 mengatakan bahwa pelayanan publik

adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas

barang, jasa atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.

Lebih lanjut Lijan, (2006:6) menyatakan bahwa pelayanan publik adalah

(39)

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan peraturan dan

perundang-undangan

Berkaitan dengan tugas aparatur Pemerintahan terhadap masyarakat, hal ini

sangat jelas bahwa tugas utama Pemerintah adalah untuk melayani rakyat. Bila mana

kegiatan pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa tersebut tidak terpenuhi

kebutuhan penggunanya maka akan hilang kepercayaan pengguna jasa terhadap jasa

yang bersangkutan (organisasi publik/Pemerintah).

Dunn dalam Said (2004:17) mengatakan bahwa Pemerintah mempunyai

wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab

melayani kepentingan umum. Ini Berarti Pemerintah sebagai pemegang otoritas

penting dalam merumuskan kebijakan, tujuan serta langkah-langkah untuk menjawab

harapan masyarakat.

Lebih lanjut untuk mendapatkan sasaran pemberian pelayanan secara cepat

Macaulay dan Cook dalam Sadu (2003:48) menyarankan menggunakan pendekatan

S-M-A-R-T atau :

a. Specifik (spesifik)

b. Measurable (terukur)

c. Achievable (dapat dicapai)

d. Relevant (relevan)

e. Time-bound (keterkaitan dengan waktu)

(40)

“a service is an activity or series of activities of more less intangible nature the normally, but not necessarily, take place in interactions between customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems”.

(Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian dari aktivitas yang lebih kurang bersifat tak bisa diraba secara biasanya atau normal, tetapi tidak perlu, berlangsung dalam interaksi antara pelanggan dan para karyawan jasa atau layanan dan atau sumber daya secara fisik atau barang-barang dan atau system dari penyedia jasa atau layanan, yang mana disajikan sebagai suatu solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggan).

Pelayanan Umum dapat disebut berdaya guna dan berhasil guna apabila

masyarakat sebagai konsumen merasa puas. Tolok ukurnya adalah ada atau tidaknya

keluhan dari masyarakat menyangkut pelayanan yang diberikan. Mengacu pada

pengertian-pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam proses pelayanan kepada

masyarakat, pemerintah bertugas sebagai pelayan masyarakat sedangkan yang

dilayani adalah masyarakat, sehingga kedudukan pemerintah seharusnya lebih rendah

dibandingkan dengan masyarakat. Oleh karena itu jelas bahwa misi pemerintah dalam

memberikan pelayanan bukan profit oriented (mencari untung), melainkan sebagai

kewajiban yang harus diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Pemerintah harus tetap

memperlakukan setiap orang dengan adil dan tanpa memandang status sosial.

Pentingnya system pelayanan yang berkualitas dalam arti pelayanan

sederhana, mudah dan dilakukan secara wajar dan professional dan perkembangan

masyarakat yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,

(41)

lainnya, maka kiranya setiap organisasi sistem terutama yang langsung berhadapan

dengan masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau kinerjanya

kepada masyarakat, selalu berfokus kepada pencapaian layanan, sehingga pelayanan

yang diberikan diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat.

Ratminto dkk, (2005:245) juga menjelaskan beberapa azas dalam

penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perizinan yang harus diperhatikan,

adalah sebagai berikut :

1 Empati dengan customer. Pegawai yang melayani urusan perizinan dari

instansi penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan

masyarakat pengguna jasa pelayanan.

2. Pembatasan prosedur. Prosedur harus dirancang sependek mungkin, dengan

demikian konsep one stop shop benar-benar diharapkan.

3. Kejelasan tata cara pelayanan. Tata cara pelayanan harus didesain

sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai

pengguna jasa pelayanan.

4. Minimalisasi persyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus

pelayanan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar

diperlukan.

5. Kejelesan kewenangan. Kewenangan pegawai yang melayani masyarakat

pengguna jasa harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan

(42)

6. Transparansi biaya. Biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin

dan setransparan mungkin.

7. kepastian jadwal dan durasi pelayanan. Jadwal dan durasi pelayanan juga

harus pasti, sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas dan tidak

resah

8. Minimalisasi formulir. Formulir-formulir harus dirancang secara efisien,

sehingga akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat

dipakai untuk berbagai formulir) Kejelasan hak dan kewajiban providers

dan customers. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik bagi providers

maupun bagi customers harus dirumuskan secara jelas dan dilengkapi

dengan sangsi serta ketentuan ganti rugi.

9. Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin

harus menghindarkan terjadinya keluhan.

2.3. Kualitas pelayanan.

Wyckof dalam Purnama (2006:19) memberikan pengertian kualitas layanan

sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan

tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Hal ini berarti apabila pelayanan

diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan

baik dan memuaskan. Sebaliknya, apabila pelayanan yang diterima rendah dari yang

diharapkan, maka kualitas pelayanan akan dipersepsikan buruk. Inti dari penjelasan

(43)

untuk memenuhi atau bahkan melebihi harapan yang dituntut atau yang diinginkan

oleh pelanggan. Sedangkan Lebouf (1992:50) menyatakan bahwa ”Kualitas layanan

merupakan kemampuan suatu layanan yang diberikan oleh pemberi layanan dalam

memenuhi keinginan penerima layanan tersebut”.

Zeithaml, dkk dalam Sedarmayanti (2004:90) menyatakan bahwa tolok ukur

kualitas pelayanan dapat diukur oleh 10 (sepuluh) dimensi, yaitu:

1. Tangibles, terdiri dari fasilitas fisik, personil dan komunikasi.

2. Reliability, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab

terhadap mutu pelayanan yang diberikan.

4. Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan ketrampilan yang baik

oleh aparatur dalam memberi pelayanan.

5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap

keinginan konsumen, serta mau mekakukan kontak atau hubungan pribadi.

6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan

masyarakat.

7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai

bahaya dan resiko.

(44)

9. Communications, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,

keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu

menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

10.Understanding the Customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui

kebutuhan pelanggan.

Dengan demikian organisasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat, hendaknya selalu berfokus kepada pencapaian pelayanan sehingga

pelayanan yang diberikan diharapkan dapat diberikan untuk memenuhi pelanggan.

Menerapkan prinsip menyiapkan kualitas pelayanan sebaik mungkin, perlu dilakukan

untuk dapat menghasilkan kinerja secara optimal, sehingga kualitas pelayanan dapat

meningkat, dimana yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan membentuk

layanan yang dijanjikan secara tepat dan memiliki rasa taggung jawab terhadap mutu

pelayanan serta perhatian pada pelanggan. Disamping itu, untuk mewujudkan kualitas

pelayanan yang didasarkan pada sistem kualitas memiliki cara atau karakteristik

tertentu, antara lain dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh

manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus.

Gronroos dalam Purnama (2006:20) mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga)

aspek pokok dalam menilai kualitas pelayanan, yaitu :

1. Outcome-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan hasil kinerja

layanan yang ditunjukan oleh penyedia layanan menyangkut

(45)

layanan memiliki sistem operasi, sumber daya fisik, dan pekerja dengan

pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah

konsumen secara profesional.

2. Process-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan proses

terjadinya layanan. Kriteria ini terdiri dari :

a. Sikap dan perilaku pekerja

b. Kendalan dan sifat dapat dipercaya

c. Tindakan perbaikan jika melakukan kesalahan

3. Image-related Criteria, yaitu reputasi dan kredibilitas penyedia layanan

yang memberikan keyakinan konsumen bahwa penyedia layanan mampu

memberikan nilai atau imbalan sesuai pengorbanannya.

Berdasarkan pada apa yang telah diutarakan, maka dapat diartikan bahwa

pada dasarnya kualitas pelayanan dapat meliputi beberapa aspek kemampuan yaitu

sebagai berikut :

Pertama, aspek sumber daya manusia. Kemampuan sumber daya manusia

terdiri dari ketrampilan, pengetahuan dan sikap. Bila ketrampilan pengetahuan dan

sikap diupayakan untuk ditingkatkan menjadi lebih profesional maka hal tersebut

akan mempengaruhi pelaksanaan tugas, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan

secara lebih profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.

Kedua, aspek sarana dan prasarana. Apabila pengelolaan atau pemanfaatan

(46)

tuntutan kebutuhan masyarakat pelanggan, maka hal tersebut akan menghasilkan

kualitas pelayanan yang lebih baik.

Ketiga, aspek prosedur yang dilaksanakan. Berkaitan dengan aspek prosedur

yang dilaksanakan, kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan

dapat diciptakan bila memperhatikan dan menerapkan ketepatan, kecepatan serta

kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan kuaitas pelayanan untuk menjadi

prima atau lebih baik dari sebelumnya.

Keempat, aspek jasa yang diberikan. Aspek jasa yang diberikan peningkatan

kualitas pelayanan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan

diharapkan dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dalam mendapat

informasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan sehingga pelayanan prima atau

pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Beberapa karakteristik kualitas jasa menurut Nasir dalam Tjandra, dkk

(2005:137) sebagai berikut :

1. Ketepatan waktu pelayanan.

2. Aksebilitas dan kemudahan untuk mendapatkan jasa meliputi lokasi,

keterjangkauan waktu operasi (waktu pelayanan yang cukup memadai),

keberadaan pegawai pada saat konsumen memerlukan jasa publik)

3. Akurasi pendampingan/pelayanan jasa yang diberikan.

4. Sikap sopan santun karyawan yang memberikan pelayanan

(47)

6. Kondisi dan keamanan fasilitas yang digunakan oleh konsumen

7. Kepuasan konsumen terhadap karakteristik atau aspek-aspek tertentu dari jasa

publik yang diberikan

8. Kepuasan konsumen terhadap jasa publik secara keseluruhan

Kemudian dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Keputusan Nomor

KEP/25/M-PAN/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit

Pelayanan Instansi Pemerintah.

Dalam keputusan tersebut ditetapkan 14 (empat belas) unsur yang relevan,

valid dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada sebagai dasar pengukuran

indeks kepuasan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan

kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang

diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3. Kejelasan petugas Pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang

memberikan pelayanan

4. Kedisplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam

memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai

(48)

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggung

jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan

yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada

masyarakat.

7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanandapat diselesaikan dalam

waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

8. Keadilan mendapat pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak

membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta

saling menghargai dan menghormati.

10.Kewajaran biaya pelayanan, yaitu kejangkauan masyarakat terhadap

besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan

dengan biaya yang telah ditetapkan

12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai

dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

13.Kenyamanan Lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan

yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman

(49)

14.Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit

penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga

masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap

resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

2.4. Model NPM Konsep Manajemen Baru dalam Pelayanan Publik

Model NPM (New Public Management), pada dasarnya merupakan model

yang dikembangkan oleh para teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi

(model tradisional) yang dinilai kurang mampu beradaptasi dengan perubahan

lingkungan dalam memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan

dengan mengedepankan pendekatan manajerial.

NPM memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam organisasi

(inside the organization) dengan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan

Hughes (1994:2). Dokrin ini lebih jelasnya diungkapkan oleh Rhodes mengadopsi

pendapat Hood Hughes (1994,2) sebagai berikut : pertama, memfokuskan pada

kegiatan manajemen bukan pada aktivitas kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi;

kedua, pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang

berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases);

ketiga, menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out)

sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima, pola

(50)

Model NPM ini merupakan follow up dari teori dan gagasan yang

didengung-dengungkan oleh praktisi dan akademisi, dimana konsep administrasi menagement

sebelumnya adalah Good Governance atau pemerintahan yang baik dan bersih dan

Reinventing Goverment yaitu menata birokrasi dengan cara mengadopsi nilai-nilai

wira usaha dalam diri aparatur pemerintahan. David Osborne dan Ted Gaebler (1992,

13-22) sebagai pencetus Reinventing Government menawarkan suatu pendekatan

manajerial dari sisi lain dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi

menjadi bergaya wirausaha (entreprenuer government). Dengan karakteristik:

mendorong kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat,

mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada

masukan, digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien

(masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah

masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan

untuk membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi,

menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya

memfokuskan pada pengadaan perusahaan Negara, tetapi juga pada mengkatalisir

semua sektor pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela ke dalam tindakan untuk

memecahkan masalah masyarakatnya.

New Public Management mengedepankan prinsip efisensi dan efektifitas.

Pendekatan manajerial model NPM yang dikembangkan pertama kali oleh Hood ini

(51)

dan Rosenbloom atau entrepreneurial government istilah Osborne dan Gaebler,

walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama berupaya

mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. Dengan melakukan hal-hal

yang sebagaimana dikemukakan Owen E. Hughes (1994, 3)

Improving public management, reducing budgets, privatisations of public

enterprise seem universal; no-one now is arguing for or increasing the scope

of government or bureaucracy.

(meningkatkan menajemen publik, mengurangi anggaran, privatisasi

perusahaan dan usaha untuk meningkatkan birokrasi yang efisien).

Dari kedua teoritis di atas, memiliki tujuan yang sama pula, antara lain :

pertama, lebih memperhatikan pada hasil tujuan dan tanggung jawab personal

manajer; kedua, lebih mengutamakan pembentukan organisasi, personil, dan pekerja

dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga, membuat tujuan organisasi dan personil

yang jelas dan mudah diukur dengan menentukan indikatornya; keempat, staf senior

lebih memiliki komitmen politik (politically commited) pada pemerintah, tidak

partisan dan tidak netral benar; kelima, fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari

pada pelaksana; terakhir, pada fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan

privatisasi (Hughes, 1994, 58)

Istilah NPM yang berbeda antara para teoritis memang dimungkinkan,

(52)

kosong (putih) yang dapat digambar oleh siapa saja tentang apa saja yang disukai,

sehingga tidak ada satupun definisipun yang jelas tentang apa itu NPM, prosesnya

bahkan bagaimana NPM seharusnya.

Indeed, sometimes the new public management seems like an empty canvass : you can paint on it whatever you like. There is no clear or agreed definition of what the new public management actually is and not only is there controversy about what is, or what is in the process of becoming, but also what ought to be.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa kultur yang dibangun

adalah kultur dengan nilai-nilai efisien, profesional dan menitik beratkan pada

kualitas pelayanan yang baik dan memuaskan pengguna (user) bukan sekedar

pelanggan (customer). Nilai kualitas pelayan yang baik merupakan visi yang

diwujudkan lebih lanjut dalam misi-misi yang menjadi dasar dalam memberikan

pelayan dengan kualitas yang baik. Struktur birokrasi publik menjadi ramping dan

lebih mendatar (flat), dengan spesialisasi yang makin kabur dan sangat desentralistis

serta cepat merespon perubahan lingkungan yang terjadi. Pembangunan sumber daya

birokrat diawali dengan proses rekrutmen dan pelatihan yang transparan dan terbuka

bagi siapa saja untuk terlibat didalamnya. Kepemimpinan pada model ini merupakan

kepemimpinan yang demokratis dan kepemimpinan transformasional di semua level

pimpinan mulai dari pimpinan di level atas sampai pada pemimpin di level bawah.

Model ini, juga diidentifikasikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1997,

10), sebagai berikut :

(53)

b. Mengkaji kembali apa yang seharusnya dilakukan dan dibiayai,

c. Perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan,

d. Mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai

biaya, seperti kontrak keluar, mekanisme pasar, dan pembebanan pada

pengguna,

e. Orientasi pelanggan (berbeda istilah dengan Ferlie yang menggunakan istilah

user), termasuk standard mutu yang eksplisit untuk pelayanan publik,

f. Benchmarking dan pengukuran kinerja

Intisari New Public Management (NPM) berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidak

bermanfaat bagi warga adalah pemborosan”. Kalimat ini mengungkapkan bahwa

administrasi bukanlah tujuan akhir, dan hanya punya satu tugas, yakni memberikan

layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa Negara

pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang

merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayar pajak kepada

Negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai

pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak atas layanan

dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Jadi, Negara dilihat sebagai suatu

perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di

lain pihak, dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun dengan

kewajiban memberikan layanan dan kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking

(54)

Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan warga,

memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikan layanan jasa

kepada warga. Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi

dan tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta

menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.

Perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public

Management) sebagai paradigma baru dalam upaya ‘mentransformasi birokrasi yang

kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang

fleksibel dan berorientasi pasar serta pengguna jasa atau masyarakat dalam bentuk

manajemennya (Hughes,1994,1).

2.5. Perizinan

Pada umumnya, birokrasi perizinan merupakan salah satu permasalahan yang

menjadi kendala bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia. Masyarakat dan

kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan oleh

pemerintah yang tidak memiliki kejelasan prosedur, berbelit-belit, tidak transparan,

waktu pemrosesan izin yang tidak pasti, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan

terutama berkaitan dengan biaya-biaya tidak resmi.

Pada saat hubungan antara Indonesia dengan IMF masih berjalan, Indonesia

dinilai selalu mematuhi program IMF. Namun, temyata pada semester I tahun 2002

persetujuan investasinya malah anjlok hingga 42% (empat puluh dua persen). Hal itu

(55)

birokrasi yang masih tidak efisien, aturan perburuhan yang belum jelas, serta

pelaksanaan otonomi daerah yang menghambat investasi.

Perizinan merupakan ujung tombak dari peran birokrasi Pemerintahan dalam

penataan investasi perlu diskenariokan dalam format desentralisasi perizinan

(decentralized licensing), yang dinilai sebagai salah satu altematif solusi efektlif

untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut investasi.

Sehubungan sistem pemerintahan yang di desentralisasikan (decentralized

government). Desentralisasi perizinan merupakan format kebijakan pemerintahan

yang urgen sejalan dengan kebutuhan untuk menata sistem investasi sebagai pilar

utama perekomonian Indonesia. Dikaitkan dengan teori kebijakan publik, perizinan

merupakan bagian dari pendekatan command and control, yaitu pendekatan kebijakan

investasi dari sudut kewenangan regulasi Pemerintah.

Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku

usaha/kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun dalam daftar usaha.

Sedangkan Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah daerah atau

peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan syah atau

diperbolehkan seseorang atau badan melakukan usaha atau kegiatan tertantu

(Permendagri N0. 24 Tahun 2006).

Berdasarkan defenisi tersebut di atas, berarti perizinan akan selalu berkaitan

(56)

investasi sebagai aktivitas obyek perizinan, mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: pemberi

izin (aparat perizinan), pelaku investasi (subyek perizinan), dan aktivitas investasi

(obyek perizinan). Ketiga aspek dalam perizinan tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut; Pertama, pengawasan terhadap pemberi izin harus diberi makna kebutuhan

untuk membenahi kondisi birokrasi, dengan melakukan pengawasan secara intensif

dan efektif terhadap aparat pemerintahan. Konsep desentralisasi pemerintahan yang

menggeser kekuasaan pemerintahan dari Pusat ke Daerah, termasuk kewenangan

pengawasan terhadap aparat pemerintahan dari kekuasaan pengawasan pemerintah

Pusat ke Pemerintah Daerah, merupakan upaya memfungsikan peran pengawasan

Badan-badan Pengawasan Daerah (Bawasda) yang dinilai lebih memperhatikan

permasalahan seputar birokrasi Daerah dibandingkan pengawasan pusat yang jauh

dari wilayah yang menjadi sasaran pengawasan.

2.5.1. Perizinan Terpadu

Pelayanan Perizinan Terpadu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan

non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke

tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Penyelengaraan pelayanan

terpadu merupakan perbaikan terhadap model Pelayanan Satu Atap yang sebelumnya

dilaksanakan. Pelayanan satu atap (PSA) tidak memberikan pelayanan paripurna

karena kewenangan penerbitan atau penandatanganan perizinan masih berada di

SKPD. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu yang bertujuan untuk melakukan

(57)

perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja

terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh

kelengkapannya.

Jangka waktu ini diharapkan bisa menjadi lebih cepat dengan adanya

teknologi yang dapat diterapkan dalam proses pelayanan perizinan seperti yang telah

dilakukan dibeberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Paradigma pelayanan

perizinan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Pola pelayanan perizinan terpadu di Kabupaten Nias dimaksudkan untuk

mempermudah dan meningkatkan kualitas pelayanan. Program ini bertujuan untuk:

1. Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memproses satu jenis

pelayanan yang terkait dengan kewenangan instansi lain.

2. Mendapatkan pelayanan dengan memproses yang lebih sederhana dan

terkoordinasi dalam satu tempat.

3. Menghindari dari biaya pengurusan yang lebih besar karena mendapatkan

pelayanan dalam satu lokasi.

Perda juga meningkatkan nilai tambah stabilitas perizinan yang dikeluarkan

melalui satu titik pelayanan. Dengan demikian, perda merupakan upaya untuk

menjawab perkembangan dunia usaha di masa depan dengan cara yang lebih efisien

dari sisi biaya dan lebih efektif dari sisi waktu (Wibawa, 2007;10).

Manfaat lain dari pendekatan perda yang efektif adalah bahwa prosedur untuk

Gambar

Tabel  1.  Jenis Perizinan di BPPT Kabupaten Nias
Gambar 1. Alur Proses Pelayanan Perizinan pada Badan Pelayanan Terpadu Kabupaten Nias
Tabel 2. Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Nias
Tabel  3. Retribusi yang dibayar oleh pengurus izin
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data yang dilakukan berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu : Data kasus HIV dan AIDS, data penggunaan kodom diperoleh

Kepemilikan institusi berpengaruh positif terhadap keputusan hedging perusahaan, dimana semakin tinggi kepemilikan intitusi pada sebuah perusahaan, akan membuat probabilitas

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada daerah endemik yang memiliki topografi daerah yang hampir sama seperti pada penelitian Adrial dan Nurhayati (2002)

Ruang guru merupakan ruangan tempat berkumpulnya guru-guru untuk mempersiapkan diri sebelum mengajar dikelas masing- masing dan tempat guru untuk menyelesaikan laporan

Jurnal internasional yang berjudul “Strategic Magagement and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology” yang ditulis oleh Raza Mir

Hasil dari penelitian ini menujukan bahwa pengelolaan barang milik daerah memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan SKPD ( Studi penelitian

Mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Hellier et.al (2003) dalam penelitian ini minat beli ulang didefinisikan sebagai evaluasi konsumen tentang minat membeli kembali

PENGARUH NETRAL/SASI ION NITRAT TERHADAP SIFAT FISIS KERNEL OKSIDA URANIUM Pengaruh netralisasi ion nitrat terhadap sifat kernel oksida uranium telah diteliti. Larutan